Jadi
Sabtu sore yang teduh tidak bisa membangkitkan mental dan fisikku yang memang
sudah loyo. Maunya ya terus tidur sajalah sampai pemberhentian berikutnya di
bus yang aku tumpangi. Tiba-tiba aku lihat temanku masa SD, SMP, dan SMA yang
bisa diajak gila-gilaan naik bus yang sama denganku. Aku berpikir, "Wah,
perjalananku bakalan tidak mengasyikkan nih soalnya aku benar-benar
capek."
Ya
memang benar. Menit-menit pertama kita hanya ngobrol ngalor ngidul tidak jelas
juntrungannya. Pokoknya tidak asyik seperti biasanya. Dia ngomongin ujian
softwarenya yang agak susah dan aku sama sekali tidak tahu apa yang
dibicarakannya.
Wuahhhhhhh,
tidak tahu kenapa, sampai di pertigaan dekat Borobudur Plaza dia nyeletuk,
"Gimana
kalau kita nyoba makan masakan Aceh?" di saat aku memang sedang
memperhatikan salah satu rumah makan masakan Aceh sambil memikirkan betapa
enaknya makan di sana.
Jadilah
gayung bersambut dan kami turun dari bus. Kami memesan dua porsi mie aceh. Aku
pesan mie Aceh ayam dan Lina (ini nama orangnya) pesen mie Aceh cumi
(kelihatannya lebih enak yak..?) lainnya hanya teh panas dua gelas.
Naaaaaaaaaaahhhhhhh,
saat makan itulah aku melihat sesuatu yang membuatku ingin terus berada di
rumah makan itu. Hoaaaaaahh, mas-mas yang masak mie pesanan kami lebih cakep
dari Rizky Hanggono (maksudku mirip tapi lebih cakep). Pas aku mau lihat reaksi
Lina, ternyata dia juga sibuk memandang mas-mas itu mungkin sambil berpikir
"gimana rasanya ya kalau aku bisa membantu mengelap keringatnya yang dleweran ketika memasak mie pesanan
kami". Saat itu juga aku baru tahu bahwa Lina dan aku sama-sama terkena
pelet Aceh.
Nahhh,
detik-detik yang menggemparkan adalah ketika kami harus membayar pesanan kami.
Sambil sok-sok jaim (catatan: Lina tidak pernah jaim, jadi dari tadi dia
senyum-senyum) aku dengan anggun (menurutku) menunggu Lina merampungkan
pembayarannya. Total uang yang harus dia bayar adalah 12ribu. Masnya kemudian
bertanya, "Ada dua ribu nggak Mbak?" (later on she told me that dia
saat itu tidak konsen karena membayangkan akan membayar permintaan itu dengan
kata-kata seperti ini, "Apa sih yang nggak buat kamu? Jangankan dua
ribu..") Lina benar-benar sarap!
Akhirnya
kami tidak sukses meninggalkan rumah makan itu karena hati kami tertinggal di
sana (hoeeeekkkkk!!!).
Di
bus tiba-tiba die nyeletuk, "Yan, besok kalau aku udah lulus kuliah, aku
mau menekuni arsitektur Aceh." (Dia kuliah di arsitektur UGM). Karena aku
nggak mau kalah, aku jawab, "Sehabis lulus, aku mau nranslate literatur
Aceh ke bahas Inggris."(Aku kuliah di Sastra Inggris UNY dan tidak tahu
satu pun kata dalam bahasa Aceh).
Sepanjang
perjalanan ke Wates, kami hanya sibuk ngobrol dan semua hal yang kami bicarakan
adalah hal tentang mas-mas tadi (duhhhhhhhh, pengen tahu namanya) dan Aceh
secara keseluruhan. Mulai dari lagu Bungong Jeumpa (selain lagu daerah, ini
juga nama rumah makannya), tari Saman, Rencong, sampai GAM (berlagak berat).
Akhirnya
perjalanan berakhir. Kami turun di tempat yang sama tapi kami harus berpisah
karena arah rumah kami berbeda. Pas aku berjalan menuju arah rumah sambil
membayangkan muka si mas-mas tadi, aku langsung menyadari bahwa suntukku hilang
sama sekali. Aku merasa sangat bersemangat. Sangatttt!!!
Kapan-kapan
kita ke sana lagi ya, Lin! Cari vitamin buat mata dan perut kita.
Hagzhagzhgahgz!!!