Dari
beberapa karya Mochtar Lubis yang pernah saya baca, Jalan Tak Ada Ujung sampai saat ini masih jadi favorit saya. Sudah
tak terhitung berapa kali novel ini telah saya baca gara-gara novel ini menjadi
salah satu koleksi sepupu dan dapat dengan mudah dijangkau di rak bukunya.
Sejak saya belum sekolah sampai SMA kelas 2, saya tidak pernah absen untuk
menghabiskan waktu liburan di rumah Pakdhe dan Budhe yang ada di kota sebelah. Jalan Tak Ada Ujung telah menemani
hari-hari libur saya di sana selama tahun-tahun tersebut selain novel-novel
Mira W, majalah Bobo dan Djaka Lodhang. Ada mungkin 10 kali buku ini telah saya
baca.
Bersetting
bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan, novel ini bercerita seputar
kehidupan seorang guru bernama Isa yang merasa dirinya lemah dan penakut.
Selama ini ia berusaha keras untuk menyembunyikan ketakutannya tersebut
sehingga tidak ada orang yang tahu. Ia takut pada zaman yang semakin sulit, ia
takut pada gajinya yang tersendat, ia takut pada NICA, ia takut menjadi kurir
para pejuang. Rasa takutnya membuatnya menjadi lemah dan berimbas pada
ketidakmampuannya untuk melayani istrinya di ranjang. Guru Isa sadar bahwa
darahnya tak lagi meletup-letup seperti dulu kala. Ia kini telah hampir padam.
Guru
Isa menjadi kurir para pejuang kemerdekaan yang mencegah kekuatan pihak asing,
baik itu Belanda maupun Inggris, untuk kembali menanamkan pengaruhnya di
republik yang sudah merdeka. Tugasnya hanya berkisar di antara menyampaikan
pesan atau mencari kendaraan untuk mengangkut amunisi para pejuang. Dalam
melakukannya, ia merasa terbebani dan menderita karena rasa takutnya. Ia sering
bermimpi terjebak dalam sebuah jalan yang tak ada ujung. Saat ia takut dan
berniat kembali, jalan di belakangnya telah menghilang.
Rasa
takut Guru Isa ini berbanding terbalik dengan semangat Hazil yang
menyala-nyala. Hazil adalah seorang pemuda yang turut berjuang mempertahankan
kemerdekaan. Ia mengorganisir banyak hal untuk melancarkan perjuangan. Ayahnya
adalah seorang mantan pegawai kolonial yang mengutuk zaman kemerdekaan karena
membuat hidupnya susah tanpa pekerjaan, penghasilan, dan pengaruh. Ayah Hazil
adalah contoh generasi tua yang lebih memilih untuk mendukung kolonisasi
asalkan hidupnya tenang dan tercukupi, sedangkan Hazil adalah kebalikannya.
Seperti
Guru Isa, Hazil adalah seorang penggemar musik sekaligus pemain biola yang
mahir. Ia sering berkunjung ke kediaman Guru Isa untuk berlatih dan membuat
komposisi lagu bersama. Dengan hadirnya Hazil, hidup Guru Isa sedikit lebih
bersemangat. Intensitas kunjungan Hazil ke rumah Guru Isa pun mendekatkannya
dengan Fatimah, istri Guru Isa. Kedekatan itu pun berbuah menjadi rasa suka dan
Hazil mampu memenuhi tempat Guru Isa yang selama ini tidak mampu untuk
membahagiakan sang istri. Pada akhirnya Guru Isa diam-diam mengetahui hubungan
tersebut, namun tidak ada yang dapat dilakukannya. Ia cenderung menyalahkan
dirinya sendiri yang lemah.
Perjanjian
Linggarjati yang dinilai merugikan Indonesia membuat para pejuang ingin
menunjukkan bahwa mereka masih memiliki taring. Direncanakanlah untuk
melemparkan granat pada sekumpulan tentara Belanda yang baru keluar dari
bioskop Rex. Tugas itu akan dipasrahkan pada Hazil dan Rakhmat. Sedangkan Guru
Isa bertugas mengamati berhasil tidaknya lemparan granat tersebut dan seberapa
parah dampaknya. Granat tersebut hanya menewaskan beberapa serdadu. Namun,
setelah itu Guru Isa dibayangi ketakutan akan polisi militer yang memburunya.
Pada
akhirnya, polisi militer behasil mengankap Hazil. Setelah menerima berbagai
siksaan, ia menyebut nama Rakhmat dan Guru Isa. Jadilah Guru Isa diciduk dan
dibawa ke tahanan. Ia juga menerima siksaan yang tiada henti. Namun mulai dari
sini, ketakutan dalam diri Guru Isa mulai menghilang. Ternyata apa yang
dibayangkannya selama ini tidak semenakutkan apa yang dialaminya. Ia masih bisa
bertahan. Kesadarannya ini menumbuhkan kembali keberaniannya. Ia merasa
darahnya mulai kembali panas dan bersemangat. Sebaliknya, Hazil menjadi rapuh
dan terjebak dalam ketakutannya.
Dengan
bahasa yang lugas, novel ini justru bisa membawa kepada sebuah situasi
manusiawi yang dialami oleh kebanyakan masyarakat di zaman tersebut. Setiap
orang memiliki ketakutannya masing-masing. Namun di antara ketakutan dan rasa
putus asa yang mengikuti, ada juga harapan akan masa depan yang lebih baik yang
memunculkan kebahagiaan.
Dari
sisi sejarah, novel ini bisa menggambarkan sisi gelap perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Perjuangan tersebut bisa mengorbankan segalanya, termasuk kemanusiaan.
Ada bagian di mana Guru Isa, Hazil, dan Rakhmat bertemu dengan anggota pejuang
kemerdekaan yang tak segan menyembelih orang lain tanpa banyak pertimbangan. Semua
yang dianggap mencurigakan langsung dihabisi. Nurani mereka terkoyak saat
menyaksikan dua tubuh hasil sembelihan yang mulai membusuk. Perang kadang
memang menghasilkan orang-orang biadab yang kehilangan nurani.
Di masa
itu, manusia di Jakarta, mulai dari tukang becak sampai pegawai berjuang
mati-matian untuk bisa sekedar makan. Kondisi yang tidak aman memperlambat
pasokan bahan makanan dan menimbulkan kelangkaan sehingga harga-harga cepat
naik. Berhutang adalah hal yang lumrah. Namun, di antara semua kekurangan dan
bayang-bayang pencidukan oleh polisi militer karena dituduh musuh, masih ada
harapan yang bisa bertransformasi menjadi senda gurau saat bertemu kawan. Semua
orang Indonesia tidak ragu untuk mengucapkan salam “Merdeka!” tiap bertemu
orang Indonesia yang lain. Mereka bisa sangat dekat dan tidak ragu untuk
menolong. Tidak ada kesenjangan karena semua orang susah dan berjuang. Sangat berbeda
dengan novel Mochtar Lubis yang berjudul “Senja di Jakarta” yang menggambarkan
sebuah bangsa di alam merdeka yang justru punya kesenjangan sosial teramat
lebar. Fakta lain yang menurut saya menarik adalah masyarakat zaman itu
menyebut tentara dengan sebutan “ubel-ubel”. Ini ditujukan bagi tentara sekutu
yang kebanyakan berasal dari India dan menggunakan kain yang dililitkan (Jawa: diubelke) di kepala.
Secara
pribadi novel setebal 167 halaman ini membuat saya melihat pergulatan yang dialami oleh seorang
manusia di dunia ini dengan rasa takutnya. Saya pikir, siapapun yang membacanya
pasti tidak akan asing dengan pergulatan tersebut. Kita pun punya pergulatan
dalam diri masing-masing. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar