Liburan
semester yang panjang asyiknya diisi dengan kegiatan yang menyenangkan atau
bermanfaat. Well, bisa juga kegiatan
yang menyenangkan dan bermanfaat sekaligus. Liburan semester saya dimulai per
tanggal 14 Januari setelah ujian terakhir dan berakhir di awal Maret. Saya
sudah merasa takut kalau liburan ini akan berakhir sia-sia jadi saya
merencanakan beberapa kegiatan untuk mengisi kekosongan waktu hampir dua bulan
ini. Salah satu yang saya lakukan adalah pergi ke Jakarta dan mencoba keliling
Jakarta dengan busway.
Saya
beruntung karena punya saudara di sana sehingga tidak perlu untuk mencari
penginapan dan bisa menghemat ongkos. Untuk beberapa alasan, saya sering
jalan-jalan sendiri dan menikmati pemandangan. Tapi jalan-jalan ke Jakarta
sendirian kok rasanya tidak menyenangkan ya? Karena sepanjang jalan saya pasti
membutuhkan teman diskusi atau paling tidak teman yang sama-sama tidak tahunya
sehingga kalau tersesat ya tersesat bersama lah. Kebetulan adik laki-laki saya,
Plab, juga sedang dalam masa liburan semester. Tidak sampai dua hari dari kepulangannya
dari liburan dari Bandung bersama teman-teman kampusnya, dia sudah anteng
bersama saya dalam kereta api ekonomi Bengawan Tambahan yang berangkat dari
stasiun Wates pukul 19.00 malam.
Tiket
kereta api ini harganya hanya 95 ribu rupiah. Saya dan Plab sepakat kalau tempat
duduknya jauh lebih nyaman daripada kereta ekonomi Gajah Wong seharga 150an
ribu. Tempat duduknya berhadap-hadapan dan memang space untuk kaki penumpang yang saling berhadapan lebih sempit
daripada Gajah Wong. Namun, kalau naik kereta api, kunci kenyamanan menurut
saya ada di kursinya. 10-11 jam duduk di kursi yang keras akan sangat menyiksa
pantat dan panggul.
Kami
sampai di stasiun Senen pukul 5 lewat 10 menit. Sebenarnya untuk sampai ke
Tebet, tempat oom saya tinggal, akan lebih dekat jika turun di stasiun
Jatinegara. Tapi saat itu beberapa jalan ke Jatinegara ditutup karena banjir.
Oom dan sepupu saya sudah menjemput di parkiran saat kami tiba di sana. Jakarta
pukul 6 kurang masih lengang sehingga mobil bisa melaju dengan lancar dan tidak
menemui kemacetan sama sekali.
Setelah
nonton TV dan melepas kangen dengan keponakan saya Dastan, kami mandi dan bersiap
untuk berangkat. Oom kami sangat baik karena begitu tahu saya dan Plab
berencana jalan-jalan dengan Trans Jakarta, oom segera mencari rute TJ di
internet dan mencetaknya dengan tinta warna. Suksesnya perjalanan kami sangat
terbantu dengan adanya rute tersebut.
Sebelum
bercerita tentang tempat-tempat wisata yang saya kunjungi, saya ingin
mengatakan bahwa kemarin adalah pertama kali saya naik Trans Jakarta atau
busway. Trans Jakarta adalah transportasi umum yang sangat keren. Dengan ongkos
3500 rupiah saja, kita bisa keliling Jakarta. Armadanya banyak sehingga tidak
perlu menunggu terlalu lama, haltenya nyaman dan didesain dengan sangat
mempertimbangkan pejalan kaki, serta ada ruang khusus wanita dalam bus. Trans
Jogja masih kalah jauh dan sayangnya pemerintah Jogja terlihat tidak ada
inisiatif untuk mengembangkan transportasi umum ini seperti Trans Jakarta.
Menunggu Jogja macet parah dulu mungkin ya?
Kamis, 23 Januari 2014.
Kami berangkat dari Tebet pukul 10 pagi dan menunggu di depan Seven Eleven
Tebet untuk menunggu bus Kopaja no 62 yang melewati halte TJ Manggarai.
Sebenarnya kurang dari 10 menit saja, kami sudah bisa sampai ke Manggarai tapi
kemacetan di pertigaan Manggarai benar-benar parah (dan tidak pernah tidak
parah) sehingga paling tidak kami menghabiskan 20 menit di dalam bus 62. Ongkos
bus kota di Jakarta sama dengan di Jogja, hanya 3000 rupiah. Setelah sampai di
halte, kami naik TJ arah Kota. Salah satu halte yang kami lewati dalam
perjalanan ke arah Kota adalah halte Monas. Di situlah kami turun dan berjalan
kaki ke arah Monas.
- Monumen Nasional
Bulan
Januari bukanlah waktu yang tepat untuk melancong di Jakarta, apalagi dengan
jalan kaki. Hujan bisa saja turun sepanjang hari. Waktu terang tidak lebih dari
satu jam. Selebihnya diisi hujan deras dan gerimis. Kira-kira itulah kondisi
yang ada ketika saya dan Plab berusaha untuk mencapai Monas. Perjalanan dari
pintu gerbang ke monumennya bukanlah jarak yang dekat dan setengah perjalanan
kami diisi dengan usaha menghindari hujan, baik dengan berteduh di bawah pohon,
memakai satu payung untuk berdua, maupun berteduh di pos satpam. Untungnya di
tengah perjalanan kami menjumpai kereta yang memang disiapkan oleh pihak Monas
untuk mengantar dan mengembalikan pengunjung ke dekat pintu gerbang. Pengunjung
tidak perlu membayar untuk naik ke kereta ini.
Untuk
masuk Monas pengunjung harus membeli tiket di loket yang terletak di bawah
tanah. Harganya 5000 rupiah per orang. Mahasiswa/pelajar mendapat potongan 2000
rupiah apabila menunjukkan kartu pelajar/mahasiswa. Saat itu saya dan Plab
berniat menunjukkan KTM kami untuk mendapatkan potongan tapi penjaga loket
mengatakan tidak perlu dan langsung memberi kami tiket berharga 3000 rupiah per
orang.
Untuk
sampai ke ruangan di dalam Monas, pengunjung harus melewati lorong yang cukup
panjang, naik tangga untuk keluar dari pintu bawah tanah, dan berjalan sebentar
untuk mencapai pintu samping Monas. Kami disambut dengan lagu daerah “Butet”
saat keluar dari tangga bawah tanah.
Lantai
dasar Monas penuh dengan diorama yang dimulai dari masa manusia purba sampai ke
zaman pembangunan di masa Orde Baru. Kalau berjalan searah dengan jarum jam,
pengunjung akan mengetahui periode-periode sebelum dan sesudah bangsa Indonesia
meredeka. Pada dasarnya, diorama ini memberi tahu sejarah singkat tentang
kehidupan bangsa Indonesia sebelum bisa dikatakan sebagai sebuah bangsa. Ada
diorama tentang kedatangan bangsa Barat, periode cultuurstelsel, perjuangan merebut kemerdekaan di basis lokal dan
nasional, proklamasi kemerdekaan, dan pertarungan di Surabaya untuk
mempertahankan kemerdekaan. Tidak semua kejadian dibuat dioramanya, namun
diorama-diorama yang terdapat di Monas bisa cukup memberikan gambaran
perjalanan bangsa Indonesia sampai menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Sayangnya
belum ada diorama tentang Reformasi 1998 yang menandai akhir Orde Baru.
Pengunjung
bisa naik ke lantai paling atas dan melihat ke bawah dari puncak Monas, tidak
jauh dari ujung Monas yang berlapis emas. Sayangnya saat kami ke sana, lift
menuju puncak Monas sedang dalam masa renovasi sehingga eksplorasi kami hanya
terbatas di ruang diorama. Di lantai yang sama juga terdapat dua kamar mandi
dan mushola yang cukup besar. Sayangnya kebersihannya tidak terawat. Genangan
air di dekat KM menyebabkan bau yang tidak sedap.
Kami
pulang melewati pintu yang sama dan kali ini disambut dengan lagu daerah Papua
“Yamko Rambe Yamko”. Setelah melewati tangga dan lorong yang sama, kami naik
tangga lagi untuk keluar dari ruang bawah tanah dan mencari kereta yang akan
membawa kami ke dekat pintu gerbang.
- Museum Nasional
Sebenarnya
saya dan Plab tidak memiliki rencana untuk pergi ke Museum Nasional. Kami
bahkan tidak tahu bahwa museum ini sangat dekat dengan halte Monas tempat kami
turun. Keluar dari Monas, sebenarnya mood
saya dan Plab sudah sangat buruk karena harus main kucing-kucingan dengan
hujan. Alangkah indahnya jika perjalanan kemarin didukung dengan cuaca yang
cerah apalagi trotoar di sekitar Monas luas dan nyaman untuk pejalan kaki. Di
tengah mood yang jelek tanpa tahu ke
mana lagi harus pergi, saya tidak sengaja melihat ke arah Museum Nasional yang berada tepat di
sebelah kiri trotoar tempat saya berjalan. Pertama kali yang menarik dari
tempat ini adalah sebuah patung logam yang berjudul “Ku Yakin Sampai Di Sana”
karya perupa Nyoman Nuarta. Patung ini bentuknya absurd. Plab menganggapnya
mirip seperti lubang hitam. Saya sendiri lebih condong ke sarang burung yang
belum selesai.
Di
samping patung black hole yang
menghiasi halaman depan museum ini, terdapat patung gajah berwarna hijau yang
juga terbuat dari logam. Inilah yang menyebabkan museum ini lebih sering
disebut sebagai Museum Gajah. Patung gajah ini adalah hadiah dari raja Thailand
saat berkunjung ke Indonesia. Kalau
dipikir-pikir, aneh juga sebenarnya karena satu-satunya hal yang berkaitan
dengan gajah yang bisa didapatkan di museum ini adalah fosil gading dan arca
Ganesa.
Harga
tiket museum ini hanya 5000 rupiah dan bisa membawa kamera tanpa dikenakan
biaya. Tas atau bawaan yang berat bisa dititipkan di dekat loket pendaftaran.
Saya bisa mengatakan bahwa dari semua tempat wisata yang saya kunjungi di
Jakarta selama empat hari, Museum Nasional adalah tempat favorit saya dan salah
satu tempat paling keren yang pernah saya kunjungi.
Museum
ini terdiri dari empat lantai dan memiliki gedung dengan dua sayap. Basement
digunakan untuk toilet dan ruang pertemuan. Lantai satu museum ini dipenuhi
dengan beraneka ragam arca yang berasal dari banyak daerah, koleksi kain dan
keramik, fosil manusia, binatang, dan tumbuhan purba, serta berbagai benda
tradisional dari semua provinsi di Indonesia. Ada ruang khusus yang digunakan
untuk menyimpan koleksi keramik dari berbagai negara di Asia, seperti Jepang,
China, dan Vietnam. Arca terbesar di lantai I adalah Arca Bhairawa yang berdiri
di atas tumpukan tengkorak. Tingginya mungkin sekitar 4 meter dan berasal dai
abad ke-14. Arca ini berasal dari Sumatra Barat yang membuatnya berbeda secara
ukuran dan bentuk dengan kebanyakan arca di Jawa.
Lantai
dua, tiga, dan empat berisi benda-benda tradisional dari berbagai daerah.
Perbedaannya dengan lantai pertama, benda-benda di sini sangat khusus dan lebih
mahal. Misalnya, ada beberapa perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Beberapa
buah perhiasan ini belum lama ini sempat dicuri dan menjadi berita besar karena
perhiasan emas yang hilang berusia cukup tua dan memiliki nilai yang tidak
sedikit. Selain perhiasan, ada banyak sekali prasasti dan benda-benda kuno,
seperti sepeda, jam, dan peti. Beberapa benda yang menarik perhatian saya
adalah kjokkendmoddinger atau tumpukan kerang yang merupakan sisa-sisa
dapur manusia purba dan peti besi yang digunakan untuk membawa barang-barang
dan berasal dari beberapa abad yang lalu. Kjokkenmoddinger
selalu mengingatkan saya dengan guru sejarah kelas 1 SMP saya yang bernama Bu
Supartini. Beliau yang mengajarkan tentang kehidupan manusia purba termasuk
memperkenalkan istilah kjokkenmoddinger
yang selama ini hanya bisa saya bayangkan bentuknya seperti apa.
Sebelum
sempat menjelajah semua bagian dari museum ini, jam tutup museum sudah
diumumkan sehingga kami mau tidak mau harus mengakhiri perjalanan sore itu.
Museum ini buka sampai jam 4 sore. Kami kembali lagi di hari berikutnya setelah
waktu shalat Jumat dan kami gunakan untuk mengelilingi museum sepuasnya. Saya
dan Plab mengunjungi ruang arca yang benar-benar keren. Ada banyak sekali arca
dari berbagai daerah dan periode. Walaupun berbeda daerah, cara orang-orang
zaman dahulu menggambarkan beberapa karakter memiliki persamaan. Kesamaan ini
bisa dilihat pada patung Ganesa. Selain arca, ada juga koleksi arca-arca yang belum
jadi dan ditempatkan di halaman belakang.
Hal
lain yang menarik dari museum ini adalah pengunjungnya mayoritas adalah
ekspatriat atau pelancong asing. Ada orang Indonesia yang berkunjung ke sini
namun jumlahnya jarang.
- Kwitang
Pertama
kali tahu Kwitang saat kelas 2 SMP lewat film AADC. Semua orang yang pernah
lihat film ini pasti ingat adegan saat Cinta yang memakai T-Shirt warna pink
menengok kembali ke arah Rangga saat ia pergi meninggalkan Rangga karena merasa
disalahkan. Peristiwa itu berlatar di Kwitang saat keduanya jalan-jalan memilih
buku. Kwitang yang saya jumpai tidak seperti itu lagi. Kata Oom saya dan
pegawai halte busway Kwitang, penjual buku di situ sudah tak seramai dulu lagi
karena beberapa gulung tikar dan pindah tempat jualan. Hanya tinggal beberapa
toko dan lapak-lapak kecil yang tersebar di sepanjang jalan dan gang-gang
masuk. Itu pun jumlahnya tak seberapa.
Tentu
saja kebanyakan buku-buku di sini adalah buku-buku bajakan berharga miring yang
masih bisa ditawar. Tujuan awal saya ke sini adalah mencari buku-buku dan
koran-koran dari puluhan tahun lalu tapi melihat kondisi dan koleksi toko-toko
dan lapak-lapak di sana, kemungkinan besar tidak mungkin menemukannya.
Mayoritas buku yang dijual adalah buku-buku baru. Buku paling lama yang bisa
ditemukan mungkin berasal dari tahun 70an dan 80an. Akhirnya saya membeli dua
buku, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis
dan Bukan Pasar Malam yang ditulis
Pram. Dua-duanya pernah saya baca, bahkan buku kedua sampai tiga kali, tapi
saya belum memilikinya sebagai koleksi pribadi. Dua buku tersebut saya beli
dengan harga 55.000 rupiah. Maklum bajakan. Dan sebenarnya masih bisa ditawar
lebih jauh lagi tapi saya bukan orang yang pintar menawar dan tidak betah
berlama-lama melakukan proses tersebut.
- Stasiun Senen
Saya
dan Plab ke stasiun Senen bukan dalam rangka mengagumi arsitektur bangunannya atau
sekedar jalan-jalan. Kami ke sana untuk membeli tiket pulang. Kami memutuskan
untuk naik kereta Progo seharga 85.000 untuk membawa kami pulang ke Wates pada
hari Minggu. Usaha membeli tiket tersebut benar-benar gila. Kami antri selama 2
jam. Belum pernah sebelumnya saya antri selama itu hanya untuk dua biji tiket
kereta. Antrian orang yang membeli atau menukar tiket bisa mengular sampai ke
luar. Mungkin hal ini disebabkan karena hari Raya Imlek jatuh pada hari Jumat
sehingga banyak orang yang pulang
kampung. Sebenarnya jumlah loketnya ada 10 lebih. Masalahnya ada pada sistem
pelayanan yang menurut saya masih sangat payah. Seorang petugas loket melayani
pembeli tiket bisa sampai 15 menit lebih. Apalagi kalau itu adalah loket
penukaran tiket. Seorang mas-mas yang berdiri di antrian sebelah saya harus
menunggu lebih dari dua jam. Ia berdiri di antrian dari sebelum saya datang dan masih berdiri di
tengah antrian saat saya telah mendapatkan tiket dan bersiap pulang.
Benar-benar gila! Saya tidak mau membayangkan apa yang terjadi di sana
menjelang Lebaran. Saran saya, kalau sudah tahu kapan mau pulang dari liburan
di Jakarta, lebih baik tiketnya dibeli bersamaan dengan saat membeli tiket
berangkat.
Stasiun
Senen tidak sebesar Gambir. Kereta-kereta ekonomi biasanya berangkat dari sini.
Jadi kalau kami pulang ke Wates naik kereta ekonomi, kami tidak bisa naik dari
Jatinegara walaupun stasiun tersebut lebih dekat dengan Tebet. Sedangkan kereta
eksekutif dan bisnis berangkat dari Gambir. Di stasiun Senen, ada beberapa calo
yang terang-terangan menawarkan tiket dan tidak ditindak oleh aparat padahal
jumlah petugas keamanan di sini bisa dibilang tidak sedikit. Tapi sekali lagi,
jumlahnya memang tidak bisa mengimbangi jumlah penumpang dan pembeli tiket yang
sangat besar. Daerah Senen akan macet kala jam-jam sibuk dan banyak dijumpai
penjual makanan kaki lima dan berbagai barang lainnya. Stasiun ini dekat dengan
Pasar Senen. Saya buta arah saat di Jakarta, tapi pada dasarnya dua tempat ini
bersebelahan.
Di
sekitar tempat ini tidak ada Trans Jakarta sehingga dengan saran seorang bapak
tukang ojek yang baik, kami memutuskan naik Kopaja nomor 17 dan berhenti di
Manggarai. Kami memutuskan berjalan sampai ke Tebet namun di tengah jalan
bertemu dengan Kopaja nomor 62. Setelah berdiskusi dengan Plab, kami memutuskan
untuk naik Kopaja tersebut untuk mencapai Tebet mengingat walaupun masih kuat,
kaki memang terasa agak pegal karena berjalan seharian.
Jumat, 24 Januari 2014,
hampir semua museum tutup mulai jam 11 dan buka kembali pukul 1 siang.
Sayangnya saya dan Plab tidak bisa berangkat kurang dari pukul 10 karena kami
tidak bisa begitu saja melewatkan waktu untuk bermain bersama keponakan kami yang
super lucu. Oom dan keponakan kami yang masih dua tahun mengantarkan kami ke
halte Tebet. Kali ini kami diminta mencoba jalur Trans Jakarta yang baru oleh
Oom sehingga paling tidak bisa tahu jalan-jalan penting di Jakarta. Kami mulai
dari halte Tebet dan berhenti di halte Semanggi. Di sini kami harus melewati
jalur pejalan kaki khusus bagi penumpang Trans Jakarta yang super panjang dan
keren. Kata Tante saya, jalur ini adalah jalur pejalan kaki TJ terpanjang di
Jakarta. Dari jalur ini kami bisa melihat jalan raya yang sibuk dan
gedung-gedung mewah, termasuk Balai Sarbini. Dari halte Semanggi kami harus
menunggu bus arah Kota dan berhenti di halte Monas. Sama seperti jalur yang
kemarin kami tempuh.
Kami
sampai di halte Monas jam 11 kurang yang bertepatan dengan jam tutup museum
sehingga harus menunggu sampai buka. Plab shalat Jumat di mushola Keminfo.
Daerah Monas adalah wilayah yang kanan kirinya penuh dengan kantor-kantor
pemerintah. Setelah waktu shalat Jumat, tujuan pertama kami adalah Museum Taman
Prasasti dan dilanjutkan ke Museum Nasional lagi karena di hari sebelumnya kami
belum sempat melihat semua koleksi.
- Museum Taman Prasasti
Museum
ini bisa dicapai dari halte Monas hanya dengan berjalan kaki. Terletak di
daerah Tanah Abang, museum ini dulunya adalah sebuah pemakaman yang dikenal
dengan nama Kober. Dahulu pemakaman Kober digunakan untuk menguburkan
jasad-jasad orang terkanal, seperti gubernur jenderal Hindia Belanda, seniman,
dan arsitek. Setelah dibongkar dan jasad-jasadnya dipindahkan (beberapa diambil
oleh pihak keluarga), lokasi ini kemudian dijadikan sebagai museum. Seperti
namanya, museum ini memiliki banyak prasasti yang biasanya diukir di nisan
seseorang. Jadi secara umum, tempat ini adalah kuburan karena terdiri dari
banyak sekali nisan, namun minus jenazah. Beberapa area dibatasi dengan tali
rafia yang mengindikasikan pengunjung dilarang berdiri melewati batas tersebut.
Mungkin karena kondisi nisan yang sudah sangat tua atau sedang dalam perbaikan.
Dengan
hanya membayar tiket 5000 rupiah dan boleh membawa kamera tanpa harus membayar,
kami bisa sepuasnya mengelilingi dan mengambil foto nisan-nisan kuno di sana.
Ada banyak sekali nisan yang berasal dari zaman kolonial. Bahkan saya menemukan
sebuah nisan berbahasa Belanda berangka tahun 1705 di bagian depan museum. Saya
tidak tahu apakah itu adalah nisan atau prasasti peringatan, karena memakai
bahasa Belanda. Selain nisan, memang di museum ini juga bisa ditemukan prasasti
pendirian bangunan. Di tempat ini ada banyak sekali patung malaikat tapi
sepertinya patung-patung tersebut dibuat untuk mempercantik tampilan museum.
Prasasti
makam gubernur jenderal Hindia Belanda terletak di bagian belakang museum.
Beberapa di antaranya disemen di dinding. Selain gubernur jenderal, lokasi ini
juga menyimpan koleksi makam para sastrawan, arsitek, seniman, dan rohaniwan.
Profesi-profesi ini bisa terbaca di beberapa prasasti. Oleh penjaga museum,
saya ditunjukkan makam Miss Riboet, aktris papan atas kolonial di awal abad 20.
Suaminya adalah seorang Tionghoa yang bernama Tio Tik Djien. Informasi ini bisa
didapatkan di prasastinya. Ada juga nisan Soe Hok Gie. Dulu dia memang
dimakamkan di sini. Saat pekuburan ini akan dirombak, keluarga dan
teman-temannya memindahkan jenazahnya dan sepakat untuk membakar tulang
belulangnya. Abunya ditaburkan di segala penjuru di kawasan lembah
Mandalawangi, Gunung Pangrango.
Secara
umum, kondisi museum ini bisa dikatakan cukup terawat. Terlihat ada tukang
kebun yang rajin membersihkan lingkungan museum. Namun sayangnya ada beberapa
prasasti yang hurufnya tidak bisa dibaca lagi karena dimakan usia dan pengaruh
cuaca. Saya tidak tahu bagaimana seharusnya memperlakukan nisan-nisan dan
batu-batu peringatan yang umurnya sangat tua ini. Tidak mungkin memang untuk
membangun atap yang menyelimuti seluruh kompleks museum ini. Semoga keberadaan
museum ini tetap diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat dapat turut serta
menjaganya.
Suasana
museum ini sangat sepi. 30 menit pertama, hanya saya dan Plab yang menjadi
pengunjung di museum ini. Baru kemudian datang dua orang pengunjung, laki-laki
dan perempuan, yang ternyata melakukan pemotretan dengan nisan-nisan sebagai
latarnya. Museum ini memang banyak sekali dijadikan tempat untuk shooting video klip dan pemotretan. Kami
keluar dari museum ini pukul 2 siang dan langsung menuju Museum Nasional. Kalau
ingin mengunjungi Museum Taman Prasasti, usahakan tidak sampai pukul 3 karena
jam tersebut adalah jam tutup museum.
Sabtu, 25 Januari 2014
adalah hari terakhir saya dan Plab bisa jalan-jalan keliling Jakarta dengan
Trans Jakarta. Kami berencana untuk mengunjungi beberapa museum di daerah Kota
Tua. Kebetulan keluarga Oom saya juga berencana untuk liburan ke sana jadi kami
berangkat bersama. Sayangnya kami baru bisa berangkat pada pukul 11 siang dari
Tebet karena harus menunggu keluarga yang dari Depok. Lalu lintas Jakarta arah
Kota Tua hari Sabtu macet. Mobil kami berhenti cukup lama saat sampai di daerah
Glodok. Mendekati Kota Tua, nuansanya agak berbeda karena banyak
bangunan-bangunan kuno berarsitektur Eropa yang masih berdiri. Kami parkir di
belakang kantor Imigrasi yang sangat dekat dengan museum Fatahillah di Kota
Tua.
- Museum Fatahillah
Nama
resmi Museum Fatahillah adalah Museum Sejarah Jakarta karena berisi banyak
barang-barang sejarah dari Eropa, Cina, dan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang
memiliki andil dalam mendefinisikan Jakarta. Jakarta beberapa abad yang lalu
adalah sebuah kota Bandar besar dengan populasi multietnis. Sebenarnya kalau
mau jujur, inilah tujuan wisata yang paling saya idam-idamkan untuk dikunjungi
saat berada di Jakarta. Sayangnya saat saya sampai di sana, museum sedang
mengalami renovasi sehingga tidak terbuka untuk umum. Konon salah satu isi
museum ini adalah barang-barang peninggalan para gubernur jenderal, termasuk
lukisan-lukisan potret mereka. Renovasi museum ini diprediksi selesai pada
tahun 2015. Kecewa? Pasti. Renovasi ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah
DKI untuk melakukan pembenahan di wilayah Kota Tua. Paling tidak hal ini
membuat saya belajar bahwa sebelum liburan, kita harus tahu kondisi terkini
dari objek wisata yang ingin dikunjungi.
Hal
pertama yang menarik bagi saya saat masuk ke kompleks museum adalah keberadaan
peluru-peluru meriam yang jumlahnya puluhan dan tersebar di beberapa tempat. Peluru-peluru
ini berukuran besar, sudah berkarat dan bisa dipastikan berasal dari zaman VOC.
Ada juga meriam-meriam yang keadaannya tidak jauh berbeda dengan
peluru-pelurunya. Walaupun tidak bisa masuk ke museumnya, saya cukup puas
memandangi megahnya gedung ini dan luasnya lapangan yang ada di depannya.
Merinding rasanya membayangkan salah satu bagian dari kompleks ini pernah
dijadikan sebagai penjara di zaman kolonial yang kondisinya tidak manusiawi.
Ada kira-kira lima menit saya berdiri di tengah-tengah lapangan dan mengarahkan
pandangan saya secara menyeluruh mulai dari sayap kiri bangunan, pintu masuk
yang sangat kokoh, atap yang unik, dan sayap kanan bangunan. Di tengah-tengah
lapangan tempat saya berdiri terdapat sebuah sumber air yang telah dibangun menjadi
kolam. Ada sebuah penanda yang menyatakan bahwa sumber air tersebut merupakan
sumber air minum bagi masyarakat sekitar di zaman kolonial.
Lapangan
kompleks Museum Fatahillah dikelilingi dengan para penyedia jasa foto yang
berkostum unik serta penyewaan sepeda onthel. Bahkan saat saya meninggalkan
museum, ada sebuah grup reog yang sedang tampil di tengah-tengah lapangan.
Tepat
di depan Museum Fatahillah, terdapat kantor pos dengan bangunan kuno khas zaman
kolonial. Saat keluar dari mobil sampai berjalan ke lapangan, saya ingat tidak
bisa melepaskan pandangan dari beberapa jendela tua yang berada di samping kiri
gedung kantor pos ini. Lingkungan ini memang pantas disebut sebagai Kota Tua.
- Museum Wayang
Museum
ini terletak persis di sebelah kanan Museum Fatahillah (maaf saya buta arah di
Jakarta). Bangunannya sangat unik. Mirip bangunan-bangunan di Eropa yang
digunakan sebagai toko dan terletak di pinggir jalan. Ini membuktikan bahwa
bentuk asli bangunan yang berasal dari zaman kolonial masih dipertahankan.
Bagian dalam bangunan ini juga sangat unik karena terdiri dari banyak
lorong-lorong yang bagian kanan kirinya penuh dengan koleksi wayang yang
dibingkai atau disimpan dalam wadah kaca. Tiket masuk museum hanya sebesar 2000
rupiah dan tidak perlu membayar untuk membawa kamera. Museum ini terdiri dari 3
lantai. Lantai pertama berisi koleksi wayang dari beberapa daerah di Nusantara.
Lantai
pertama didominasi oleh koleksi wayang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Betawi. Bentuk wayang dari Jakarta unik sekali. Tokoh-tokohnya adalah para
pendekar berbaju hitam dan pihak kolonial Belanda. Ada juga formasi lengkap
keluarga si Unyil. Lantai pertama terdiri dari 2 ruangan dan dipisahkan oleh
sebuah lorong yang di bagian kirinya penuh dengan prasasti yang biasanya berada
di makam orang-orang penting di zaman dahulu. Salah satunya adalah milik
Gubernur Jenderal Van Imhoff. Ruangan di lantai 2 tidak terlalu luas dan hanya
terdiri dari koleksi alat-alat yang digunakan dalam memainkan wayang.
Lantai
ketiga memiliki banyak sekali koleksi wayang yang berasal dari dalam maupun
luar negeri. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari negara yang
bersangkutan. Prancis ternyata memiliki tradisi wayang yang jumlah karakternya
cukup banyak. Begitu juga dengan Inggris dan Polandia. Namun wayang di sana
berbentuk seperti boneka. Wayang dari China ukurannya besar dan mirip dengan
tokoh-tokoh yang biasanya dipentaskan di drama panggung klasik mereka. Wayang-wayang
dari Kamboja dan Thailand cukup mirip dengan wayang di Indonesia. Ini baru
ruangan pertama di lantai ketiga. Kalau berada di ruangan ini, jangan lupa untuk melihat ke
lantai. Di lantai ada beberapa gambar tentang perbedaan bagian-bagian tubuh
wayang di Indonesia. Contohnya, perbedaan antara hidung mancung dan pesek dalam
karakter wayang di Indonesia.
Ruangan
lain berisi berbagai jenis wayang yang sebelumnya belum pernah saya kenal. Dan
semua wayang ini berasal dari Indonesia! Contohnya adalah wayang yang seluruh
tubuhnya terdiri dari ayat-ayat suci Al Quran. Ada juga wayang rumput dan
wayang yang dulu biasa digunakan oleh para misionaris dalam memberi khotbah.
Ruangan ini juga menyimpan koleksi lengkap gamelan yang biasanya mengiringi
pertunjukan wayang.
Untuk
menuju pintu keluar, kami harus melewati sebuah jalan menurun yang sebelah
kanan kirinya masih dihiasi dengan kotak kaca berisi koleksi wayang dan topeng.
Kebanyakan adalah wayang dari Bali yang bentuknya lebih detail dan megah. Jalan
menurun ini akan membawa pengunjung ke sepasang ondel-ondel besar yang menunggu
di kaki tangga. Ini menandakan akhir perjalanan mengelilingi Museum Wayang.
- Museum Seni Rupa dan
Keramik
Terletak
persis di sebelah kiri Museum Fatahillah, gaya bangunan Museum Seni Rupa dan
Keramik mengingatkan pada bangunan di zaman Yunani kuno yang dulu sering saya
lihat di ensiklopedi Yunani Kuno saat masih SD. Warna bangunannya putih dengan
beberapa pilar besar yang menopang atap berbentuk segitiga. Terasnya sangat
luas dan ada dua buah patung pelukis ternama Indonesia, Raden Saleh dan S.
Sudjojono. Tiket masuknya 5000 rupiah per orang, tapi tidak diperbolehkan
menggunakan kamera yang memiliki flash. Penggunaan kamera HP masih diizinkan.
Hal ini dilakukan untuk melindungi koleksi lukisan yang rentan terhadap sinar.
Museum
ini terdiri dari beberapa ruangan yang menyimpan koleksi lukisan dan keramik.
Lukisan-lukisan sudah dikelompokkan secara periodik. Kalau melihat susunan
lukisan berdasarkan periodisasinya, kita bisa menyimpulkan bahwa pelukis
pelopor di Indonesia adalah Raden Saleh. Bukan berarti bahwa sebelum Raden
Saleh tidak ada pelukis di Indonesia, namun karyanya yang sangat berpengaruh
bisa dijadikan titik awal perkembangan seni lukis Indonesia.
Periode
Raden Saleh ini diikuti dengan periode-periode berikutnya. Salah satunya adalah
lukisan yang dikelompokkan di bawah tema Mooi Indie. Dosen saya, Prof Faruk,
pernah membahas sekilas tentang lukisan ini di kelas pascakolonialisme. Pada
dasarnya, lukisan Mooi Indie adalah
lukisan yang bertema pemandangan alam Indonesia yang saat itu dianggap memiliki
keindahan tersembunyi yang layak untuk ditampilkan. Tokoh-tokohnya antara lain Lee
Man Fong dan Walter Spies. Periode mooi
indie ini diteruskan kembali ke lantai pertama dengan beberapa periode
lainnya. Antara lain adalah periode zaman Jepang, Lekra, sampai yang terakhir
adalah periode Seni Rupa Baru. Dari beberapa lukisan tersebut, ada lukisan Henk
Ngantung yang pernah menjadi Gubernur DKI dan lukisan Affandi yang sangat mudah
dikenali. Sayangnya ada banyak sekali lukisan asli di museum ini. Dengan
kondisi museum yang tidak sebaik museum-museum di Eropa, mungkin akan lebih
baik jika pihak museum hanya memajang lukisan reproduksinya saja.
Bagian
lain dari museum menyimpan koleksi keramik yang amat banyak dan berasal dari
zaman yang bervariasi. Kebanyakan keramik yang dipajang berasal dari luar
negeri. Hebatnya lagi, museum ini memiliki koleksi keramik China dari beberapa
dinasti. Ada juga sebuah kotak kaca khusus yang digunakan untuk menyimpan
pecahan keramik-keramik yang ditemukan di lambung kapal karam dan disebut
dengan BMKT (Barang Muatan Kapal Karam).
- Car
Free Day Bunderan
HI
Hari
Minggu adalah hari terakhir saya di Jakarta karena saya pulang di malam
harinya. Pagi hari setelah sarapan, sepupu saya dan suaminya mengajak saya
untuk pergi ke Car Free Day yang ada
di Bunderan HI. Akhirnya kami bertiga ditambah Tante dan keponakan saya
berangkat pada pukul 9 pagi. Sangat sulit untuk mencari parkiran mobil di
sekitaran HI saat hari Minggu. Banyak jalan ditutup untuk CFD, termasuk jalur
busway. Akhirnya kami parkir di lantai 3 sebuah hotel yang berada di sekitaran
Bunderan HI. Dari situ kami bisa berjalan ke CFD.
Car Free Day
adalah sebuah kegiatan yang diselenggarakan untuk memberi ruang pada penduduk
Jakarta untuk berolahraga di sekitaran HI dengan meminimalisir penggunaan
kendaraan bermotor. Jadi, di CFD ini banyak sekali orang-orang yang bersepeda
dan melakukan jogging. Saat saya datang ke CFD, kebetulan Presiden SBY sedang
hadir untuk mengkampanyekan gerakan tertib lalu lintas untuk keselamatan. Ada
panggung besar yang dilengkapi dengan monitor untuk melakukan telekonferensi
dengan Kapolda Jawa Timur dan gubernurnya. Acara ini diramaikan dengan beberapa
drum band yang salah satunya memainkan lagu ciptaan SBY. Selain acara kampanye
tertib lalu lintas, ada banyak sekali komunitas yang berada di CFD. Mereka
rata-rata membawa spanduk besar yang memberi informasi tentang komunitas
mereka. Saya sempat melihat komunitas Fathinistic yang melakukan long march.
Komunitas ini membawa banyak spanduk karena mereka ternyata adalah Fathinistic
dari berbagai daerah yang khusus berkumpul di CFD.
Tidak
banyak yang bisa kami lakukan di sana selain duduk dan mengamati sekitar. Jalan
sangat penuh dengan orang. Tidak ada ruang untuk berolahraga. Lagipula kami
memang datang ke sana bukan untuk berolahraga. Kegiatan pagi di CFD kami akhiri
dengan membeli sate padang dan bubur ayam dari pedagang yang banyak berjualan
di sekitar lokasi.
- Thamrin City
Thamrin
City adalah pusat perbelanjaan di daerah Tanah Abang dan terkenal menjadi tempat
grosir. Jadi pembeli membeli banyak barang dengan harga miring untuk kemudian
dijual kembali. Lokasinya dekat dengan Pasar Tanah Abang yang belum lama sering
diberitakan di televisi terkait penggusuran pedagang kaki lima yang berjualan
di pinggir-pinggir jalan sehingga menghambat lalu lintas dan relokasi mereka ke
tempatnya yang baru. Bisa dilihat sekarang kalau wilayah tersebut sudah lumayan
tertata walaupun masih macet. Ada banyak barang yang dijual di sini, mulai dari
baju, sepatu, perabotan, sampai oleh2. Yang paling laris tentu saja bagian
baju. Tante dan sepupu saya membeli baju-baju muslim untuk dijual kembali
kepada teman-teman mereka di kantor. Di mana-mana terdapat tulisan “Thamrin
City Pusat Grosir Batik”, namun jumlah penjual batik tidak sebanyak yang saya
bayangkan. Lebih banyak didominasi oleh penjual baju muslim.
Bangunannya
terdiri lebih dari 5 lantai (tidak sempat menghitung) dan apabila datang ke
sana menggunakan mobil, mobil harus naik ke lantai dua atau tiga untuk parkir.
Di Jakarta sudah terlalu banyak kendaraan pribadi, jadi sistem parkir seperti
ini sangat membantu menghindari kemacetan. Kalau di Jogja kebanyakan parkir
mobil masih di basement.
Yang
menarik untuk saya adalah pusat buku bekas yang lokasinya terletak dengan pintu
masuk parkiran. Walaupun tidak sebesar shopping
centre di Jogja atau Kwitang, penjualnya memiliki beberapa koleksi novel
bahasa Inggris, majalah bekas, dan cerita-cerita silat Indonesia zaman dulu.
Beberapa saran yang bisa
saya sampaikan bagi teman-teman yang ada niat yang berkunjung ke ibukota untuk
melancong antara lain:
- Pastikan
tidak datang saat musim hujan.
- Walaupun
Jakarta terkenal dengan banyak mall, jangan lupa untuk berkunjung ke
museum-museumnya. Beberapa museum tertua di Indonesia ada di kota ini.
- Lebih
baik menggunakan Trans Jakarta atau motor sebagai transportasi. Selain
asyik, dua transportasi tadi jarang terkena macet jika dibandingkan mobil
atau angkutan lain.
- Jangan
lupa untuk mencari informasi tentang tempat yang akan dikunjungi, seperti
jam buka dan tutup serta kondisi tempat wisatanya (misal: sedang
direnovasi atau tidak).
- Kalau
bisa menginap di tempat keluarga, teman, atau kenalan untuk menghemat
biaya.
- Akan
lebih baik apabila membawa bekal (makan dan minum) dari rumah berhubung
kita tidak pernah tahu kebersihan makanan di tempat-tempat wisata.
- Pakailah
pakaian dan alas kaki yang nyaman agar betah berjalan-jalan.
- Hati-hatilah
dengan barang bawaan. Jakarta terkenal dengan kriminalitas. Kalau naik
bus, sebisa mungkin tas atau ransel ditaruh di depan.
- Jangan
sungkan untuk bertanya apabila tersesat. Tapi pastikan bahwa kalian
bertanya pada orang yang tepat (petugas busway atau polisi). Bukan
bermaksud suudzon dengan orang-orang lain, tapi ada baiknya berhati-hati
dengan orang yang tidak dikenal.
Begitulah
hasil jalan-jalan saya bersama Plab selama empat hari di Jakarta. Masih banyak
tempat lain yang belum sempat kami kunjungi. Semoga tulisan ini bisa memberi
sedikit gambaran bagi siapa saja yang berniat untuk melancong ke ibukota.