Sudah hampir
seminggu saya ada di Indonesia setelah hampir setengah tahun di negeri orang. Setiap
pulang dari tempat yang jauh, saya selalu takjub dengan perubahan sekecil
apapun yang menurut saya terjadi di kota tempat saya berdomisili, Jogja dan
Wates. Selama seminggu ini, kebetulan saya sudah beberapa kali bolak-balik
Jogja-Wates menggunakan kereta Prambanan Ekspres atau yang sering disebut
Prameks. Saya menyadari satu perubahan: jumlah orang yang menonton lalu lalang
kereta api di pinggir rel tiap sore bertambah banyak.
Bahkan pemandangan
tersebut semakin menarik saat saya menyadari ada banyak pedagang kecil yang
ikut mengais rezeki dengan mangkal di titik-titik yang dianggap strategis untuk
menonton kereta lewat. Jenis dagangannya beragam. Mulai cilok sampai jasa naik
odong-odong. Berdasarkan pengamatan saya, titik tersebut biasanya berada di
lokasi yang dekat dengan jalan utama desa.
Awalnya saya
sempat sinis dengan cara orang-orang ini mencari hiburan kala sore. Memangnya nggak
ada cara lain apa untuk cari hiburan. Kereta lewat aja ditunggu. Lagian, apa
yang menarik dari bodi kereta kita. Nggak ada mulus-mulusnya. Sampai kemudian
saya menyadari satu hal dalam perjalanan pulang ke Wates dari Jogja naik
Prameks sore ini.
Setelah
saya memperhatikan beberapa titik berkumpulnya masyarakat untuk menonton kereta
lewat, saya sadar bahwa mayoritas massanya adalah keluarga yang punya anak
kecil, terutama usia balita. Fakta ini membawa ingatan saya ke masa lebih dari
dua puluh tahun yang lalu saat setiap sore Bapak sering membawa saya melihat
kereta melintas di perhentian kereta sisi barat kota Wates. Selepas mandi dan
diberi bedak, saya akan setia menunggu Bapak pulang kerja. Kalau suara motornya
sudah terdengar, saya akan langsung keluar rumah dan menunggu dinaikkan ke tangki
motornya. Saya masih punya ingatan tentang rupa tutup tangki bensinnya saking seringnya duduk di
sana.
Bapak akan
berkendara membawa saya ke depan SD Kanisius Wates yang lokasinya ada di samping rel untuk
menunggu lewatnya si kuda besi. Saat lokomotif kereta sudah mulai nampak,
kadang saya akan mulai berdiri di tangki dan Bapak akan memegangi perut saya.
Saya ingat pelukan lengannya di perut karena sering memainkan arlojinya. Ritual
ini mulai hilang menjelang saya masuk SD karena saat itu saya lebih sering main
dengan anak-anak tetangga sampai sore. Lalu karena Bapak akhirnya pergi saat
usia saya 7 tahun, tidak pernah ada lagi ritual yang sama dalam hidup saya.
Sejak dulu
saya sadar kalau alasan kecintaan saya pada kereta api banyak dipengaruhi oleh
kenangan tersebut. Tapi baru sore ini saya menyadari bahwa menunggu kereta
lewat sebenarnya adalah cara sederhana orang tua Indonesia - terutama di Jawa
karena ada rel kereta api - yang punya anak balita untuk mendekatkan diri
dengan anaknya. Fisik yang capek setelah bekerja seharian masih harus mengalah untuk diistirahatkan demi sang permata hati. Keikhlasan untuk mengalah dengan rasa capek itu namanya cinta dan ternyata ia tidak lekang karena sampai
sekarang, perasaan saya selalu hangat tiap kali melihat kereta.
Saya memang
tak pernah bisa mengingat apa yang Bapak dan saya bicarakan saat menunggu
kereta karena bahkan mungkin tidak ada dialog berarti yang terjadi (sambil
sedang mencoba memikirkan beberapa kemungkinan dialog antara anak balita
perempuan dan ayahnya). Namun, kenangan yang diberikan Bapak nyatanya sudah cukup membekali
saya untuk tumbuh menjadi anak yang tak pernah merasa kekurangan rasa kasih
sayang dari orang tua. Dulu saat saya sering menangis kalau ingat Bapak, ada
guru saya di SD yang pernah bilang kalau Bapak sebenarnya tidak benar-benar pergi. Saya
mulai paham arti perkataannya saat sudah dewasa. Untuk memahami memang perlu
waktu; namun untuk merasakan, tidak perlu menunggu sampai dewasa.
Setelah
ini tentu saja saya tidak akan berani sinis lagi saat melihat gerombolan
orang yang tiap sore menunggu kereta lewat. Karena di sana ada orang tua, ayah dan
ibu, yang sebenarnya sedang menegosiasikan waktu istirahat dengan badan mereka
yang capek, demi menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa mereka begitu
dicintai.
Sumber gambar: http://moziru.com/explore/Train%20Station%20clipart%20black%20and%20white/