Ada sindrom baru yang
menyerang saya. Lebih tepatnya cara berpikir saya. Sindrom ini merangsang saya
untuk membuat kesimpulan bahwa hari yang lalu terlihat lebih baik. Ini bukan
berarti saya tidak bersyukur dengan apa yang saya alami dalam hidup selama 24
tahun ini. Hanya saja, akhir-akhir ini saya cenderung merasa sering
membandingkan segala sesuatu di sekitar. Tiba-tiba saya menjadi seseorang yang memperhatikan orang-orang di lingkup hidup
saya. Kemudian semuanya selalu berujung pada kesimpulan bahwa orang-orang ini
lebih menyenangkan beberapa tahun yang lalu dan keadaan di tempat-tempat itu
lebih menyenangkan dua tahun yang lalu. Seolah masa lalu punya kapasitas yang
lebih besar untuk membawa kebahagiaan bagi hidup dibandingkan masa kini.
Ada kecenderungan dalam diri
saya masa lalu terlihat lebih jujur dan penuh optimisme. Ada seorang teman yang
pernah bilang bahwa masa muda selalu penuh dengan mimpi-mimpi dan hal tersebut
membuatmu merasa hidup. Your life seems complete
katanya. Namun semakin menua, perlahan akan timbul kesadaran bahwa tidak semua
mimpi di masa lalu bisa dicapai dengan mudah. Kemudian orang mulai lupa dengan
idealisme di masa muda dan berganti prinsip untuk lebih fokus mengikuti ke mana
arus hidup membawa mereka. Lebih realistis katanya.
Entah sudah berapa kali
kalimat macam “Semakin tua, kamu akan semakin lupa dengan idealisme di masa
muda” diucapkan beberapa orang dari beragam profesi kepada saya. Frekuensi
diucapkannya kalimat macam itu semakin meningkat seiring bertambah dewasanya
saya. Dulu saya tak merasa perlu untuk memikirkannya, tapi semakin ke sini,
semakin ada semacam desakan untuk mempertanyakan kebenaran pertanyaan tersebut.
Saya lihat sekitar. Saya amati orang-orang di sekitar saya. Lalu saya mulai
sadar bahwa ada perbedaan besar dalam diri mereka. Sebelumnya tak pernah saya
berpikir tentang perubahan tersebut. Namun sekali memutuskan untuk mencoba
mengamatinya, segalanya tampak jelas. Si A semakin serius dan lebih jarang
melempar joke seperti saat masih
sekolah. Si B sering bercerita tentang macam-macam pekerjaan yang menurutnya
menghasilkan pundi-pundi materi yang tidak sedikit. Si C bercerita banyak hal
tentang anaknya yang mulai tumbuh besar dan suami yang sangat perhatian. Saya
pikir ia dulu akan jadi seorang akademisi karena kepintarannya yang di atas
rata-rata. Si D menjadi sangat suka membuat kalimat-kalimat bijak tentang hidup
di media sosial. Semuanya terlihat sangat relistis, aktif, dan berkejaran
dengan waktu. Dan mereka terlihat berbeda.
Di mana masa lalu? Seolah tiap
orang sudah siap di garis start untuk
memulai sebuah perlombaan kehidupan. Entah apa yang dikejar. Dalam perlombaan
ini, tiba-tiba semua orang menjadi lebih berpengalaman dari yang lain. Lebih
pintar dari kebanyakan, dan lebih percaya diri untuk mengeluarkan statement yang berisi petuah dan
kebijakan hidup. Saya juga mengejar banyak hal dalam hidup. Saya manusia normal
yang punya banyak cita-cita. Dan saya merasa sendiri karena merasa seolah
sayalah yang tak pernah berubah. Inilah alasan kenapa saya sangat merindukan
masa-masa sebelum hari ini.
Ada rasa takut saat ini. Tak
pernah saya merasa nyaman dengan orang-orang yang tidak saya kenal. Tapi akan
lebih takut saya jika mengetahui orang-orang yang dulunya saya pikir saya kenal
ternyata telah jauh berubah.
Mungkin saya yang salah.
Mungkin saya harus mulai merobek dinding kebijaksanaan versi saya dan
menghadapi hari ini dengan penuh semangat seperti mereka. Passionate, proud, grasping. Mencoba untuk lebih realistis tentang
hidup, kata beberapa di antara mereka pada saya. Juga menyadari bahwa idealisme
tidak bisa dipertahankan sampai mati. Ia bukan hal yang rigid, namun fleksibel.
Dan bahwa cita-cita kadang tak selamanya bisa diraih. Cita-cita yang mungkin
diwujudkan adalah yang paling dekat dari jangkauan. Lain daripada itu hanyalah
angan-angan belaka. Tataplah masa depan lewat hari ini dan mulailah bersikap
realistis.
Inikah saya? Mirip Gil dalam
Midnight in Paris yang terjebak dalam
era favoritnya di 1920an dan menganggap bahwa masa lalu ternyata lebih
menyenangkan. Padahal orang-orang dari masa tersebut memiliki sindrom yang sama,
mengagungkan era Belle Epoque di 1890an. Siklus ini tak akan pernah habis
dikejar. Jadi akan lebih realistis ketika memutuskan berani untuk bersikap di
hari ini walaupun konsekuensinya kamu harus berubah.
Benarkah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar