Sabtu, 07 Januari 2017

EULOGY UNTUK PAPA SEORANG SAHABAT

“Itu lukisan siapa, Len?” merupakan pertanyaan pertama yang saya ajukan pada sahabat saya, Ellen, saat pertama kali berkunjung ke rumahnya.
“Mama sama papaku,” jawabnya.
Entah ia masih mengingat percakapan tersebut atau tidak. Belasan tahun telah berlalu sejak pertanyaan tersebut saya lontarkan. Lima belas tahun tepatnya.
Dan kenangan tersebut entah mengapa datang kembali 3 hari yang lalu.

Mungkin Anda sempat membaca sekilas lewat sosial media atau surat kabar tentang kepergian Kepala Dinas Perhubungan DIY karena kecelakaan. Sepedanya tertabrak dari belakang oleh pengendara sepeda motor di daerah Sedayu. Pengendara sepeda tersebut terjatuh dan tak sadarkan diri sampai kemudian dinyatakan telah berpulang. Pengendara sepeda tersebut adalah Pak Sigit Haryanta, papa Ellen, laki-laki dalam lukisan tadi.  

Saya tentu tak pernah mengenal Beliau  sebagai Kepala Dinas Perhubungan. Saya lebih mengenalnya sebagai ayah dari salah satu sahabat saya saat SMP. Kalau saya ditanya, apa kenangan yang paling diingat dari Almarhum? Jawaban saya ya lukisan tadi.

Itu kali pertama saya bertemu Pak Sigit. Memang benar, lewat lukisan. Saya lebih dulu mengenal sosoknya lewat cerita-cerita Ellen di kelas sebelum punya kesempatan bersua. Dulu Ellen sering sekali bercerita tentang ayahnya pada saya dan 2 anggota geng kami yang lain. Saya masih ingat beberapa.
“Yan, aku sama Papaku tadi malam ngobatin kucing yang perutnya sobek.” Ellen dan adiknya menemukan seekor kucing yang perutnya mulai membusuk di depan rumahnya. Dibantu ayahnya, mereka memberikan obat bubuk di bagian perut si kucing. Saya tidak ingat apakah kucing tersebut akhirnya sembuh.
Atau, “Yan, buku yang kupinjam di perpus diompolin Elsa dan Papaku moso malah ketawa.” Elsa adalah adik kedua Ellen yang saat itu masih balita. Tidak sengaja ia pipis di buku yang Ellen pinjam dari perpustakaan. Saat melihat dan mengetahui alasan Ellen menyetrika buku tersebut, ayahnya terbahak. Kalau tidak salah saat itu Elsa ngompol di buku berjudul “Belenggu” karya Armijn Pane.

Lewat cerita-cerita itulah saya merasa mengenal Beliau jauh sebelum bertemu langsung. Saat saya pada akhirnya punya kesempatan untuk bertemu, seingat saya tidak ada rasa canggung yang saya rasakan. Percakapan dengan Beliau, walaupun selalu sebentar dan jarang terjadi, adalah salah satu hal yang paling saya tunggu saat berkunjung ke rumah Ellen. Pertanyaan yang sering sekali Beliau ajukan adalah, “Sudah makan belum, Yan?”. Seringnya kami ngobrol soal aktivitas saya dan kabar tetangga-tetangga saya yang kebetulan Beliau kenal. Sederhana memang. Namun, bagi saya yang sudah ditinggal ayah sejak usia 7 tahun, punya kesempatan untuk sekedar bercakap dengan orang-orang yang usianya kira-kira sama dengan ayah saya kalau ia masih hidup, merupakan kebahagiaan kecil yang selalu saya cari. 

Ellen mungkin tidak tahu bahwa cerita-cerita tentang Papanya yang sering ia sampaikan turut membangun sedikit demi sedikit kenangan saya tentang Pak Sigit. Dalam kenangan saya, ia seolah adalah ayah saya sendiri.

Selepas SMP, saya jarang berkomunikasi dengan Ellen karena SMA Ellen berlokasi di Jogja sedangkan saya di Wates. Kami juga kuliah di universitas yang berbeda. Namun, saat kuliah, pada beberapa kesempatan saya menginap di rumah Ellen di Jogja dan di saat itulah saya punya kesempatan untuk bertemu kembali dengan papanya. Saya terkejut saat Beliau masih ingat saya. Pertanyaan “Sudah makan belum, Yan?” masih Beliau lontarkan. Saat saya kuliah, pertanyaan tersebut ditambah, “Masih nglajo kamu?”. 

Saya selalu memperhatikan sikap Beliau pada keluarganya. Beliau adalah ayah yang humoris, ramah, dan perhatian. Pada beberapa kesempatan saat saya masih SMP, Beliau tidak ragu membantu serta menemani Ellen dan saya membuat prakarya. Pernah juga saat itu kami se-geng nonton pasar malam di alun-alun Wates sampai menjelang tengah malam. Saat kami sampai di rumah Leny, salah satu anggota geng, kami dapat kabar kalau Pak Sigit sudah menjemput Ellen beberapa kali. Padahal Ellen tidak minta dijemput. 

Saat saya kebetulan menginap di rumah Ellen di Jogja ketika masa kuliah, saya selalu menemukan Pak Sigit datang menjenguk Ellen dan adiknya, Andre, sebelum pulang ke rumahnya di Wates. Padahal Beliau  sering pulang malam dari kantornya. Butuh lebih dari sekedar cinta untuk bisa bersikap seperti itu. Beliau adalah ayah berkarakter kuat yang sosoknya diimpikan oleh semua anak di dunia ini. Saya tahu Ellen, Andre, dan Elsa pasti sangat kehilangan. Mereka patut berbangga memiliki ayah seperti Pak Sigit.

Tulisan ini saya persembahkan untuk Beliau yang kini sudah beristirahat dengan tenang. Beliau merupakan orang baik yang hidupnya secara tidak langsung mempengaruhi orang-orang yang bahkan tidak dekat dengannya, seperti saya. Itu mungkin sebabnya mengapa hal yang pertama kali saya ingat tentang Beliau adalah lukisannya, media yang pertama kali memperkenalkan saya dengan Beliau. Ingatan paling kuat saya tentang Beliau tidak dibangun lewat pertemuan langsung namun lewat kesaksian dari mereka yang mencintai Beliau. 

Selamat jalan, Pak Sigit…


Sumber gambar: http://m.metrotvnews.com/jateng/peristiwa/5b2M34vN-10-go-car-terjaring-razia-di-yogya