“Itu lukisan siapa, Len?”
merupakan pertanyaan pertama yang saya ajukan pada sahabat saya, Ellen, saat
pertama kali berkunjung ke rumahnya.
“Mama sama papaku,”
jawabnya.
Entah
ia masih mengingat percakapan tersebut atau tidak. Belasan tahun telah berlalu
sejak pertanyaan tersebut saya lontarkan. Lima belas tahun tepatnya.
Dan
kenangan tersebut entah mengapa datang kembali 3 hari yang lalu.
Mungkin
Anda sempat membaca sekilas lewat sosial media atau surat kabar tentang
kepergian Kepala Dinas Perhubungan DIY karena kecelakaan. Sepedanya tertabrak
dari belakang oleh pengendara sepeda motor di daerah Sedayu. Pengendara sepeda
tersebut terjatuh dan tak sadarkan diri sampai kemudian dinyatakan telah
berpulang. Pengendara sepeda tersebut adalah Pak Sigit Haryanta, papa Ellen,
laki-laki dalam lukisan tadi.
Saya
tentu tak pernah mengenal Beliau sebagai
Kepala Dinas Perhubungan. Saya lebih mengenalnya sebagai ayah dari salah satu
sahabat saya saat SMP. Kalau
saya ditanya, apa kenangan yang paling diingat dari Almarhum? Jawaban saya ya lukisan
tadi.
Itu
kali pertama saya bertemu Pak Sigit. Memang benar, lewat lukisan. Saya lebih
dulu mengenal sosoknya lewat cerita-cerita Ellen di kelas sebelum punya
kesempatan bersua. Dulu Ellen sering sekali bercerita tentang ayahnya pada saya dan 2 anggota geng kami yang lain. Saya masih
ingat beberapa.
“Yan, aku sama Papaku tadi
malam ngobatin kucing yang perutnya sobek.” Ellen dan adiknya
menemukan seekor kucing yang perutnya mulai membusuk di depan rumahnya. Dibantu
ayahnya, mereka memberikan obat bubuk di bagian perut si kucing. Saya tidak
ingat apakah kucing tersebut akhirnya sembuh.
Atau,
“Yan, buku yang kupinjam di perpus
diompolin Elsa dan Papaku moso malah ketawa.” Elsa adalah adik kedua Ellen
yang saat itu masih balita. Tidak sengaja ia pipis di buku yang Ellen pinjam
dari perpustakaan. Saat melihat dan mengetahui alasan Ellen menyetrika buku
tersebut, ayahnya terbahak. Kalau tidak salah saat itu Elsa ngompol di buku
berjudul “Belenggu” karya Armijn
Pane.
Lewat
cerita-cerita itulah saya merasa mengenal Beliau jauh sebelum bertemu langsung.
Saat saya pada akhirnya punya kesempatan untuk bertemu, seingat saya tidak ada
rasa canggung yang saya rasakan. Percakapan dengan Beliau, walaupun selalu sebentar
dan jarang terjadi, adalah salah satu hal yang paling saya tunggu saat
berkunjung ke rumah Ellen. Pertanyaan yang sering sekali Beliau ajukan adalah, “Sudah makan belum, Yan?”. Seringnya kami
ngobrol soal aktivitas saya dan kabar tetangga-tetangga saya yang kebetulan
Beliau kenal. Sederhana memang. Namun, bagi saya yang sudah ditinggal ayah
sejak usia 7 tahun, punya kesempatan untuk sekedar bercakap dengan orang-orang
yang usianya kira-kira sama dengan ayah saya kalau ia masih hidup,
merupakan kebahagiaan kecil yang selalu saya cari.
Ellen
mungkin tidak tahu bahwa cerita-cerita tentang Papanya yang sering ia sampaikan
turut membangun sedikit demi sedikit kenangan saya tentang Pak Sigit. Dalam
kenangan saya, ia seolah adalah ayah saya sendiri.
Selepas
SMP, saya jarang berkomunikasi dengan Ellen karena SMA Ellen berlokasi di Jogja
sedangkan saya di Wates. Kami juga kuliah di universitas yang berbeda. Namun, saat
kuliah, pada beberapa kesempatan saya menginap di rumah Ellen di Jogja dan di
saat itulah saya punya kesempatan untuk bertemu kembali dengan papanya. Saya terkejut
saat Beliau masih ingat saya. Pertanyaan “Sudah
makan belum, Yan?” masih Beliau lontarkan. Saat saya kuliah, pertanyaan
tersebut ditambah, “Masih nglajo kamu?”.
Saya
selalu memperhatikan sikap Beliau pada keluarganya. Beliau adalah ayah yang
humoris, ramah, dan perhatian. Pada beberapa kesempatan saat saya masih SMP, Beliau tidak ragu membantu serta menemani Ellen dan saya membuat prakarya. Pernah juga saat itu kami se-geng nonton pasar malam di alun-alun Wates sampai menjelang tengah malam. Saat kami sampai di rumah Leny, salah satu anggota geng, kami dapat kabar kalau Pak Sigit sudah menjemput Ellen beberapa kali. Padahal Ellen tidak minta dijemput.
Saat saya kebetulan menginap di rumah Ellen di
Jogja ketika masa kuliah, saya selalu menemukan Pak Sigit datang menjenguk Ellen dan adiknya,
Andre, sebelum pulang ke rumahnya di Wates. Padahal Beliau sering pulang malam dari kantornya. Butuh lebih
dari sekedar cinta untuk bisa bersikap seperti itu. Beliau adalah ayah berkarakter
kuat yang sosoknya diimpikan oleh semua anak di dunia ini. Saya tahu Ellen,
Andre, dan Elsa pasti sangat kehilangan. Mereka patut berbangga memiliki ayah
seperti Pak Sigit.
Tulisan
ini saya persembahkan untuk Beliau yang kini sudah beristirahat dengan tenang.
Beliau merupakan orang baik yang hidupnya secara tidak langsung mempengaruhi
orang-orang yang bahkan tidak dekat dengannya, seperti saya. Itu mungkin sebabnya
mengapa hal yang pertama kali saya ingat tentang Beliau adalah lukisannya, media yang
pertama kali memperkenalkan saya dengan Beliau. Ingatan paling kuat saya
tentang Beliau tidak dibangun lewat pertemuan langsung namun lewat kesaksian
dari mereka yang mencintai Beliau.
Selamat
jalan, Pak Sigit…
Sumber gambar: http://m.metrotvnews.com/jateng/peristiwa/5b2M34vN-10-go-car-terjaring-razia-di-yogya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar