Kamis, 28 Februari 2013

KENANGAN


Untuk sebagian orang, mengingat bukanlah kegiatan menyenangkan. Ada luka dan kesedihan yang dibawa oleh waktu lampau yang membuat seseorang enggan untuk mengungkit masa lalunya. Oleh karenanya, kegiatan mengingat bukan melulu romantisme penuh suka cita tapi juga terkadang sarat dengan linangan air mata. Namun orang tidak bisa serta merta membebaskan diri dari kenangan karena bagai sejarah, ia adalah bagian tak terpisahkan dari manusia. Kenangan turut mengukir pribadi dan menentukan jalan hidup yang dilakoni manusia di masa mendatang. Ia akan tetap ada seberapa kuat pun seseorang berusaha menafikkannya dari dirinya.
Apa beda sejarah dengan kenangan? Sejarah adalah masa lalu yang sifatnya komunal. Sejarah manusia adalah sejarah menjadi bagian dari masyarakat. Sebagai contoh, saya adalah seorang Jawa yang dilahirkan pada tanggal 25 Februari 1989. Aktivitas saya sejak tanggal tersebut sampai sekarang disebut sejarah jika berhubungan erat dengan fungsi-fungsi saya sebagai makhluk komunal. Sejarah tentang saya akan berarti bagi catatan sipil yang mencatat akta kelahiran, universitas yang mencocokkan nama dan tanggal lahir ketika membuat ijazah, dan suatu saat seumpama saya menjadi presiden, semua hal yang saya pernah lakukan akan menjadi sejarah bagi orang-orang yang tertarik dengan masa lalu saya.  Dengan kata lain, sejarah membuat manusia sebagai milik publik.
Sedangkan kenangan adalah bentuk sejarah yang sifatnya pribadi. Ia hanya bermanfaat bagi seseorang yang bersinggungan langsung dengan proses sejarahnya. Karena bersifat pribadi, kenangan lebih kuat dalam rasa dan efek yang ditimbulkan pasca melakukan proses mengenang. Dalam melakukan proses mengenang, manusia pada dasarnya sedang mengundang kembali bagian dari dirinya di masa lalu. Oleh karena itu, tidak ada orang di dunia ini yang memiliki kenangan yang sama. Kenangan dibangun berdasar interpretasi pribadi seorang manusia terhadap suatu peristiwa dan kemudian hanya menjadi milik pribadi manusia tersebut.
Efek mengenang sering lebih kuat dibandingkan belajar sejarah. Tidak ada yang bisa menandingi pengalaman yang sudah dialami secara langsung oleh seseorang. Di sana ada proses belajar, mengingat, melupakan dan berbagai macam perasaan yang menyertainya. Apapun yang dialami secara pribadi menimbulkan bekas yang lebih jelas dan dalam. Apapun itu, baik buruk maupun bahagia.
Tulisan saya ini adalah hasil perenungan tentang apa yang telah terjadi pada diri sendiri. Suatu hari saya menemukan diri saya menangis di kamar seorang sepupu setelah mencoba mengenang masa kecil saya di rumah Pakdhe dan Budhe saya di Sentolo. Dulu rumah itu sangat semarak karena ada 5 orang yang menghuni ditambah seorang penghuni tidak tetap yang tiap akhir minggu selalu datang untuk berlibur, yaitu saya. Rumah itu kini sepi karena hanya ditinggali oleh Budhe, sepupu no.3, dan anaknya. Pakdhe saya sudah meninggal. 2 sepupu saya yang lain juga telah memiliki anak dan mengikuti suami mereka. Suami sepupu no.3 hanya kembali pada waktu-waktu tertentu karena sekarang ia bertugas di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu, rumah itu telah banyak kehilangan suasana ramai yang dulu selalu saya rindukan tiap akhir minggu. Saya mengingat berapa lama saya tidak datang ke tempat tersebut. Sebenarnya baru sebulan yang lalu saya datang untuk menengok keponakan tapi baru kali ini saya mencoba untuk mengingat apa saja yang berubah dari tempat yang sangat berarti bagi saya itu. Saya telusuri tiap sudut rumah dan masuk ke tiap kamar. Semakin lama kenangan itu semakin deras muncul dan hilang lenyap dalam ingatan. Tiap saya melangkah ke tempat berbeda, tiap itu juga kenangan berbeda muncul dan menyisihkan kenangan sebelumnya.
Deretan foto di dinding turut menemani perjalanan menyesakkan sore itu. Perjalanan mengenang yang merupakan kombinasi antara rasa sedih dan bahagia. Saya melihat potret kanak-kanak saya di antara 3 sepupu saya, foto Pakdhe dan Budhe saat masih dinas di kantor dan belum pensiun, foto keluarga di mana selalu ada saya di situ. Kemudian tiba-tiba semuanya beralih ke foto-foto wisuda ketiga sepupu dan foto-foto pernikahan mereka. Di deretan yang lain, nampak foto-foto ketiga keponakan saya dengan berbagai pose. Bahkan foto di sini pun punya alur ceritanya sendiri. Tiba-tiba saya merasa sangat lelah. Begitu panjang waktu yang sudah terlewati dan begitu banyak kenangan yang telah tersimpan dalam memori. Namun sekali mengeluarkannya, perasaan sesak itu selalu ada.


Saat saya tiba di halaman belakang, lama saya memandang pohon jambu yang saat itu belum berbuah. Bertahun-tahun yang lalu, saya dan ketiga sepupu sering memanjatnya dan memandang Pakdhe dan rewang di rumah yang sedang memberi makan ayam. Pohon itu sudah bertambah tinggi dan dahannya telah lebih bercabang. Kalau sedang musim, jambu berwarna pink keruh itu akan menggantung bergerombol dan seingat saya, saya tidak pernah bisa menggapainya sekuat apapun saya meloncat. Sore itu saya angkat tangan saya dan saya raih cabang terdekat. Tidak perlu meloncat, dan cabang itu sepenuhnya ada dalam rengkuhan jemari saya. Ternyata saya juga telah berubah.
Di belakang rumah Budhe dan Pakdhe tinggal Mbah Kismo dan istrinya. Usia mereka mungkin sekitar 90 tahun. Saat saya kanak-kanak, saya sering menghabiskan waktu mengikuti Mbah Kismo mencari pakan sapi dan melihat istrinya membuat tempe. Mereka berdua adalah figur yang tidak terpisahkan dari masa kecil saya di Sentolo. Sore itu saya mengunjungi rumah mereka. Biasanya saya masuk lewat dapur. Seekor sapi berwarna coklat tua nampak memamah biak di dekat pintu dapur. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu saat saya lekat memandangnya sehabis mengikuti Mbah Kismo mencari rumput. Namun ada yang berubah pada dapurnya. Dapur berlantai tanah itu sudah tak terurus dan beralih fungsi menjadi kandang bebek. Perlahan saya masuk dan melihat seorang laki-laki renta yang sedang tertidur dengan hanya mengenakan celana pendek hitam. Kaget dengan suara langkah saya di lantai yang tak pernah disapu dan penuh debu, ia terbangun. Indera pendengarannya masih sebagus dulu. Perlahan ia mendekati saya dan ternyata ia masih mengenali saya. Kami bersalaman dan saling bertukar kabar. Sore itu ternyata ia sedang beristirahat sebentar sambil menunggu waktu mencari rumput. Kedatangan saya yang tidak sengaja membangunkannya ia anggap sebagai pertanda waktu mencari rumput.
Sambil menunggu ia bersiap, saya kelilingi lagi rumah tua itu sambil mencari Mbah Kismo putri. Saya sibak kerai yang penuh debu dan menemukan kamar yang penuh sarang laba-laba dan kasur berdebu yang digulung. Tiba-tiba saya sadar kalau Mbah Kismo putri telah meninggal. Bagaimana saya bisa lupa kalau beberapa tahun yang lalu sepupu saya mengirimkan pesan tentang kematiannya. Entah kenapa tiba-tiba saya menangis tanpa suara. Dan saat itu juga saya berpamitan pada Mbah Kismo dengan linangan masih di pipi. Saya tak khawatir ia akan menyadarinya. Rumah itu terlalu gelap dan ia tidak akan bisa menangkap mimik wajah saya. Semoga memang tidak.
Sore itu saya membiarkan diri saya menangis dan terus menangis. Entah apa yang ditangisi. Padahal saya hanya mencoba mengingat apa yang pernah saya alami di tempat penuh kenangan ini. Mungkin kegiatan mengenang itu membuat saya sadar bahwa terlalu banyak orang-orang yang telah pergi. Atau mungkin saya sedih karena bertambah tua. Ataukah mungkin ada rasa bahagia karena saya sudah punya 3 keponakan yang sangat lucu.
Tidak mampu saya mengatakannya. Tapi semua masa lalu itu begitu dekat dan saya yakin hanya saya yang bisa mngerti dengan kompleksnya perasaan di dalamnya. Saya menikmati naik turunnya emosi sore itu. Dan memang, perasaan sore itu tidak mampu dituliskan namanya. Lalu tiba-tiba saya merasa capek. Bermain dengan kenangan ternyata kegiatan yang melelahkan. 

Jumat, 15 Februari 2013

POLEMIK KEBUDAYAAN


  

Dalam sejarah seni dan budaya, Indonesia memiliki dua buah peristiwa yang mempengaruhi arah jalannya budaya dan corak yang dianut oleh para cendekia. Yang pertama adalah Polemik Kebudayaan yang terjadi antara Agustus 1935-Juni 1939. Yang kedua adalah Manifesto Kebudayaan yang diproklamirkan pada 1963. Yang pertama bisa disebut sebagai peletak dasar kebudayaan Indonesia pertama kali karena saat itu orang-orang, terutama para cerdik cendekia, mempertanyakan budaya jenis apa yang seharusnya dianut oleh bangsa Indonesia.
Lewat buku berjudul Polemik Kebudayaan , Achdiat Karta Mihardja mengumpulkan tulisan para tokoh kebudayaan Indonesia di zaman itu yang coba untuk ditampilkan kembali agar tidak terlupakan seiring bergantinya zaman, terutama oleh generasi muda. Menyadari pentingnya peran Polemik Kebudayaan dalam menggambarkan pokok pikiran para pendahulu, buku ini telah mengalami tiga kali turun cetak oleh Penerbit Balai Pustaka. Cetakan terakhir ada di tahun 1998.
Tulisan di buku ini menggunakan bahasa Indonesia yang masih sarat dengan pengaruh Melayu. Tidak heran karena setelah diproklamirkan lewat Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia mulai dipakai sebagai bahasa pengantar oleh sebagian besar penerbitan dan percetakan surat kabar serta buku bangsa Indonesia secara luas. Struktur dan diksinya masih agak sama dengan bahasa Melayu karena memang bahasa Indonesia adalah anak atau cabang dari bahasa tersebut. Dari sinilah nantinya bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa seperti yang dipakai saat ini.
Dari proses pengumpulan tulisan yang dilakukan oleh Achdiat Karta Mihardja, hasilnya disusun dalam dua buku. Buku yang akan dibahas adalah kumpulan pertama dari tulisan tentang Polemik Kebudayaan. Penyumbang tulisan ini antara lain: Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Purbatjaraka, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara.  Ketujuh penulis datang dari berbagai latar belakang yang tidak jauh berbeda, yaitu kesusastraan, jurnalisme, dan pendidikan. Tiga ranah yang sangat terhubung erat dan menjadi tonggak-tonggak perjuangan di masa itu.
Achdiat Karta Mihardja mengelompokkan tulisan-tulisan yang dikumpulkannya dalam tiga jenis polemik yang berjudul Polemik I, II, dan III. Sutan Takdir Alisjahbana adalah orang yang bertanggung jawab terhadap terciptanya pertukaran ide yang hebat ini. Dalam Polemik I, ia mempertanyakan kebudayaan jenis apa yang sesuai untuk dimiliki bangsa Indonesia yang baru lahir. Tentu saja bukan kebudayaan daerah yang dianggapnya sangat erat unsur kedaerahan, STA menyebut kebudayaan berorientasi daerah sebagai provincialisme. Ini membuat STA membuat zaman yang dinamainya  zaman Indonesia dan Prae-Indonesia. Zaman Indonesia adalah zaman di mana bangsa Indonesia memiliki tujuan sama dan tidak mengagungkan sejarah dan potensi kedaerahannya. Zaman Prae-Indonesia adalah zaman di mana konsep bangsa Indonesia belum terbentuk dan tiap-tiap orang masih mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari suku Jawa, Bugis, Maluku, dll., bukan bagian dari bangsa Indonesia. Sehingga dalam merumuskan kebudayaan Indonesia saat itu, sangkut paut dengan sejarah sebelum terbentuknya konsep bangsa Indonesia murni harus dinafikkan. Kebudayaan Indonesia harus mulai dibangun dan didefinisikan. Untuk membangun dan mendefinisikan, bangsa Indonesia harus berpedoman pada Barat karena Barat dianggap telah mampu mengandalkan kemampuannya sebagai manusia untuk menaklukkan alam serta meningkatkan kualitas diri secara materi. Tulisannya ini berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” dan diterbitkan di harian Pujangga Baru.
Pandangan ini mengundang bantahan dari pemikir lain, di antaranya Sanusi Pane dan Purbatjaraka. Keduanya sepakat bahwa zaman sebelum nama bangsa Indonesia dideklarasikan adalah sejarah yang tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia masa sekarang. Dalam membangun, kombinasi antara Barat dan Timur merupakan rumus yang ideal. Tidak bisa meninggalkan Timur yang telah mendarah daging dan mempengaruhi semua aspek keIndonesiaan saat ini.
Dalam Polemik II, lewat karyanya berjudul “Semboyan yang Tegas”, STA kembali melempar sebuah tulisan yang merupakan kritik atas hasil Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang pertama di Solo tanggal 8, 9, dan 10 Juni. Antiintelektualisme, antiindividualisme, antiegoisme, dan antimaterialisme yang didengungkan sebagai isi utama kongres tidak bisa dilakukan dalam membangun dan mendidik generasi muda. Intelektualisme, Individualisme, egoisme, dan materialism adalah jiwa pendidikan dan pembangunan Barat yang harus merasuk dalam sanubari generasi penerus. Pendidikan a la Barat harus lebih diutamakan dan mendapatkan tempat khusus dalam membangun bangsa Indonesia yang baru lahir. Keempatnya merupakan pilar utama yang membuat sebuah bangsa menjadi kuat dan mendapat gairah untuk berusaha dan bersaing. Pendidikan Timur mengacu pada didikan pasif karena sifatnya yang komunal, bukan individual. Masyarakat tidak tergerak untuk memperkaya dirinya karena lingkungannya tidak tergerak untuk berkembang.    
Tanggapan datang dari R. Sutomo sebagai salah satu penggagas keempat “anti’ tadi dan juga Adinegoro. R. Sutomo menyoroti kekurangan pengajaran Barat yang menjauhkan keeratan antar individu. Ada jurang pemisah antara pelajar yang bersekolah di sekolah-sekolah Barat yang dibuat dalam berbagai level. Anak-anak yang bersekolah di HIS atau ELS cenderung menganggap dirinya lebih baik dari anak-anak dari sekolah lain. Sifat seperti ini akan menimbulkan kerenggangan persatuan di antara generasi muda. Sedang pendidikan Barat a la Timur yang dinamainya pesantren terbukti faedahnya dalam menyatukan generasi muda dan mengawasi akhlaknya karena mereka hidup dalam pemondokan yang dibuat sekolah. Adinegoro muncul dengan menyoroti perbedaan antara culture dan civilization. Pendidikan Barat yang sifatnya teknik bisa dipindahkan ke Timur. Teknik ini adalah contoh civilization yang bisa dipindahkan dan diadopsi untuk mempermudah terselenggaranya kehidupan keseharian namun berbeda dengan culture. Culture adalah bagian dari masyarakat yang melekat dan khas dari suatu bangsa. Dengan ini, tidak mungkin untuk mengadopsi keseluruhan kebudayaan Barat lewat pendidikannya dan melekatkannya secara langsung pada bangsa Indonesia.
Di antara para pengkritik, ada juga Tjindarbumi yang setuju dengan pemikiran STA. Sedangkan Dr. M. Amir dan Ki Hadjar Dewantara hadir dengan caranya sendiri dalam menyikapi ide STA. Dr. M. Amir lewat tulisannya yang panjang mengungkapkan ide utama pemikir-pemikir Barat bahwa kebudayaan dan kemegahan Barat yang sekarang dicapai lewat proses panjang dan bukan murni hasil dari intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialism. Kemegahan Barat juga hadir lewat jiwa-jiwa rohaniah yang dibawa agama dan filosofi Yunani kuno. Sehingga dalam mencontoh Barat, kenasionalan yang lama dibangun sebelum terbentuk bangsa Indonesia tetap tidak bisa dinafikkan.
Ki Hadjar Dewantara menyadari bahwa keinginan manusia terhadap pergantian adat adalah naluriah dan alamiah. Manusia menginginkan perubahan yang merupakan manifestasi keadaan “alam” dan “zaman” dan sebagai makhluk berakal, manusia memiliki kuasa untuk melakukan perubahan ini. Pertentangan pemikiran sebagai dampak dari kuasa tersebut harus didikapi secara positif karena masing-masing kubu yang saling bertentangan bermaksud baik.
Polemik terakhir yaitu Polemik III kembali lagi menyoroti masalah kebudayaan baru yang menurut STA harus sesuai dengan kebudayaan internasional dan oleh karena itu harus 100% berbeda dari kebudayaan nenek moyang. Dalam tulisannya yang berjudul “Pekerjaan Pembangunan Bangsa Sebagai Pekerjaan Pendidikan”, pendidikan sebagai media pengantar ide harus mampu membawa generasi muda Indonesia ke kondisi tersebut. Sedangkan Dr. M. Amir dalam menanggapi pernyataan STA hadir dengan argumen bahwa bangsa Indonesia harus memperhatikan dan mempertahankan budayanya karena itu yang menjadi pokok dan memberi definisi pada sebuah bangsa.
Kumpulan tulisan dari ketujuh pemikir di zaman sebelum kemerdekaan ini bukan menunjukkan perpecahan namun justru merupakan bukti bahwa para cendekiawan saat itu hadir dan menawarkan ide yang menurut masing-masing dari mereka sesuai untuk membangun bangsa Indonesia yang masih sangat muda. Pertentangan ide membuktikan adanya energi positif sebagai hasil dari proses berpikir. Semuanya mati-matian mempertahankan gagasan atas dasar kebaikan bagi bangsa Indonesia. STA yang Barat sentris percaya bahwa modernisasi adalah tujuan yang harus diraih oleh bangsa Indonesia yang baru lahir. Ketertinggalan dengan negara-negara maju lain yang sudah merdeka harus dikejar. Satu-satunya cara untuk bisa menjadi mereka adalah berpikir dan berlaku menjadi mereka. Pemikir yang lain seperti R. Sutomo berpendapat bahwa sebagai orang Timur, kebudayaan Timur harus mendapat tempat penuh. Pendidikan pun harus disampaikan dengan cara Timur karena sifatnya yang menjiwai semangat dan kekhasan masyarakatnya yang komunal. Pemikir yang lain menawarkan sebuah penggabungan antara Barat dan Timur. Menggabungkan saripati Barat lewat civilization yang termanifestasi dalam teknik dan culture Timur yang menjadi akar dan tak terpisah dari bangsa dan budaya Indonesia. 
Menarik juga ketika ide yang disampaikan hampir 80 tahun yang lalu masih relevan dengan keadaan saat ini. Saat ini orang mempermasalahkan efek buruk globalisasi yang menggerus budaya nasional dan semakin membawa bangsa ini meninggalkan kearifan lokal dan nasional. Cita-cita nasional dan kerjasama bukan menjadi prioritas lagi. Orang lebih tertarik untuk berjuang secara individu dan meningkatkan kualitas pribadi.
Polemik Kebudayaan adalah salah satu bukti bahwa Indonesia pernah punya pemikir hebat yang berusaha memberikan definisi pada bangsa ini di kehidupan mendatang. Mereka mempunyai kepercayaan bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa besar dan oleh karena itu konsep tentang berbudaya pun penting untuk dirumuskan. Padahal saat itu nama Indonesia sebagai sebuah negara belum ada. Ia baru dideklarasikan 10 tahun kemudian. Beberapa dari pemikir Polemik Kebudayaan tersebut sudah berpulang ketika akhirnya bangsa yang mereka cita-citakan punya wadah untuk membuktikan dan mewujudkan cita-citanya. Tapi gaung pemikiran mereka tak akan pernah padam ditelan zaman karena ketulusan, kepercayaan dan dedikasi mereka pada bangsa yang dulu masih muda ini. Selamat membaca!

Kamis, 14 Februari 2013

PUISI HUJAN


Waktu hujan
Kata seakan mengejan
Keluar lewat sudut-sudut jari
Bagai berlari

Waktu hujan
Kepala berdenyutan
Menyusun kata-kata dalam lini
Puisi ini pun jadi

Selepas hujan jam tiga pagi
Ada suara gemeletuk gigi
Ataukah suara lesung beradu dengan padi?
Ahh, aku ingat puisiku yang tadi.



Rabu, 13 Februari 2013

TROTOAR


Tidak bisa naik motor di Jogja bisa jadi sebuah kutukan. Dan kutukan ini adalah kutukan untuk selalu berjumpa dengan wajah-wajah heran dan mengejek. Itu bisa ditanggungkan. Yang lebih buruk adalah ketika memutuskan berjalan kaki di sekitaran Jogja. Cobalah untuk berjalan barang setengah kilometer, pasti ada saja trotoar rusak tak layak dilewati atau kendaraan baik mobil maupun motor yang tidak mau mengalah. Sepertinya berjalan kaki, entah karena tidak bisa naik motor, memilih untuk menggunakan jasa transportasi umum, atau ingin berjalan kaki saja tanpa ada alasan tertentu kecuali karena senang, mendapat gangguan yang beragam di kota Jogja.
Sebagai seorang pejalan kaki, saya mulai muak dengan kota Jogja. Mulai dari infrastruktur bagi pejalan kaki yang tidak karuan sampai mental para pengguna jalan yang pantas dipertanyakan. Masalah ini tidak main-main. Bagi orang yang tidak terbiasa jalan kaki, mereka tidak akan pernah menyadarinya. Namun bagi pejalan kaki, 2 masalah tersebut membuat mereka merasa dianaktirikan sebagai sesama pengguna jalan.
Sebagai contoh, rute saya tiap Selasa sore setelah maghrib dimulai dari studio RRI di jalan Ahmad Jazuli melewati gereja Kotabaru, SMA 3, Gramedia, dan Trans Jogja di depan RS. Dokter Yap. Jalan kaki sore hari adalah kegiatan favorit sebagian besar orang. Saat itu tidak ada gangguan sinar matahari yang terik dan lampu-lampu kota yang menghiasi berbagai macam gedung adalah pemandangan apik yang sangat sayang untuk dilewatkan di sore menjelang malam. Sayangnya, kenikmatan yang seharusnya didapatkan dengan berjalan kaki terganggu dengan tidak ramahnya infrastruktur  di sepanjang jalan tersebut. Dimulai dari Jalan Amat Jazuli sampai gereja Kotabaru, trotoar bukan lagi tempat berjalan kaki yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Sebagian besar badan trotoar sudah penuh dengan pedagang, mulai dari makanan sampai helm. Tidak ada ruang sama sekali yang tertinggal untuk pejalan kaki.
Kalau pun ada, pejalan kaki harus siap bertemu dengan pedagang yang menutup akses ke badan trotoar sehingga mau tidak mau pejalan kaki harus mengalah dan turun ke jalan. Mulai dari sini, siapapun pejalan kaki itu, dia harus mulai hati-hati dan konstan tengok kanan kiri depan belakang kalau tidak mau disambar motor yang tiba-tiba nyelonong dari depan atau ngebut dari belakang. Jangan bayangkan profil pengendara motor atau mobil yang ramah mau mengalah untuk memberi ruang bagi pejalan kaki. Yang ada adalah pengguna kendaraan bermotor yang memacu kendaraan dengan kecepatan stabil. Walhasil, yang harus mengalah adalah pejalan kaki yang apabila mau menyeberang harus menunggu jalan benar-benar sepi yang berdasarkan premis soal keramaian di Jogja, itu tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah merentangkan tangan saat ada jeda sambil berlari-lari kecil dengan gesture tengok kanan kiri.

Masalahnya kemudian adalah, bagaimana kalau pejalan kaki tersebut adalah orang tua? Saya sering melihat di mana ada orang tua yang menyeberang diklakson berkali-kali oleh pengendara motor dan mobil yang tidak sabaran. Namanya juga orang tua. Kegesitan otomatis berkurang, apalagi keawasan. Inilah salah satu alasan mengapa peraturan untuk mendahulukan pejalan kaki dibuat. Tapi di Jogja, peraturan tersebut menguap seiring bertambah banyaknya jumlah motor dan mobil di Jogja dan semakin berkurangnya jumlah orang yang berjalan kaki. Sebegitu banyaknya motor dan mobil yang berseliweran, mereka berebut ruang untuk diri mereka dan melupakan satu anggota pengguna jalan lain yang juga berhak untuk dihormati: pejalan kaki.
Sepertinya kalau sudah menyangkut lalu lintas kota Jogja, hal sepele bisa berubah menjadi pertikaian. Saya sering melihat orang yang serempetan atau bertabrakan karena gaya berkendara yang ugal-ugalan. Tentu saja tidak ada dari kedua belah pihak yang mau dipersalahkan karena mereka merasa paling benar. Apalagi kalau sudah menyangkut pejalan kaki. Saya pernah melihat seorang perempuan ditabrak sebuah motor dari samping. Si penunggang motor bukannya minta maaf malah membentak-bentak si perempuan yang hanya bisa melongo dan kemudian sadar untuk membentak balik. Terang saja. Mbak itu sudah berjalan sesuai aturan di trotoar. Saat asyik berjalan, tiba-tiba saja sebuah motor memotong jalannya untuk masuk ke sebuah gang kecil di antara trotoar dengan kecepatan tinggi.
Selain faktor manusia yang secara sadar melanggar peraturan dengan tidak mengindahkan larangan berjualan di trotoar atau pengendara kendaraan bermotor yang asal, ada satu hal terkait infrastruktur bagi pejalan kaki yang miskin perhatian, yaitu kondisi trotoar untuk berjalan kaki. Karena jumlah kendaraan semakin bertambah, sepertinya pemerintah hanya berinisiatif untuk memperbaiki jalan raya, bukan trotoar. Kondisi trotoar banyak yang memprihatinkan, entah karena sudah gerimpil dan rusak digerus waktu atau faktor manusia maupun terkena korban pelebaran jalan. Mau tidak mau pejalan kaki harus berjalan kaki di jalan raya yang membahayakan keselamatan mereka karena kesadaran pengguna kendaraan bermotor yang minim.
Saya masih berharap pada pemerintah Jogja walaupun harapan itu semakin kabur seiring berjalannya waktu. Mirip seperti kondisi trotoar yang semakin rusak karena tidak ada yang memperhatikan. Yang perlu diketahui, masih banyak warga yang memilih untuk berjalan kaki dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi di Jogja. Ada juga komunitas pejalan kaki yang belum lama mengadakan kegiatan jalan kaki Jogja-Prambanan. Saya percaya bahwa salah satu indikator kota yang nyaman untuk ditinggali adalah adanya pejalan kaki yang merasa aman dan nyaman berjalan kaki di seputaran kota tanpa takut tiba-tiba diseruduk motor ngebut. Sering saya membayangkan betapa enaknya berjalan di kota-kota besar dunia yang punya trotoar besar, bersih, nyaman dan ramah terhadap pejalan kaki, seperti New York, Singapura, atau London. Semoga Jogja pun bisa suatu saat mewujudkannya. Tapi masih lama ya?

Senin, 11 Februari 2013

PERPUSTAKAAN



Sejak kecil saya gemar membaca, terutama karya sastra. Di SMP saya mulai kenal dengan sastrawan era Pujangga Lama sampai dengan 60an karena guru bahasa Indonesia saya mewajibkan semua murid yang diampunya untuk membaca paling tidak 5 karya sastra dari era-era tersebut selama satu semester. Tugas tersebut telah menimbulkan sebuah kecintaan mendalam pada karya sastra Indonesia yang tidak lekang sampai sekarang.
Jarang sekali saya membeli buku sastra. Lebih banyak saya mendapatkan koleksi-koleksi karya sastra lewat perpustakaan daerah atau perpustakaan kota. Hanya dengan bermodal uang pendaftaran kurang dari 5 ribu rupiah, foto copy identitas, dan selembar foto, saya bisa dengan gratis membaca dan membawa pulang buku yang saya pinjam. Masa peminjamannya pun lumayan lama. Di perpustakaan daerah di mana saya tinggal, meminjam sampai melewati masa pinjam pun tidak didenda. Pernah saya meminjam sebuah buku sampai 5 bulan dan tidak diminta untuk membayar sepeser pun.
Pelayanan pegawai perpustakaan juga rata-rata ramah dan helpful. Tidak pernah saya memiliki pengalaman buruk dengan pegawai perpustakaan. Well, sebenarnya pernah sekali terjadi saat saya masih kuliah. Perpustakaan fakultas saya memiliki seorang pegawai yang menyebalkan karena membentak saya gara-gara dia tahu saya orang Jawa tapi tidak memakai bahasa Jawa ketika berbicara dengannya. Saya hanya bisa melongo dan mencak-mencak kemudian.  Selain pengalaman menyebalkan tersebut, secara umum saya tidak pernah punya masalah dengan para pegawainya dan malahan merasa berterima kasih karena cukup membantu saat ada kesulitan.
Dari tahun ke tahun, selain pelayanan dari sisi sumber daya manusianya, penataan ruang dan fasilitas juga mengalami peningkatan. Saya acungi jempol kepada para petinggi pemerintah yang mempunyai ide untuk selalu meningkatkan kualitas satu ini. Bangunan yang baru, susunan meja dan kursi yang nyaman, pemasangan AC, ketersediaan wifi dan internet adalah beberapa di antaranya.
Sayangnya di antara semua itu saya masih merasakan adanya kekurangan. Walaupun fasilitas dan pelayanan semakin meningkat, namun koleksi buku-buku di perpustakaan terasa jauh masih kurang. Sering sekali saya tidak bisa menemukan buku yang saya cari. Seumpama terdiri dari beberapa seri atau episode, saya hanya bisa menemukan beberapa di antaranya, tidak pernah lengkap. Saya curiga kalau perpustakaan-perpustakaan ini kurang peka dengan terbitnya buku-buku baru. Sepertinya mereka tidak memiliki sumber yang menyediakan informasi tentang buku-buku baru. Hal ini menyebabkan sering kecewanya pengunjung.
Saya sadar bahwa penerbitan buku, terutama buku sastra yang memenuhi kriteria tulisan sastra, di Indonesia memang tidak bisa dibandingkan kuantitasnya dengan negara-negara lain. Bahkan dengan Malaysia saja Indonesia kalah dalam jumlah penerbitan padahal Indonesia lebih kaya dalam bahasa, seni, dan juga budaya yang bisa dijadikan bahan tulisan. Apakah ini ada hubungannya dengan minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah sehingga penambahan buku di perpustakaan secara rutin pun akan percuma karena jumlah orang yang tertarik untuk menulis dan membaca serta berkunjung ke perpustakaan masih teramat rendah? Kalau memang itu yang menjadi masalah, seharusnya badan perpustakaan daerah tidak lalu memutuskan untuk tidak peka terhadap penerbitan buku baru karena masih banyak orang-orang yang mengandalkan perpustakaan sebagai sumber informasi sastra.
Banyak buku-buku yang berlabel sastra tapi jauh dari kriteria sebutan buku sastra mulai membanjiri toko-toko buku sejak beberapa tahun yang lalu. Generasi muda zaman sekarang lebih tertarik dengan buku-buku semacam itu. Dengan tema percintaan, penggunaan bahasa gaul, dan cerita yang kurang berbobot, banyak orang terpikat. Yang harus disadari, di samping buku-buku tersebut, masih ada juga buku-buku sastra yang memenuhi kriteria penulisan dalam bahasa Indonesia yang juga layak untuk diperhatikan walaupun jumlahnya terbatas. Sebagai salah satu sumber informaasi sastra tulis yang masih diandalkan sebagian masyarakat, perpustakaan seharusnya menambah koleksi buku-buku tidak hanya berdasar pada ketertarikan mayoritas masyarakat, namun perpustakaan harus menyediakan sebanyak mungkin jenis buku sastra yang memang dirasa perlu untuk ditempatkan di rak-rak buku berlabel “sastra”.
Generasi muda memang mayoritas tidak tertarik untuk membaca buku, apalagi buku sastra yang berat karena tidak menggunakan bahasa gaul. Tapi masih ada juga golongan minoritas yang jatuh cinta dengan buku-buku sastra dan masih berharap adanya kesempatan untuk bisa menemukan buku-buku sastra kualitas bagus di perpustakaan yang sering mereka kunjungi. Bukankah ini tugas pemerintah lewat badan perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut? 

Sabtu, 09 Februari 2013

VALENTINE



Selama hampir 24 tahun hidup di dunia, belum pernah sekali pun saya merayakan hari Valentine dengan pasangan. Hal ini karena saya belum pernah punya pacar. Memang terdengar aneh kalau ada orang yang jomblo seumur hidup. Tapi itu tidak menghalangi saya untuk merayakan hari Kasih Sayang dengan orang terdekat.
Perayaan Valentine pertama saya berlangsung kala saya kelas 1 SMP. Saat itu teman-teman heboh membawa coklat. Satu orang bisa membawa 4-5 coklat dan mereka membagikannya pada pacar dan teman-teman terdekat. Saya memberikan 3 buah coklat saya untuk 3 sahabat perempuan yang kebetulan satu kelas. Sebagai gantinya, saya juga menerima 3 buah coklat dari mereka. Namun pulangnya, di tas saya ada 5 coklat karena saya mendapatkan 2 coklat secara cuma-cuma dari 2 teman OSIS. Senangnya karena tidak perlu memberi balik.
Tradisi membeli dan memberikan coklat saya pertahankan sampai sekarang tiap hari Valentine tiba. Bedanya, saya tidak memberikannya pada teman-teman lagi seperti dahulu. Saya membeli coklat untuk ibu saya. Khusus hanya untuk Beliau. Dan coklat yang saya beli dan hadiahkan pada Beliau selalu bervariasi. Kadang donat coklat, tahun berikutnya permen coklat, dan kemudian kue coklat. Tidak pernah saya membelikan Ibu coklat batangan karena Beliau tidak suka coklat.
Selama tahun-tahun terakhir ini, saya terkadang mengkombinasikannya dengan hadiah-hadiah kecil seperti bros atau daster. Hampir seperti memberikan hadiah ulang tahun. Bedanya hanya tidak ada kue tart, lilin, dan kartu ucapan selamat ulang tahun. Belum terpikir untuk menghentikan kebiasaan setiap hari Valentine ini karena saya senang memberi surprise pada Ibu saya. Sebenarnya Ibu bisa saja bersikap biasa karena ia pasti tahu kalau tiap Valentine selalu ada hadiah yang menunggunya. Namun ia selalu gembira. Entahlah apakah Ibu pura-pura atau benar-benar merasa surprised dengan hadiah-hadiah itu saya pun tidak tahu.
Sebagai imbalan, Ibu akan memasakkan makanan favorit saya atau mengajak saya makan malam di luar. Pada waktu itu, saya tak perlu mengatakan bahwa saya amat menyayanginya karena Ibu tahu bahwa Beliau lah satu-satunya orang yang menerima hadiah dari saya di hari Valentine. Untuk tahun ini, saya juga telah menyiapkan surprise untuknya. Semoga Ibu tidak pernah bosan dengan tradisi ini. 

Minggu, 03 Februari 2013

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 1




Tiap daerah di Nusantara punya sejarahnya sendiri. Sejarah tersebut dibentuk dari beratus tahun pergolakan berdarah atau perdagangan dengan berbagai bangsa. Misalnya, jadi ada yang patut untuk dikenang saat melintas di dekat muara Ciliwung. Mungkin saja tempat kita berdiri dulu adalah tempat berdirinya sebuah tiang batu bertulis peninggalan orang Portugis. Pun ketika kita berjalan di antara pencakar langit kota Surabaya. Patut disyukuri bahwa para pahlwan lah yang membuat semua bukti modernisasi itu mungkin untuk dinikmati. Itulah kira-kira yang ingin disampaikan lewat buku karangan Rosihan Anwar ini. Sejarah panjang yang dilewati bangsa ini dibentuk tidak hanya dari sejarah-sejarah besar namun juga terdiri dari hal-hal kecil di masa lalu yang sering dianggap remeh.
Buku setebal 316 halaman ini terdiri dari 13 bab yang menceritakan sejarah beberapa daerah di Indonesia. Memang tidak semua daerah di Indonesia disebut sejarahnya tapi jabaran ketigabelas daerah dalam buku ini cukup mewakili mengingat daerah-daerah tersebut memegang peranan penting dalam pahit manis perjalanan Nusantara sampai menjadi Indonesia. Ketigabelas daerah itu adalah: Timor Timur, Maluku, Aceh, Nias, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Bengkulu, Banten, Kep. Kokos, Jawa Barta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Rosihan Anwar yang rajin membaca, mencatat, dan menuangkan hasil pemikirannya dalam berbagai macam tulisan yang tak terhitung jumlahnya mengumpulkan beberapa tulisan yang pernah dibuatnya di masa lalu dan membuatnya menjadi buku. Selain tulisan pribadinya, wartawan senior ini juga mengutip berbagai fakta sejarah dari buku-buku yang kebanyakan berbahasa Belanda. Buku ini menjadi kaya akan referensi dan menarik untuk dibaca karena mengungkap fakta-fakta sejarah kecil yang biasnya luput dari pembahasan padahal kaya akan pernak-pernik menarik yang memperkaya sejarah besarnya. Ini sesuai dengan judulnya, “petite histoire”, yang berarti sejarah kecil.
Karena berisi fakta sejarah yang bisanya luput untuk dikupas, pembaca pada akhirnya malah berkesempatan untuk mengetahui hal-hal menarik. Tidak banyak yang tahu kalau nama daerah Menteng di Jakarta diambil dari nama komisaris Hindia Belanda yang ditempatkan di Palembang dan Bangka, Muntinghe. Atau kalau untuk saya pribadi, saya shocked saat mengetahui bahwa Rangkayo Rasuna Said yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Jakarta adalah seorang wanita orator ulung dari ranah Minang. Sebelumnya saya selalu mengira bahwa ia adalah seorang pria.
Setiap bab selalu dibuka dengan cuplikan berita di surat kabar mengenai kondisi terkini daerah terkait. Setelah itu Rosihan mulai menuturkan sejarah daerah tersebut. Teknik tersebut efektif untuk menggiring pembaca membayangkan keadaan terkini secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya di sebuah daerah dan perlahan menyelami keadaannya dari mulai beratus-ratus tahun sebelumnya. Terasa ada romantika yang muncul karena munculnya perbandingan. Masa lalu seperti biasa menjadi topik yang menarik untuk dikenang walaupun tidak semuanya merupakan kisah yang manis.
Bab favorit saya adalah bab berjudul “Jawa Barat: Sejarah Campur Sari Tiga Zaman” yang menyajikan fakta-fakta sejarah mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman mempertahankan kemerdekaan. Rosihan Anwar mengutip banyak tulisan asing berbahasa Belanda sebagai sumber tulisannya. Salah satunya adalah tulisan wartawan-sejarawan bernama Joop van den Berg yang rajin menelusuri pasar barang-barang antik di Belanda untuk berbelanja manuskrip atau dokumen di zaman Hindia Belanda. Penemuannya ia kombinasikan dengan catatan di perpustakaan dan kemudian melahirkan sebuah kumpulan “petite histoire” berjudul De Wayang Fox-trot-Sporen uit een Indisch verleden yang diterbitkan tahun 1992. Di dalamnya banyak laporan tentang kejadian sehari-hari yang mampu untuk menggambarkan kehidupan masyarakat di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Salah satunya adalah data tentang pendapatan dan pengeluaran sebuah keluarga Indo-Belanda yang kepala keluarganya bekerja sebagai pegawai Staats Spoorwegen (SS) atau Jawatan Kereta Api di daerah Bandung. Joop menuliskan data tersebut berbekal sebuah buku keuangan keluarga tersebut yang ditemukannya di pasar loak. Dari sana, bisa diperkirakan kehidupan ekonomi keluarga Indo-Belanda yang hidup di zaman tersebut.
Rosihan Anwar juga menceritakan kehidupan seorang pengarang Belanda bernama Edgar du Perron yang lebih dikenal dengan nama Eddy du Perron. Ia adalah penulis biografi Multatuli berjudul De Man van Lebak dan Multatuli: Twede Pleidooi . Ia juga penulis roman dan esai. Selain itu, ia juga pernah menulis surat terbuka kepada Sutan Sjahrir yang menyatakan pandangan pribadinya kepada perjuangan Sjahrir yang saat itu sedang dalam pembuangan di Banda Neira. Sjahrir adalah tokoh nasionalis yang dihormatinya dan dengan itu pembaca bisa tahu bahwa ada juga totok yang bersimpati dengan perjuangan mencapai kemerdekaan. Tidak semua totok menentang perjuangan para bapak bangsa pada saat itu.
Masih ada 12 bab lain yang layak untuk dijadikan bab favorit. Buku ini berjasa banyak bagi generasi sekarang untuk menghadirkan sejarah-sejarah kecil yang mulai tenggelam ditelan arus zaman. Dengan membacanya, pembaca akan mengingat bahwa bangsa yang sedang terpuruk karena rentetan masalah ini dulunya memiliki peradaban agung. Ia juga bisa bangkit dan melawan penindasan dan segala ketidakadilan di zamannya. Sangat besar pembelajaran yang bisa dipetik. Mulai dari berpikir positif bahwa bangsa ini tidak pernah lelah berjuang sebesar apapun musuhnya. Selamat membaca! 

Sabtu, 02 Februari 2013

GARIS BATAS



Bagi yang sudah membaca kaya pertama Agustinus Wibowo tentang perjalanannya ke Afghanistan yang tertuang dalam buku berjudul Selimut Debu, Garis Batas adalah lanjutan perjalanan tersebut ke negara-negara kawasan Asia Tengah. Asia Tengah yang selama ini masih jarang terdengar gemanya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena namanya yang hampir serupa, dengan akhiran “stan”, menampilkan pesona eksotikny lewat tulisan Agustinus Wibowo, sekaligus juga realita yang tidak seindah bayangan orang kebanyakan.
Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan adalah negara-negara yang mungkin dalam bayangan sebagian orang di Indonesia sulit untuk diimajinasikan. Yang pertama kali terpikir mungkin gadis-gadis Uzbekistan yang terkenal dengan kecantikannya dan diperistri oleh beberapa orang Indonesia. Orang tidak sampai berpikir bahwa kelima negara tersebut, sebagai pecahan dari Uni Soviet, memiliki nasib yang sangat berbeda satu sama lain. Tidak semuanya maskmur, pun juga tidak semuanya miskin. Tebal buku ini 510 halaman dan disisipi oleh beberapa lembar halaman berwarna untuk menunjukkan beberapa foto koleksi penulis yang bisa mewakili keindahan dan kehidupan masyarakat kelima negara tersebut.
Perjalanan dimulai dari Tajikistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan dan dipisahkan oleh sungai Amu Darya. Amu Darya disebutkan berkali-kali dalam buku ini, juga dalam Selimut Debu karena sungai ini menciptakan aliran-aliran yang membelah wilayah-wilayah di Asia Tengah. Beberapa alirannya dijadikan garis batas antar negara. Tajikistan yang memiliki salah satu alirannya bukanlah negara maju. Kemiskinan di negara ini masih diperparah dengan tingkat korupsi yang tinggi. Penulis memiliki beberapa pengalaman buruk dengan parahnya birokrasi di negara tersebut.
Kirgiztan yang dihuni oleh bangsa Kirgiz yang berciri fisik seperti ras mongoloid mengalami benturan dengan etnik Uzbek yang juga menetap di sebagian wilayah negara tersebut. Kedua etnis terlibat tarik ulur hubungan yang sering berakhir pada pertikaian berdarah yang menewaskan banyak warga di kedua kubu. Kazakhstan adalah raksasa baru Asia Tengah yang bersinar dengan tambang minyak di Laut Kaspia dan gas alam. Kemakmuran negara ini menjadikan harga-harga barang melonjak naik dan menciptakan jurang yang menganga lebar antara si kaya dan si miskin.
Ada juga negara yang larut dalam romantisme masa lalu seperti Uzbekistan. Negara yang memuja pahlawan-pahlawan dari zaman kuno ini memiliki mata uang yang nilainya terus turun dan menimbulkan tingkat kriminalitas serta korupsi yang tidak kalah dari Tajikistan. Sedangkan Turkmenistan adalah negara sosialis yang diperintah oleh seorang diktator yang sosoknya dipuja dan perkataannya dijadikan pedoman dalam bertingkah laku.
Namun kelima negara juga menyimpan kebudayaan agung yang masih masih kuat dianut dan dipertahankan oleh masyarakatnya. Membaca buku ini mengingatkan kita pada romantisme masa jaya Jalur Sutra di mana pedagang dan kafilah dari penjuru dunia hilir mudik dan menciptakan kota-kota dengan kebudayaan agung. Keagungan itu tidak pernah benar-benar hilang walaupun telah tergerus waktu dan konflik. Sayangnya keberanekaragaman itu telah dibuat semakin nyata dan eksklusif dengan adanya batas-batas yang kemudian dibuat untuk menegakkan eksistensi bangsa tertentu dan menafikkan bangsa dan kebudayaan yang lain. Perjalanan Agustinus Wibowo memang terkadang terkendala dengan batas-batas tersebut, namun ia mengamini bahwa zaman telah jauh berubah. Jauh meninggalkan romantisme masa lalu. Namun masih ada keindahan di antaranya yang membuat perjalanan Agustinus Wibowo ini layak untuk disimak dan diresapi.

SELIMUT DEBU



Afghanistan tentu bukan negara idaman para backpacker atau traveller untuk dikunjungi. Perang bertahun-tahun di negara bekas jajahan Uni Soviet ini telah rajin menghiasi layar kaca. Berita tentang bom bunuh diri dan keganasan Taliban menjadi momok ampuh bagi para pelancong unuk tidak memasukkan negara ini dalam destination list mereka. Namun berbeda dengan Agustinus Wibowo. Ia malah tertantang untuk menggali petak demi petak tanah Afghanistan untuk mencari tahu apakah benar memang tidak ada lagi keindahan yang patut dinikmati di sana karena semua celah seolah telah tertutup perang dan kemiskinan. Hasil dari rasa ingin tahu dan keberanian itu tertuang dalam buku berjudul Selimut Debu setebal 461 halaman yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan di blog pribadinya setelah mengalami proses editing beberapa kali.
Pertama-tama, pembaca harus tahu bahwa buku ini bukanlah hasil perjalanan ke wilayah makmur yang penuh dengan selebrasi penulis yang sibuk berpamer ria tentang bangunan-bangunan termasyur yang dikunjungi. Bukan pula tentang tips dan tricks menyelenggarakan liburan di Afghanistan. Tulisan ini membawa kita untuk menyelami kehidupan masyarakat Afghanistan dan hubungan mereka dengan khaak dan watan, negeri dan tumpah darah mereka. Agustinus Wibowo punya cara sendiri dalam bertutur yang membuat pembaca merasa dekat dengan rakyat Afghanistan dan mengerti penderitaan, mimpi, juga rasa bangga yang mereka rasakan. Ia menonjolkan sisi humanis dari negara yang selama bertahun-tahun bergumul dalam perang dan menyisakan kemiskinan bertaraf massive di antara penduduknya.
Saya setuju dengan Maggie Tiojakin yang menyampaikan kata pengantar untuk buku ini bahwa Agustinus Wibowo bukan hanya seorang traveller. Ia seorang explorer. Perjalanan yang dimulai dari Peshawar, daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan, yang dipenuhi pengungsi Afghanistan sampai ke provinsi Ghor yang dilanda kekeringan dan gagal panen hampir sepanjang tahun membuat pembaca yang sedang membaca di atas sofa empuk mungkin menjadi tidak nyaman. Tapi memang itu yang ingin disampaikan oleh penulis. Dengan tidak bermaksud menggurui, ia membawa kita menelusuri kenyataan yang selama ini mungkin hanya bisa diraba lewat imajinasi, bahwa Afghanistan itu A, B, dan C. Afghanistan ternyata masih punya mimpi yang masih dicoba untuk diwujudkan. Debu yang memenuhi udara negara ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Afghanistan dan mereka berjuang untuk tiap bulir “khaak” atau debu yang  terhirup dalam nafas.
Selain konflik ideologi, Afghanistan juga berkonflik dengan sesama bangsa sendiri karena bangsa ini terdiri dari berbagai etnik yang saling mencurigai. Etnik Pashtun mengatakan kalau etnik Hazara pemalas, sedang Hazara mengatakan bahwa Tajik tidak bisa dipercaya, sementara Tajik percaya bahwa Pashtun tidak bermoral dan seterusnya yang tidak akan pernah berhenti. Namun bangsa Afghanistan juga dikenal sebagai bangsa yang sangat memuliakan tamu. Padahal bangsa ini sangat miskin karena hamper tidak ada pekerjaan dan uang yang berputar. Belum lagi infrastruktur yang rusak parah. Roda ekonomi berjalan tersendat-sendat. Afghanistan adalah sebuah negara yang kembali lagi ke masa berpuluh-puluh tahun silam di mana telepon adalah barang sangat mewah. Namun semiskin apapun mereka, tidak akan pernah mereka memperlakukan tamu dengan semena-mena. Tamu harus dijamu dan diperlakukan seperti raja.
Masih banyak tradisi dan budaya yang Agustinus Wibowo hadirkan di tulisannya. Beberapa di antaranya adalah burqa yang dipakai oleh hampir semua wanita Afghanistan, bachabazi atau homoseksualitas di kalangan etnik Pashtun, sampai dengan sekte Ismaili yang merupakan pecahan Syiah. Buku ini membawa pembacanya pada sebuah pemahaman dari sudut pandang bangsa Afghanistan. Penulis tidak menghakimi, ia malah menuntun kita untuk berpikir dan merasa, melewati realita yang keras dan penuh syak wasangka bersama rakyat Afghanistan. Buku ini layak dibaca karena menyajikan sebuah petualangan yang lengkap. Penulis turut menangis, tertawa, bangga, dan terkoyak bersama dengan Afghanistan dan ia menyampaikan semua jenis perasaan itu dengan para pembacanya dengan sangat indah. Selamat membaca!