Ini
kali pertama saya menjamah blog setelah berbulan-bulan saya anggurkan. Hahaha.
Dalam tulisan ini saya akan berbagi tentang pengalaman saya berkunjung ke
Bangkok selama 5 hari (1-5 Agustus 2015). Semoga bisa bermanfaat bagi yang
sedang mencari panduan ke Bangkok mengingat sebelum berangkat ke sana, saya
juga mengandalkan banyak informasi dari blog para traveller yang pernah ke sana.
Saya
berangkat ke Bangkok bersama teman satu kelas saya, Isti. Dari Jogja kami naik
kereta Senja Utama ke Jakarta, sebuah kereta bisnis dengan tarif Rp 256.250,00.
Agak mahal dari hari-hari biasa karena kami memesannya pada tanggal 25 Juli,
masih beberapa hari pasca Hari Raya Idul Fitri. Mau pesan kereta ekonomi jelas
sudah ludes terjual. Pilihan yang tersisa tinggal kelas bisnis dan eksekutif.
Alasan
kami menggunakan kereta untuk ke Jakarta dulu baru naik pesawat dari Soetta ke
Bangkok adalah karena pesawat dari Jogja langsung ke Bangkok jatuhnya lebih
mahal saat coba kami bandingkan. Kami berburu tiket pesawat hanya satu bulan sebelum
keberangkatan. Soetta-Don Mueang Rp 987.900,00 sedangkan Don Mueang-Soetta Rp
1.373.500,00 dengan 1 kali transit di Malaysia. Kalau bisa pesan beberapa bulan
sebelumnya, peluang mendapat tiket yang lebih murah akan lebih besar.
Hari I
Di
Jakarta kami turun di stasiun Senen dan dijemput Oom saya untuk istirahat di
rumah Beliau selama beberapa jam sebelum berangkat ke Soetta. Pesawat Air Asia
kami berangkat pukul 16.45 dan tiba di Don Mueang pukul 20.00. Tidak ada
perbedaan waktu antara Jakarta dan Bangkok. Tanggal 1 Agustus malam Bangkok
sedang diguyur hujan. Pesawat kami landing tidak terlalu mulus karena
landasannya licin pasca diguyur hujan.
Dari
Don Mueang kami langsung ke bagian informasi bandara untuk mengetahui cara agar
bisa sampai ke Cu i House (guest house
Universitas Chulalongkorn). Mereka akan memberi kalian peta Bangkok yang super
bermanfaat karena tidak hanya terdiri dari peta namun juga jalur-jalur BTS (semacam
kereta cepat), bahasa Thai untuk survival,
dan informasi penting lainnya. Dari bandara kami harus naik bus jalur 1 ke Mo Chit.
Di sana ada stasiun BTS yang akan membawa kami ke stasiun BTS Siam, stasiun BTS
yang paling dekat dengan penginapan kami di Chula Soi 9 (nama jalan). Biaya
naik bus 30 baht sedangkan biaya BTS 42 baht. Cobalah dihitung dengan kurs
rupiah dengan parameter 10 baht=Rp 4.300,00. Termasuk murah. Karena kami sampai
di stasiun Siam hampir tengah malam dan merasa capek, kami memutuskan naik tuk-tuk (semacam kereta yang ditarik
motor) sembari berusaha memetakan jalan walaupun sebenarnya jarak dari stasiun
BTS ke penginapan tidak terlalu jauh. Satu tuk-tuk dihargai 80 baht. Jadi 40
baht untuk masing-masing kepala. Lumayan asyik lho naik tuk-tuk. Cobalah.
Penginapan
kami sangat nyaman. Dengan biaya 3600 baht atau sekitar 1,2 juta per kamar
selama 5 hari 4 malam, kami bisa mendapat fasilitas yang menyenangkan (2 tempat
tidur, AC, kamar mandi berheater dan shower, TV berchannel internasional,
lemari es), keamanan yang terjamin, dan lokasi yang sangat strategis di pusat
kota Bangkok. Cobalah akses penginapan ini kalau ke Bangkok. Tidak akan
menyesal. Kami mendapat rekomendasi dan bantuan pemesanan dari teman kami,
Doni, yang saat ini menjadi mahasiswa di Universitas Chulalongkorn.
Doni
banyak membantu kami di hari pertama kami berada di Bangkok. Mulai dari
mengantar kami ke supermarket terdekat, memilihkan makan malam yang halal,
sampai mencarikan kartu internet dan mendaftarkannya. Terima kasih banyak, Don!
Makanan favorit saya selama di Bangkok: vegetarian dinner seharga 29 baht yang dihangatkan dengan microwave. Dibeli di kios 7 eleven dekat penginapan. Rasanya ajib! Thailand banget! |
Hari II
Hari
kedua, kami naik taksi menuju The Grand Palace, kompleks kuil yang paling besar
dan indah. Dari Chula Soi 9 - The Grand Palace kira-kira butuh waktu 20 menit
dan kami hanya membayar 77 baht. Murah lho. Coba kalau naik taksi di Jogja. Hari
di mana kami datang bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Sirikit, permaisuri
Raja Bhumibol Adulyadej. Semua tempat wisata tiket masuknya dihargai dengan
harga wisatawan domestik. Kami sebenarnya berniat masuk namun mengingat ada
banyak sekali jumlah wisatawan asing yang bergerombol di sekitaran tempat
wisata, kami mengurungkan niat. Saya tidak pernah bisa dan mau menikmati
keindahan tempat yang terlalu banyak orang. Saya agak tidak suka dengan kebisingan
dan kerumunan orang. Untunglah Isti juga berpendapat sama sehingga kami
memutuskan jalan-jalan di sekitaran The Grand Place yang ternyata di kanan kirinya
penuh dengan kuil-kuil dan bangunan indah lainnya. FYI, kuil di sana disebut
dengan nama Wat.
Sungai Chao Praya yang lebar serta bersih. Digunakan sebagai jalur transportasi pariwisata. |
Di
sebelah The Grand Palace atau Wat Phra Kaeo terdapat Wat Po. Di depan Wat Po,
kami didatangi oleh seorang bapak-bapak yang kami kira adalah pegawai
Departemen Pariwisata Thailand karena ia memberi kami informasi tentang Wat
Arun, sebuah kompleks kuil yang terletak di seberang sungai Chao Praya dan untuk
ke sana harus menggunakan perahu. Ia tiba-tiba memanggil salah satu sopir
tuk-tuk yang membawa kami ke boat pier
atau dermaga kapal. Untuk keliling sekitar Chao Praya selama satu jam, kami
diminta membayar 1000 baht. Sontak kami menolak dan minta untuk dibawa kembali
ke depan Wat Po. Doni pernah bilang pada kami bahwa untuk naik perahu ke Wat
Arun hanya butuh 3 baht. Untung sopir tuk-tuk kami baik dan bisa menerima
alasan kalau kami hanyalah dua mahasiswa bokek. Jadilah kami naik tuk-tuk
bolak-balik yang menghabiskan 20 baht atau sekitar Rp 8.000,00. Murah ya.
Walaupun tertipu 20 baht, kami bisa melihat sudut-sudut perkampungan sekitaran
The Grand Palace yang tidak mungkin dilewati kalau menggunakan kendaraan yang
melewati jalan umum khusus turis. Jadi, jangan gampang tertipu dengan seseorang
yang tiba-tiba memberi informasi cuma-cuma kecuali ia berseragam dan kita
memintanya memberi informasi.
Salah satu sudut The Grand Palace yang tidak kami masuki. Kuil-kuilnya indah dan unik. |
Kami
naik perahu dengan biaya 3 baht ke Wat Arun setelah bertanya lokasinya pada
seorang pegawai dinas pariwisata yang berseragam. Wat Phra Kaew,Wat Po, dan Wat
Arun saling berdekatan sehingga sangat mudah untuk mencapai ketiganya hanya
dalam satu hari. Naik perahu menyeberangi Chao Praya merupakan sebuah
pengalaman baru bagi kami. Walaupun warna airnya coklat, tidak terlihat satu
pun sampah yang mengambang. Kapan sungai-suangai di Jawa bisa dimanfaatkan
menjadi jalur transportasi sekaligus pariwisata ya?
Wat
Arun merupakan sebuah kompleks kuil yang sangat indah karena ada bermacam jenis
kuil dengan fungsi, arsitektur, dan warna yang berbeda. Saya masuk tanpa
membayar tiket. Entahlah apakah karena efek ulang tahun Ratu Sirikit, kompleks
Wat Arun yang sedang direnovasi, atau petugas tiket luput mellihat kami.
3 buah jendela sebuah bangunan di kompleks Wat Arun yang dihias dengan ukiran dan pewarnaan yang sangat detil |
Selesai
berkeliling Wat Arun, kami mencari taksi untuk ke Catuchak. Biaya taksi dari
Wat Arun ke Catuchak hanya 135 baht padahal jaraknya lumayan jauh lho.
Transportasi umum di Bangkok benar-benar top deh. Catuchak adalah sebuah pasar
kaget yang hanya beroperasi tiap hari Sabtu dan Minggu. Hampir mirip seperti
Sunmor UGM kalau di Jogja. Bedanya, Catuchak buka sampai sekitar jam 6 sore dan
lokasinya dibagi menjadi dua, pusat kuliner dan belanja. Jadi kalau sudah puas
belanja barang-barang yang berharga sangat terjangkau di pusat belanjanya, kamu
bisa memuaskan dahaga dan rasa lapar di bagian kulinernya. Hanya saja bagi yang
Muslim, harus selektif sebelum mencoba makanan di sini mengingat banyak B2. Penjualnya
cukup informatif dan pengertian kok. Mereka tahu kata “halal”. Jadi jangan ragu
untuk bertanya. Untuk wisata belanjanya sendiri, sepertinya saya tidak perlu
menguraikannya. Intinya di sini semua barang-barang berharga sangat terjangkau
dan bisa ditawar. Untuk beberapa barang, harganya bisa bikin kaget karena
sangat murah.
Dari
Catuchak, kami mencari stasiun BTS untuk pulang ke penginapan di Chula i House.
Stasiun BTS terletak tidak jauh dari Catuchak. Di sana banyak polisi yang
berjaga, jadi tinggal tanya saja arahnya. Namun, harus siap-siap dengan
keramaian dan kepadatan ya karena banyak sekali orang yang pulang dan pergi
berkunjung ke Catuchak dengan BTS. Maklum, hanya buka di akhir pekan saja. Selama
di BTS dan Catuchak, kami bertemu dengan orang-orang dari berbagai bangsa dan
ras yang bisa teridentifikasi dari bahasa mereka. Ini membuktikan bahwa Bangkok
telah menjadi surga belanja dan wisata yang cukup terkenal di dunia.
Orang-orang lokal juga terlihat sangat terbiasa dengan keberadaan orang-orang
asing di sekitar mereka. Semuanya bisa berbaur dengan harmonis. Sangat terlihat
saat berada di dalam BTS.
Es krim kelapa dengan pilihan topping yang bisa diambil sebanyak yang kamu mau. Enak! |
Hari III dan IV
Kedua
hari tersebut merupakan hari yang padat karena kami harus mengikuti konferensi
dan presentasi di sesi panel. Untuk makan siang dan makan malam, kami sudah
memesan makanan halal saat pendaftaran jadi kami mendapatkan sesuai dengan apa
yang kami pesan. Konferensi diselenggarakan di Hotel Mandarin, Rama Road IV. Lokasinya
tidak jauh dari tempat kami menginap sehingga pulang pergi kami hanya jalan
kaki.
Selama
jalan kaki di pagi dan malam hari, saya mengamati bahwa Bangkok merupakan kota
yang bersih. Tidak ada satu pun sampah plastik yang terlihat dibuang
sembarangan. Kami selalu bertemu dengan petugas kebersihan yang bertugas di
pagi hari. Namun, menurut saya, lingkungan yang bersih tidak hanya disebabkan
faktor adanya petugas kebersihan. Kebersihan tidak mungkin tercipta jika
penduduknya masih bandel membuang sampah. Salut!
Saat
jam pulang kerja, macet ada di mana-mana namun tidak semacet Jakarta. Kemacetan
akan berlangsung kira-kira sampai pukul 9 malam.
Di hari
ke-empat, saya dan Isti pulang dari seminar pukul 4 sore jadi kami masih punya
waktu untuk ke MBK. Dari penginapan ke MBK cukup hanya berjalan kaki. MBK
merupakan sebuah mall luas yang menjual banyak barang. Kami ke sini untuk
membeli oleh-oleh yang berupa makanan, walaupun ada banyak souvenir jenis lain. Di lantai 5 pengunjung bisa
menemukan banyak penjual souvenir dan makanan khas Thailand. Yang paling
terkenal mungkin adalah keripik durian. Kalau mau membeli makanan instant,
cukup pergi ke lantai 2 di mana terdapat supermarket yang memiliki pilihan
snack-snack yang bisa dibawa pulang. Biasanya yang dibeli adalah yang memiliki
rasa green tea karena di Indonesia masih jarang sekali ditemukan.
Hari V
Kami
bangun pukul 03.30 pagi dan meninggalkan penginapan sekitar pukul 04.00 karena
pesawat kami berangkat jam 08.40. Sebenarnya kami bisa berangkat lebih siang,
namun kami mengantisipasi segala kemungkinan terburuk karena jarak penginapan
ke bandara Don Mueang yang cukup jauh. Benar saja. Kami harus menunggu taksi
sekitar 20 menitan karena lupa pesan taksi sebelumnya. Di pagi hari pukul 04.00
taksi sangat jarang ditemukan. Untung kami ditemani seorang bapak security penginapan yang baik. Kami hanya
berkomunikasi dengan bahasa tubuh. Si Bapak membuat saya tertawa dan cukup bisa
mengurangi rasa kantuk. Dari Chula Soi 9 ke Don Mueang di pagi hari yang
lengang, kami membutuhkan waktu hampir setengah jam. Saya tidak bisa membayangkan
berapa lama waktu yang dibutuhkan kalau kami naik taksi di siang atau sore
hari. Kali ini sopir taksi menolak memasang argonya, yang bisa saya mengerti
karena alasan pagi hari dan jalanan yang masih lengang. Ia yang menentukan
harga. 200 baht. Masih tergolong standard menurut saya.
Kami
pulang naik Malindo dan harus transit di Malaysia untuk ganti pesawat. Dari
Kuala Lumpur ke Jakarta kami naik KLM, maskapai Kerajaan Belanda. Dari beberapa
kali kesempatan naik pesawat, baru kali ini saya naik pesawat dengan kapasitas sebesar
KLM. Lumayan dapat makan minum dan free bagasi 20 kg.
Begitu
kira-kira cerita perjalanan selama 5 hari 4 malam di Bangkok. Semoga bisa
bermanfaat bagi yang sedang mencari informasi tentang Bangkok.
PS:
Contoh
kurs dari Baht ke Rupiah
50
baht = Rp 21.500,00 (50xRp 430,00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar