Senja di Jakarta
pertama-tama lebih dikenal sebagai Twilight
in Jakarta karena novel ini pertama kali diterbitkan dalam versi bahasa
Inggris pada tahun 1963. Hal ini mengingat Mochtar Lubis yang saat itu masih
dalam tahanan rezim Presiden Soekarno tidak memperoleh izin untuk menerbitkan
bukunya. Awalnya diberi judul Yang Terinjak dan Melawan, novel ini
baru boleh diterbitkan di Indonesia pada tahun 1970. Hal inilah yang membuat Senja di Jakarta menjadi novel karya
Mochtar Lubis yang paling dikenal di dunia internasional karena setelah
diterbitkan dalam bahasa Inggris, berturut-turut novel ini dialihbahasakan
dalam berbagai bahasa seperti Prancis dan Jepang. Seperti yang tercantum di
halaman terakhir, novel ini diselesaikan pada tahun 1957 dan dengan kuat
menggambarkan situasi politik dan sosial yang terjadi di Jakarta pada saat itu.
Senja di Jakarta adalah novel tentang manusia Jakarta dari
tiga kelas sosial. Kelas atas yang dekat dengan kekuasaan diwakili oleh Raden
Kaslan dan putranya Suryono, kelas menengah golongan pegawai negeri diwakili
keluarga Sugeng, serta kelas bawah yang untuk makan atau tidak hari ini masih
belum pasti diwakili oleh Saimun dan Itam. Ketiga golongan tersebut tidak
mengenal satu sama lain karena tiap-tiap dari mereka hanya bergaul dengan
kalangannya sendiri. Namun, dalam beberapa kesempatan, Mochtar Lubis
mempertemukan golongan-golongan tersebut walaupun hanya sambil lalu. Contohnya
saat mobil yang dikendarai Suryono tidak sengaja menyerempet Saimun yang
linglung memikirkan sulitnya memperoleh rebewes (SIM). Pola penceritaan yang
seperti itu mengingatkan saya pada novel Charles Dickens yang berjudul Our Mutual Friend.
Keluarga Raden Kaslan
adalah keluarga priyayi yang tidak pernah hidup susah. Mereka kaya dan berpengaruh
mengingat Raden Kaslan tergabung dalam Partai Indonesia yang saat itu menjadi
salah satu partai yang menjadi anggota dalam kabinet. Indonesia memang pernah
memiliki sistem pemerintahan parlementer yang membuat kabinet sangat tidak
stabil dan mudah berganti. Hanya dengan mosi tidak percaya dari partai oposisi,
kabinet saat itu sangat mudah untuk digoyang dan ditumbangkan.
Karena pengaruhnya
yang besar dalam partai, terutama posisinya sebagai pengusaha yang sukses,
Raden Kaslan diminta Husin Limbara, pemimpin Partai Indonesia, untuk mencarikan
dana Pemilu bagi partai yang nilainya mencapai puluhan juta (di masa itu,
jumlah ini tergolong sangat banyak, sebagai perbandingan, harga nasi sayur
sepiring adalah satu rupiah). Raden Kaslan mengusulkan untuk membuat perusahaan
impor fiktif. Anak dan istri baru Raden Kaslan, Fatma, pun dilibatkan dalam
pembuatan perusahaan tersebut. Untuk memperlancar jalan izin penerbitan
perusahaan tersebut, mereka menyuap seorang pegawai negeri di Kementerian
Perekonomian yang terpaksa menyetujui permintaan Raden Kaslan karena membutuhkan
uang mengingat istrinya yang sedang hamil anak kedua memaksa memiliki rumah
baru. Pegawai tersebut bernama Sugeng.
Singkat cerita,
keluarga Raden Kaslan dan partai mendulang keuntungan yang teramat banyak.
Sementara itu, Sugeng juga turut menikmati keuntungan karena korupsi yang
dilakukannya. Kehidupan Saimun dan Itam tidak banyak berubah. Saimun berhasil
menjadi supir truk tanpa rebewes, sedang Itam menjadi tukang becak, namun
mereka tetap harus berpikir keras bagaimana caranya agar perut hari itu tidak
kosong. Pada akhirnya, keluarga Raden Kaslan menerima imbas dari perbuatannya
setelah pihak oposisi memberitakan cara-cara tidak jujur yang selama ini telah
digunakan oleh Partai Indonesia untuk mendulang uang. Hal ini disusul dengan
kematian Suryono karena kecelakaan saat berlibur dan berselingkuh dengan Fatma,
ibu tirinya yang masih muda.
Novel ini secara
gamblang mengkritik politisi-politisi Indonesia di era Soekarno yang lebih
mementingkan kepentingan pribadi dan partai daripada rakyat. Para politisi
sibuk mempertahankan posisi partai mereka di pemerintahan yang sangat mudah
digantikan oleh oposisi sehingga susahnya kehidupan rakyat kecil yang diwakili
oleh Itam dan Saimun tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Ada perbedaan yang
sangat besar saat menyimak kehidupan keluarga Raden Kaslan yang dengan mudahnya
berganti mobil dan bingung bagaimana caranya menghamburkan uang dengan Saiman
dan Itam yang harus berbecek-becek mengangkut sampah di tempat penampungan
sampah dan mengantre untuk menerima gaji yang kerap ludes untuk membayar
hutang.
Mochtar Lubis juga
menceritakan aktivitas diskusi para pemuda yang lazim pada saat itu, di mana
para pemuda mendiskusikan tentang berbagai paham seperti demokrasi, Marxisme,
dan agama dan menganalisis paham mana yang kira-kira mampu untuk menyelesaikan
berbagai persoalan di Indonesia. Para pemuda ini berasal dari kalangan menengah
ke atas dan hanya beberapa yang aktif berjuang secara nyata di masyarakat,
lainnya hanya omong doang. Dilihat dari aktivitas para pemuda ini, jelas
terlihat kalau Mochtar Lubis adalah penentang Marxisme karena tokoh pemuda yang
berideologi Marxis, Akhmad, ia gambarkan sebagai pemuda yang temperamen dan
bersedia menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingan partainya,
termasuk mengorganisir massa untuk melakukan protes yang berakhir pada tindakan
anarkis.
Yang menarik dari
novel ini adalah relevansi antara keadaan di zaman Soekarno dengan saat ini.
Degradasi moral dari para politisi yang lebih mementingkan urusan partai dan
pribadi daripada rakyat serta kehidupan rakyat kecil yang hidup dalam
perjuangan untuk sekedar makan dan bergelut dengan naiknya harga kebutuhan
pokok bukanlah hal yang sepenuhnya asing untuk pembaca saai ini. Ini
membuktikan bahwa selama lebih dari 50 tahun kemerdekaan, sejatinya tidak
banyak yang berubah dari bangsa ini. Selamat membaca!