Nama Dwitunggal
Soekarno-Hatta dan Triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia dan ketiganya dinobatkan sebagai bapak bangsa. Sebenarnya
ada sebuah nama lagi yang samar-samar pernah terdengar tapi sosoknya masih
kabur. Dialah Tan Malaka, penggagas ide Republik Indonesia yang buku-bukunya
menjadi acuan para pemuda revolusioner yang turut serta dalam perjuangan awal
merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme. Salah satu dari para pemuda ini adalah
Soekarno.
Tan Malaka adalah seorang
putra Minang. Nama aslinya adalah Ibrahim. Di usia yang belum genap 17, ia
menerima gelar Datuk Tan Malaka. Gelar tersebut diperuntukkan bagi anak tertua
keluarga Simabur yang diwariskan secara turun-temurun sebelum sang ayah
meninggal sehingga nama lengkapnya pun menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia
bersekolah di Sekolah Raja di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) dan setelah
lulus, dengan bantuan gurunya yanag bernama G.H. Horensma, ia dapat meneruskan
pendidikannya ke Kweekschool (sekolah guru) di Haarlem, Belanda. Biaya untuk
melanjutkan studinya didapatkan dari patungan para pemuka warga di kampungnya.
Mereka mengumpulkan f 30 per bulan. Biaya ini dihitung sebagai utang dan saat
pulang nanti, Tan harus membayar dengan uang gajinya. Pada akhirnya ia tak bisa
membayarnya karena gagal menjadi seorang guru. Ia menjadi seorang revolusioner
yang bertualang dari satu negara ke negara lain.
Petualangannya menjadi seorang
revolusioner dimulai saat ia mendengarkan diskusi hangat teman-teman satu
kostnya. Sejak saat itu, ia rajin menyelami pemikiran-pemikiran politik dan
mendapatkan informasi terkait melalui buku dan berbagai macam surat kabar yang akhirnya
membuatnya tertinggal di pelajaran sekolahnya. Ia juga mulai aktif menghadiri rapat-rapat
yang sering diadakan Himpunan Hindia. Tan memutuskan pulang ke Indonesia tahun
1919.
Di Indonesia, Tan menjadi
guru sekolah rendah di perkebunan teh Belanda di Deli. Di sana ia melihat
penderitaan kuli kontrak dan sering menampung keluh-kesah mereka. Minimnya
pendidikan membuat kuli-kuli buta huruf ini terjerat kontrak yang tak mereka
pahami. Melihat kenyataan tersebut, Tan bermimpi untuk mendirikan sebuah
sekolah yang pada akhirnya terwujud berkat dukungan Sarekat Islam. Ia
mendirikan sekolah rakyat bersama dengan Semaun yang merupakan tokoh Sarekat
Islam Kiri. Di sekolahnya, selain mengajarkan ilmu pengetahuan umum seperti
menulis dan berhitung, ia juga mengenalkan organisasi dan demokrasi. Sekolah
dengan gaya seperti ini menginspirasi didirikannya sekolah-sekolah serupa di
berbagai kota.
Pemerintah kolonial Belanda
membuangnya ke Belanda karena dituduh menjadi dalang pemogokan buruh pelabuhan
dan minyak. Di Belanda, ia mulai aktif di Partai Komunis Belanda. Ia sempat
berpidato di Kongres Komunis Internasional (Komintern) ke-4 di Moskow. Isi
pidatonya mengenai aliansi komunisme dengan Pan-Islamisme. Selama ini komunisme
menganggap Pan-Islamisme sebagai representasi imperialisme padahal Pan-Islamisme
juga sedang berjuang melawan imperialisme. Pandangannya ini turut mewarnai
jalan perjuangannya saat sampai di Indonesia nanti. Idenya untuk merangkul
golongan Islam dianggap menghianati cita-cita komunisme. Ia dianggap menyimpang
dari perjuangan utama kaum Bolsyewik dan disebut sebagai pengikut Tolstoy. Tujuan
utamanya memang bukan membebaskan tanah airnya dari sistem masyarakat
berkelas-kelas tapi menyatukan mereka untuk mencapai Republik Indonesia yang
diidam-idamkannya. Tan menulis konsep Republik Indonesia ini dalam bukunya yang
berjudul Naar de Republiek Indonesia
(Menuju Republik Indonesia).
Setelah tinggal di Rusia, ia
kemudian memulai perjalanan panjangnya menjadi wakil Komintern di Asia Timur dan
pelarian di beberapa negara Asia seperti China, Filipina, Singapura, Thailand,
Burma, Singapura, dan Malaysia. Saat di Kanton (sekarang Guangzhou), ia sempat
bertemu dengan dr. Sun Yat Sen yang dikaguminya. Saat di Filipina ia sempat
menjadi kontributor harian El Debate.
Saat di Thailand, ia sempat mendirikan Partai Republik Indonesia namun partai
ini mati suri. Ia sering tertangkap namun biasa meloloskan diri. Tuduhannya
menjadi agen Bolsyewik dari Jawa. Selama periode ini, ia menggunakan paling
tidak 7 nama samaran dan 13 alamat yang berbeda.
Tan memutuskan untuk pulang
ke tanah air dan memulai sepak terjangnya. Tahun 1942, Tan tinggal di Rawajati
dan di tahun berikutnya mendaftar sebagai kerani (juru tulis) di pertambangan
batu bara yang dikelola Jepang di daerah Bayah, Banten. Ia menggunakan nama
alias Ilyas Hussein. Saat itu pulalah ia mulai menulis sebuah buku yang
dianggap sebagai karya terbesanya, Madilog:
Materialisme, Dialektika, dan Logika. Rizal Adhitya Hidayat, pengajar di
Universitas Esa Unggul dan peneliti Lemhanas, mengatakan bahwa Madilog merupakan sintesa pemikiran Hegel
yang mengedepankan ide sebagai kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) dengan
pemikiran Marx-Engels tentang materialisme. Tan mensintesakan keduanya dalam
rangka mencapai sebuah masyarakat yang berbudaya pasif menjadi kelas sosial
baru yang berlandaskan sains dan bebas pikiran mistis.
Persinggungannya dengan
kuli-kuli romusha saat bekerja sebagai juru tulis di Banten mengobarkan
semangat perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia. Ironis karena dia malah
tidak terlibat dalam deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia sama sekali
tidak tahu saat proklamasi dibacakan. Namun, Tan sangat mendukung Republik yang
baru berdiri itu. Ia adalah salah satu tokoh yang menggerakkan massa dalam
rapat raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945 untuk menggalang
dukungan rakyat terhadap proklamasi yang dengungnya belum begitu keras.
Walaupun tidak terlibat
langsung dalam proklamasi kemerdekaan RI, Tan merupakan sosok yang dipercaya
Soekarno. Pada 30 September 1945, Soekarno mengadakan sebuah pertemuan yang
dihadiri Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, dan Gatot Taroenamihardjo di
kediaman Ahmad Subardjo. Isi dari pertemuan tersebut adalah kesepakatan memilih
Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu dengan Soekarno-Hatta.
Soekarno kemudian menemui Hatta dan menyampaikan hasil pertemuan. Hatta tidak
menyetujuinya dengan alasan bahwa Tan Malak adalah tokoh kiri. Hal ini pasti
akan menimbulkan gejolak politik. Hatta mengusulkan bahwa penerus revolusi
harus berasal dari 4 kutub sehingga dipilihlah Tan Malaka (kiri), Sutan Sjahrir
(kiri-tengah), Wongsonegoro (kanan-feodal), dan Soekiman (Islam). Soekarno
menyetujui usul ini.
Dalam pertemuan 1 Oktober, posisi
Soekiman diganti dengan Iwa dengan pertimbangan bahwa Iwa yang merupakan
sahabat Soekiman dekat dengan kelompok Islam. Kemudian surat wasiat diketik, dibuat
rangkap 3, dan ditandatangani Soekarno-Hatta. Soebardjo diamanahi untuk
memberikan wasiat tersebut kepada Sjahrir dan Wongsonegoro namun pada akhirnya
wasiat tersebut tak sampai. Diduga ini karena Subardjo kecewa Tan Malaka bukan
calon pewaris tunggal. Namun Soebardjo dalam bukunya, Kesadaran Nasional, menyangkal dengan mengatakan bahwa situasi
revolusi yang tak menentu menghambatnya untuk menyerahkan wasiat tersebut.
Dalam mewujudakan
cita-citanya, Tan sangat anti kompromi dengan penjajah, baik Jepang maupun
Belanda. Oleh karenanya, berseberangan dengan Sekarno-Hatta-Sjahrir yang
memilih jalan diplomasi. Bersama Soedirman (Jend.), Tan berada dalam garda
terdepan dilakukannya perang gerilya. Ia juga pernah dipenjara karena dituduh
akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Setelah dibebaskan pada 1948, ia mendirikan
Partai Murba.
Saat bergerilya melawan
agresi militer Belanda di Selopanggung, Kediri, ia ditembak atas perintah
Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur. Menurut
sejarawan Belanda yang menghabiskan 36 tahun untuk meneliti Tan Malaka, Harry
A.Poeze, Soekotjo salah menafsirkan perintah Panglima Soengkono yang mengatakan
“hukum militer” sebagai “tembak mati” pada 21 Februari 1949. Tan diburu karena
ia dituduh melawan Soekarno-Hatta. Sebenarnya teori tentang kematian Tan Malaka
ada berbagai versi, namun sebagai pembaca, saya menggunakan versi Poeze dengan
pertimbangan Poeze telah sekian lama memfokuskan diri pada penelitian tentang
Tan sehingga memiliki teori dan pertimbangan paling kuat saat menyebutkan
penyebab kematian Tan.
Sosok Tan Malaka selama ini
dipercaya sebagai tokoh komunis sehingga namanya dihapus dalam buku sejarah
Orde Baru untuk mengecilkan jasanya. Pada kenyataannya, ia sendiri ditolak oleh
rekan-rekan seperjuangannya di PKI karena dianggap menghianati perjuangan
dengan membela golongan Islam dan dituduh menjadi dalang gagalnya pemberontakan
PKI pada tanggal 12 November 1926-12 Januari 1927. Saat itu Tan masih berada di
Filipina sebagai agen Komintern yang dikejar-kejar polisi internasional.
Padahal Tan sudah sedari awal menolak pemberontakan tersebut karena tahu akan
gagal. Ia beranggapan bahwa saat itu PKI belum siap.
Sosoknya yang jarang ditampilkan
namun berandil besar dalam sejarah Republik ini juga dilukiskan dalam sebuah
roman bertema spionase yang terisnpirasi oleh kehidupan revolusionernya yang
berjudul Patjar Merah Indonesia
karangan Hasbullah Parindurie yang menulis dengan nama samaran Matu Mona. Banyak
orang yang menyamar menjadi dirinya karena karisma yang dimunculkannya lewat
perjalanan hidupnya mengembara di berbagai negara mampu menginspirasi banyak
pemuda kala itu dan membuat beberapa pihak ingin memanfaatkannya.
Pada akhirnya, saya harus
berterima kasih kepada Tempo karena telah berjasa untuk membawa kembali sosok
Tan Malaka ke hadapan masyarakat Indonesia yang selama ini kehilangan bayangan
tentangnya. Tan layak disebut sebagai bapak bangsa karena pemikiran orisinilnya
yang ia tuangkan dalam buku-bukunya serta prinsipnya yang kuat untuk tidak mau
berdiplomasi dengan Belanda. Walaupun ia sedikit berbeda dengan kebanyakan
tokoh nasional lainnya karena selalu memilih di balik layar, perannya yang
besar sampai kemudian dipercaya Soekarno sebagai pewaris perjuangan tidak bisa
dinafikkan.
Tempo menyusun cerita
kehidupan Tan tidak secara kronologis. Mungkin dengan tujuan agar pembaca
mengenal peran utamanya terlebih dahulu bagi republik ini sekaligus menjawab
teka-teki terbesar tentang siapa sebenarnya orang Minang ini. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar