Diterbitkan
pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975, judul awal buku ini
bukanlah Harimau! Harimau! namun Hutan. Novel yang dikarang saat Mochtar
Lubis mendekam di penjara di Madiun ini menerima penghargaan buku terbaik dari
Yayasan Buku Utama pada tahun 1975 dan Yayasan Jaya Raya di tahun 1979 serta
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Inggris dan Belanda.
Novel
ini bercerita tentang tujuh pencari damar yang harus berjuang hidup dan main
petak umpet dengan harimau yang memburu mereka. Ketujuh orang itu adalah Sutan,
Talib, Sanip, Wak Katok, Pak Balam, Pak Haji, dan Buyung. Masing-masing dari
mereka memiliki masa lalu dan dosa yang mereka anggap sebagai penyebab dari
diburunya mereka oleh sang harimau. Mereka bergelut dengan pertanyaan apakah
harus mengakui kesalahan mereka selama ini atau menyangkal dan menyimpannya
dalam-dalam agar harimau tidak memburu mereka lagi. Ada yang mudah tergoda
dengan wanita, ada yang dengan sengaja membunuh teman sendiri saat zaman
perjuangan, ada yang mencuri, ada yang berzina, ada yang menipu, ada yang tidak
percaya dengan manusia lain dan Tuhan, singkatnya semua hal yang dianggap buruk
terkumpul dalam dosa dan masa lalu ketujuh tokoh tersebut.
Menarik
saat membicarakan rasa percaya mereka bahwa harimau yang mereka hadapi adalah harimau
jadi-jadian yang dikirim untuk menghukum. Hal ini memunculkan perdebatan di
antara para tokoh tentang apa yang harus dilakukan untuk menolak hukuman. Satu-satunya
cara yang disepakati adalah mengatakan dosa dan masa lalu. Pilihan ini sebenarnya
banyak ditentang oleh semuanya, kecuali Pak Balam yang mengusulkannya saat
menunggu ajal datang setelah diterkam harimau. Semuanya ingin sembunyi dan lari
dari dosanya dan meyakinkan diri sendiri bahwa harimau yang ada hanyalah
harimau biasa yang sedang lapar.
Namun
kemudian Talib diterkam. Selanjutnya Sutan. Dan yang lain mulai mempertanyakan
kemungkinan bahwa memang benar yang datang adalah harimau siluman. Tapi yang
lebih penting adalah pergelutan mereka dengan hati nurani sendiri. Benarkah
semua hal buruk yang dilakukan di masa lalu itu adalah dosa? Atau hanya hal
biasa karena setiap orang pun berdosa dan lumrah dilakukan. Lagipula dosa
pribadi mereka tidak terlalu besar dibandingkan dosa teman yang lain.
Pada
akhirnya hanya tinggal Buyung, Sanip, dan Wak Katok. Di situasi yang
mengharuskan mereka berhadap-hadapan dengan sang harimau, terlihat watak asli
Wak Katok. Ia yang selama ini dianggap sebagai pemimpin karena karisma dan
ilmunya ternyata hanyalah manusia biasa yang penuh dengan rasa takut. Semua orang
salah menganggapnya sebagai seorang yang bijaksana. Ia memperkosa istri-istri
musuh di zaman perjuangan, membunuh teman sendiri, menipu warga desa, dan juga berzina
dengan Siti Rapiah, istri muda Wak Hitam yang pondoknya di tengah hutan mereka
tinggali saat mencari damar. Di akhir cerita, Wak Katok benar-benar hancur
sebagai manusia. Tidak ada dari harga dirinya yang tertinggal di mata Buyung
dan Sanip yang berhasil membunuh harimau yang ternyata hanyalah harimau lapar.
Satu
hal yang membuat buku yang terdiri dari tujuh bab ini menjadi salah satu novel
Indonesia favorit saya adalah kemampuannya untuk membuat pembacanya tidak
beranjak sebelum cerita selesai, apalagi untuk yang baru pertama kali
membacanya. Mungkin alasan tersebut berkorelasi dengan fakta bahwa cerita dalam
novel ini adalah tentang cara-cara berbagai manusia bertahan hidup dari ancaman
harimau. Karakter setiap tokoh berfungsi seperti petunjuk yang membuat pembaca
mengira-ngira siapa lagi yang akan mati terkena terkaman sang raja hutan. Dengan
mangikuti alurnya, akan tampak satu demi satu, siapa saja yang akhirnya meregang
nyawa.
Sebenarnya
ini bukan kali pertama saya membaca Harimau!
Harimau!. Terhitung ini sudah yang ketiga kalinya. Namun tidak seperti
menonton film, membaca buku menurut saya bisa memberi pembaca perspektif baru walaupun
yang dibaca adalah buku yang sama. Tiga kali proses pembacaan yang saya pernah
lakukan pada novel ini mengantarkan pada pemahaman yang semakin kaya. Jika
pengalaman membaca yang pertama (kelas 2 SMP) saya lebih penasaran terhadap
siapa saja yang akan selamat dari terkaman harimau, pembacaan kedua yang saya
lakukan (kelas 3 SMA) membuka mata saya bahwa novel ini bukan sekedar tentang
para pencari damar yang bertahan hidup di tengah hutan yang berbahaya karena
terdapat seekor harimau lapar. Saya mulai mengerti bahwa novel ini adalah
tentang manusia yang sebenarnya harus bergelut dengan usaha tiada henti untuk,
seperti yang dikatakan Pak Haji, melawan harimau yang ada dalam diri mereka
sendiri dan betapa pentingnya untuk bersikap jujur sesuai dengan hati nurani.
Di
ketiga kalinya, saya menemukan bahwa buku ini mengandung isu politik yang
kental. Ketujuh pendamar adaah representasi rakyat Indonesia yang dikomandoi
oleh seorang sosok karismatik Wak Katok yang merupakan alegori untuk Presiden
Soekarno. Harimau bisa diartikan sebagai tantangan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia.
Novel
ini hanya setebal 214 halaman. Ada banyak waktu yang bisa diluangkan untuk
membacanya dan menemukan keasyikan dalam mengikuti alurnya. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar