Senin, 14 Juli 2014

SENJA DI JAKARTA


Senja di Jakarta pertama-tama lebih dikenal sebagai Twilight in Jakarta karena novel ini pertama kali diterbitkan dalam versi bahasa Inggris pada tahun 1963. Hal ini mengingat Mochtar Lubis yang saat itu masih dalam tahanan rezim Presiden Soekarno tidak memperoleh izin untuk menerbitkan bukunya.  Awalnya diberi judul Yang Terinjak dan Melawan, novel ini baru boleh diterbitkan di Indonesia pada tahun 1970. Hal inilah yang membuat Senja di Jakarta menjadi novel karya Mochtar Lubis yang paling dikenal di dunia internasional karena setelah diterbitkan dalam bahasa Inggris, berturut-turut novel ini dialihbahasakan dalam berbagai bahasa seperti Prancis dan Jepang. Seperti yang tercantum di halaman terakhir, novel ini diselesaikan pada tahun 1957 dan dengan kuat menggambarkan situasi politik dan sosial yang terjadi di Jakarta pada saat itu.
Senja di Jakarta adalah novel tentang manusia Jakarta dari tiga kelas sosial. Kelas atas yang dekat dengan kekuasaan diwakili oleh Raden Kaslan dan putranya Suryono, kelas menengah golongan pegawai negeri diwakili keluarga Sugeng, serta kelas bawah yang untuk makan atau tidak hari ini masih belum pasti diwakili oleh Saimun dan Itam. Ketiga golongan tersebut tidak mengenal satu sama lain karena tiap-tiap dari mereka hanya bergaul dengan kalangannya sendiri. Namun, dalam beberapa kesempatan, Mochtar Lubis mempertemukan golongan-golongan tersebut walaupun hanya sambil lalu. Contohnya saat mobil yang dikendarai Suryono tidak sengaja menyerempet Saimun yang linglung memikirkan sulitnya memperoleh rebewes (SIM). Pola penceritaan yang seperti itu mengingatkan saya pada novel Charles Dickens yang berjudul Our Mutual Friend.
Keluarga Raden Kaslan adalah keluarga priyayi yang tidak pernah hidup susah. Mereka kaya dan berpengaruh mengingat Raden Kaslan tergabung dalam Partai Indonesia yang saat itu menjadi salah satu partai yang menjadi anggota dalam kabinet. Indonesia memang pernah memiliki sistem pemerintahan parlementer yang membuat kabinet sangat tidak stabil dan mudah berganti. Hanya dengan mosi tidak percaya dari partai oposisi, kabinet saat itu sangat mudah untuk digoyang dan ditumbangkan.
Karena pengaruhnya yang besar dalam partai, terutama posisinya sebagai pengusaha yang sukses, Raden Kaslan diminta Husin Limbara, pemimpin Partai Indonesia, untuk mencarikan dana Pemilu bagi partai yang nilainya mencapai puluhan juta (di masa itu, jumlah ini tergolong sangat banyak, sebagai perbandingan, harga nasi sayur sepiring adalah satu rupiah). Raden Kaslan mengusulkan untuk membuat perusahaan impor fiktif. Anak dan istri baru Raden Kaslan, Fatma, pun dilibatkan dalam pembuatan perusahaan tersebut. Untuk memperlancar jalan izin penerbitan perusahaan tersebut, mereka menyuap seorang pegawai negeri di Kementerian Perekonomian yang terpaksa menyetujui permintaan Raden Kaslan karena membutuhkan uang mengingat istrinya yang sedang hamil anak kedua memaksa memiliki rumah baru. Pegawai tersebut bernama Sugeng.
Singkat cerita, keluarga Raden Kaslan dan partai mendulang keuntungan yang teramat banyak. Sementara itu, Sugeng juga turut menikmati keuntungan karena korupsi yang dilakukannya. Kehidupan Saimun dan Itam tidak banyak berubah. Saimun berhasil menjadi supir truk tanpa rebewes, sedang Itam menjadi tukang becak, namun mereka tetap harus berpikir keras bagaimana caranya agar perut hari itu tidak kosong. Pada akhirnya, keluarga Raden Kaslan menerima imbas dari perbuatannya setelah pihak oposisi memberitakan cara-cara tidak jujur yang selama ini telah digunakan oleh Partai Indonesia untuk mendulang uang. Hal ini disusul dengan kematian Suryono karena kecelakaan saat berlibur dan berselingkuh dengan Fatma, ibu tirinya yang masih muda.
Novel ini secara gamblang mengkritik politisi-politisi Indonesia di era Soekarno yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan partai daripada rakyat. Para politisi sibuk mempertahankan posisi partai mereka di pemerintahan yang sangat mudah digantikan oleh oposisi sehingga susahnya kehidupan rakyat kecil yang diwakili oleh Itam dan Saimun tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Ada perbedaan yang sangat besar saat menyimak kehidupan keluarga Raden Kaslan yang dengan mudahnya berganti mobil dan bingung bagaimana caranya menghamburkan uang dengan Saiman dan Itam yang harus berbecek-becek mengangkut sampah di tempat penampungan sampah dan mengantre untuk menerima gaji yang kerap ludes untuk membayar hutang.
Mochtar Lubis juga menceritakan aktivitas diskusi para pemuda yang lazim pada saat itu, di mana para pemuda mendiskusikan tentang berbagai paham seperti demokrasi, Marxisme, dan agama dan menganalisis paham mana yang kira-kira mampu untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Indonesia. Para pemuda ini berasal dari kalangan menengah ke atas dan hanya beberapa yang aktif berjuang secara nyata di masyarakat, lainnya hanya omong doang. Dilihat dari aktivitas para pemuda ini, jelas terlihat kalau Mochtar Lubis adalah penentang Marxisme karena tokoh pemuda yang berideologi Marxis, Akhmad, ia gambarkan sebagai pemuda yang temperamen dan bersedia menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingan partainya, termasuk mengorganisir massa untuk melakukan protes yang berakhir pada tindakan anarkis.
Yang menarik dari novel ini adalah relevansi antara keadaan di zaman Soekarno dengan saat ini. Degradasi moral dari para politisi yang lebih mementingkan urusan partai dan pribadi daripada rakyat serta kehidupan rakyat kecil yang hidup dalam perjuangan untuk sekedar makan dan bergelut dengan naiknya harga kebutuhan pokok bukanlah hal yang sepenuhnya asing untuk pembaca saai ini. Ini membuktikan bahwa selama lebih dari 50 tahun kemerdekaan, sejatinya tidak banyak yang berubah dari bangsa ini. Selamat membaca!

MANUSIA INDONESIA


Mochtar Lubis adalah salah satu sastrawan Indonesia favorit saya. Sejak SMP, saya sudah akrab dengan buku-bukunya. Terima kasih tak terhingga harus saya ucapkan pada guru bahasa Indonesia saya, Bu Dian, yang tanpa henti memaksa saya dan teman-teman sekelas untuk melahap buku-buku sastra Indonesia dari berbagai zaman.
Tidak seperti buku-buku sastra yang saya akrabi sebelumnya, Manusia Indonesia adalah teks pidato Mochtar Lubis yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977. Jadi ada kesan berbeda yang saya dapatkan saat membaca buku ini. Membaca karya non-fiksi Mochtar Lubis seperti mengenalnya dari sisi yang lain. Tapi ada satu hal yang saya pastikan tetap sama, yaitu adanya kritik terhadap karakter bangsa Indonesia yang mengalami penurunan kualitas secara moral, baik itu pemerintah maupun manusia Indonesia secara umum. Kritik semacam itu juga bisa ditemukan di novel-novelnya seperti Jalan Tak Ada Ujung dan Senja di Jakarta.
Karena kritiknya tersebut, banyak pihak-pihak yang merasa tidak sepenuhnya menyetujui pendapat Mochtar Lubis sehingga teks pidato ini menuai banyak tanggapan dari tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang. Ramainya tanggapan tersebut mengingatkan saya pada Polemik Kebudayaan yang dipicu oleh tulisan Sutan Takdir Alisjahbana. Menariknya, beberapa tanggapan terhadap pidato tersebut juga turut dicantumkan di buku ini.
Sebelum membaca pidatonya, ada baiknya membaca Pengantar yang dituliskan oleh Jacob Oetama agar tidak salah paham ketika membaca buku ini mengingat pidato tersebut berisi uraian yang mungkin dapat membuat kita pesimis menjadi bangsa Indonesia. Terlepas dari kenyataan bahwa pidato ini memang bernada pesimistis, sebenarnya pidato ini mengajak pembacanya untuk bersikap kritis dengan memaksa mereka untutk bertanya pada diri mereka sendiri apakah karakter mereka benar seperti manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijabarkan oleh Mochtar Lubis.
Pidato Mochtar Lubis bisa dibagi menjadi 10 bab. Bab I Manusia Indonesia berisi gambaran populer tentang manusia Indonesia yang selama ini dipersepsikan oleh orang asing atau bangsa Indonesia sendiri, baik itu persepsi yang buruk maupun yang baik. Persepsi ini muncul melalui keberadaan data-data sejarah dan terpelihara lewat sastra-sastra daerah dan tradisi yang dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah mistisisme, sifat yang artistik, kurang mampu berpikir hal yang sulit-sulit, serta dorongan seks yang besar.
Bab II sampai dengan bab VII berjudul Ciri Kesatu sampai Ciri Keenam yang apabila diringkas dapatlah kira-kira dirangkum keenam sifat manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul, artistik, dan kurang kuat mempertahankan keyakinan. Dari keenam sifat tersebut, hanya dapat ditemukan satu sifat yang baik, yaitu artistik. Kesannya memang kelima bab yang lain dituliskan untuk mengkritik habis-habisan bangsa Indonesia yang saat Mochtar Lubis menyampaikan pidato ini sedang hidup dalam kebohongan karena korupsi dan perilaku ABS (Asal Bapak Senang) bisa ditemukan di hampir semua bidang dan lapisan masyarakat. Tidak ada lagi karakter-karakter mulia yang dahulu bisa ditemukan di zaman perjuangan di mana bangsa Indonesia mampu bersatu padu dan rela berkorban mengusir penjajah.
Bab VIII Ciri Lainnya pada dasarnya hanya berisi ciri-ciri manusia Indonesia yang belum disebutkan di bab sebelumnya. Sebagian besar isinya masih ciri-ciri yang negatif seperti tidak suka bekerja keras, gampang cemburu dan dengki, malas, dan tukang tiru. Di samping sifat-sifat yang jelek itu, bangsa Indonesia juga punya sifat baik seperti berhati lembut, suka damai, dan rasa humor yang membuatnya dapat tertawa saat sulit dan menderita. Di akhir bab, Mochtar Lubis menyebutkan perlunya penguasaan ilmu dan teknologi. Namun, karena keduanya membawa kekuasaan yang tak pernah netral, manusia Indonesia harus hati-hati dalam menggunakannya.
Di bab IX yang diberi judul Dunia Kini, Mochtar Lubis membahas hubungan antara ekonomi, sumber daya alam, dan teknologi terhadap kesejahteraan sebuah bangsa. Ada beberapa kasus yang disajikan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pengelolaan ketiganya bermuara terhadap kesejahteraan atau keterpurukan sebuah bangsa. Yang paling utama adalah bagaimana banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, sekarang masih sangat tergantung pada negara-negara besar dalam hal teknologi, pengelolaan SDA, dan sistem ekonomi sehingga sangat mudah diatur dan dimanfaatkan. Ia menekankan betapa pentingnya untuk menjadi mandiri dengan cara memaksimalkan kemampuan bangsa Indonesia karena senyatanya kita tidak bisa benar-benar lepas dari sistem dan jaringan ekonomi internasional. Bagian terakhir, yaitu kesimpulan, berisi berbagai saran Pak Mochtar untuk berbagai bidang penghidupan mulai dari kesenian sampai sikap keseharian.
Beberapa tanggapan yang disajikan dalam buku ini dirangkum dalam sebuah bab berjudul “Tanggapan-tanggapan Tanggapan atas Tanggapan” (HAHAHA). Tanggapan tersebut datang antara lain dari Sarlito Wirawan Sarwono (psikolog UI), Margono Djojohadikusumo (ayah Prof. Soemitro Djohohadikusumo, kakek Prabowo), Wildan Yatim, dan Dr. Abu Hanifah. Sarlito mengkritisi ciri-ciri manusia Indonesia yang disebukan Mochtar Lubis melalui pendekatan psikologis. Margono mengkritisi sifat feodal manusia Indonesia yang dikritik habis-habisan oleh Mochtar seolah tidak ada sisi positifnya. Wildan Yatim mengatakan bahwa ciri-ciri manusia Indonesia yang terkesan buruk itu penyebabnya adalah politik praktis sehingga lembaga perwakilan rakyat harus benar-benar membawa suara rakyat. Sedangkan Dr. Abu Hanifah dalam tanggapannya atas tulisan Mochtar Lubis menyinggung banyak aspek yang harus ditelaah, seperti bapakisme sampai kurangnya teknorat di Indonesia.
Mochtar Lubis menjawab tanggapan-tanggapan yang dilayangkan dalam tulisannya tersebut. Umumnya Mochtar menyayangkan tidak cermatnya keempat penulis tanggapan tersebut dalam membaca teks pidatonya sehingga tidak bisa menangkap esensinya. Terlepas dari benar tidaknya pidato Mochtar Lubis telah mendiskreditkan manusia Indonesia karena mencantumkan sifat-sifat negatif yang teramat banyaknya, pidato ini sebenarnya menggugah pembacanya untuk bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka benar seperti yang dicantumkan dalam teks pidato tersebut. Selamat membaca!