Berhubung saya tidak punya acara khusus di
malam tahun baru 2015, saya memilih untuk menghabiskan waktu membaca kembali
karya YB. Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun berjudul Burung-burung Manyar. Misi membaca
kembali ini sudah saya mulai satu hari sebelumnya sehingga di pagi hari 1
Januari 2015 saya hanya perlu menyelesaikan 3 bab terakhir.
Alasan mengapa saya memilih buku tersebut
untuk dibaca kembali sebenarnya sangat simple.
Belum lama ini saya jalan-jalan ke Togamas dan di sana saya menemukan buku ini.
Dulu saat kelas 2 SMP saya pernah membaca buku tersebut tetapi lupa-lupa ingat
dengan ceritanya sehingga saya bertekad untuk membacanya kembali dan tidak lupa
dengan ceritanya. Jadi, saya membeli buku tersebut dan baru sempat saya baca 1
hari sebelum malam tahun baru 2015.
Buku ini menarik karena diawali dengan sebuah
pembuka yang diberi judul “Prawayang”. Dalam bagian ini, Romo Mangun
menceritakan sebuah babak dalam cerita pewayangan di mana Kakrasana yang
merupakan titisan Dewa Basuki dan putra Basudewa sejak kecil sudah dititipkan
di keluarga Antapoga, sang gembala istana, bersama saudara-saudarinya, Narayana
dan Rara Ireng. Mereka tumbuh bersama putri Antaboga yang bernama Rarasati.
Dalam perang Barathayuda, Kakrasana yang kemudian bergelar Raja Baladewa sejak
awal memihak Kurawa padahal hati dan dukungannya sepenuhnya ia serahkan pada
Pandawa. Hal ini demi kesetiaannya pada istri dan mertuanya, Raja Salya. Sudah
bisa ditebak bahwa keputusan dan nasib yang ditimpakan kepada beberapa tokoh
dalam kisah pewayangan tersebut berhubungan dengan karakter-karakter yang
nantinya akan ditemukan dalam novel.
Rangkaian kisah setebal 406 halaman pada
dasarnya menceritakan kehidupan dua orang anak manusia bernama Setadewa atau
Teto dan Larasati atau Atik. Keduanya berasal dari keluarga terpandang dan
ningrat. Masing-masing keluarga memiliki pertautan dengan Kraton Mangkunegaran
di Solo. Saat keduanya tumbuh besar, mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa
mereka mencintai satu sama lain namun situasi saat itu tidak memungkinkan
mereka untuk bersatu. Teto memilih untuk menjadi tentara KNIL dan berperang
melawan tentara-tentara Indonesia karena kekecewaanya pada pemerintah Indonesia
yang menurutnya hanya kepanjangan tangan Jepang. Ia teramat membenci Jepang
karena sang ibu yang Indo dan berparas cantik, Marice, dipaksa menjadi gundik
Jepang sampai akhirnya menjadi gila. Sedangkan ayahnya, Letnan Brajabasuki,
yang mengabdi para pemerintah Hindia Belanda, ditahan oleh Jepang dan setelah
itu tidak pernah diketahui lagi kabarnya.
Kebencian Teto ini berkebalikan dengan
dukungan yang diberikan keluarga Antana, orang tua Larasati, terhadap
pemerintahan pimpinan Soekarno. Bahkan Larasati saat zaman perjuangan sempat
menjadi juru ketik Perdana Menteri Sjahrir. Dua komitmen bertentangan antara
sepasang orang yang saling mencintai ini mengingatkan saya pada sebuah film
drama romantis tahun 70an yang dibintangi Robert Redford dan Barbara Streissand
berjudul The Way We Were.
Kisah kehidupan yang berisi tentang keteguhan
hati yang diombang-ambingkan oleh perasaan purba manusia yaitu cinta, masa
perjuangan yang keras, sadis, namun romatik, dan besarnya cinta kasih keluarga
membuat Burung-burung Manyar
menyajikan salah satu prototipe kisah manusia di zaman perjuangan dan Orde Baru.
Ada banyak tawa dan sayang namun hati yang hancur dan putus asa juga menjadi
bagian yang niscaya dari proses menjadi manusia. Apalagi di masa yang sangat
tidak menentu. Pada akhirnya mereka memang tidak bisa bersatu menjadi suami
istri namun keterhubungan mereka melalui romantisme masa lalu dan cara mereka
memperlakukan masa kini dan menyambut masa depan membuat hubungan mereka
bertahan dengan cara yang santun.
Karena dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan
keadaan sosial politik di Indonesia (1934-1944 masa penjajahan Hindia Belanda,
1945-1950 masa mempertahankan kemerdekaan dan diplomasi, 1968-1978 masa Orde
Baru), pembaca dapat melihat kontrasnya kedaan yang menjadi latar belakang dan
bagaimana keadaan tersebut juga mempengaruhi pergulatan batin yang dialami oleh
karakter Teto dan Atik.
Sungguh buku ini membukakan mata akan
rumitnya perjalanan hidup manusia yang kerapkali bisa mengendalikan nuraninya
namun di sisi lain sering juga kalah oleh egonya. Lama kelamaan, sering karena
waktu, seorang manusia akan lebih memiliki kekuatan dan kendali terhadap nurani
dan egonya. Buku ini penuh berisi dialog antara Teto dengan dirinya untuk
menimbang sesuatu atau sekedar meyakinkan diri bahwa yang dilakukannya sudah
benar walaupun terkadang ia tahu kalau sebenarnya salah. Hal yang akrab dengan
pengalaman sebagai manusia.
Buku ini pertama kali terbit tahun 1981 dan
mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Sejauh ini, Burung-burung Manyar adalah karya YB.
Mangunwijaya yang paling sering saya dengar dibicarakan. Selamat membaca!