Buku setebal 407 halaman ini
ditulis oleh Prof. Koh Young Hun, seorang profesor berkebangsaan Korea Selatan
yang mendalami sastra Indonesia. Gelar doktornya ia dapatkan dengan meneliti
karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini merupakan salah satu karyanya yang
juga mengupas karya sang novelis yang, mengutip A. Teeuw, hanya muncul dalam
satu generasi atau malah dalam satu abad. Format tulisannya mirip dengan karya
ilmiah karena tulisan ini menelaah karya-karya Pram menggunakan pendekatan
tertentu dan ada pula batasan masalah.
Prof. Koh memilih 7 novel
karangan Pram untuk dijadikan fokus pembahasan karena karya-karya ini dianggap
sebagai karya-karya terbesar Pram dan ketujuhnya bisa disebut sebagai novel
sejarah. Ketujuh novel tersebut adalah: Tetralogi
Bumi Manusia (Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai. Dua pendekatan dipilih
untuk meneliti novel-novel ini, yaitu sosiologi sastra dan pendekatan
kemasyarakatan.
Penulisan sebuah karya fiksi
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pribadi si penulis termasuk pandangan dan
latar belakangnya. Prof. Koh mengerti benar akan hal ini. Oleh karenanya,
sebelum membahas tentang karya-karya tersebut, dalam bab-bab awal ia menceritakan
kisah hidup Pram, termasuk sepak terjangnya dalam Lekra (lembaga kebudayaan
PKI) dan pandangannya tentang kesusasteraan. Dalam hubungannya dengan Lekra,
Prof. Koh menekankan berkali-kali bahwa Pram hanya merupakan korban dari PKI.
Ia dimanfaatkan oleh petinggi PKI untuk menduduki kursi Lekra karena saat itu
Pram dianggap sebagai sastrawan yang berprestasi dan sangat mumpuni.
Penyangkalan tersebut menjadi sangat menonjol dan malah membuat pembaca
mempertanyakan kemungkinan Pram terlibat sangat jauh dengan PKI.
Kekekeuhan Prof. Koh beralasan karena selama ini Pram dan
karya-karyanya dicap sangat “merah” oleh pemerintah Orde Baru dan beberapa
karyanya dianggap membawa isu pertentangan kelas. Prof. Koh ingin membuktikan
bahwa semua itu tidak tepat dan lewat buku ini ia menunjukkan bukti bahwa isu terbesar
yang dibawa sesungguhnya adalah kemanusiaan. Ini ditunjukkan lewat
karya-karyanya yang menyoroti keadaan manusia yang tertindas dan menderita.
Pram mengemukakan masalah kemanusiaan dalam konteks bagaimana manusia berusaha
melepaskan dirinya dari belenggu yang merongrong dirinya. Belenggu itu bisa
direpresentasikan oleh berbagai hal, mulai dari kemiskinan sampai dengan
budaya.
Pram juga memiliki pandangan
pribadi tentang bagaimana sastra seharusnya ditulis. Ia dikenal sebagai
pengikut realisme sosialis, sebuah pandangan yang dikemukakan Maxim Gorky, yang
merupakan metode dasar satra dan kritik yang menuntut agar para pengarang
memberikan perhatian yang setia, penuh kebenaran, dan konkret berdasarkan
ideologi, dan latihan para buruh dalam semangat sosialisme (hlm. 68). Oleh
karenanya, Pram sangat menentang karya sastra yang hanya menghargai kebahagiaan
perseorangan sebagai hasil akhir. Alasan ini jugalah yang membuatnya menentang
humanisme universal. Ia sangat menentang sastra yang hanya bersifat fantasi dan
tidak mementingkan realitas. Hal ini merupakan representasi dirinya yang sangat
sensitif akan perosalan kemanusiaan. Menurut Prof. Koh, hal ini berbeda dengan
tujuan komunisme yang berfokus pada pertentangan golongan.
Prof. Koh melalui wawancara
yang dilakukannya dengan Pram sebelum meninggal menyimpulkan bahwa Pram sangat
terinspirasi oleh gerakan Samin. Gerakan Samin adalah gerakan perlawanan rakyat
jelata yang muncul sekitar tahun 1890 di Jawa terhadap kesewenang-wenangan
pemerintah Belanda. Ciri khas gerakan ini adalah perlawanan tanpa kekerasan (passive resistance). Orang-orang Samin
juga dikenal egaliter. Mereka hanya menggunakan bahasa Jawa ngoko untuk
berkomunikasi. Berbeda dengan orang-orang Jawa kebanyakan yang menganut
tingkatan bahasa. Dua hal ini terlihat jelas termanifestasikan dalam
karya-karya Pram. Tokoh Minke bisa dijadikan sebagai contoh. Ia berjuang dengan
menulis dan menerbitkan harian berbahasa Melayu untuk menyadarkan bangsanya
atas ketertindasan yang telah mengakar selama ratusan tahun. Minke juga menolak
tradisi Jawa yang memposisikan manusia berdasarkan kasta.
Dalam hal ini, Pram dikenal
keras menentang feodalisme budaya Jawa yang mengungkung dan tidak membebaskan
individu untuk berkarya dan berusaha mengubah keadaan. Berubahnya keadaan bagi
masyarakat Jawa dianggap dapat merusak keseimbangan kosmos. Kepercayaan ini
membuat masyarakat Jawa terbatas inisiatifnya untuk mengubah keadaan menjadi
lebih baik dan cenderung menerima keadaan. Tokoh Minke dalam Bumi Manusia yang telah mengenyam
kebudayaan Barat dan berasal dari keluarga priyayi menyadari kekurangan ini. Ia
tergerak untuk mengubah nasib bangsanya yang terjajah. Pertama-tama yang harus
dilakukan adalah menyadarkan mereka. Dan ia memilih bidang penulisan sebagai
jalan perjuangannya. Ia didukung oleh seorang tokoh wanita bernama Nyai
Ontosoroh, seorang wanita korban feodalisme dan kolonialisme. Saat remaja ia
dijual oleh sang ayah pada pejabat Belanda untuk dijadikan gundik. Selama
menjadi gundik itu ia dikenalkan dengan pendidikan Eropa oleh sang pejabat
Belanda, Herman Mellema. Pada akhirnya, Nyai Ontosoroh muncul sebagai wanita
pebisnis sukses dan berpengaruh.
Minke juga mengembangkan
jalan perjuangannya dengan membentuk sebuah organisasi modern pribumi yang
pertama. Ia menamainya Sarekat Islam. SI berbeda dengan organisasi pribumi
sebelumnya karena ia tidak membatasi diri untuk kalangan tertentu. Ia merangkul
semua suku dan bangsa yang ada di Hindia Belanda. Ia juga tidak terbatas hanya
pada golongan priyayi. Perjuangan Minke ini memang berakhir tragis dengan
kematiannya. Namun Pram telah menunjukkan peran seorang pribumi Indonesia yang
telah mengenyam pendidikan Barat namun memilih untuk melawan kolonialisme yang
seharusnya bisa memberinya kenyamanan. Novel sejarah ini berbeda dengan
novel-novel sebelumnya karena menyajikan 4 hal yang berbeda: citra pemberontakan
atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa, dan
peranan wanita dalam peralihan zaman (hlm. 89).
Dalam menyikapi novel
sejarah, pembaca besar kemungkinannya tidak menemukan cerita yang sama persis
dengan fakta sejarah karena novel sejarah tetaplah sebuah novel yang memuat
sebuah alur cerita fiksi. Penulis bebas untuk menyajikan tokoh-tokoh rekaan
yang sesuai dengan zaman tersebut ataupun tokoh-tokoh nyata dari zaman
tertentu. Namun penulis tetaplah memiliki misi yang ingin disampaikannya.
Begitu pula Pram dan novel-novel sejarahnya. Yang terpenting dalam novel
sejarah adalah ceritanya mampu membawa pembaca seolah-olah merasakan masa atau
zaman di mana cerita tersebut menjadi latar belakang. Dalam Arok Dedes, Pram
menyoroti proses penggulingan kekuasaan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung oleh Ken
Arok. Kisah tersebut menurut Pram adalah kudeta pertama dalam sejarah
Indonesia. Lewat kelicikan dan pengorganisasian massa, Ken Arok menggulingkan
sang Akuwu lewat tangan Kebo Ijo. Sang Akuwu tewas di tangan Kebo Ijo. Apabila
dilihat lebih seksama, cerita Arok Dedes adalah representasi dari kudeta
September 1965 ketika kekuasaan beralih dari Soekarno ke Soeharto. Adanya
kelicikan, strategi, pengorganisasian massa, dan pertumpahan darah sama dengan
peristiwa September 1965.
Novel sejarah Pram yang lain
adalah Arus Balik. Novel ini menyoroti kehancuran kekuasaan laut Nusantara
karena kedatangan bangsa Eropa dan dimulainya episode awal kolonialisme Eropa
di Nusantara. Pram percaya bahwa bagi Nusantara, laut memiliki posisi yang
lebih penting daripada darat. Sayangnya, raja-raja Nusantara lebih mementingkan
kepentingan sendiri dan tidak menghiraukan bahaya Eropa yang mulai mendekat. Raja-raja
terebut peragu karena terlalu setia pada dasar-dasar lama. Mereka kemudian tak
kuasa untuk membendung hal-hal baru yang datang secara bersamaan. Inilah kunci
kehancuran kerajaan Nusantara. Akibatnya, semakin jarang kapal-kapal Nusantara
yang berlayar ke Utara. Sebagai gantinya, makin banyak kapal-kapal dari Utara
yang masuk ke Nusantara membawa barang-barang dan ide-ide baru.
Gadis
Pantai adalah representasi Pram tentang feodalisme Jawa yang
tidak berpihak pada rakyat kecil dan wanita. Novel ini menggambarkan posisi
perempuan dalam budaya feodal Jawa. Kalangan priyayi sering mengambil perawan
dari kalangan rendah untuk dijadikan istri sementara sebelum si priyayi
mendapatkan istri sebenarnya yang berasal dari golongan yang sama. Setelah
menemukan istri dari strata yang sama, perempuan jelata tersebut akan
dikembalikan ke orang tuanya. Perempuan dalam budaya Jawa, utamanya perempuan
melarat dan dari kalangan rendahan, hanya dianggap sebagai benda. Gadis Pantai
Pram adalah potret wanita dengan segala keterbatasannya yang mencoba untuk
melawan budaya feodal tersebut. Ia sering mempertanyakan ketidakadilan yang
terjadi antara sang Bendoro dengan bapaknya di kampung nelayan, maupun antara
dirinya setelah tinggal di rumah sang Bendoro dengan mbok embannya. Gadis
Pantai memang tak kuasa mengubah sistem yang sudah mendarah daging di
masyarakatnya, namun ia melawan melalui penolakannya untuk bersifat dan
bertingkah sama seperti masyarakat kebanyakan.
Sosoknya memang berbeda
dengan Nyai Ontosoroh yang berinisiatif untuk membebaskan dirinya dari
pandangan remeh orang-orang di sekitarnya. Nyai Ontosoroh menenggelamkan sebutan
gundik dengan tampil menjadi seorang pebisnis sukses dan wanita yang
berpengaruh. Sedangkan Gadis Pantai bersikap pasrah pada keadaan yang tidak
adil. Ia terus hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ia temukan
jawabannya.
Dalam novel-novel Pram,
Prof. Koh menemukan gambaran nyata masyarakat Indonesia yang jejaknya dapat
ditelusuri sejak ratusan tahun silam. Di dalamnya ternyata ada banyak
ketimpangan namun Pram menggambarkan bagaimana di setiap zaman ada saja orang-orang
yang bertekad kuat dan berjuang memperbaiki ketimpangan tersebut. Beberapa di
antaranya kalah dan tak berhasil sedang beberapa yang lain mampu membawa masyarakat
zamannya merasakan perbedaan yang selangkah lebih maju. Namun semuanya telah
mencoba. Tidak ada tokoh-tokoh utama Pram yang pasif dengan keadaan sekitar. Dinamika
sejarah Indonesia memang dibentuk oleh orang-orang bertekad kuat seperti
tokoh-tokoh Pram. Oleh karenanya, novel-novel Pram dapat dikatakan sebagai
representasi masyarakat Indonesia dari zaman ke zaman.
1 komentar:
Terima kasih untuk komentarnya, Pak. Alasan kenapa Pramoedya tidak mendapatkan Nobel ulasan Bapak sangat menarik karena merupakan sebuah isu paskakolonial. Ternyata ada fakta bahwa dalam dunia kesusasteraan yang selama ini dijadikan sandaran untuk mengkampanyekan humanisme dan keadilan, masih ada saja pandangan melecehkan pada karya-karya kesusasteraan dari bekas negara-negara jajahan. Mungkin bahasa hasil terjemahan bisa dijadikan alasan. Namun, banyak juga sastrawan-sastrawan yang menerima Nobel dari negara-negara non bahasa Inggris seperti Elexander Solzhenitsyn dan Gunter Grass.
Posting Komentar