Sabtu, 31 Desember 2016

KETIKA SAYA HARUS ANTRE SAAT MALAM TAHUN BARU 2017

Bagaimana perayaan Malam Tahun Baru 2017 kalian? I wish I could stay at home and watch TV with my family. Sayangnya, keinginan tersebut tidak bisa dilaksanakan karena saya dan adik laki-laki saya yang biasa saya panggil Plab harus bertemu dokter gigi langganan. Pindah tanggal kontrol sebenarnya memungkinkan namun sulit karena si dokter pasiennya banyak. Walhasil, tepat pukul 08:15 di malam Tahun Baru 2017, kami berangkat dari Wates ke Jalan Parangtritis. Perjalanan dari Wates sampai ke Gamping, jalanan cenderung masih lengang. Namun, mulai dari Gamping, kepadatan lalu lintas sudah mulai terasa. Itulah yang membuat kami memilih untuk lewat ringroad. Biasanya, kami lewat Brigjen Katamso.

Singkat cerita, sampailah saya dan Plab ke tempat praktik pukul 09:10. Sebenarnya dokter gigi langganan kami sudah mulai buka praktik sejak ba’da maghrib, namun kami sudah titip untuk dituliskan namanya di daftar antrean pasien pada penjaga gedung lewat SMS. Kami dapat kabar kalau kami dapat antrean no.7 sehingga kami berangkat menjelang malam.

Saat sampai di lantai dua ruang praktik, saya lihat sudah ada 5 orang pasien yang menunggu. Saya check nama saya dan Plab di papan antrean, benar no.7. Setelah itu saya mencari tempat duduk dan mulai menanyakan pada 2 ibu-ibu di depan saya antrean sudah sampai no ke berapa. Mereka tidak menjawab pertanyaan saya dan hanya balas memandang. Saya berpikir keras mengapa mereka tidak menjawab pertanyaan saya. Saya khawatir cara bertanya saya pada mereka dianggap kurang sopan. Oleh karena itu, ketika pasien yang ada di ruang praktik keluar dan seorang bapak bersiap masuk, saya kembali bertanya pada Bapak itu dengan cara yang menurut saya sopan, “Maaf, Pak, sekarang sudah antrean nomor berapa ya?” Mau tahu jawaban si Bapak?

Bapak itu hanya memperhatikan saya dan melenggang masuk ruang praktik sambil senyum-senyum. Ajegile!

Bangsa Jepang saat mau naik kendaraan pun antre

Saya mulai sadar bahwa orang-orang ini tidak masuk sesuai dengan daftar antrean yang sudah terpampang. Plab juga mengendus hal yang sama sehingga ia refleks berdiri dari tempat duduknya dan berdiri tepat di depan pintu. Saat si Bapak keluar, Plab langsung masuk ke ruang praktik dan balik kanan untuk menghadapi orang yang memaksa masuk tidak sesuai antrean.

Benar saja, salah satu dari ibu-ibu yang tidak merespon pertanyaan saya sebelumnya memaksa masuk. Plab memblokir pintu sambil dengan tenang bertanya, “Ibu nomor berapa?”

Si Ibu berkata, “Saya sudah antre dari tadi.”

Adik saya kesal dan bertanya kembali, “Ibu di papan antrean nomor berapa?”
Dengan pandangan tidak fokus lagi memandang yang mengajak bicara, ia menjawab, “Nomor sepuluh.”

“Saya nomor tujuh. Berarti saya dulu yang masuk,” kata Plab.

Si Ibu hanya mematung sambil kemudian mencari orang lain untuk melampiaskan kekesalannya. Sialnya, saya, yang dari saat dicuekin pertanyaannya oleh si bapak sudah pasang tampang jutek, akhirnya kena juga. Si Ibu memperhatikan saya dengan tatapan benci. Akhirnya saya bilang, “Kami nomor tujuh jadi kami lebih dulu,” sambil melemparkan tatapan membunuh a la Ronda Rousey. Si Ibu akhirnya duduk kembali.

Setelah sukses memperjuangkan hak kami, kami komplain soal tingkah orang-orang tak beradab tadi pada Bu Dokter dan ternyata Beliau tidak tahu sama sekali soal kekacauan antrean di luar ruang praktiknya. Begitu pun dengan Pak Dino, penjaga bangunan yang biasanya dititipi para pasien untuk menuliskan nama mereka di nomor antrean. Duuuhhhh. Dari beberapa kali kunjungan kami ke situ, baru kali ini saya menemukan sistem antrean macam kasus Jessica-Mirna. Ruwet.

Para pasien yang kacau ini punya sistem antre a la mereka sendiri: mereka datang, nulis nama di papan antre, namun masuknya sesuai dengan yang ada lebih lama di tempat itu. Lha apa kabar yang sudah datang awal, nulis nomor antrean 5, lalu pulang terlebih dahulu untuk menunggu giliran? Masa yang menulis nomor 10 lebih didahulukan dari orang yang nomor 5 ini.

Sepulang kontrol, saya dan Plab masih membicarakan kasus tadi dan betapa rendahnya kesadaran orang Indonesia tentang antre. Sepertinya antre merupakan hal sepele, tapi tunggu sampai kalian merasakan antreannya diserobot. Rasanya aura membunuh dalam diri kita yang bahkan keberadaannya pun mungkin tak pernah disadari tiba-tiba muncul.

Antre adalah salah satu cara bagaimana teori tentang sistem yang adil itu diimplementasikan dalam kehidupan. Ketika kalian mengantre, kalian sedang melaksanakan sekaligus memperjuangkan hak kalian untuk mendapat perlakuan yang adil. Jangan biarkan seorang pun di dunia ini merebut hak tersebut. Kalau kalian diam dalam soal yang katanya dianggap remeh ini, kalian tidak akan punya kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak yang lebih besar. Begitu juga halnya ketika melihat orang lain diserobot antreannya. Jangan hanya diam. Bukan kali ini saja saya dan Plab mendapat pengalaman serobot menyerobot antrean. Sepanjang yang bisa saya ingat, kami tidak pernah diam.

Pulangnya, kami lewat sekitaran Via Via yang jalannya dipenuhi orang-orang dan kendaraan yang rebutan bergerak. Di saat motor-motor, sepeda, dan becak mengantre untuk melewati sisi jalan sebelah kiri yang masih lengang, ada seseorang yang melepaskan kembang api yang bisa meletus di tengah antrean tersebut. Saya dan Plab yang termasuk dalam antrean tersebut hanya bisa misuh. Sayangnya, kami gagal menemukan pelakunya. Kalau kami tahu dan yakin dengan pelakunya, saya tidak akan ragu untuk misuhi dan menampar wajahnya. Kembang api petasan itu berbahaya. Pagi ini saya melihat berita kalau ada 6 orang masuk RS gara-gara tidak sengaja terkena kembang api jenis ini. Somplak bener pelakunya! Untung kami masih selamat.

Setelah itu, kami pergi ke Mister Burger di Jalan Sudirman untuk membeli Hot Sausage Cheese yang menjadi favorit Plab. Jalanan Jogja di Malam Tahun Baru 2017 serupa antrean sembako. Apalagi lalu lintas di Jalan Sudirman yang mayoritas mengarah ke Tugu. Macet total. Saat sampai di Mister Burger pun, saya harus mengantre cukup lama.

Tepat di depan giliran saya, ada 6 orang mbak-mbak dan mas-mas yang usianya mungkin di awal 30an sedang memilih-milih menu. Memilih menu merupakan kegiatan yang biasa kita lakukan sebelum memesan. Yang tidak biasa itu kalau tiap orang dari 6 orang itu membutuhkan kurang lebih 3 menit (iya, saya sampai menghitung pakai detikan di jam tangan!)untuk memutuskan pilihan. 3x6=18 menit! Padahal antrean di belakang mereka sudah mengular. Sebelum sampai di gilirannya, orang-orang ini sebenarnya bisa lho memperhatikan menu yang terpampang besar-besar (plus harganya) di dinding Mister Burger sehingga sudah tahu apa yang mereka mau pesan.

Orang-orang yang mengantre di belakang saya sudah teriak semacam, “Keburu 2017, nih!” atau “Lama banget sih!”. Saya sih memilih memasang muka Ronda Rousey lagi. Sayangnya, enam orang ini benar-benar muka badak. Mereka sudah tahu kalau diteriaki dan banyak orang jengah dengan lamanya waktu yang mereka habiskan untuk memesan. Anehnya, orang-orang ini masih saja cuek. Saat 18 menit kemudian mereka selesai memesan dan membayar, antrean sudah tambah mengular. Entahlah. Saya bingung juga dengan keberadaan orang-orang yang tidak peka saat mengantre macam mereka ini.

Setelah mendapatkan pesanan, saya dan Plab bersiap pulang. Saat orang-orang antre menuju arah Tugu, kami perlu bersabar menerobos arus tersebut untuk bisa ke arah Gramedia. Untungnya ada mas-mas bermobil merah yang rela memundurkan mobilnya untuk kami sehingga kami berhasil menyeberang ke sisi utara Jalan Sudirman dan pulang lewat ringroad.  Akhirnya, ada juga hal yang bisa membuat lega di akhir Malam Tahun Baru 2017. Semoga Malam Tahun Baruan kalian tidak semenjengkelkan saya. 

Sumber gambar: http://touristinparadise.blogspot.co.id/2005/06/yokoso-japan-day-05.html

Selasa, 27 Desember 2016

SEBUAH PENDAPAT UNTUK SING STREET

Apakah kalian suka film musikal? Apa film musikal favorit kalian? The Sound of Music? West Side Story? Mamma Mia!? Mulai sekarang, nampaknya kalian harus mempertimbangkan penambahan satu judul lagi dalam daftar film musikal yang harus ditonton sebelum mati. Siapa tahu film ini bisa jadi favorit kalian. Judulnya Sing Street. Sebagai penggemar film musikal, radar saya tidak mampu membaca keberadaan film ini sampai pertengahan Desember 2016. Itu pun karena saya tidak sengaja membaca daftar nominasi Golden Globe 2017. Padahal film ini sudah diedarkan sejak Maret 2016. Duuhh, ke mana saja saya? Mungkin karena Sing Street merupakan film indie sehingga pemasaran dan reviewnya tidak seheboh film-film Hollywood.

Sing Street merupakan film ke-sekian John Carney, sutradara Once dan Begin Again yang juga merupakan film musikal. Once sudah lama menjadi favorit saya sedangkan Begin Again menurut saya terlalu Hollywood, apalagi dengan adanya Keira Knightley, Mark Ruffalo, dan Adam Levine sebagai pemainnya. Saya lebih suka saat Carney menggunakan aktor dan aktris yang belum terkenal seperti yang dilakukannya dalam Once (nama Glen Hansard tentu saja diketahui banyak orang tetapi dia bukan aktor dan juga bukan super star seperti Levine) dan Sing Street. Alasannya, mereka membuat penonton seperti saya yang merupakan orang biasa lebih memaknai kisah mereka yang umumnya juga digambarkan Carney sebagai orang biasa.  

Anyway, film ini bersetting tempat di Irlandia pertengahan tahun 80an ketika negara tersebut sedang dilanda resesi parah yang menyebabkan banyak generasi mudanya berimigrasi ke Inggris untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Selain berdampak pada anak muda, resesi ini juga memaksa sebuah keluarga di Dublin mengeluarkan anak bungsu mereka yang bernama Conor dari sebuah sekolah Jesuit prestisius dan memindahkannya ke sekolah Katolik bernama Synge Street yang biayanya lebih rendah. Sekolah tersebut adalah sekolah khusus anak laki-laki yang isinya mayoritas susah diatur dan tukang bully.

Untuk mengalihkan perhatian dari suasana sekolah baru yang dibencinya sekaligus untuk menarik perhatian seorang cewek yang ditaksirnya, Conor memutuskan untuk membuat sebuah band bersama teman-teman barunya yang juga sekolah di Synge Street: Darren yang jadi manajer mereka, Eamon si maniak kelinci, Ngig yang menjadi satu-satunya anak berkulit hitam di sekolah mereka (dan mungkin di seluruh Dublin kata Darren), Larry yang bertugas menggebuk drum, serta Garry si pembetot bas. Sepakat menamai band mereka Sing Street, mereka latihan selama 2 kali seminggu dan membuat video untuk tiap lagu yang mereka ciptakan. Tentu saja semua video tersebut dibintangi oleh cewek bernama Raphina yang ditaksir Conor.

Film ini keren banget karena menggambarkan proses bermusik anak-anak remaja yang dipengaruhi oleh banyak musisi di tahun 80an seperti Duran Duran, Spandau Ballet, dan The Cure. Ada beberapa lagu dari musisi-musisi tersebut yang dijadikan original soundtrack film ini. Favorit saya adalah “Stay Clean”nya Motorhead dan “Maneater”nya Daryl Hall and John Oates. Karena ini film musikal, tentu saja ada beberapa lagu yang dibuat khusus untuk film ini dan dimainkan oleh Sing Street. Yang paling saya suka berjudul “Up” dan sampai sekarang saya nggak bisa berhenti memasangnya di playlist.

Sebenarnya merupakan sebuah kesalahan ketika saya melabeli film ini dengan hanya genre musikal karena walaupun musik merupakan aspek yang tidak terpisahkan dalam film ini, ada juga unsur drama dan komedi. Unsur komedi paling banyak ditemukan di awal film, terutama saat proses pencarian personil band dan pembuatan video (kalian harus memperhatikan bagian akhir dari video mereka yang berjudul “The Riddle of the Model”) sedangkan unsur drama dominannya terdapat di bagian tengah dan akhir film. Jika unsur komedi disebabkan oleh tingkah beberapa karakter, unsur drama dalam film ini lebih fokus pada kehidupan Conor. Selain perlakuan keras yang harus diterimanya dari Brother Baxter, gurunya, di usia remaja Conor juga harus menghadapi perpisahan ayah dan ibunya serta cintanya pada Raphina yang awalnya bertepuk sebelah tangan.

Semua pengalaman tersebut ia tuangkan dalam lirik lagu bandnya sebagai upaya untuk keluar dari kesedihan dan tekanan yang diterimanya di sekolah dan di rumah, seperti “Brown Shoes” yang berisi lirik yang isinya melawan dominasi Brother Baxter padanya serta “Drive It Like You Stole It” yang menggambarkan pertengkaran antara ayah ibunya yang intensitasnya semakin sering ia dengar serta bayangan idealnya tentang di mana ia dan bandnya seharusnya memainkan lagu tersebut: dalam sebuah pesta prom yang dihadiri oleh orang-orang yang dicintainya.

Pada akhirnya, Conor memutuskan untuk membawa hidupnya ke arah yang ia mau dengan berimigrasi ke Inggris bersama Raphina menggunakan speedboat. Keputusan ini tentu sarat dengan resiko, mereka bisa saja mati dalam perjalanan. Belum lagi kegagalan yang mungkin mereka hadapi di Inggris nanti karena hanya bermodalkan nekat. Namun, jiwa muda mereka yang berisi semangat dan keberanian mampu mengalahkan bayang-bayang negatif yang mungkin akan mereka temui. Dalam taraf tertentu, keputusan Conor dan Raphina bisa memberikan efek positif pada penonton film ini sehingga saat kelar menonton Sing Street, kalian kemungkinan besar akan 40% semakin percaya pada keputusan yang akan kalian ambil. Setidaknya, itu yang saya rasakan pasca menonton film ini. Selain itu, saya juga jadi kecanduan dengan musik dekade 80an. Selamat menonton!



 Sumber gambar: https://www.pinterest.com/sydneyrosebud/sing-street/

Kamis, 01 Desember 2016

THE ALPHA GIRL'S GUIDE

Pertengahan bulan September yang lalu saya membaca sebuah buku non-fiksi yang sangat bagus. Buku tersebut berisi aspek-aspek apa saja yang harus dipertimbangkan matang-matang apabila seorang wanita ingin menjadi alpha girl. Apa itu alpha girl? Alpha girl adalah tahapan awal dari perempuan yang saat dewasa nanti tumbuh menjadi alpha female? Apa lagi itu alpha female? Intinya, mereka adalah perempuan yang memiliki karakter yang menonjol sehingga disegani oleh lingkungannya. Mereka biasanya dijadikan pemimpin dan panutan dari kelompoknya.

Menjadi alpha female butuh proses yang panjang, tidak bisa dadakan. Setiap alpha female pasti pernah menjadi remaja atau anak muda. Dan seorang alpha female pastilah seorang alpha girl saat ia muda. Proses menjadi alpha girl ini tidak mudah walaupun tidak berarti kamu tidak bisa menikmati masa muda. Karakter dan sikap memang tidak bisa dibentuk dengan tiba-tiba. Semuanya perlu usaha, pembiasaan, dan … latihan! Buku ini memaparkan aspek-aspek apa saja dalam hidup yang patut mendapat perhatian dari calon alpha female sejak mereka muda. Prosesnya tidak sepenuhnya serius. Ada banyak sisi menyenangkan dari usaha menjadi seorang alpha girl. Ini yang membuat buku ini sangat menarik. Isinya serius tapi disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan jauh dari kesan menasehati dan mengatur.


Lalu, aspek apa saja yang harus diperhatikan oleh mereka yang ingin tumbuh menjadi alpha girl? Menurut Henry Manampiring, penulis buku ini, ada 6 aspek: pendidikan, pertemanan, percintaan, pekerjaan, penampilan, dan karakter sebagai penjaga. Untuk saya yang bahkan sudah melampaui masa berproses menjadi alpha girl (27 masih girl nggak sih), buku ini masih sangat menginspirasi, terutama bagian penampilan. Saya tidak tahu apakah saya ini alpha female atau bukan karena menurut Oom Piring, status alpha ini bukan kita yang menyematkan pada diri kita sendiri namun berdasarkan pengakuan orang-orang di sekitar kita. Namun, terlepas dari kenyataan iya atau tidaknya saya seorang alpha female, saya selalu ingin melakukan segalanya dengan maksimal, baik untuk diri saya maupun kelompok saya. Dan aspek yang selama ini sering saya lewatkan atau sepelekan adalah penampilan.

Cenderung tomboy dengan make up sangat minimalis (krim siang, bedak Marcks’, dan lipgloss) serta memiliki selera fashion sederhana, tampilan saya memang jauh dari teman-teman sejawat yang hapal produk-produk make up terbaru dan rajin menyisihkan tabungan untuk mengikuti trend fashion. Ternyata hal seperti ini harus diperhatikan kalau kalian ingin unggul di dalam kelompok. Namun, poin yang paling penting dalam penampilan ternyata bukan itu. Kesehatan ternyata menempati posisi utama dan saya baru menyadarinya. Karena buku ini pula saya jadi semakin semangat olahraga. Sebelumnya saya rutin jogging seminggu minimal 2x dan setiap hari mengayuh sepeda. Sekarang, tiap bangun pagi saya tidak alpa dengan 10 menit latihan untuk membuat perut sixpack. Terbukti bahwa buku ini membawa perubahan baik dalam kehidupan saya.

Selain 6 aspek tadi, ada juga bab tentang penjelasan istilah alpha female dan alpha girl di bagian awal, wawancara dengan 2 alpha female, dan kata-kata penutup dari penulisnya yang inspiratif dalam bab “Your Alpha Future”.

Saya tidak akan bilang bahwa buku ini adalah buku motivasi. Saya tidak suka kata “motivasi” karena sejak SMA saya merasa ilfeel dengan acara berkedok motivasi baik di kampus maupun di televisi serta motivator yang menurut saya selalu gagal total menyadarkan saya (baca: membawa saya ke jalan yang menurut mereka benar). Oleh karena itu, saya sangat merekomendasikan buku ini yang telah memberikan perubahan baik ke hidup saya, terutama pada aspek kesehatan, tanpa diksi yang penuh dengan busa-busa bernada ajakan.

Saya sangat tertarik di bab penampilan. Mungkin kalian akan merasa terbantu di aspek lain, seperti percintaan atau pekerjaan. Silakan dibuktikan. Buku ini terdiri dari 253 halaman dengan tulisan yang besar-besar dan dihiasi dengan kartun-kartun lucu di dalamnya. Saya kemarin biasa membacanya sebelum tidur dan sudah khatam dalam dua malam. Jadi, jangan terlalu serius saat membacanya. Dinikmati saja. Menurut saya, itu cara terbaik menikmati buku ini.

Oh iya. Sebelum membaca buku ini, saya sudah mengikuti akun Twitter dari penulisnya sejak tahun 2009, tahun pertama saya twitteran. Twit-twitnya inspiratif tapi disampaikan in a fun way. Jadi untuk mereka yang juga penasaran dengan penulisnya yang baru saja jadi ayah ini (selamat Oom Piring!), kalian bisa mengunjunginya di @manampiring . Selamat membaca! 

Sumber gambar: http://happyfitdiary.com/667/being-alpha-girls/