Rabu, 26 Oktober 2016

SINETRON

                                                  

Belum lama ini saya membaca sebuah artikel di portal berita yang menyatakan bahwa sinetron Indonesia merupakan bisnis triliunan rupiah. Raupan keuntungan yang sama juga didapat pebisnis media yang menayangkan sinetron-sinetron yang berasal dari India dan Turki. Mengapa keuntungan yang diraup bisa sangat banyak? Karena banyaknya produk iklan yang diputar selama jeda. Banyak dan panjangnya iklan tak pernah menyurutkan langkah para fans sinetron garis keras untuk tetap setia. Kenapa orang Indonesia menonton sinetron? Entahlah. Untuk yang satu ini, saya yakin jawabannya pasti beragam walaupun menurut portal berita tadi, banyak orang menyaksikan sinetron karena faktor pemain utamanya yang berwajah menarik dan cerita yang gampang mengaduk-aduk emosi.
Penasaran dengan alasan tersebut, saya mencoba untuk menonton sinetron saat kemarin pulang ke rumah. Sepertinya perlu saya jelaskan pada kalian bahwa sudah lama sekali saya tidak menonton televisi, dalam artian menonton satu program secara intens. Kalau hanya sekilas sambil antre beli makan di burjo atau makan sambil nonton TV selama kurang lebih 10 menit sih sering. Selain karena kecewa dengan sebagian besar programnya, internet menurut saya lebih dapat diandalkan untuk menyediakan hiburan dan informasi termutakhir. Lagipula, saya juga memang tidak memiliki televisi di kos.
Anyway, saya memilih sinetron secara acak saja. Karena yang terpampang di layar saat saya menyalakan TV adalah RCTI, ya saya nonton sinetron di stasiun TV tersebut. Cerita dari sinetron tersebut kurang lebih begini. Adalah seorang laki-laki muda kaya (sepertinya direktur perusahaan) yang ingin untuk mengikuti lomba bersepeda. Tidak jelas tipe lombanya apa. Yang ada hanyalah si laki-laki ini siap dengan baju pesepeda warna kuning, helm, dan sepedanya tentu saja. Tibalah laki-laki tersebut di lokasi lomba yang sebenarnya hanyalah lapangan yang dipasangi tenda dengan fungsi sebagai tempat duduk panitia dan ruang peserta. Di sekeliling tenda tersebut, terpasang pita panjang milik sponsor yang berujung di tenda tadi dan sepertinya berfungsi untuk mencegah penonton masuk ke area lomba.  
Bagaimana mekanisme lombanya? Ternyata Anda hanya perlu keliling lapangan yang telah dibatasi oleh pita sponsor tadi dengan sepeda. Pelan-pelan juga boleh. Entah apa maksud dari lomba ini. Yang jelas, hadiahnya 40 juta (tertulis di spanduk). Baiklah. Belum lama berselang mengayuh sepedanya, laki-laki ini tiba-tiba pucat sambil menahan sakit kemudian jatuh dan pingsan. Kemudian ia dibawa ke tenda khusus kesehatan. Ia dijaga oleh seorang wanita muda cantik yang sepertinya berprofesi sebagai asisten rumah tangga. Semua keluarganya lalu datang. Ada beberapa wanita yang tidak berhenti mencemooh ART tadi (tidak lupa dengan mimik muka yang sadisnya dilebih-lebihkan), ayah si laki-laki yang pakai setelan klimis (mungkin bertolak langsung dari kantornya), dan beberapa orang lain yang membela si Mbak ART.
Ternyata si laki-laki muda ini jatuh cinta dengan si Mbak ART. Saat ia siuman, yang pertama dicari adalah si Mbak. Si Mbak lalu menyemangatinya agar meneruskan lomba dengan cara mengingatkan bagaimana kerasnya si laki-laki sudah bermimpi untuk memenangkan lomba tersebut. Si laki-laki akhirnya bersemangat dan kembali meneruskan lomba. Adegan putar-putar lapangan dengan sepeda kemudian dimulai lagi. Kali ini dengan muka yang lebih optimis dan sesekali diselingi senyum.
Saya perlu menginformasikan bahwa di sepanjang tayangan tadi, saya sering tersenyum simpul. Bukan, bukan karena turut terharu merasakan besarnya rasa cinta para pemain utama atau terpana melihat kehebatan adu peran para pemainnya. Sepertinya kalian sudah menebak alasannya.  
Sudah saya ungkapkan kan kalau sejak awal saya sebenarnya bingung lomba sepeda macam apa yang sedang diikuti pemain utama. Terima kasih kepada sutradara karena akhirnya menyisipkan adegan-adegan downhill yang memacu adrenalin walaupun saya sebenarnya malah jadi tambah bingung karena tokoh utama kita masih saja setia hanya putar-putar naik sepeda di sekitar lapangan sambil senyum-senyum. Di mane, Tong, downhillnye?! Bagaimana dengan Mbak ART? Dia dengan setia memandangi si Mas sambil tersenyum lembut.
Tidak sampai di situ saja. Kompetisi downhill abal-abal tersebut ternyata berlangsung sampai malam hari pukul 2, Saudara-saudara! Si Mas tetap setia mengayuh sepeda mengitari lapangan. Sedangkan si Mbak dan juri-juri lain mulai mengantuk dan tertidur. Ajaibnya, si Mbak tertidur dalam posisi berdiri. Luar biasa!
Tak dinyana, hujan turun sangat lebat disertai petir. Namun, si Mas tetap setia mengayuh di bawah derasnya hujan. Karena cemas dan tidak tega jika si Mas nanti sakit, si Mbak dengan berani menerobos hujan dengan membawa payung. Ia memayungi si Mas. Awalnya si Mas menolak, namun si Mbak dengan keukeuh menolak mundur. Akhirnya terciptalah sebuah scene di mana terdapat sepasang muda-mudi mengelilingi lapangan becek bersama. Yang satu naik sepeda, yang satu memayungi. Para juri pun segera bangun dan tersenyum bahagia menyaksikan pemandangan tersebut.
Sampai di situ saya sudah tidak tahan lagi sehingga saya sudahi sesi menonton sinetron dengan mematikan TV dan pergi ke kamar untuk tidur-tiduran. Sambil gegoleran, saya tak berhenti menyakan dua pertanyaan ini di kepala: apa tadi sebenarnya yang baru saja saya tonton dan siapakah sutradara dari tontonan maha dahsyat tersebut? 

Sumber gambar:   http://weknowmemes.com/wp-content/uploads/2012/08/i-dont-watch-soap-operas-i-have-facebook.jpg

Selasa, 25 Oktober 2016

SEBUAH KISAH DALAM SEPORSI BALUNGAN



seporsi balungan Bakmi Mbah Atmo Wates


Adakah dari teman-teman yang suka balungan atau bebalungan? Bagi yang sama sekali belum pernah makan apalagi mendengar menu ini, luangkanlah sejenak waktu kalian untuk menyimak deskripsi saya karena niscaya tidak sia-sia. Balungan atau bebalungan memiliki kata dasar bahasa Jawa “balung” yang dalam bahasa Indonesia berarti “tulang”. Jadi, balungan pada dasarnya adalah tulang belulang, biasanya ayam, yang dimasak dengan cara ditumis dengan sedikit kuah berisi rempah-rempah khas Jawa sehingga menghasilkan sensasi goyang lidah saat dinikmati.
Balungan sangat mudah ditemukan di semua penjuru Jogja, tersebar di delapan arah mata angin. Kalian hanya perlu menyambangi kedai-kedai atau warung-warung bakmi jowo favorit. Harganya juga terjangkau. Berkisar dari 10-15 ribu. Menu ini biasanya bisa dipesan walaupun tidak ada di daftar menu tempat makan tersebut. Lho, kok bisa? Bahan utama balungan adalah sisa-sisa tulang ayam yang dagingnya sudah dikrokoti untuk membuat bakmi godhog (rebus) atau bakmi  goreng. Tulang-tulang ini sebenarnya nasibnya sudah digariskan, yaitu masuk tong sampah atau jadi santapan kucing. Hal inilah yang mungkin membuat para pedagang bakmi jowo tidak enak untuk memajang menu ini dalam daftar menu mereka. “Wong barang sisa kok mau dijual”. Mungkin begitu batin mereka. Akan tetapi, berhubung orang Jawa masih merupakan bagian dari orang Indonesia, pasti ada saja ide kreatif yang muncul sehingga berubahlah nasib tulang-tulang tersebut. Pada dasarnya, saat para pedagang ngrokoti daging dari tulang-tulang ayam, tulang-tulang tersebut tidak benar-benar bersih dari daging. Masih ada saja daging yang tertinggal. Daging-daging tempelan itulah yang menjadi buruan utama para penggemar balungan di manapun mereka berada.
Untuk membuat balung-balung tadi terlihat layak dikonsumsi (ya masa tulang ayam bekas dicantelin di paku atau bendrat gerobak tukang bakmi jowo langsung dimakan) dan memiliki citarasa tinggi, dimasaklah balung-balung tersebut. Sepengetahuan saya, cara para pedagang bakmi jowo memasak balungan bisa dibedakan menjadi tiga jenis: dibuat manis, gurih, dan gurih manis. Saya paling sering membeli menu tersebut di tukang-tukang bakmi jowo yang ada di Wates, kota di mana keluarga saya tinggal. Ada dua warung bakmi jowo yang rasa balungannya tidak pernah mengecewakan. Yang pertama adalah Warung Bakmi Kang Marjo yang lokasinya persis berada di depan SD Muhammadiyah Wates dan Warung Bakmi Jowo Mbah Atmo yang berlokasi juga persis di depan TK Theresia Pengasih. Balungan di lokasi pertama rasanya paling enak kalau tanpa kecap sehingga balungannya lebih baik dipesan dengan rasa gurih. Kalian bisa khusus meminta pada penjualnya. Biasanya balungan bisa diambil setelah pukul 10 atau 11 karena harus menunggu ayam yang digunakan habis dicopoti dagingnya. Untuk warung yang kedua, jangan kaget kalau tiba-tiba penjualnya bilang tidak ada/tidak jual balungan. Entahlah apa alasannya. Padahal rasanya enak karena kombinasi pedas-manis-gurihnya sangat pas. Menurut adek saya, bisa saja balungannya sudah dipesan oleh orang lain sehingga penjualnya menolak menjual pada kami. Tapi masa setiap datang, bahkan pada saat jam-jam awal dan kami berusaha memesan terlebih dahulu, balungan tetap dikatakan tidak dijual. Sejujurnya, saya sudah kangen dengan balungan a la Mbah Atmo. Tapi ya sudahlah.
Nahh, di luar aspek rasa, usaha mencari daging yang masih tertinggal di balungan bisa menjadi sebuah ajang untuk menghangatkan dan mempererat hubungan antar anggota keluarga lho. Bagaimana bisa? Keluarga saya sudah membuktikannya.
Seporsi balungan biasanya berisi tulang yang banyak. Kalau dimakan sendiri sebenarnya bisa, tapi apa ya kalian tidak kasihan dengan lipatan perut yang semakin baggy dari hari ke hari itu? Nikmatnya ngrokoti balungan semakin terasa kalau disantap bersama. Apa saja keuntungan yang bisa didapatkan saat menyantap balungan bersama keluarga?
1.       Kebersamaan yang Aktif
Memang ada kebersamaan yang pasif? Ada dong! Apa namanya kalau kalian sedang dalam posisi diajak ngobrol dengan orang tua namun disambi main ponsel. Kalian ada namun juga tiada di saat yang bersamaan. Kalian membagi jiwa, raga, dan perhatian ke dua dimensi yang berbeda sehingga percakapan yang terjadi mungkin saja hanya berjalan satu arah, monoton, dan tidak responsif. Orang tua merasa disepelekan namun Anda merasa tidak menyepelekan karena konon katanya telepon seluler yang pintar itu kini tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan keseharian kita, bahkan saat kita berinteraksi langsung dengan orang.
Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi saat kalian menyantap balungan. Kalian tidak akan mungkin tega menjamah telepon seluler pintar kesayangan dan membuat casingnya nglengo atau berminyak. Otomatis, kalian 100% berada dalam kebersamaan tersebut. Tidak ada lagi alasan mengaktifkan fake calls atau meminta teman lewat WA untuk segera menelepon Anda di saat-saat muncul pertanyaan serius, seperti kapan lulus dan setelah lulus mau apa.
2.      Masalah Penting Bisa Dibahas dengan Santai
Percaya tidak kalau keputusan Adek saya antara akan melanjutkan studi atau langsung kerja selulus S1 diambil saat dia, Ibuk, dan saya makan balungan? Nyatanya, itulah yang terjadi. Sensasi saat ngrokoti tulang mampu membuat kalian berada dalam kondisi yang sangat santai. Proses ngrokoti tulang adalah salah satu sinonim dari kenikmatan. Inilah alasannya kenapa beberapa orang yang saya kenal lebih memilih kepala atau ceker daripada dada ayam. Sensasinya itu lho!
Saat kalian tidak sedang stress, kalian cenderung tidak merasa cemas. Absennya rasa cemas tersebut bisa membantu kalian untuk membuat keputusan yang rasional tentang sesuatu. Banyak artikel neuroscience yang membahas masalah ini. Cari saja dengan kata kunci “Anxiety Causes Irrational Thoughts”. Bagaimana bisa kalian stress di saat makan enak? Hal inilah yang kemungkinan membuat keputusan-keputusan rasional yang mengubah dunia bisa saja muncul di meja makan seseorang atau restoran. Sudah saatnya menjadikan meja makan sebagai ruang diskusi! Dan balungan sebagai menu utamanya!
3.      Makan Ayam Tengah Malam? Kenapa Tidak?
Ibuk saya merupakan salah satu orang yang sangat menjaga apa yang dikonsumsi oleh buah hatinya saat mereka berada di rumah (kalau nggak di rumah dan dalam pengawasan, anak-anaknya bisa makan apa saja hahahahaha). Beliau suka parno kalau kami makan terlalu banyak ayam atau fast food sehingga di rumah saya selalu mudah untuk menemukan sayur, buah, dan ikan karena Ibu saya setiap pagi rajin pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja.
Anehnya, Beliau tidak pernah protes kalau kami, saya dan Adek, membeli balungan malam-malam. Padahal makan malam hari menurut ahli kesehatan tidak baik, apalagi kalau yang dimakan ayam. Nahh, ternyata Ibu saya punya jawaban untuk itu. Ayam yang digunakan untuk balungan biasanya adalah ayam kampung, bukan ayam petelur. Tentu saja lebih sehat. Dan soal makan tengah malam, kalau yang dimakan hanyalah serpihan-serpihan daging unyu yang masih keukeuh nyempil di tulang, what’s the worst that could happen? Kecuali kalau kalian mengonsumsinya tiap malam dan tidak cukup hanya 1 porsi.
Bagaimana bisa hubungan antara para anggota keluarga tidak dekat dan hangat satu sama lain jika semuanya sering makan balungan? Tangan dan mulut yang klomoh kuah merupakan metafora tidak adanya sikap sok-sokan antar keluarga, tidak ada hal yang disembunyikan dalam keluarga. Mungkin bisa juga dipraktikkan untuk hubungan yang lain, seperti hubungan bisnis atau hubungan percintaan. Sayangnya, saya belum pernah mempraktikannya di dua area tersebut. Bagaimana? Tertarik untuk mencoba balungan? Membayangkannya sekarang saja sudah bikin ngiler. Segeralah bergerilya ke warung-warung bakmi jowo terdekat! 

Kamis, 20 Oktober 2016

KEJADIAN HOROR DI RADIO

https://www.graphicstock.com/stock-image/cartoon-ghost-halloween-vector-illustration


Aku ingin mengawali tulisan ini dengan mengatakan bahwa sebenarnya aku bukanlah orang yang mampu merasakan apalagi melihat keberadaan makhluk halus. Jadi, kalau ada teman-teman yang cerita soal pengalaman mereka melihat penampakan atau diganggu makhluk halus, aku sama sekali tidak punya bayangan bagaimana rasanya. Tentu saja aku percaya adanya makhluk halus dan menikmati (suka banget sih sebenarnya) kalau ada teman yang cerita soal pengalamannya dengan makhluk gaib. Dasarnya aku memang bukan penakut, paling-paling reaksiku setelah diberitahu hanya merinding.
Belum lama ini, tepatnya tadi malam, aku mengalami pengalaman dengan makhluk halus yang sedikit berbeda dengan yang dulu-dulu. Kalau biasanya aku hanya menikmati cerita, tadi malam aku melihat gangguan tersebut, walaupun bukan penampakan makhluk gaibnya.
Ceritanya diawali dari kemarin sore sehabis maghrib. Aku dan tiga orang teman berkumpul di ruang produksi radio tempatku bekerja. Setiap Rabu, kami memang rutin berkumpul untuk rekaman sandiwara radio yang diputar tiap seminggu sekali. Sebagai informasi, gedung radio tempat aku bekerja bukanlah gedung yang terlalu tua. Perkiraanku, gedung tersebut dibangun sekitar tahun 70an. Terdiri dari bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan terdiri dari 5 ruang sedangkan bagian belakang dipergunakan sebagai auditorium. Ruang produksi terletak di bagian depan. Ukurannya sekitar 5x3 m.
Saat kemarin sore kami kelar rekaman, di ruang produksi hanya tertinggal aku dan Mbak Flo, penulis naskah dan sutradara drama. Kami sama-sama ngenet dengan koneksi radio. Kami ngobrol sambil lalu pakai bahasa Jawa. Sesaat kami terdiam cukup lama karena sibuk dengan kegiatan masing-masing sampai kemudian Mbak Flo bilang yang kalau dibahasa Indonesiakan kira-kira, “Yan, dari tadi kita tuh nggak sendiri lho.”
Aku yang dasarnya bukan penakut hanya menimpali, “Iya. Sama cicak kan?” (kebetulan memang ada suara cicak).
“Bukan, Yan, aku serius.”
“Emang di mana?”, sesaat setelah mengajukan pertanyaan ini aku menyesal karena malah membuat aku merasa takut.
“Di pojok dekat pintu keluar.”
Aku menimpali dengan, “Hmmm….”, dengan harapan Mbak Flo akan berhenti memberi tahu. Tapi tentu saja tidak dong. Dia kemudian melanjutkan, “Dari tadi aku digangguin e,” dengan suara lebih lirih.
Mungkin melihat aku merasa tidak nyaman, ia menyambung, “Tapi dia nggak jahat kok.” Aku sedikit lega ketika mendengarnya. Paling tidak, kerudungku tidak akan ditarik-tarik atau lampu tiba-tiba mati sendiri.
Beberapa menit kemudian, karena sudah merasa cukup, santai, aku melanjutkan kesibukan sambil bertanya sambil lalu, “Emang dia ngapain sekarang?”
“Ngeliatin aja.”
“Siapa yang diliatin?”
“Kamu.”
Sesaat setelah mendengar jawaban tersebut, mentalku langsung ciut. Aku kemudian berkemas-kemas sambil mengajak Mbak Flo pindah ke studio tempat siaran.

                                                        *     *     *     *     *

Saat sudah sampai di dalam studio, aku baru terpikir satu pertanyaan maha penting, “Emang kamu bisa lihat demit, Mbak?”
“Nggak. Tapi aku bisa tahu dan merasakan.”
Karena sudah nggak takut dan mulai bisa rasional, aku bertanya, “Emangnya kamu tadi diapain?”
“Pundakku kayak diguyer-guyer sama dagunya dia. Jadi geli.”
“Halah.”
“Tapi dia baik kok, Yan. Studio ini sih aman. Cuman dia sekarang ada di balik jendela kaca itu.”
Andre, teman kami yang tadi ikut rekaman dan sedang kebagian jatah siaran, mengingatkan, “Udah Mbak Flo. Jangan diceritain terus, nanti dianya nganu lho…”
Mbak Flo kemudian hanya tertawa.
Kalau dari segi rekor, Andre ini adalah penyiar yang paling sering diganggu. Tidak hanya merasakan seperti Mbak Flo. Ia pernah sengaja dikageti beberapa kali oleh hantu yang konon menghuni radio kami. Di luar kantor, Andre juga pernah beberapa kali mengalami pengalaman dengan makhluk halus.
Mbak Flo ngeyel dan melanjutkan ceritanya, “Di ruang produksi ada dua, Yan. Cowok sama cewek. Tapi semuanya baik kok.”
Aku yang mulai merasa santai juga terpancing karena dasarnya aku memang suka mendengar kisah horror, “Mereka biasanya mangkal di mana, Mbak?”
“Kalau yang cewek ada di pojokan meja yang dekat tumpukan naskah drama. Mereka biasanya selalu muncul, apalagi pas kita rekaman drama horor. Makanya aku tuh nggak suka kalau kalian kemproh di ruang produksi. Takutnya ada yang nggak berkenan.”
Kami bertiga lalu melanjutkan ngobrol hal-hal lain sampai kemudian Mbak Flo pamit pulang karena sudah pukul 10 malam. Tidak lama keluar, ia kembali lagi. Mungkin ada yang ketinggalan. Tapi ternyata tidak.
“Yan, motorku starternya nggak mau berhenti. Bunyi terus dan nggak bisa dimatiin.”
Aku langsung keluar dan melihat kondisinya. Motor bunyinya seperti digas berkali-kali tetapi saat kunci diputar, tidak ada respon sama sekali. Kunci benar-benar tidak berfungsi. Sebenarnya kami mau minta tolong Andre tetapi ia sedang sibuk ngomong di depan mikrofon sambil memakai headphone. Jadilah kami minta tolong bapak-bapak yang sedang nongkrong di pos satpam dekat gerbang radio. Walaupun sudah diutak-atik, tetap saja motor tak berhenti. Akhirnya aku masuk ke studio dan bilang ke Andre.
Andre kemudian ikut keluar. Sambil senyum ia bilang, “Kan udah aku bilangin tadi.”
Akhirnya setelah berjuang kurang lebih 15 menit, motor berhasil dimatikan dengan cara memutus sementara saluran bensin. Mbak Flo harus meninggalkan motornya di radio dan dia pulang diantar Pak Udin, salah satu pekerja di radio. Menurut Mbak Flo, motornya sama sekali belum pernah eror seperti itu.
Selama kejadian motor macet, aku berpikir apakah memang ini hasil pekerjaan si hantu. Lalu aku bersyukur karena tidak kena imbasnya walaupun sempat bertanya-tanya dalam hati karena penasaran. Aku pulang pukul 11 malam dari radio. Sampai di kos, aku langsung cuci muka, sikat gigi, dan tidur. Saat bangun tidur, aku sudah lupa dengan kejadian tadi malam sampai saat aku membuka laptop untuk mengerjakan tugas. Laptopku awalnya eror. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama ini. Ada banyak garis-garis muncul di layarnya. Setelah menuggu beberapa saat, akhirnya bisa kembali normal. Aku tidak tahu apakah yang terjadi padaku pagi ini ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi malam tetapi sampai sekarang, aku tidak bisa berhenti memikirkannya sehingga aku memilih untuk menuliskan kisahnya di blog.