Senin, 29 April 2013

RARA MENDUT: SEBUAH TRILOGI



Pencarian saya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Menemukan buku karangan Y.B. Mangunwijaya ini nyempil di antara buku-buku di rak kesusastraan Perpustakaan Kota membuat saya tanpa pikir panjang mengambil dan meminjamnya. Saya baru menyadari betapa tebalnya novel ini saat bersiap memasukkannya dalam ransel. 802 halaman yang berisi tiga cerita: Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Ketiganya digabung dalam sebuah novel berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi. Konsepnya seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang juga terdiri dari tiga cerita.
Sebelum disusun sebagai sebuah novel, Rara Mendut terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas tahun 1982 kemudian dibuat menjadi sebuah film tahun 1983. Inti cerita novel ini adalah perjuangan tiga orang wanita Jawa di zaman Sultan Agung dan Amangkurat untuk mencari kebahagiaan. Maklum ketiganya tinggal di wilayah kraton dan semua wanita yang tinggal di wilayah kraton dianggap sebagai milik sang raja. Belum lagi fakta bahwa wanita di zaman tersebut dianggap lancang apabila memiliki cita-cita untuk menentukan nasibnya.
Tahun 1600an atau abad 17 adalah masa di mana raja Jawa Sultan Agung memiliki kekuasaan penuh atas hampir seluruh pulau Jawa kecuali Betawi yang dikuasai Belanda dan Banten, sebuah kesultanan Islam di ujung barat pulau Jawa yang menolak tunduk pada kekuasaan Mataram namun Sultan Agung sendiri pun segan untuk menyerang karena persamaan agama di antara keduanya. Sultan Agung dikenal sebagai raja yang bijaksana namun gemar melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang belum mengakui kedaulatannya. Banyak pembesar setempat yang kurang setuju dengan tindakannya dan memutuskan untuk melakukan makar. Di tengah panasnya situasi inilah karakter Rara Mendut muncul.
Posisinya sebagai calon selir Adipati Pragola di Pati berubah menjadi wanita rampasan perang yang kemudian harus menetap di harem seorang tumenggung Mataram yang terkenal digdaya di medan pertempuran, Wiraguna. Rara Mendut secara pribadi memang dipilih oleh sang tumenggung dengan persetujuan Sultan Agung untuk tinggal di dalem Wiragunan, puri sang tumenggung, untuk dijadikan selir. Wiraguna yang tergila-gila dengan sang putri pantai berkulit sawo matang ini harus menunggu sementara waktu sampai sang Rara bersedia untuk digauli.
Dalam masa penantiannya, Wiraguna yang kesabarannya hampir hilang meminta Mendut untuk menyetor segepok uang atau ia harus mulai bersedia melayaninya. Dengan aturan ini, Wiraguna berharap Mendut luluh dan bersedia melakukan permintaannya. Sayangnya Mendut memutuskan untuk berjuang mencari keping-keping persembahan dengan jalan menjadi penjual puntung rokok di pasar. Gaya berjualannya yang tak biasa mengundang banyak orang yang penasaran dan legendaris. Rara Mendut hanya menjual puntung rokok yang telah dihisapnya dan ia tak pernah membiarkan orang luar melihat paras wajahnya karena itu ia berjualan dengan ditutup sebuah kerai warna merah muda. Rasa penasaran ini juga perlahan merambati seorang pemuda bernama Pranacitra, putra seorang Nyai saudagar di daerah pantai utara Jawa bernama Singabarong. Ia berhasil menyusup di balik kerai merah muda dan menyaksikan kecantikan Rara Mendut. Sang Rara juga jatuh hati dengan ketampanan sang pemuda. Asmara keduanya mencoreng muka sang Tumenggung yang kemudian memutuskan untuk memburu dan membunuh keduanya di tepi pantai Selatan.
Nama Genduk Duku di buku kedua mengacu pada seorang gadis remaja yang menjadi emban Rara Mendut sejak di istana Pati dan ikut diboyong ke puri Wiragunan di Mataram. Setelah menyaksikan kematian sang Rara yang sudah dianggapnya sebagai kakak dengan mata kepala sendiri, ia memutuskan untuk melarikan diri dan berlabuh di desa Telukcikal, desa asal Rara Mendut. Di sana ia menikah dengan pemuda setempat bernama Slamet yang berhati mulia.
Saat dalam perjalanan untuk merantau ke Cirebon, nasib membawa mereka untuk terlibat lagi dalam drama a la Mataram. Keduanya dipaksa menjadi rakyat jelata yang turut menjaga dan mengurusi rombongan yang mengantar beberapa tawanan Belanda dari Jepara ke ibukota Mataram. Setelah sampai di Mataram, keduanya mengunjungi Bendara Pahitmadu, kakak perempuan Tumenggung Wiraguna yang dahulu pernah menolong Genduk Duku setelah kematian Rara Mendut.
Perjalanan dilanjutkan untuk mengunjungi Putri Arumardi, selir Wiraguna, yang bersimpati pada Rara Mendut dan mendukung bersatunya ia dan Pranacitra. Bekerja sebagai abdi dalem, Genduk Duku kembali menyaksikan pengulangan kisah Mendut yang kini diperankan oleh seorang wanita muda bernama Tejarukmi. Tejarukmi harus menunggu dalam puri Wiragunan sebelum dianggap siap untuk melayani sang Tumenggung. Sayangnya ia keburu jatuh cinta dengan Putra Mahkota, Raden Mas Jibus, yang sekian lama juga telah menaruh hati padanya. Gayung bersambut. Wiraguna yang tak terima atas penghinaan tersebut tidak dapat berbuat banyak mengingat kali ini Putra Mahkota yang mencoreng namanya. Tejarukmi mati oleh keris Wiraguna saat ia membabi buta melampiaskan rasa malu dan murkanya yang juga direstui oleh Sang Susuhunan Mataram. Sayangnya Slamet turut menemui ajal lewat keris yang sama saat berusaha menyelamatkan Putri Arumardi dari Wiraguna yang saat itu sudah gelap mata.
Genduk Duku yang hampir gila menyaksikan kematian sang suami memutuskan untuk menjauh dari hingar bingar istana dan memilih tinggal di Bukit Tidar. Saat itu ia sudah melahirkan putri pertama dan satu-satunya yang bernama Lusi Lindri. Buku ketiga kemudian menceritakan kehidupan wanita muda yang atas persetujuan Genduk Duku dibesarkan di lingkungan istana di puri Tumenggung Singaranu, mantan dewan patih kerajaan di masa Sultan Agung.
Kehidupan Lusi Lindri yang menjadi inti buku ketiga diawali dengan penunjukannya menjadi salah satu Trinisat Kenya, pasukan pengawal Susuhunan yang terdiri dari 30 gadis. Posisinya sebagai anggota punggawa kerjaan yang paling dekat dengan raja Mataram memberinya akses yang cukup dekat pada sang Susuhunan sehingga ia diperintahkan menjadi telik sandi atau mata-mata bagi Tumenggung Singaranu yang mulai khawatir atas melemahnya Mataram karena dipimpin oleh seorang raja yang lemah dan hanya suka bersenang-senang.
Cinta masa remaja Lusi Lindri dilabuhkan pada seorang remaja tampan keturunan Belanda bernama Hans yang sayangnya harus kembali bersama keluarganya ke negeri Belanda setelah bertahun-tahun menjadi tawanan Mataram. Pada akhirnya pelabuhan cinta terakhir Lusi adalah seorang duda beranak satu bernama Peparing yang bertugas menjaga danau buatan Segarayasa namun masih keturunan Wanawangsa, sebuah klan pemberontak yang berdomisili di sekitar Gunung Kidul. Di masa awal pernikahan mereka, Peparing dan Lusi Lindri diutus untuk menjadi mata-mata di Batavia demi mengamati pergerakan pemerintah Belanda dalam hubungannya dengan pengaruhnya di istana Mataram. Mantan Putra Mahkota Raden Mas Jibus yang telah menjadi raja dan bergelar Amangkurat terkenal lunak dengan Belanda dan gampang takluk dikarenakan segunung hadiah yang diberikan oleh Gubernur Jenderal.
Keadaan ibukota Mataram yang semakin tidak menentu karena ruwetnya pemerintahan membuat Lusi dan Peparing memutuskan tinggal di wilayah Hutan Walada yang menjadi tempat tinggal Tumenggung Singaranu dan Pangeran Selarong setelah diasingkan oleh raja. Masa keemasan Mataram perlahan pudar di bawah pemerintahan Susuhunan Amangkurat. Calon penggantinya, yaitu Putra Mahkota Adipati Anom, menunjukkan gelagat memiliki hubungan baik dengan Belanda di Batavia. Sedang di daerah-daerah, pemberontak seperti Trunajaya dan Kajoran mulai mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Mataram.  
Pada akhirnya, Susuhunan Amangkurat melarikan diri sambil membawa pusaka kerajaan ke Imogiri saat para pemberontak mulai menyerang. Lusi Lindri dan Peparing yang tinggal di dekat puncak Bukit Kelir menyaksikan iring-iringan keluarga kerajaan bersama maharajanya yang telah kehilangan taring sejak lama. Cerita ditutup dengan kematian Genduk Duku di pangkuan Lusi Lindri saat keduanya bersama Peparing pulang sehabis menengok porak-porandanya istana Mataram.
Lewat novel sejarah ini, pembaca dapat mengambil pelajaran tentang keteguhan wanita yang memilih dan berjuang untuk merengkuh impiannya pada masa di mana peranan perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking. Ada banyak karakter perempuan kuat ditampilkan oleh Romo Mangun selain ketiga wanita yang namanya menjadi inti novel trilogi ini. Di antaranya Nyai Singobarong yang menjadi puan armada dagang di Pantai Utara Jawa yang kekuasaan dan pengaruhnya disegani oleh para saudagar dan pembesar. Ada juga karakter Putri Arumardi dan Bendara Pahitmadu yang menggunakan pengaruhnya untuk menolong. Sampai Ni Semangka, emban Rara Mendut, pun mendapat tempat tersendiri di novel ini karena dedikasi dan sifat penyayangnya. Secara umum, tokoh-tokoh wanita di novel ini adalah penggerak utama cerita yang tanpa mereka, cerita yang bersumber dari babad-babad kuno ini hanyalah milik para pria. Wanita mengayomi dan menghidupkan, dari mereka lahir kelembutan, kecantikan, namun juga keteguhan hati yang gaungnya dapat menimbulkan kedamaian namun juga peperangan.
Mata pembaca menjadi terbuka oleh banyak hal yang berkaitan dengan sejarah kerajaan Mataram di sekitar abad ke 17. Romo Mangun kembali meneguhkan bahwa sejarah kerajaan Jawa bukan tentang romantisme kejayaan sebuah dinasti yang gemah ripah loh jinawi, namun sebuah kekuasaan yang bertangan besi dan cenderung sewenang-wenang terhadap rakyat. Tidak sedikit bagian yang mengupas pembunuhan seorang demang atau tumenggung beserta seluruh kerabatnya sampai ke anak cicit hanya karena sang pejabat ditengarai lalai menjalankan tugas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nyawa manusia harganya lebih murah dibandingkan ayam. Kesalahan kecil yang tidak berkenan di hati Susuhunan bisa berakibat tumpasnya seluruh anggota sebuah keluarga tanpa menyisakan apapun selain nama.
Sultan Agung memang digambarkan sebagai raja yang bijaksana dan mengayomi rakyatnya namun keputusannya untuk menaklukkan daerah yang membangkang dan menolak tunduk sampai membumihanguskan keluarga pembesar setempat sampai ke akar-akarnya membuktikan bahwa sejarah kerajaan Jawa bukanlah sebuah peradaban yang agung namun penuh kebengisan. Raja Jawa adalah tipikal raja yang menggunakan rakyatnya untuk membantu memenuhi keinginan sang raja. Sabda raja adalah titah yang mutlak dijalankan tanpa mengenal kata gagal.
Dalam menggambarkan rakyat papa, Romo Mangun yang seorang humanis menyoroti sisi penderitaan mereka yang tak henti-henti dirasakan namun masih bersedia untuk mengabdi pada rajanya apabila diperintah. Mungkin memang tak ada pilihan lain. Namun peran rakyat jelatalah yang sesungguhnya teramat besar dirasakan dalam sebuah kerajaan besar yang dikelilingi oleh beribu pembantu. Rakyatlah sebenarnya tulang punggung utama dari mengalirnya kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan raja dan para pembesar. Menindas rakyat merupakan pengingkaran terbesar seorang pemimpin karena seperti kata Tumenggung Singaranu yang bijak, “Yang pantas kita abdi adalah rakyat. Kawula semua. Teristimewa yang masih menderita dan dibuat menderita.” Selamat membaca!

Senin, 15 April 2013

SUKARNO: PARADOKS REVOLUSI INDONESIA



Banyak sekali buku yang mengupas Soekarno, mulai dari pemikiran, sepak terjang dalam usaha kemerdekaan RI, kehidupan pribadi, sampai mistisisme. Penulis buku-buku tersebut tidak hanya dalam lingkaran orang Indonesia namun banyak akademisi luar negeri yang turut menggali kehidupan Sang Putra Fajar. Oleh karena banyaknya buku yang telah mengupas kehidupan Sukarno, tim penyusun buku ini sempat kebingungan menentukan bahan apa yang akan dijadikan salah satu isian dalam seri Bapak Bangsa edisi Sukarno. Akhirnya kesaksian Heldy Jafar, istri terakhir Bung Karno, menjadi hal baru yang diangkat dalam buku ini, walaupun porsinya pun hanya secuil. Lainnya didominasi oleh tulisan-tulisan yang umumnya sudah menjadi bahan di buku-buku lain tentang Sukarno. Jadi jangan heran kalau buku ini bisa dikatakan tergolong tipis untuk sosok sebesar Sukarno.
Menurut buku ini, Sukarno memiliki 9 istri sah yang cukup dikenal publik. Kesembilan wanita tersebut adalah: Oetari Tjokroaminoto (putri H.O.S. Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Dewi Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan Heldy Djafar.Yang tidak dikenal ditengarai ada beberapa, termasuk salah satu mantan hostesu Jepang bernama Sakiko yang bunuh diri pada 30 September 1959 karena Sukarno lebih memilih Dewi yang juga mantan hostesu. Tidak semua pernikahan tersebut langgeng dan dikaruniai keturunan.
Bung Karno memang dikenal sebagai penakluk wanita. Gelar internasionalnya adalah “Le Grand Seducteur”. Menurut Bambang Widjanarko, sang ajudan, daya tarik dan taraf intelektual Sukarno memikat banyak wanita. Heldy Jafar sebagai istri terakhir dinikahi Bung Karno saat usianya masih 18, setahun sebelum Soekarno jatuh dan dijadikan tahanan rumah. Beda usia di antara keduanya 48 tahun. Dalam penahanan, Bung Karno tak lupa mengiriminya sebuah surat pendek yang disertai dengan uang dan beberapa botol parfum. Dalam buku, foto dan teks surat tersebut dimunculkan.
Selain petualangannya dengan wanita, buku ini juga membahas masuknya Megawati dalam dunia politik. Awalnya Mega tidak sekali pun diprediksi akan meneruskan karir sang ayah. Justru Guntur, kakaknya, yang selama ini disebut mewarisi pesona dan jiwa politik sang Bung yang kelihatannya akan memasuki dunia yang sama. Mega mulai masuk ke dunia politik tahun 1987 saat Soerjadi, Ketua Umum PDI mengajaknya. Romantisme akan Sukarno lewat keberadaan Mega cukup mampu mendongkrak popularitas PDI yang kemudian malah membuat resah Soeharto. Berkomplot dengan Soerjadi, Soeharto mencoba menggulingkan Mega. Semuanya bermuara pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996.
Hal lain yang disinggung adalah kecintaan Bung Karno akan seni, terutama seni lukis. Bung Karno memilki koleksi sekitar 3000 karya seni. Pilihan Bung Karno adalah seni lukis beraliran romantik atau realistis, walaupun ia juga mengoleksi beberapa karya Affandi. Dalam mendukung dunia seni, Bung Karno berpedoman bahwa seni adalah kemerdekaan berekspresi yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan beberapa keputusannya di era Demokrasi Terpimpin.
Dari semua ulasan tentang Sukarno di buku ini, bagian paling menarik menurut saya ada di bagian akhir, yaitu “kolom-kolom” yang berisi esei tentang Sukarno dan ditulis oleh beberapa pakar. Mochtar Pabotinggi menyoroti kesalahan utama Sukarno yang membubarkan Konstituante yang saat itu sudah hampir selesai menyelesaikan konstitusi dan malah memberlakukan kembali UUD 1945. Padahal Sukarno mengakui bahwa konstitusi sebelumnya dibuat dengan tergesa-gesa dan darurat sehingga dibutuhkan adanya konstitusi baru yang disusun secara hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini memuluskan praktek demokrasi a la Orde Baru yang kemudian menggantikan Demokrasi Terpimpin. Tanpa konstitusi negara yang kuat, Orde Baru leluasa merongrong hak warga negara dan merampas prinsip kesederajatan.
Hal lain yang menarik adalah bagian wawancara dengan Lambert Giebels, penulis biografi Soekarno Sukarno, 1901-1950. Di salah satu esei, Bonnie Triyana sempat menyoroti gaya tutur Giebels yang cenderung mengcounter apa yang dikatakan Soekarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams. Giebels nampak mencari-cari kebohongan dan kelemahan Sukarno. Salah satunya ketika membahas surat permohonan maafnya pada Gubernur Jenderal terkait peristiwa pembuangannya ke Ende. Bukti keberadaan surat ini masih kontroversial. Hal lainnya adalah soal romusha. Sukarno ia anggap bertanggung jawab akan kematian ribuan nyawa saat romusha. Sukarno memang mengucapkan permintaan maaf untuk pertanggung jawabannya dalam pengorganisasian romusha dalam otobiografinya. Namun ia mengatakannya beberapa tahun kemudian, seperti memberi jarak dengan waktu terjadinya peristiwa.
Giebels sendiri berpendapat bahwa selain praktik romusha, Sukarno juga terlibat dalam pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar yang menimbulkan banyak kasus pemerkosaan terhadap perempuan Cina dan Belanda. Sukarno pernah menawarkan diri menjadi juri dalam kasus pemberontakan tersebut namun Jepang menolaknya karena kasus tersebut akan mempengaruhi posisi Sukarno di kemudian hari.
Terkait revolusi Indonesia, Giebels menyebutnya sebagai tindakan anarkis. Hal ini berbeda dengan pandangan Ben Anderson dan Jan Bank yang menganggap bahwa tindakan anarkis pada 10 November yang termasuk di dalamnya penjarahan, pemerkosaan, dan perampokan sebagai awal revolusi sosial. Giebels murni menyebutnya sebagai anarkisme. Pendapat ini didasarkan pada kesaksian korban dari pihak Belanda dan Indo. Sebagai referensi, ia menggunakan buku Anthony Reid dan Oki Akari (editor) dalam  The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs 1942-1945, catatan harian karangan sejarawan J. de Jong Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog, buku Willy Meelhuysen Revolutie in Soerabaja, dan penilaian diplomat David Wehl dalam The Birth of Indonesia. Pemimpin republik ini dianggap tidak mampu mengendalikan maupun menghentikannya.
Terlepas dari semua pro dan kontra tentang Soekarno, ia tetaplah seorang bapak bangsa yang ide-ide dan perjuangannya menjadi dasar dibangunnya negara ini. Mungkin Bung Hatta benar saat mengatakan bahwa Sukarno adalah kebalikan tokoh Memphistopheles dalam karya Goethe, “Faust”. Menurut Hatta, “Tujuan Sukarno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya sering menjauhkannya dari tujuan itu.” Selamat membaca!

1000 WAJAH PRAM DALAM KATA DAN SKETSA



Buku terbitan Lentera Dipantara ini merupakan kumpulan esei mengenai Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan dalam rangka mengenang 1000 hari meninggalnya sang sastrawan besar. Esei ditulis oleh orang-orang dengan latar belakang yang bervariasi, mulai dari wartawan, sejarawan, mahasiswa, guru, keluarga Pram, sampai masyarakat umum yang mengaku sebagai pengagum Pram. Singkatnya, orang-orang yang merasa dirinya bertautan dengan sang penulis yang telah berulang kali dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel sastra. Pertautan itu banyak sekali bentuknya. Ada yang terjalin karena pertalian darah, ide, maupun inspirasi.
Total ada 67 tulisan dari berbagai kontributor tentang pandangan mereka mengenai Pram, baik secara personal maupun akademik. Namanya saja kesan, tentu saja bervariasi, namun tidak sedikit yang mengungkapkan hal-hal yang sama, terutama masalah sejarah kehidupan Pram dan penghargaannya. Hal ini menjadi membosankan karena pembaca harus membaca hal yang sama beberapa kali. Kemungkinan besar ini karena beberapa tulisan merupakan obituari di media massa yang tentu saja isinya adalah menapaki kehidupan sang sastrawan, terutama sisi yang banyak dibahas.
Beberapa kontributor memilih untuk menghadirkan sosok Pram dengan cara yang cukup unik. Goenawan Mohamad misalnya. Dengan menggunakan gaya tulisan Catatan Pinggirnya, ia menganggap Pram sebagai jembatan antara generasi zamannya dan genarasi muda dalam menularkan semangat nasionalisme. Lewat tulisannya, banyak anak muda yang terbakar dan terinspirasi. Di situ ada sebuah sejarah yang dirawat dan mimpi yang diestafetkan.  Lain lagi komentar Max Lane, penerjemah Tetralogi Buru Pram dalam bahasa Inggris. Terlepas dari karya dan pandangan Pram yang selalu disebut mengkritik Indonesia dengan keras, sebenarnya Pram adalah seorang pencinta Indonesia dengan caranya. Pram menyampaikan rasa cintanya lewat novel-novel yang ditulisnya berdasarkan penelitian sejarah. Pram memang dikenal sebagai seorang “researcher” yang tekun dan ulung. Ia ingin “menggali kembali asal usul makhluk Indonesia itu dan menjelaskan pada rakyatnya: Inilah negeri yang kucintai itu”.
Tulisan Eka Budianta mengkritik keras pemerintah Indonesia yang sampai sekarang dianggap belum mampu menghargai seorang sastrawan sehebat Pram. Hal ini memang ada hubungannya dengan sepak terjang Pram masa lalu di Lekra yang dianggap sebagai “onderbouw” atau substruktur PKI. Nampaknya masih ada rasa segan dari pemerintah Indonesia untuk mengakui prestasi putra bangsa yang memiliki keterkaitan dengan partai palu arit. Keseganan ini yang menurut Eka harus mulai dihapus mengingat kontribusi besar yang diberikan Pram bagi Indonesia, khususnya dalam dunia sastra. Lewat karyanya, Pram mengenalkan sastra Indonesia pada dunia. Tanpanya, ranah sastra Indonesia tak akan pernah dilirik oleh dunia luar. Bintang Mahaputra rasanya bukanlah penghargaan yang terlalu berlebihan, Sayang sampai akhir hayatnya, Pram tak pernah mendapat pengakuan apapun dari pemerintah Indonesia.
Masih banyak tulisan yang mengupas kehidupan Pram di buku setebal 504 halaman ini. Mulai dari masa kecilnya sampai kematiannya tanggal 30 April 2006. Beberapa tulisan juga mengupas pertentangannya dengan para penandatangan Manifesto Kebudayaan. Rata-rata tulisan tersebut menyebutkan bahwa posisi Pram bukan sebagai penentang ide demokrasi namun ia menentang seni, khususnya sastra, yang tak memiliki visi dan hanya luapan ekspresi semata.
Di antara semua tulisan untuk menghormati kepergiannya, ada 2 yang cukup unik. Pertama adalah tulisan dari Soelistiyono B.A. alias Ki Panji Konang, kawan dekat Pram saat kanak-kanak. Soelistiyono menulis menggunakan bahasa Jawa. Saya anggap ini unik karena lewat bahasa Jawa, masa kecil Pram yang dituturkan oleh sahabat masa kecilnya terasa dekat. Mungkin karena Pram sendiri adalah orang Jawa sehingg bahasa Jawa membawa pembaca pada romantisme tertentu, walaupun Pram sendiri sangat membenci bahasa Jawa yang dia anggap sebagai salah satu manifestasi hierarki dalam kebudayaan Jawa. Tulisan kedua ditulis oleh Soesilo Toer, salah satu adik Pram. Ia penyumbang tulisan terbanyak, total 93 halaman, yang semuanya mengupas sisi Pram yang sebagian besar belum pernah terekspos. Soesilo Toer tidak ragu untuk menyajikan kesan yang mungkin bisa membuat sebagian pembaca ataupun penggemar Pram terganggu. Di salah satu kenangan, disebutkan bagaimana saat dalam salah satu kunjungan ke kampung halamannya di Blora, Pram menderita diare karena menolak makan. Padahal saat itu Blora sedang kekurangan air sehingga kotorannya tak sempat dibersihkan. Atau mungkin isu yang beredar bahwa Pram mau memperkosa  teman sepermainannya yang lantas ia boyong ke Jakarta dan dijadikan pembantu rumah tangga, Inem. Inem ini adalah Inem yang sama yang menjadi salah satu tokoh dalam “Tjerita dari Blora”.
            Soesilo menggambarkan kakak tertuanya itu dalam sisi yang berbeda sama sekali. Bahwa di balik sifat kerasnya, Pram sebenarnya berhati lembut. Soesilo dalam beberapa kesempatan menyaksikannya menangis. Dengan ini, pembaca jadi tahu bahwa Pram juga seperti manusia kebanyakan. Selama ini orang menganggapnya seperti dewa yang layak dipuja dan tak pernah salah. Dalam 81 tahun masa hidupnya, pemujanya harus berbesar hati mengakui bahwa ia pernah terlibat dalam hingar bingar pertarungan ideologi di era 60an. Ia mungkin memilih jalan yang salah. Tapi sama seperti kebanyakan tokoh-tokoh dalam karya fiksinya, tidak ada manusia sempurna. Semuanya harus bergelut dengan perjuangan keras yang sering berakhir dengan kekalahan. Pram tutup usia dengan tidak diakui sepenuhnya. Tapi wasiatnya bagi generasi muda untuk membuat perubahan dan meneruskan perjuangan akan terus bergaung dan membara. Dikobarkan oleh bara humanisme di sebagian besar karyanya yang hanya bisa abadi bila dibaca dan ditularkan. Selamat membaca!

Senin, 08 April 2013

AIDIT: DUA WAJAH DIPA NUSANTARA



Tercatat dua kali Aidit terlibat dalam pemberontakan yang disebut-sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan pertama terjadi di Madiun tahun 1948. Saat itu di bawah kepemimpinan Musso, tokoh PKI senior, puluhan ribu buruh dan tani yang menyebut dirinya kaum revolusioner mengambil alih kekuasaan pemerintah. Melalui pemberontakan tersebut, Musso bermimpi untuk mendirikan sebuah “Soviet Republik Indonesia”. Soekarno meminta rakyat memilih dirinya atau Musso. Pemberontakan tersebut akhirnya gagal. Banyak tokoh PKI yang ditangkap dan dihukum mati. Saat itu Aidit dapat melarikan diri dan menurut adiknya, Murad Aidit, ia tinggal di Tanjung Priok dengan menyamar.  
Pemberontakan kedua terjadi pada tanggal 30 Spetember 1960. Presiden Soekarno sendiri lebih memilih untuk menyebutnya  sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober). Keterlibatan PKI dalam gerakan tersebut memang masih menjadi kontroversi. Banyak yang meyakini bahwa itu hanyalah akal-akalan pihak yang ingin mengambil kesempatan (saat itu Bung Karno diberitakan sedang sakit keras). Ada juga yang percaya bahwa gerakan tersebut didalangi oleh CIA dan AS. Tak sedikit yang berpendapat jika G30S/PKI adalah skenario Soekarno untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam AD. Apapun latar belakangnya, pada akhirnya PKI lah yang menjadi korban dan pihak yang kalah, kalau tidak dibilang sebagai kambing hitam.
Setelah lama hidup dalam penyamaran, D.N. Aidit muncul kembali dan berhasil menggulingkan kepemimpinan tua di tubuh PKI (Alimin dan Tan Ling Djie). Ia menerbitkan kembali harian Bintang Merah dan rajin menyebarkan paham-paham revolusioner. Sampai akhirnya pada Kongres V PKI 1951, ia dipilih menjadi Ketua Comite Central (CC) PKI.
Peran Aidit adalah membentuk Biro Chusus (BC) yang menyusup dalam tubuh AD. Aidit bekerja sama dengan Sjam Kamaruzaman. Biro Chusus sendiri adalah sebuah badan yang pendiriannya tidak disetujui dan diketahui oleh anggota PKI pusat sehingga lembaga ini sering disebut sebagai PKI ilegal. Aidit mendirikan biro ini karena ia melihat adanya satu kekurangan dalam melakukan revolusi. PKI saat itu memang menjadi 4 partai terbesar di Indonesia setelah PNI, Masyumi, dan NU. Keberhasilannya menjadi peringkat 4 besar tak lepas dari peran kader-kader muda seperti Aidit, Lukman, Sudisman, dan Njoto. PKI memiliki banyak massa, dekat dengan Soekarno, namun mereka tak memiliki tentara. Oleh karenanya, infiltrasi BC dalam AD diharapkan dapat merebut pangaruh beberapa pimpinannya. Sejak September 1965, dikatakan bahwa Sjam menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah colonel A. Latief. Rapat-rapat ini dihadiri oleh Letkol Untung dan Mayor Sudjono.  
G30S/PKI gagal. Menurut mantan wakil perdana menteri Subandrio, PKI terseret lewat tangan Sjam. Banyak petinggi PKI yang mengaku tidak tahu menahu dengan G30S/PKI karena sejatinya BC yang dikepalai Sjam dibentuk Aidit tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota-anggota PKI pusat. Sejak Agustus 1965, kelompok bayangan Soeharto (Ali Moertopo c.s.) memang sudah ingin secepatnya memukul PKI dengan provokasi-provokasi terhadap PKI untuk memukul AD. Entah mana yang benar. Banyak versi yang masing-masing dipercaya dan didukung oleh banyak fakta.
Sebelum tertangkap tanggal 2 November 1965 di Solo oleh anak buah Soeharto, Komandan Brigade Infantri 4 Kodam Diponegoro Kol. Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan mengadakan sejumlah rapat di hari yang sama, yaitu tanggal 2 Oktober 1965 secara marathon di sejumlah kota seperti Yogyakarta, Semarang, Solo, Blitar, dan Boyolali. Isi rapatnya adalah menggalang dukungan bagi PKI. Soal ini juga entah benar entah salah.
Putra Belitung ini dieksekusi tanpa melalui pengadilan dan mayatnya dimasukkan dalam sebuah sumur tua di daerah Boyolali. Sampai sekarang, makamnya tak diketahui. Keluarganya tercerai-berai dan mendapatkan dampak dari sepak terjangnya. Kehidupan tokoh ini memang kontroversial karena terlalu banyak versi tentang dirinya. Bisa jadi orang memanfaatkan dirinya, bisa jadi ia memang terlibat dalam semua gerakan yang dituduhkan padanya. 

Minggu, 07 April 2013

HATTA: JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN



Bung Hatta adalah bapak bangsa favorit saya. Bisa dibayangkan betapa girangnya perasaan ini ketika menemukan Seri Buku Tempo Bapak Bangsa edisi Hatta yang terselip di salah satu rak perpustakaan daerah. Saya mengagumi Beliau sejak SMP tingkat I. Dimulai dari ketidaksengajaan membaca beberapa buku yang dibuat khusus untuk memperingati 100 tahun Bung Hatta. Isinya adalah kenangan orang-orang terdekatnya tentang si Bung. Sejak itu, saya lahap tiap info tentang Bung Kacamata ini di manapun saya menemukan buku tentang Beliau.
Seri Buku Tempo edisi Bung Hatta sudah diterbitkan sejak 2010. Dan saat melihat iklan tersebut di majalah Tempo, saya mulai mencari di perpustakaan-perpustakaan terdekat. Sayangnya baru bisa ditemukan di tahun 2013. Pencarian selama hampir tiga tahun berujung pada 3 jam proses membaca yang terkadang diselingi dengan rasa mendiring dan mata berkaca-kaca. Dua yang terakhir ini sangat personal mengingat saya adalah pengagum si Bung.
Pada dasarnya buku ini, seperti yang dikatakan Arif Zulkifli dalam kata pengantar, adalah hasil penelusuran jejak sang Bung dalam empat periode hidupnya di Bukittinggi, Eropa, Jawa, dan di tanah buangan (Banda Neira ,Tanah Merah, Boven Digul, dan Bangka). Buku ini menjadi kumpulan memoar dan pemikirannya yang tersebar dalam berbagai tulisan, pidato, cerita, dan foto.
Bung Hatta dikenal sebagai orang yang serius. Dua sifat lainnya yang juga paling menonjol adalah pecinta buku dan tepat waktu. Kecintaannya pada buku membuatnya kaya akan ilmu pengetahuan dan penuh kebijaksanaan. Sifat disiplinnya juga tercermin dalam kehidupan sehari-harinya sampai ia wafat pada 14 Maret 1980.
Sejak kecil, putra Minang yang dilahirkan di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902 ini telah menunjukkan keseriusan dalam belajar. Ia lahir dari kalangan bangsawan, perpaduan keluarga ulama dan saudagar. Namun sejak kecil, ia telah hapal dengan kesewenang-wenangan kolonial yang salah satunya pernah menangkap kerabat sang kakek, Rais, yang mengkritik seorang pejabat Belanda.
Lingkungannya telah membentuknya menjadi seorang yang relijius. Pribadinya adalah perpaduan antara kesalehan dan intelektualitas. Ia dikenal sebagai salah satu bapak bangsa yang kualitas intelektualitasnya paling cemerlang. Ia mendapat kesempatan belajar di Rotterdamse Handelshogeschool, sebuah sekolah ekonomi bergengsi pada 1921. Selama masa studinya, ia berkenalan dengan beberapa mahasiswa asal Hindia Belanda dan mulai terlibat dalam diskusi-diskusi kecil. Ini adalah awal terbentuknya Indische Vereeniging yang kemudian diubah menjadi Indonesische Vereeniging dan akhirnya bernama Perhimpunan Indonesia. Selain berdiskusi, organisasi ini juga melakukan penerbitan yang berujung pada penangkapan Hatta tahun 1927. Ini akibat tulisannya yang mengkritik pemerintah kolonial. Saat menjalani siding, ia membacakan pembelaannya selama tiga setengah jam di depan pengadilan dengan judul “Indonesia Vrij” atau “Indonesia Merdeka”.
Sepulangnya ke tanah air, ia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia bersama Sutan Sjahrir. Partai ini menekankan pada aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah. Aspek ini berseberangan dengan Soekarno. Dalam konsep pembentukan partai dan keanggotaannya, Soekarno lebih memilih penggalangan kekuatan massa. Dwitunggal ini memang tidak selamanya akur. Mereka berdua sering berseberangan pendapat yang puncaknya ditandai dengan pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden tanggal 20 Juli 1956. Hal ini terjadi karena Soekarno mulai mencanangkan Demokrasi Terpimpin. Dalam menentang sistem Demokrasi Terpimpin, Hatta menulis “Demokrasi Kita”, yang sempat dinyatakan sebagai bacaan terlarang padahal relevansinya dengan zaman sekarang masih nyata terpapar. Namun keduanya tetaplah dua sahabat yang saling menghormati. Soekarno sempat meminta Hatta untuk menjadi wali nikah putra sulungnya, Guntur, yang disanggupi oleh Hatta. Pertemuan terakhir dua bung ini terjadi saat Soekarno dirawat di rumah sakit. Hatta hadir menjenguk dan menurut Meutia Farida Hatta, putri sulung Hatta, keduanya memang tidak bercakap-cakap banyak namun keduanya seperti saling mengerti dan memaafkan satu sama lain.
Hatta memang dikenal sebagai pemikir dan orator ulung. Ia mungkin tidak sehebat Soekarno dalam berorasi, namun tulisan-tulisannya berbicara senyaring orasi Soekarno. Ia adalah seorang deep reader yang menuangkan gagasannya lewat sebuah proses pemikiran penuh pertimbangan dan dilandasi dengan landasan yang kuat. Hatta dikenal sebagai seorang sosialis, namun ia juga rasionalis. Ia tak membiarkan dirinya terjebak dalam hingar bingar pengerahan fisik massa. Visinya sangat berorientasi pada kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal.
Periode tanah pembuangan adalah masa yang digambarkan sedikit berbeda dalam hidup Hatta. Hatta dibuang karena kegiatan politiknya yang dinilai membahayakan pemerintah kolonial. Hatta pernah dibuang di tiga tempat. Yang pertama di daerah Boven Digul, Papua. Tempat ini sering disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda. Memang tidak ada rantai dan kerja paksa, namun orang bisa tidak tahan secara mental karena dirongrong kebosanan. Akhirnya Hatta dan Sjahrir pada tahun 1936 dipindahkan ke Banda Neira. Periode ini mungkin merupakan periode cukup menyenangkan dalam tahun-tahun perjuangan Hatta. Keberadaan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya serta alam yang indah seperti memberi semangat baru. Ia tetap rajin membaca dan menulis sambil sesekali ikut bermain dengan anak-anak. Des Alwi adalah salah satu anak Banda Neira yang kemudian diangkat anak oleh Sjahrir dan Hatta. Saat keduanya diminta pulang oleh pemerintah kolonial ke Jakarta tahun 1942, mereka membawa serta empat orang anak Banda bersama mereka. Tempat pembuangan ketiga adalah Menumbing, Bangka. Saat Belanda menyerbu Yogyakarta pada Desember 1948, Hatta dan Soekarno ditangkap dan dibuang. Mereka dibuang di tempat berbeda sebelum akhirnya ditempatkan di Bangka.
Masa senja Hatta memang memprihatinkan. Sejak pengunduran dirinya sebagai presiden, ia hanya menerima penghasilan dari uang pensiun negara dan royalti menulis buku. Sempat ia kesulitan membayar tagihan listrik rumahnya. Beberapa perusahaan menawarinya menjadi komisaris perusahaan, namun ia menolak karena prinsip dan keteguhan hatinya membela rakyat.
Dan begitulah, mengenang Bung Hatta lewat tulisan-tulisan tentangnya adalah sebuah proses yang menggetarkan hati. Tidak perlu tulisan yang muluk-muluk untuk membuat pembacanya menghormati dedikasi dan kejujuran proklamator ini. Di atas semuanya, Indonesia harus bangga karena pernah memiliki seorang putra yang ikhlas mengabdikan dirinya untuk bangsa. Selamat membaca!