Yang mula-mula menarik
perhatian dari buku ini adalah sampul yang bergambar foto jam gadang. Ini
berbeda dari tiga buku sebelumnya yang biasanya bergambar lukisan-lukisan yang
merepresentasikan bagian-bagian dari sejarah maupun budaya kepulauan Nusantara
kita tercinta. Jam gadang mengingatkan saya pada banyak hal tentang sebuah
propinsi nun jauh di hampir ujung Sumatra. Bangunan ini merupakan representasi
Sumatra Barat yang paling terkenal. Sedangkan Sumatra Barat adalah rumah dari
beberapa tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, serta beberapa
pengarang terkenal seperti Mochtar Lubis dan A.A. Navis. Mungkinkah ini
pertanda bahwa buku ini mayoritas akan membahas segala yang berhubungan dengan
bumi Pagarruyung?
Dari 19 bab yang ada dalam
Petite Histoire jilid 4 ini, memang
ada beberapa bab yang khusus bercerita tentang sejarah perang Pidari/Padri dan
juga beberapa anggota keluarga Rosihan Anwar yang memang asli Minang, namun mayoritas
bab adalah tulisan dari berbagai isu dan genre.
Bab pertama adalah sejarah
dan cerita penyelenggaraan Musyawarah Media Massa Islam Sedunia yang pertama di
Jakarta bulan September 1980. Bab kedua berisi tentang kisah Soedjatmoko,
intelektual Indonesia yang pernah menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo dan
anggota delegasi RI pada Dewan Keamanan PBB. Yang paling menarik dari tulisan
tersebut bagi saya adalah fakta bahwa kapasitas intelektualitas Koko (panggilan
Soedjatmoko) yang tinggi mengenai politik dan filsafat Barat diimbangi dengan
pengetahuannya tentang mistis Jawa sehingga ia dianggap oleh George McTurnan
Kahin sebagai jembatan antara Barat dan Jawa. Bab ketiga berisi tulisan
mengenai Soe Hok Gie, terutama keterlibatan penulis dan Soe dalam Studi Club
yang juga diikuti oleh P.K. Ojong dan Onghokham di awal tahun 60an. Ada hal
menarik yang disinggung Rosihan, yaitu anggapan Soe bahwa dirinya angkuh dan
tertulis dalam buku hariannya yang diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Rosihan nampak
tidak terima dengan perlakuan tersebut. Hal lain yang disinggung dalam bab ini adalah
definisi revolusi dan pembangunan nasional.
Bab keempat berisi tulisan
Rosihan sebagai komunis yang menyoroti status Soekarno dan Hatta yang
sebenarnya antikapitalis. Bab kelima sebagai ahli resensi dari otobiografi Ajip
Rosidi berjudul Hidup Tanpa Ijazah.
Bab keenam adalah laporannya sebagai reporter di Sri Lanka, Australia, dan
Kamboja. Bab 7 sebagai pengarang editorial yang menulis peristiwa 17 Oktober
1952 tentang rasionalisasi tentara dengan mengurangi jumlahnya dari 200.000
menjaadi 100.000 yang kemudian memancing pimpinan tentara untuk melakukan show force dengan mengorganisir
demonstrasi orang-orang sipil yang didukung tank serta artileri.
Bab kedelapan tentang pengalaman
menjadi penulis di Pos Kota dan C&R. Bab kesembilan berisi tulisan
Rosihan Anwar tentang Prof. Koestedjo sebagai pengalaman lain penulis yang juga
seorang sejarawan informal. Bab kesepuluh berisi tulisan tentang Angkatan 1945.
Rosihan sendiri termasuk golongan angkatan ini. Ia menceritakan pengalamannya
menulis sebagai sastrawan dan usahanya mendirikan Siasat dan Gelanggang. Awalnya
Gelanggang adalah ruang kebudayaan di
majalah Siasat namun lama-lama berkembang
dan dapat berdikari. Penamaan Angkatan 45 yang sekarang telah diterima dalam
dunia sastra Indonesia muncul pertama kali di ruang kebudayaan tersebut.
Bab kesebelas tentang pra
kedatangan presiden Barack Obama ke Indonesia. Bab keduabelas menulis tentang
masalah keindonesiaan. Buku yang dijadikan acuan dalam menulis artikel tersebut
adalah The Idea of Indonesia: A History
(2008) karya R.E. Elson, Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas
Queensland. Bab ketigabelas tentang tentang fungsi pahlawan nasional di
Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan dan sangat kontras dengan
negara-negara lain yang kebanyakan hanya memiliki satu atau dua tokoh yang
dijadikan sebagai pahlawan nasional.
Bab keempatbelas merupakan
bab terpanjang dari buku ini. Isinya menceritakan tentang beberapa anggota
keluarga Rosihan Anwar yang merupakan putra asli Minangkabau dan memiliki peran
cukup penting di zaman kolonial maupun kemerdekaan. Sebagai contoh, ayah
Rosihan yang adalah seorang ambtenaar di
Binnenlands Bestuur dan kakak laki-lakinya, Johnny Anwar yang seorang kepala
polisi di Padang. Karena kedudukan ayahnya yang cukup tinggi, masa kecil
Rosihan cukup terjamin dan menyenangkan. Kisah-kisah tentang kota-kota yang
pernah dikunjunginya di masa kecil menuntun kepada perjalanan sejarah dari
kota-kota tersebut dan orang-orang di dalamnya. Salah satu yang paling saya
suka adalah sejarah gerakan Pidari atau Padri di tanah Minang.
Awal gerakan Pidari dimulai
dari kembalinya tiga orang dari menunaikan haji di Mekkah tahun 1803. Ketiganya
terkesan oleh ajaran Wahhabi dan mencoba menyebarkan ajaran tersebut. Gerakan
ini menentang perjudian, persabungan, candu, minuman keras, pemakaian tembakau
dan sirih, dan beberapa aspek dari sistem matriarkal. Namun gerakan ini masih
mengizinkan ziarah dan menghormati orang-orang keramat. Saat Thomas S. Raffles
mengunjungi ranah Minangkabau tahun 1818, ia menuliskan bahawa daerah tersebut
penuh dengan laki-laki dan perempuan yang berpakaian seperti kaum Wahhabi di
padang pasir. Ajaran Wahhabi memang menimbulkan
ketegangan antara pemimpin agama dan pemimpin adat. Pemimpin adat biasanya
terdiri dari keluarga Istana Pagarruyung. Pada akhirnya, para pemimpin adat
atau penghulu ini memutuskan untuk memberikan dukungan pada Belanda.
Perang Padri berlangsung
selama 17 tahun (1821-1838) antara Belanda dan kaum Padri. Kaum Padri dipimpin
oleh Tuanku Imam Bonjol. Belanda pernah kalah dalam pertempuran di Lintau tahun
1823 karena saat itu bersamaan dengan Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro
(1825-1830). Tahun 1837, benteng kota Bonjol menyerah. Tuanku Imam Bonjol ditangkap
dan diasingkan ke Priangan, Ambon, lalu ke Manado. Ia meninggal di Manado tahun
1864.
Dalam pengasingannya di
Manado, Tuanku Imam Bonjol sempat menulis sebuah memoar yang dibukukan dengan judul
Naskah Tuanku Imam Bonjol. Jeffrey
Hadler, seorang pakar masyarakat dan sejarah Minangkabau, pernah menulis esei
panjang berjudul A Historiography of
Violence dan the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and the Uses of
History (2008) serta sebuah buku berjudul Muslims and Matriarchs-Cultural (2008). Salah satu sumber Hadler
adalah memoar Tuanku. Selain menceritakan awal perjuangannya, termasuk kematian
orang kepercayaannya, Datuk Bandaharo, hasil penelitian Hadler yang bersumber
dari memoar Tuanku juga menceritakan tentang Tuanku yang limbung saat
mengetahui bahwa ajaran Wahhabi yang dianut bersama pengikut-pengikutnya selama
ini telah kehilangan kepercayaan di negara asalnya. Kabar ini sampai tatkala
kedua sepupunya pulang dari berhaji tahun 1823. Dalam sebuah pertemuan besar,
Tuanku menyatakan diri meninggalkan ideologinya selama ini, meminta maaf atas
akibat yang ditimbulkan selama perang, dan memberikan ganti rugi.
Tuanku memulihkan kembali
keadaan seperti masa sebelum perang. Ia merumuskan sebuah adagium yang
terkenal: “adat basandi syarak” dan “syarak basandi adat” yang berarti menjamin
bahwa baik hukum Islam maupun adat setempat terkait satu sama lain dan saling
bergantung.
Bab kelimabelas menceritakan
tentang saudara-saudara Rosihan yang memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah
kolonial Belanda seperti kakeknya Raden Mohamad Joesoef yang bekerja sebagai stations chef atau kepala stasiun kereta
api Staats Spoorwegen (SS) di Padang dan
pamannya Mohamad Joenoes yang mendapat gelijkgesteld
atau persamaan hak dengan orang Eropa. Rosihan Anwar juga masih bersaudara
dengan Marah Rusli, sastrawan penulis roman Sitti
Nurbaya, dan Roestam Effendi, pengarang dan juga orang Indonesia pertama
yang dipilih sebagai anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer) dari Partai
Komunis Belanda.
Bab keenambelas adalah
liputan tentang pertempuran besar di Surabaya akhir 1945. Pertempuran legendaris
tersebut ternyata tidak hanya berisi perjuangan heroik para pemuda, namun juga
banyak terdapat sisi kelam yang mungkin tidak banyak diketahui oleh publik.
Dalam masa yang disebut sebagai periode bersiap, atau masa mempertahankan
kemerdekaan (1945-1949), orang-orang Belanda ditangkap dan dimasukkan dalam
penjara Babutan dan Kalisosok. Sebagian di antaranya dikirim ke rumah bola (societeit). Terjadi banyak penyiksaan
dan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Banyak gadis-gadis Indo yang
diperkosa oleh pemuda Indonesia.
Bab ketujuhbelas tentang
catatan harian penulis selama enam bulan sejak proklamasi kemerdekaan RI. Ternyata
perumusan konstitusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah salah
satu masa tersulit yang pernah dihadapi republik ini. Bab kedelapanbelas adalah
cerita obrolan penulis dengan H. Junus Jahja (Lauw Chuan Tho), keturunan
Tionghoa yang berkiprah dalam dunia politik dan agama Islam di Indonesia. Bab
terakhir adalah cerita singkat pengalaman Rosihan Anwar bergabung dalam sebuah
kelompok sandiwara di zaman Jepang. Lewat bab ini juga saya jadi tahu bahwa
selain “sri panggung”, julukan yang biasanya diberikan kepada bintang panggung
sandiwara perempuan, ada juga julukan yang diberikan kepada bintang panggung
laki-laki, yaitu “raja jin”.
Dari dua puluh bab dalam
buku ini, saya memiliki dua bab favorit, yaitu bab keempatbelas dan tujuhbelas.
Bab keempatbelas memberikan suatu sisi lain dari perang Padri, sejarah, dan budaya
Minangkabau yang selama ini belum saya tahu. Sedangkan bab ketujuhbelas
memberikan gambaran kepada saya betapa bersemangat dan optimisnya orang-orang
di zaman tersebut. Saya sampai merinding saat membacanya. Para pemimpin kita saat
itu beritikad baik dan sungguh-sungguh membangun negeri. Mereka belum
ditunggangi oleh individualisme untuk memperoleh keuntungan pribadi. Jika
dibandingkan dengan keadaan sekarang, sangat berbeda jauh. Semoga masih banyak
pemimpin yang mau bersulit-sulit memikirkan nasib rakyatnya seperti para
pendahulu kita di masa enam bulan pasca proklamasi kemerdekaan. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar