Malam
Sabtu hujan rintik-rintik mengguyur Wates, kota kecil tempat saya berasal.
Cuaca yang tepat untuk tidur sambil memeluk guling dan dihangatkan oleh selimut
tebal. Sayangnya mata belum ngantuk. Akhirnya saya membongkar file-file film simpanan di hardisk. Mencari satu film yang saya
harap bisa ditonton sampai merasa ngantuk. Saat scrolling ke bawah, pandangan saya berhenti di Serendipity (2001), sebuah film romantis yang ceritanya berisi
rangkaian kebetulan manis yang akhirnya menyatukan dua pemain utamanya. Tipikal film romantis Hollywood pokoknya.
Akhirnya
film tersebut menjadi pilihan untuk ditonton. Mengapa? Jangan tanya. Saya juga
tidak tahu. Mungkin saya merasa pilihan saya malam ini akan menjadi serendipity, sebuah kebetulan yang
menyenangkan juga. Entahlah. Pada akhirnya saya kembali menonton film yang berdurasi
kurang lebih satu setengah jam ini dan pandangan saya terhadap film ini jadi
berubah.
Sebelum
membahas perubahan pandangan, saya perlu mengatakan bahwa alasan saya masih manyimpan
film ini di hardisk adalah bukan
karena ceritanya yang bagus, namun karena efek John Cusack. Yup! Saya pernah nonton film-film John yang jauh lebih bagus dari Serendipity, seperti Being
John Malkovich dan Say Anything.
Di antara ketiga film tersebut, sayangnya John nampak paling ganteng saat berada di Serendipity. Ia sedang berada di rentang
usia paling matang seorang laki-laki. Itu sebabnya dia kelihatan sangat
menarik. Saya bersyukur karena setelah nonton ulang film ini untuk mungkin yang
ke-3 kali malam ini, John Cusak ternyata masih ganteng. Sayangnya, ceritanya
kok masih tetap lame. Saya anti
dengan film romantis yang ceritanya menye-menye. Saat biasanya teman saya
merasa baper melihat film romantis, respon saya biasanya sangat sarkastik.
Anehnya, malam ini saya malah jadi memikirkan konsep serendipity yang menjadi inti film ini.
Konon
katanya, setiap kita membaca kembali buku atau menonton ulang film, kita akan
mendapatkan sesuatu yang baru yang belum pernah ditemukan di proses-proses
sebelumnya. Saya memang merasa ada yang berubah tentang cara saya melihat film
ini, terutama dalam proses memahami kembali judulnya.
Serendipity, yang
artinya saya singgung sedikit di awal tulisan, mengacu pada kebetulan-kebetulan
yang berujung pada kebahagiaan atau keberuntungan. Singkatnya, kebetulan yang manis.
Poin yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa mungkin selama ini kita terlalu terbagi
menjadi dua golongan, yang percaya bahwa semua yang terjadi pada hidup ini
sudah diatur dan yang percaya bahwa hidup merupakan serangkaian
kebetulan-kebetulan. Determinism vs free will. Oposisi biner ini tidak
meninggalkan ruang lain selain hitam dan putih. Saya juga awalnya berpikir
begitu. Lebih sering saya condong ke determinisme
walaupun dalam merespon beberapa kasus, saya pernah juga menjadi penganut free will, namun tak pernah di
tengah-tengah.
Malam
ini saya jadi berpikir bahwa mungkin saja kehidupan manusia itu berada di
antara determinism dan free will. Hidup ini berisi segala
sesuatu yang sudah digariskan, sekaligus juga bertemunya kebetulan-kebetulan
yang tidak bermakna. Ambillah contoh ekstrim dari Sara Thomas dan Jonathan
Trager di film Serendipity. Apa sih makna
penting dari dua orang yang tidak sengaja mengambil sarung tangan secara bersamaan
di sebuah toko dan kemudian ngobrol lalu jatuh cinta? Tidak ada. Di suatu
tempat mungkin ada orang yang bertabrakan di belokan yang juga merupakan sudut
sebuah gedung dan ternyata keduanya kembar yang terpisah. Atau seseorang yang meludah dari lantai dua sebuah apartemen dan
terkena orang yang sedang melintas di bawahnya yang kebetulan kepala sekolahnya. Apa arti dari kejadian-kejadian
abstrak macam ini yang mungkin juga terjadi di peradaban lain yang berada di
planet dan galaksi yang lain dari kita? Ada milyaran, mungkin triliunan
kejadian abstrak yang remeh temeh terjadi di seluruh dunia per menitnya. Apa
artinya? Tidak ada. Karena hampir semua individu mengalaminya dalam bentuk yang
berbeda-beda. Tidak ada yang spesial. Semuanya terjadi saja.
Namun,
perlu untuk diketahui bahwa satu kejadian abstrak tadi pasti akan diikuti dengan konsekuensi, yaitu kejadian yang terjadi selanjutnya. Apabila Anda melakukan A, konsekuensinya adalah B, dan seterusnya.
Rangkaian kejadian-kejadian tersebut lalu membuat kita melihat bahwa terdapat pola
di dalamnya. Sesuatu yang berpola, yang terangkai, tentu saja terlihat seperti
direncanakan. Kita akan mulai berpikir bahwa tidak mungkin sesuatu yang berpola
seperti kehidupan tidak ada yang mengatur. Terlalu banyak isi dunia. Kalau semua
itu dibiarkan dan tidak diatur, tentu semuanya akan saling bertubrukan.
Perlahan,
kalian mulai memikirkan konsep determinism
dan free will tadi. Tidak mungkin
segalanya sepenuhnya berdasarkan free
will karena pasti dunia akan kacau. Di sisi yang lain, sulit rasanya
mengatakan bahwa kehidupan ini segalanya sudah ditentukan dan kita hanyalah
robot.
Kemudian
muncullah kata “serendipity” yang sebenarnya
bisa menjadi abu-abu di antara hitam dan putih. Serendipity menjadi serangkaian kebetulan abstrak namun memiliki
arti seolah ada yang telah mengaturnya. Arti tersebut bisa didefinisikan
sebagai kebahagiaan maupun kesedihan. Saya ulangi. Mungkin hidup ini hanyalah
sejumlah kejadian yang tak bermakna, namun ketika dirangkai bisa menjadi
sesuatu yang memiliki arti. Bisa jadi arti yang mengandung kebahagiaan atau
kesedihan. Tidak masalah. Itu hanya perspektif. Ambil contoh Sara dan John yang bahagia karena
berbagai kejadian abstrak tak berarti yang terjadi pada kehidupan mereka
menuntun keduanya untuk bersatu. Tapi jangan lupakan bekas calon istri John dan
mantan pacar Sara. Mereka pasti sedih dan kecewa. Sekali lagi, perspektif.
Jadi,
sulit rasanya mengatakan bahwa hidup ini adalah melulu soal sudah ada yang
mengatur atau rangkaian kejadian abstrak. Lebih mudah saat mulai memahaminya
dengan mengambil jalan tengah.
Sumber gambar: https://www.rottentomatoes.com/m/serendipity/
Sumber gambar: https://www.rottentomatoes.com/m/serendipity/
1 komentar:
Posting Komentar