Yasunari Kawabata adalah
penerima Nobel Sastra pertama dari Jepang. Penghargaan tersebut diterima tahun
1968. Kawabata terkenal dengan prosa lirisnya. Prosa liris adalah bentuk tulisan
seperti prosa yang memiliki irama tertentu. Prosa liris Kawabata di Jepang
dikategorikan sebagai haiku. Salah satu karyanya yang dianggap monumental dan
mengandung bait-bait haiku adalah sebuah novel berjudul Yukiguni yang dialihbahasakan dalam bahasa Inggris menjadi Snow Country. Penerbit Gagas Media
menerbitkan versi bahasa Indonesianya dengan judul Daerah Salju dengan penerjemah A.S. Laksana.
Daerah Salju adalah sebuah
kisah cinta antara seorang pria Tokyo bernama Shimamura dengan seorang geisha di daerah pemandian air panas (onsen) bernama Komako. Shimamura rutin
mengunjungi pemandian air panas di setiap musim dingin saat salju mulai
menyelimuti desa tempat tinggal Komako dan selalu menggunakan jasa geisha
tersebut. Komako adalah geisha onsen
yang kehidupannya sangat sederhana dibandingkan dengan rekan-rekan seprofesinya
di Tokyo dan Kyoto. Ia belajar samisen
dengan otodidak. Shimamura yang seorang pengamat amatir tarian Barat seolah menemukan
pelengkap dalam kesederhanaan tradisional Komako. Komako memainkannya samisen
dan menemaninya tiap malam walaupun ia akan langsung pergi sebelum matahari
pagi bersinar. Dalam budaya Jepang tradisional, seks dipercaya menjadi salah
satu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Seorang pria beristri tidak dilarang
untuk menyewa jasa wanita panggilan.
Komako memiliki perasaan
yang sama terhadap Shimamura. Namun keduanya telah mafhum sedari awal bahwa
hubungan mereka tidak akan bisa berhasil. Kehidupan Komako yang keras dan sulit
seolah tidak bisa mengimbangi jalan pikiran Shimamura yang penuh dengan
fantasi. Ketdakmampuan Shimamura dalam mengerti dan melengkapi Komako
digambarkan dalam sebuah insiden kebakaran yang juga menjadi penutup dari novel
ini. Saat Komako berlari memberikan bantuan pada Yoko, wanita yang
kecantikannya juga dikagumi oleh Shimamura, Shimamura mematung dan hanya mampu
memandang Komako yang berlari panik dan menjerit mendekati jasad Yoko.
Naskah ceritanya
diterjemahkan dengan baik oleh pengalihbahasa jadi tidak ada kesulitan dalam
memahami cerita dan alurnya. Walaupun bukan merupakan haiku lagi ketika sudah
diterjemahkan, namun pembaca masih dapat mengagumi keindahan karya sastra ini
melalui penggambaran hal secara sangat detail oleh Kawabata. Detail tidak
membuat ceritanya menjadi membosankan. Malah justru menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari petualangan Shimamura dan Komako. Paragraf berikut bisa
menjadi contoh:
Pada
saai itulah, cahaya muncul di tengah wajah si gadis. Bayangan di cermin tidak
cukup kuat untuk menahan cahaya di luar sana, sementara cahaya di luar pun
tidak terlalu kuat untuk meredupkan bayangan. Cahaya bergerak melintasi wajah,
tetapi tidak sampai membuat wajah itu berkilau. Cahaya itu adalah bintik yang
jauh dan samar. Saat ia mengirimkan pancarannya ke bola mata si gadis, saat
mata dan cahaya itu saling bertindihan, mata itu menjadi kilau cahaya indah
sekaligus ganjil, yang mengapung di lautan malam. (Kawabata,
2010: 8)
Paragraf tersebut
menggambarkan Shimamura yang sedang mengagumi kecantikan seorang wanita bernama
Yoko yang ia lihat dalam perjalanan naik kereta menuju onsen. Di sepanjang
halaman buku, tidak sulit untuk menemukan kalimat-kalimat indah lainnya.
Menurut beberapa analisis
sastra yang saya baca, Komako sebenarnya adalah representasi budaya tradisional
Jepang yang mulai luluh karena modernisasi, dalam hal ini diwakili Shimamura. Tragisnya
akhir cerita ini mungkin merupakan kekecewaan Kawabata akan makin terkikisnya
nilai-nilai tradisional Jepang. Bagi yang tertarik untuk menikmati karya sastra Jepang yang sangat berkualitas karena merangkum aspek budaya, sastra, dan kehidupan itu sendiri, buku setebal 188 halaman ini bisa menjadi salah satu pilihan. Selamat membaca!