Mochtar
Lubis adalah salah satu sastrawan Indonesia favorit saya. Sejak SMP, saya sudah
akrab dengan buku-bukunya. Terima kasih tak terhingga harus saya ucapkan pada
guru bahasa Indonesia saya, Bu Dian, yang tanpa henti memaksa saya dan teman-teman
sekelas untuk melahap buku-buku sastra Indonesia dari berbagai zaman.
Tidak
seperti buku-buku sastra yang saya akrabi sebelumnya, Manusia Indonesia adalah teks pidato Mochtar Lubis yang disampaikan
di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977. Jadi ada kesan berbeda yang saya
dapatkan saat membaca buku ini. Membaca karya non-fiksi Mochtar Lubis seperti
mengenalnya dari sisi yang lain. Tapi ada satu hal yang saya pastikan tetap
sama, yaitu adanya kritik terhadap karakter bangsa Indonesia yang mengalami
penurunan kualitas secara moral, baik itu pemerintah maupun manusia Indonesia
secara umum. Kritik semacam itu juga bisa ditemukan di novel-novelnya seperti Jalan Tak Ada Ujung dan Senja di Jakarta.
Karena
kritiknya tersebut, banyak pihak-pihak yang merasa tidak sepenuhnya menyetujui
pendapat Mochtar Lubis sehingga teks pidato ini menuai banyak tanggapan dari
tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang. Ramainya tanggapan
tersebut mengingatkan saya pada Polemik Kebudayaan yang dipicu oleh tulisan
Sutan Takdir Alisjahbana. Menariknya, beberapa tanggapan terhadap pidato tersebut
juga turut dicantumkan di buku ini.
Sebelum
membaca pidatonya, ada baiknya membaca Pengantar yang dituliskan oleh Jacob
Oetama agar tidak salah paham ketika membaca buku ini mengingat pidato tersebut
berisi uraian yang mungkin dapat membuat kita pesimis menjadi bangsa Indonesia.
Terlepas dari kenyataan bahwa pidato ini memang bernada pesimistis, sebenarnya
pidato ini mengajak pembacanya untuk bersikap kritis dengan memaksa mereka
untutk bertanya pada diri mereka sendiri apakah karakter mereka benar seperti
manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijabarkan oleh Mochtar Lubis.
Pidato
Mochtar Lubis bisa dibagi menjadi 10 bab. Bab I Manusia Indonesia berisi
gambaran populer tentang manusia Indonesia yang selama ini dipersepsikan oleh
orang asing atau bangsa Indonesia sendiri, baik itu persepsi yang buruk maupun
yang baik. Persepsi ini muncul melalui keberadaan data-data sejarah dan
terpelihara lewat sastra-sastra daerah dan tradisi yang dianut oleh berbagai
suku bangsa di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah mistisisme, sifat yang
artistik, kurang mampu berpikir hal yang sulit-sulit, serta dorongan seks yang
besar.
Bab
II sampai dengan bab VII berjudul Ciri Kesatu sampai Ciri Keenam yang apabila
diringkas dapatlah kira-kira dirangkum keenam sifat manusia Indonesia sebagai
berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul,
artistik, dan kurang kuat mempertahankan keyakinan. Dari keenam sifat tersebut,
hanya dapat ditemukan satu sifat yang baik, yaitu artistik. Kesannya memang
kelima bab yang lain dituliskan untuk mengkritik habis-habisan bangsa Indonesia
yang saat Mochtar Lubis menyampaikan pidato ini sedang hidup dalam kebohongan
karena korupsi dan perilaku ABS (Asal Bapak Senang) bisa ditemukan di hampir
semua bidang dan lapisan masyarakat. Tidak ada lagi karakter-karakter mulia
yang dahulu bisa ditemukan di zaman perjuangan di mana bangsa Indonesia mampu bersatu
padu dan rela berkorban mengusir penjajah.
Bab
VIII Ciri Lainnya pada dasarnya hanya berisi ciri-ciri manusia Indonesia yang
belum disebutkan di bab sebelumnya. Sebagian besar isinya masih ciri-ciri yang
negatif seperti tidak suka bekerja keras, gampang cemburu dan dengki, malas,
dan tukang tiru. Di samping sifat-sifat yang jelek itu, bangsa Indonesia juga
punya sifat baik seperti berhati lembut, suka damai, dan rasa humor yang
membuatnya dapat tertawa saat sulit dan menderita. Di akhir bab, Mochtar Lubis
menyebutkan perlunya penguasaan ilmu dan teknologi. Namun, karena keduanya
membawa kekuasaan yang tak pernah netral, manusia Indonesia harus hati-hati
dalam menggunakannya.
Di
bab IX yang diberi judul Dunia Kini, Mochtar Lubis membahas hubungan antara
ekonomi, sumber daya alam, dan teknologi terhadap kesejahteraan sebuah bangsa.
Ada beberapa kasus yang disajikan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
pengelolaan ketiganya bermuara terhadap kesejahteraan atau keterpurukan sebuah
bangsa. Yang paling utama adalah bagaimana banyak negara di dunia, termasuk
Indonesia, sekarang masih sangat tergantung pada negara-negara besar dalam hal
teknologi, pengelolaan SDA, dan sistem ekonomi sehingga sangat mudah diatur dan
dimanfaatkan. Ia menekankan betapa pentingnya untuk menjadi mandiri dengan cara
memaksimalkan kemampuan bangsa Indonesia karena senyatanya kita tidak bisa
benar-benar lepas dari sistem dan jaringan ekonomi internasional. Bagian
terakhir, yaitu kesimpulan, berisi berbagai saran Pak Mochtar untuk berbagai
bidang penghidupan mulai dari kesenian sampai sikap keseharian.
Beberapa
tanggapan yang disajikan dalam buku ini dirangkum dalam sebuah bab berjudul
“Tanggapan-tanggapan Tanggapan atas Tanggapan” (HAHAHA). Tanggapan tersebut
datang antara lain dari Sarlito Wirawan Sarwono (psikolog UI), Margono
Djojohadikusumo (ayah Prof. Soemitro Djohohadikusumo, kakek Prabowo), Wildan
Yatim, dan Dr. Abu Hanifah. Sarlito mengkritisi ciri-ciri manusia Indonesia
yang disebukan Mochtar Lubis melalui pendekatan psikologis. Margono mengkritisi
sifat feodal manusia Indonesia yang dikritik habis-habisan oleh Mochtar seolah
tidak ada sisi positifnya. Wildan Yatim mengatakan bahwa ciri-ciri manusia
Indonesia yang terkesan buruk itu penyebabnya adalah politik praktis sehingga
lembaga perwakilan rakyat harus benar-benar membawa suara rakyat. Sedangkan Dr.
Abu Hanifah dalam tanggapannya atas tulisan Mochtar Lubis menyinggung banyak
aspek yang harus ditelaah, seperti bapakisme sampai kurangnya teknorat di
Indonesia.
Mochtar
Lubis menjawab tanggapan-tanggapan yang dilayangkan dalam tulisannya tersebut.
Umumnya Mochtar menyayangkan tidak cermatnya keempat penulis tanggapan tersebut
dalam membaca teks pidatonya sehingga tidak bisa menangkap esensinya. Terlepas
dari benar tidaknya pidato Mochtar Lubis telah mendiskreditkan manusia
Indonesia karena mencantumkan sifat-sifat negatif yang teramat banyaknya,
pidato ini sebenarnya menggugah pembacanya untuk bertanya pada diri mereka
sendiri apakah mereka benar seperti yang dicantumkan dalam teks pidato
tersebut. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar