Kamis, 31 Januari 2013

GADGET



10 Maret 1876 Alexander Graham Bell mengucapkan 2 kalimat yang mungkin paling terkenal dalam sejarah telekomunikasi, “Mr. Watson, come here! I Want to see you”. Sejak itu, perangkat komunikasi ciptaannya mengalami perkembangan pesat. Bertolak dari sebuah keinginan untuk mengganti komunikasi dengan surat yang tidak praktis dan efisien, saat ini Iphone telah memungkinkan komunikasi antara seorang businessman di New York dengan pegawai kantor kedutaan di Bangkok berjalan lancar tanpa gangguan yang berarti.
Tidak ada yang baru di kolong langit. Gadget generasi terbaru yang kita pegang sekarang adalah hasil terobosan selama beberapa dekade.  Telefon yang dulu hanya bisa mentransfer pesan audio sekarang sudah melampaui batas angan-angan manusia waktu pertama kali benda tersebut diciptakan. Saat ini hampir semua jenis data mampu untuk dikirim melalui sepotong logam bermerk Iphone, Blackberry, atau Nokia.
Manusia memiliki dua sisi dalam melihat suatu hal di dunia ini, apapun itu. Dalam hal perkembangan teknologi komunikasi, rasanya bukan hal yang baru kalau kekhawatiran akan semakin tidak sosialnya manusia mengemuka. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dengan manusia yang lain. Komunikasi jenis ini adalah jenis kebutuhan primer yang harus dipenuhi karena merupakan pemenuhan kodrat batiniah diri manusia. Sedangkan manusia antisosial merasakan kesepian yang menurut John Cacioppo yang mempelajari efek kesepian akan berefek pada kekebalan tubuh dan berpengaruh signifikan pada berkurangnya umur manusia.
Menjamurnya jenis jejaring sosial menawarkan alternatif interaksi antar manusia. Namun, jejaring sosial merupakan jenis kontak semu yang tidak melibatkan komunikasi nyata. Ada batas-batas di sana. Dua orang yang berkomunikasi secara akrab di media sosial bisa jadi bersikap acuh tak acuh ketika bersua di kehidupan nyata. Dalam hal ini, gadget hanya menawarkan komunikasi semu antar penggunanya dan hubungan seperti ini adalah hubungan yang tidak sehat karena mengingkari hubungan sosial di mana salah satu medianya adalah memanusiakan orang yang diajak berkomunikasi.  
Belum lama ini, adik seorang teman mengeluh karena hampir semua teman sekelasnya di universitas menggunakan Blackberry messenger (BBM) untuk berkomunikasi. Semua informasi tentang perkuliahan, jadwal, dan pergantian jadwal diinformasikan lewat media tersebut. Bagi adik teman saya yang menggunakan Android, penyampaian pesan lewat BBM adalah sebuah diskriminasi. Ia selalu terlambat menerima kabar dan bahkan sempat beberapa kali tidak menerimanya sama sekali. Ia merasa bukan bagian dari kelas dan terpinggirkan hanya karena ia memakai gadget yang bebeda.
Fenomena seperti ini mulai marak di sekitar. Strata sosial dan gaya hidup ditentukan dengan kepemilikan gadget keluaran terbaru. Orang yang ingin dianggap memiliki status sosial tinggi sering harus memaksakan diri membeli gadget-gadget mahal demi gengsi. Padahal belum tentu ia memiliki dana memadai untuk membeli pulsa bagi gadgetnya. Sering saya mengirim SMS pada teman bergadget Blackberry hanya untuk mendapat balasan nihil. Ketika saya konfirmasi mengapa SMS tidak dibalas, ia mengatakan bahwa ia hanya membeli paket Blackberry untuk BBM dan internet, bukan untuk SMS. Saya merasa terdiskriminasi dan juga merasa asing dengan pemaksaan diri yang berlebihan dari teman saya. Saat seseorang membeli gadget mahal yang berbeda merk dengan teman-teman sejawat, ia juga akan masuk pengkotak-kotakan seperti adik teman saya.
Tapi lebih dari semua itu, ada hal yang rasanya semakin jauh dari cita-cita awal diciptakannya alat komunikasi, yaitu berkomunikasi dengan rasa hormat. Ada zaman ketika orang berkirim surat atau mengunjungi saudara di luar kota saat Lebaran untuk bersilaturahmi. Manusia di zaman itu merasa dimanusiakan karena tujuan mereka untuk berkomunikasi masih menduduki posisi lebih penting dari media yang dipakai untuk berkomunikasi. Sedangkan di zaman ini kepemilikan gadget dan pencapaian status sosial lebih utama daripada tujuan yang ingin dicapai dengan media tersebut. Mungkin saya harus mulai sering berkomunikasi dengan orang-orang secara langsung untuk memanusiakan orang lain dan juga saya sendiri. 

Selasa, 29 Januari 2013

GO WEST AND GOWES!



Ada buku yang cukup bagus untuk dibaca kalau ingin menghabiskan waktu santai dengan kegiatan yang lebih bermanfaat daripada menonton TV. Saya mendapat buku ini lewat rekomendasi teman saya yang sempat mewawancarai penulisnya langsung. Cerita-cerita di dalamnya adalah pengalaman pribadi penulis, baik yang diceritakan orang lain atau yang dialaminya sendiri. Bahasa yang digunakan adalah bahasa percakapan jadi bagi yang memiliki penyakit kantuk dadakan tiap membaca tulisan formal, saya jamin tidak akan terjadi dengan buku yang satu ini. Singkatnya, buku ini berisi kumpulan pengalaman sederhana penulis dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar sejak dia berusia 10 tahun sampai berkeluarga dan memiliki 2 anak yang diceritakan dengan bahasa “santai”. Mungkin latar belakang sang penulis sebagai copywriter lah yang membuatnya memilih untuk menggunakan bahasa nonbaku untuk menarik pembaca dan membangun komunikasi yang tidak membosankan bagi sebagian dari mereka. Taktik ini berhasil.
Judul buku ini diambil dari salah satu cerita di mana Budiman Hakim, sang penulis, menceritakan susah-senangnya mengajari anak lelaki sulungnya yang memiliki sifat gengsian untuk belajar naik sepeda di jalan-jalan negeri Belanda. Banyak tawa yang akan diproduksi sepanjang membaca buku ini. Cerita favorit saya berjudul “Olaf Kesurupan”. Ceritanya tentang seorang ekspatriat dari Jerman yang kesurupan saat diajak berkemah oleh sang penulis di daerah Sukabumi. Ini cerita paling menarik dan kocak karena menggabungkan komedi dan horor. Sebenarnya saya meragukan keaslian beberapa bagian di kisah tersebut, juga kisah-kisah yang lain. Tapi seperti yang saya bilang tadi, ini bukan buku yang berat, jadi saya tidak terlalu mempedulikannya. Ada beberapa buku yang ditujukan untuk menghibur pembacanya. Buku ini salah satunya. Selain dua cerita tersebut, masih ada 24 cerita lainnya yang siap untuk dinikmati.
Tapi walaupun banyak tawa dalam menikmati buku ini, penulis tidak lupa menyelipkan bagian yang bisa membuat kita sadar akan peristiwa di sekitar lingkungan. Tentu saja semua itu disampaikan dengan gaya yang asyik jadi tidak terkesan seperti ceramah. Contohnya tentang merokok dan penggunaan trotoar. Untuk mengisi waktu santai daripada menonton TV, buku setebal 264 halaman ini sangat direkomendasikan. Selamat membaca!

Minggu, 27 Januari 2013

CATATAN PINGGIR 6



Ini kali kedua saya membaca Catatan Pinggir 6. Pertama kali membaca sekitar tahun 2008. Ada banyak hal menarik yang tak lekang oleh waktu ketika dibahas oleh Goenwan Mohamad yang membuat jeda 5 tahun dari pertama kali membacanya masih relevan untuk dimaknai. Bahkan jeda dari waktu ketika tulisan ini ditulis (2001-2003) sampai dengan saat saya membaca kumpulan Catatan Pinggir ini di 2013 memiliki relevansi yang juga masih kuat. Inilah salah satu keunikan dan kekuatan tulisan Goenawan Mohamad. Atau mungkin ini karena ia memilih topik-topik yang selalu menjadi kajian dan perdebatan di sepanjang sejarah peradaban, seperti perang, kemanusiaan, agama, dan seni.
Kalau saya tidak salah ingat, kali pertama saya membaca “Catatan Pinggir 6”, klasifikasi tulisannya di cetakan tersebut masih berdasarkan tema. Saya lupa apa saja, tapi mungkin seperti “politik”, “seni”, dsb. Yang berarti tidak berdasarkan kronologi tulisan tersebut ditulis. Sedangkan di buku edisi cetakan 2012 ini, kumpulan tulisan Goenawan Mohamad di majalah Tempo disusun secara kronologis yang membuat saya bisa menebak peristiwa apa saja yang terjadi saat masing-masing tulisan diproduksi. Misalnya saat “Aktor” ditulis pada 3 November 2002. Saat itu Goenawan Mohamad menggunakan perumpamaan aktor di pentas teater Yunani kuno untuk menggambarkan laku Presiden Megawati dalam menyikapi pengeboman di Bali dengan melakukan kunjungan negara ke Yunani.
Saya sering merasa bahwa Catatan Pinggir penuh dengan sindiran atau ironi tapi di saat yang bersamaan, saya juga dibimbing perlahan untuk turut berpikir atau merasakan sindiran tersebut. Cara bertuturnya yang bijaksana dan tidak menghakimi pada dasarnya adalah sindiran tidak langsung bagi beberapa gelintir orang atau institusi yang bertindak secara sewenang-wenang. Walaupun kajian yang dilakukannya merujuk pada desain yang besar, ia sering menggunakan hal-hal yang terlihat remeh temeh untuk dikaitkan. Seperti saat ia menulis “Jalan” pada 14 Juli 2002. Itu adalah sindirannya tentang Jakarta yang penuh dengan privatisasi, sampai pada jalan-jalannya, ruang publik yang seharusnya bebas dinikmati semua golongan masyarakat.
Dalam kurun waktu 2001-2003, isu terbanyak yang Goenawan Mohamad tulis adalah soal deklarasi perang AS ke Afganistan dan Irak, serangan Israel ke Palestina, dan pengeboman di Bali. Menarik karena ia bisa membahas 3 isu besar itu dalam ranah berbeda-beda lewat bermacam jenis metafora dan simbolisme. Saya menikmati dan belajar banyak tanpa merasa didikte. Yang paling saya suka, ia juga menyisipkan fakta-fakta sejarah global atau nasional yang sebagian besar belum saya ketahui. Secara umum, mau jilid berapa pun yang mau Anda baca terlebih dulu (ada 7 jilid), itu tidak masalah karena isunya selalu relevan dan Anda bisa belajar banyak. Selamat membaca buku setebal 446 halaman ini!

Minggu, 20 Januari 2013

SENJA MUDA


Hujan sore ini membawaku pada sebuah masa di mana kita sering bersama memandang senja. Kau dan aku sangat memuja warnanya. Indah ketika sampai pada cakrawala. Kau sering bertanya kenapa harus dibatasi oleh cakrawala. Cakrawala lah yang membuat indah, Sayangku. Dia yang membuatnya berbeda. Ia yang memberi batas pada kaki langit dan ujung bumi.  Seperti aku dan kau saat itu. Kita berbeda dan kita memuja satu sama lain. Usia kita masih lima belas saat itu dan aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu.
Kita tak pernah ucapkan cinta. Nuansa saat itu saja sudah cukup menyatakannya. Ketika ada tangan yang saling menggenggam, mata yang saling memandang, dan senyuman yang dinaungi rona merah di masing-masing pipi kita. Kita tampak seperti kuncup-kuncup anggrek yang tumbuh di depan kelas.
Ingatkah kau pada lagu kita? Dulu kau selalu berkomentar kenapa nama bandnya harus The Rain padahal kita paling membenci sore mendung tanpa senja. Karena tak akan ada warna jingga kesayangan kita itu, bukan? Tapi aku ingat betapa kita tetap menyayangi lagu itu.
Kau kini telah menjadi seorang pria dewasa, bukan lagi siswa berumur lima belas tahun. Namun rona pipimu akan tetap memancar tiap kali kita bersua. Aku pun tak kuasa menyembunyikan milikku.
Aku sudah lupa kapan kita tak lagi lekat memandang senja. Sejak saat itu, tiap senja yang terlewatkan akan menyublim dalam pelukan malam. Mengalir dan menguap seolah tak pernah ada dua orang yang dahulu pernah menyandarkan mimpi-mimpi mereka tentang hari esok pada kehadirannya.
Sosokmu mungkin mulai pudar dalam keterbatasan memoriku sebagai insan, sebagai pengembara dalam rinai-rinai sembilan tahun yang terlewati. Namun sebagai seorang yang pernah menikmati senja bersamamu, aku tak akan pernah melupakan kehangatan genggaman tanganmu dan caramu memanggil namaku. Aku masih ingat kebencianku saat kita harus berpisah karena mentari telah tenggelam dan kita pun mesti kembali ke peraduan kita, mengerjakan soal-soal matematika atau ekonomi.
Hujan kali ini telah berhenti. Tak ada senja. Aku pun sudah lama tak terpikat olehnya seperti dulu saat bersamamu. Mungkin ada masa di mana satu keindahan hanya bisa dinikmati dalam suatu rentang waktu dan atmosfernya tak akan pernah terulang di waktu-waktu sesudahnya. Tapi aku suka kenangannya. Sederhana saja, karena kau teramat manis saat itu . . .


WAKTU



Tentu saja kau bukan yang pertama. Lebih tepatnya, kau yang kedua. Cinta pertamaku adalah seorang bocah laki-laki yang rumahnya selalu kulewati tiap aku berangkat sekolah. Saat itu aku masih kelas 4. Dan kau mulai menyelip di antara ruas-ruas hidupku yang sederhana saat aku 13 tahun, 4 tahun kemudian. 4 Februari 2004 dan itu adalah kali pertama aku menyebut namamu secara khusus di buku harianku. Aku menulis kegalauan yang aku rasakan saat itu. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh kepada diriku sendiri dan terlebih kepada Tuhanku. Berpuluh-puluh pertanyaan yang beberapa di antaranya tidak perlu untuk dijawab, dan beberapa lagi memang tidak bisa. Di akhir paragraf, aku memintaNya untuk tidak menganugerahiku perasaan sakral itu namun kemudian inilah yang terjadi: aku mulai mencintaimu.

Sejak saat itu, namamu makin sering muncul dalam buku harianku. Aku menulis betapa coklat warna matamu, tertawamu yang kekanakan, kakimu yang bisa menyentuh tanah saat kau duduk di sedel sepedamu sedangkan teman-teman yang lain tak bisa, caramu berlari saat kita main kasti tiap sore, pipimu yang tersipu saat meminta izin berkunjung ke rumah Eyangku, ceritamu tentang betapa lucunya keluargamu, buku yang kau berikan padaku, coklat yang kuberikan padamu, ajakanmu untuk bersepeda mengelilingi alun-alun Wates sampai senja…


Hal-hal sederhana itu begitu manis untuk diingat. Hampir sembilan tahun dan aku masih takjub dengan begitu lekatnya memori itu. Aku akan tersenyum tiap kali seseorang menyebut Siti Nurbaya. Kau pernah berdebat denganku tentang siapa penulis buku tersebut. Tentu saja aku selalu menang saat itu. Aku masih ingat warna sepedamu, tinggi kaos kakimu, model sepatumu, lembutnya suara tawamu, cara berlarimu, gaya berjalanmu, gerakan tanganmu saat berbicara. Waktu tidak bisa membuatnya lekang dari ingatanku.

Tapi waktu jualah yang mengambilmu dariku. Kadang kita tidak menyadari betapa jauhnya waktu membawa masa remaja kita sampai ke ujung kedewasaan. Kita menyemai mimpi kala bersama dan tiba-tiba kenyataan ada di depan kita. Selalu ada yang harus dikorbankan. Dan aku benci ketika itu adalah aku.

Kau tahu betapa lamanya aku menunggu? Aku menunggu sampai aku menyadari bahwa tidak akan ada gunanya menunggu. Aku bodoh karena itu terjadi belum lama ini. Tahun-tahun yang terbuang untukmu adalah tahun-tahun penuh senyum getir tiap aku mendengar kau bahagia bukan denganku.

Tentu saja tidak ada yang salah. Kau pintar berkompromi dengan waktu sedangkan aku hanya seorang idiot yang berharap pada sesuatu yang sebenarnya terus melaju perlahan-lahan meninggalkanku. Kau menang kali ini. Atau sebenarnya kau selalu menang terhitung saat kau mulai memilih kenyataan sedang aku memilih setia pada mimpi.

Sabtu, 19 Januari 2013

JOKOWI: MEMIMPIN KOTA, MENYENTUH JAKARTA



Menurut yang saya baca tentang bagian “tentang penulis” di halaman paling belakang buku, ini adalah buku biografi kesekian kali yang ditulis oleh Alberthiene Endah. Sebelumnya saya belum pernah membaca karya-karya Mbak Alberthiene yang lain dan ini adalah buku pertamanya yang saya baca. Menarik karena buku ini bertitel sebuah memoar, biografi, dari tokoh yang saat ini mungkin menduduki peringkat kepopuleran paling tinggi di Indonesia, yaitu Jokowi. Sepak terjangnya sebagai Gubernur DKI yang baru diuji dengan masalah banjir yang saat ini sedang melanda ibukota. Orang-orang awam seperti saya pasti tergerak untuk mengetahui latar belakang Jokowi yang sebelumnya disebut-sebut sukses melayani Solo. Tingkat penasaran ini lebih kepada usaha personal untuk menjawab sebuah pertanyaan: apakah si Bapak juga akan mampu melayani Jakarta?
Yang menarik saya pertama kali dari buku ini adalah covernya. Foto hitam putih Jokowi yang sedang duduk di anak tangga dengan mengenakan kemeja batik, celana panjang, dan sandal. Kepalanya menoleh dan tersenyum. Entah tersenyum pada siapa. Cover ini menarik karena profilnya terlihat sangat simple, sederhana, bersahaja. Teman saya yang meminjamkan buku ini pada saya bilang kalau Jokowi memilih sendiri foto ini untuk dijadikan cover. Selain itu, dalam sekali pandang saya menduga bahwa buku ini terlihat mahal. Hal ini juga terlihat dari jenis kertas dan banyaknya foto berwarna di dalamnya. Saya tidak tahu harganya karena buku ini saya dapat hanya dengan modal meminjam. Tapi setelah mencari di google, harganya saat ini adalah Rp 77.000,00.  
Karena ini adalah buku biografi, bukan otobiografi, saya berharap si penulis akan menceritakan kehidupan Jokowi dengan sudut pandang orang ketiga. Saya cukup kaget karena ternyata isinya menggunakan sudut pandang orang pertama. Sesungguhnya saya merasa terganggu dengan kenyataan ini karena bagi orang yang membaca sebuah biografi, ekspektasi yang ada adalah menemukan banyak hasil penelitian tentang kehidupan tokoh yang ditulis, bukan ungkapan pribadi tokoh tentang kehidupannya sendiri. Entahlah, buat saya hal tersebut agak sedikit bermasalah.
Namun saya cukup menikmati cara Alberthiene Endah memilih diksi dan merangkai kalimat yang tidak membosankan dan indah. Walaupun Jokowi jadi terlihat muluk-muluk dan seperti dewa karena menceritakan kehidupannya dan kesuksesannya (ekspektasi saya sudut pandang orang ketiga ), saya menikmati benar alur cerita yang sangat mulus disampaikan. Dengan jumlah halaman sebanyak 231, saya membutuhkan sekitar 6 jam selama 2 hari untuk menyelesaikannya. Ketidakmauan saya untuk meninggalkan buku ini lebih kepada pilihan diksi dan rangkaian kalimatnya yang sangat baik.
Soal isi menurut saya standar saja. Bahkan saya terus berkata “nggak objektif” beberapa kali. Masalahnya, sekali lagi, ini bukan otobiografi jadi untuk saya terlihat aneh. Mungkin banyak penulis yang menulis biografi dengan sudut pandang orang pertama tapi bagi saya, itu tidak tepat. Ini murni pendapat pribadi saya. Ada 10 bab yang dimulai dari kisah tentang masa kecil Jokowi yang hidup di bantaran kali sampai dukungan penuh keluarga besarnya saat ia mencalonkan diri kemudian memenangkan Pilkada DKI.
Pada dasarnya Jokowi sangat berempati pada rakyat kecil. Caranya memandang rakyat jelata terefleksikan dalam langkah-langkahnya menyelesaikan permasalahan yang cenderung ke membangun dialog. Tidak ada hal yang cukup menarik perhatian saya kecuali fakta bahwa menjabat walikota tidak selama periode penuh (Jokowi hanya menjabat 2,5 tahun) dan mencalonkan diri untuk pemilihan kepala daerah di kota lain ternyata diperbolehkan. Sayangnya tidak ada penjelasan kenapa diperbolehkan. Di buku hanya dituliskan bahwa rakyat Solo mengikhlaskan dan mendukung secara penuh.
Untuk yang tertarik mengenal Jokowi lebih dalam, baca saja buku ini. Selamat membaca!

REPUBLIK #JANCUKERS




Bagi yang rajin mengakses twitter, pasti tidak asing dengan istilah “Jancukers”. Apalagi bagi para tweeps yang memang memfollow sebuah akun bernama @sudjiwotedjo. Hampir setiap hari pasti istilah “Jancuk” atau “Jancukers” menghiasi tweet-tweet si empunya akun. Yang memfollow juga pasti tidak lagi kaget dengan istilah yang mungkin kala pertama mendengar akan tedengar sangat kasar. Tapi kalau sudah tahu maknanya, hilang lah anggapan buruk tersebut.
“Republik #Jancukers” menurut pengantar yang ditulis di cover belakang buku adalah hasil perenungan Sujiwo Tejo, sang penulis, akan hal-hal keseharian. Perenungan itu memunculkan sebuah cita-cita, nyaris utopia, yang dinamainya Republik Jancukers. Jancukers adalah nama follower Sujiwo Tejo di Twitter. Republik Jancukers berarti Republik ideal yang berpenduduk orang-orang dengan jiwa Jancukers. Sujiwo Tejo pastilah berkemauan agar followersnya mengerti benar alam pikiran dan cita-citanya akan sebuah negara dan bangsa yang ideal.
Secara tidak langsung, “Republik #Jancukers” adalah antitesis dari Republik Indonesia. Walaupun tidak disebutkan secara gamblang, namun cara Sujiwo Tejo menceritakan permasalahan yang terjadi di Indonesia dan bagaimana orang-orang di sana menyikapinya tampak kontras dengan cara rakyat dan peraturan di negara Jancukers yang dipimpin olehnya melihat masalah yang sama. Tapi jangan lalu menganggap bahwa buku ini berisi sesuatu yang sangat berat. Malah sebaliknya.
Tulisan yang tersaji sangat kocak karena Sujiwo Tejo memposisikan dirinya bukan sebagai pengkritik tapi pengamat. Sering saya terbawa untuk tertawa ngakak. Caranya mengamati ya dengan memberikan perbandingan antara situasi di Indonesia dengan apa yang terjadi bila itu ada di negara Jancukers. Contohnya saat ia membahasa ketidaktahuan masyarakat sekarang tentang dasar negara yang sangat kontras dengan keupdatean mereka tentang masalah remeh temeh yang lain seperti kehidupan pribadi orang lain. Kanguru sendiri adalah cara Sujiwo Tejo menggarisbawahi esensi suatu hal. Bahwa yang paling penting dari sebuah benda bukan namanya, namun esensinya, maknanya. Australia dinamakan “negeri Kanguru” karena mamalia tersebut banyak ditemukan di sana. Lalu kenapa “Papua” tidak disebut “negeri Kanguru” juga? Pesan dari perumpamaan ini jelas.  Masyarakat Indonesia cenderung mengedepankan nama atau bentuk luar sesuatu tanpa meresapi makna dibaliknya. Sama seperti ketika mereka memaknai dasar negara sebatas sebuah istilah tanpa memahami kepribadian di dalamnya.
Masih banyak perumpamaan serupa karena sejatinya buku ini adalah rangkuman dari hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang luput diamati. Sujiwo Tejo mengambil hal tersebut sebagai sebuah bahasan untuk mengantar ke sebuah diskusi yang lebih mendalam tentang kualitas sebuah bangsa dan negara. Memang kalau dipikir-pikir, Indonesia jadi terlihat sangat buruk setelah membaca buku ini. Tapi yang berpikiran positif malah bisa terpacu untuk mulai berbenah diri karena sebenarnya berbuat baik sebagai warga negara juga adalah tentang melakukan hal-hal keseharian yang remeh-temeh.
Total ada 14 bab yang masing-masing diberi judul sesuai dengan judul-judul lagu di album barunya “Mirah Ingsun”. Kalau membeli bukunya, dapat gratis sebuah CD dari album ini. Di awal bab, selalu ada lirik dari judul lagu yang dijadikan nama bab dan yang menarik, selalu ada versi bahasa Inggris dari lirik tersebut. Dari semua hal yang ada di buku ini, terjemahan tersebut paling menarik perhatian saya karena Bahasa Inggrisnya bukan merupakan hasil penerjemahan lirik dari Bahasa Indonesia tapi Bahasa Jawa. Memang lagu-lagu di “Mirah Ingsun” semuanya berbahasa Jawa dan bukan bahasa Jawa yang diksinya familiar untuk saya (saya orang Jawa tulen). Diksinya adalah diksi bahasa Jawa yang biasa dipakai untuk berpuisi. Mungkin termasuk tingkatan krama inggil atau kuno saya tidak tahu tapi jelas bahwa itu bahasa Jawa.
Sebagai anak sastra, saya tergerak untuk menelusuri tiap kata hasil terjemahan. Mencari tahu tingkat kesesuaian maknanya dan pilihan diksi yang digunakan. Kesimpulan: terjemahan itu bukan pekerjaan mudah.
Intinya, kalau ada yang ingin tahu atau penasaran dengan gaya tulisan Sujiwo Tejo yang nyeleneh, baca saja buku setebal 400 halaman ini. Selain berisi kritik, buku ini juga berisi humor, sesuai dengan kepribadian penulisnya yang agak antik. Selamat membaca!

Kamis, 03 Januari 2013

BUKU DI PERAYAAN TAHUN BARU 2013




Karena malam tahun baru tidak saya rayakan dengan kegiatan di luar rumah, praktis saya harus memiliki kegiatan pengganti yang tidak membuat saya bosan menghabiskan malam yang penuh dengan gelegar petasan dan kembang api di mana-mana dan acara televisi yang setipe. Pilihan saya jatuh pada membaca buku. Rasanya aneh memang membaca buku di antara berisik perayaan, namun untung malam tahun baru kemarin disertai hujan yang tak kunjung henti. Saya bukan penggemar hujan tapi saya bersyukur karena hujan kemarin membantu menciptakan suasana lembut di antara gemuruh petasan.
Untungnya buku yang saya pilih memang bukan buku yang berat dan membutuhkan konentrasi penuh. Judulnya Chicken Soup for the Cat and Dog Lover’s Soul yang merupakan salah satu seri Chicken Soup. Buku ini diterbitak pertama kali tahun 1999 di Amerika Serikat namun saya membaca edisi terjemahannya. Diterbitkan di Indonesia April 2003. Saya akrab dengan seri-seri Chicken Soup semenjak SD dan tahun-tahun awal di SMP. Waktu itu memang seri tersbut sedang terkenal. Biasanya saya meminjamnya bersamaan dengan seri Goosebumpsnya R.L. Stine. Membaca Chicken Soup bisa dikatakan juga sebagai manifestasi kerinduan saya pada masa-masa remaja.
Saya menemukan Chicken Soup tentang kucing dan anjing ini di antara rak-rak buku persewaan komik langganan saya. Kecewa karena tidak ada komik baru, saya memutuskan mengambil Chicken Soup. Total halaman buku ini 446. Biasanya seri Chicken Soup sangat lekat dengan dua nama yaitu Jack Canfield dan Mark Victor Hansen sebagai editornya. Kali ini mereka berkolaborasi dengan Marty Bcker yang seorang veterinarian dan Carol Kline yang mendedikasikan dirinya di sebuah organisasi penyelamatan binatang.
Semua cerita dalam Chicken Soup for the Cat and Dog Lover’s Soul adalah tentang hubungan manusia dengan binatang, baik binatang peliharaan maupun binatang liar. Manusia bisa belajar banyak dari binatang tentang kasih sayang, kesetiaan, keberanian, disiplin, dan juga kesabaran. Banyak orang menganggap binatang menduduki posisi yang jauh lebih rendah dari manusia padahal banyak sekali cerita di mana kehidupan manusia diselamatkan oleh binatang sampai bagaimana binatang mampu membantu manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Buku ini mengajarkan bahwa jikapun memang benar binatang jauh lebih rendah dari manusia, bukan tugas menusia untuk menunjukkan kekurangan tersebut namun bagaimana menumbuhkan rasa kasih sayang di antara mereka karena ternyata keduanya saling membutuhkan.
Walaupun judulnya menyebutkan kucing dan anjing. Namun isinya tidak hanya seputar dua jenis binatang itu. Walaupun tetap kucing dan anjing mendominasi, ada juga kisah tentang burung, kuda, angsa, tupai, bahkan gorila. Jenis ceritanya juga cukup banyak karena melibatkan banyak koresponden atau orang-orang yang mengirimkan ceritanya dari seluruh penjuru Amerika Serikat. Ada juga koresponden dari Inggris. Orang-orang tersbut datang dari beragam latar belakang dan profesi. Cerita-cerita tersebut dibagi menjadi 9 bab, yaitu: Problema Cinta, Keajaiban Pertautan Jiwa, Hewan Peliharaan Sebagai Penyembuh, Pet-Pourri, Hewan Peliharaan Sebagai Bagian dari Keluarga, Hewan Peliharaan Sebagai Panutan, Binatang-binatang yang Menakjubkan, Selamat Tinggal, dan Teman Pendamping. Untuk pencinta binatang yang tertarik membaca buku ini tapi tidak punya waktu karena banyaknya halaman, bisa dengan membuka bab favorit. Walaupun dengan membaca semua bab pun, di akhir tidak akan menyesal karena penuh dengan cerita-cerita inspiratif yang disajikan dengan nada konyol maupun menyedihkan.
Tentu saja saya memiliki cerita favorit. Cerita favorit saya berjudul “Anjing Angie”. Memang agak sedikit horor. Seorang gadis bernama Angie bisa selamat dari kritis karena roh anjing kesayangannya yang bernama Prince membantu dokter yang ditelepon orang tua Angie untuk menemukan rumah mereka. Padahal saat itu salju sedang turun dengan sangat lebat dan si dokter tidak bisa mengingat-ingat belokan yang benar menuju rumah Angie. Cerita ini tergolong sederhana dan bahkan saya meragukan kebenarannya. Tapi apapun itu, saya menyukai konsep kesetiaan anjing peliharaan yang dikemas dalam cerita horor. Siapa sih yang tidak tertarik dengan cerita horor?
Tidak berarti setelah selesai membaca buku ini, saya jadi ingin untuk memiliki binatang peliharaan. Sejujurnya saya tidak pernah tertarik untuk memiliki binatang peliharaan namun buku ini membuat saya sadar bahwa saya tidak bisa seenaknya memperlakukan kucing, ayam, atau anjing di sekitar lingkungan rumah secara kasar. Sebelumnya saya sering membentak kucing yang masuk ke rumah atau mengusir ayam yang mendekat ke arah saya dengan melempar batu. Ada kemungkinan efek kesadaran saya ini hanya sementara. Tapi saya ingin bilang kalau itulah alasan mengapa saya masih terus membutuhkan buku-buku seperti ini untuk terus mengingatkan saya.  Selamat membaca!