seporsi balungan Bakmi Mbah Atmo Wates
Adakah
dari teman-teman yang suka balungan atau bebalungan? Bagi yang sama sekali
belum pernah makan apalagi mendengar menu ini, luangkanlah sejenak waktu kalian
untuk menyimak deskripsi saya karena niscaya tidak sia-sia. Balungan atau
bebalungan memiliki kata dasar bahasa Jawa “balung”
yang dalam bahasa Indonesia berarti “tulang”. Jadi, balungan pada dasarnya
adalah tulang belulang, biasanya ayam, yang dimasak dengan cara ditumis dengan
sedikit kuah berisi rempah-rempah khas Jawa sehingga menghasilkan sensasi
goyang lidah saat dinikmati.
Balungan
sangat mudah ditemukan di semua penjuru Jogja, tersebar di delapan arah mata
angin. Kalian hanya perlu menyambangi kedai-kedai atau warung-warung bakmi jowo
favorit. Harganya juga terjangkau. Berkisar dari 10-15 ribu. Menu ini biasanya bisa dipesan walaupun tidak ada di daftar menu
tempat makan tersebut. Lho, kok bisa? Bahan utama balungan adalah sisa-sisa
tulang ayam yang dagingnya sudah dikrokoti
untuk membuat bakmi godhog (rebus)
atau bakmi goreng. Tulang-tulang ini
sebenarnya nasibnya sudah digariskan, yaitu masuk tong sampah atau jadi
santapan kucing. Hal inilah yang mungkin membuat para pedagang bakmi jowo tidak
enak untuk memajang menu ini dalam daftar menu mereka. “Wong barang sisa kok mau dijual”. Mungkin begitu batin mereka.
Akan tetapi, berhubung orang Jawa masih merupakan bagian dari orang Indonesia,
pasti ada saja ide kreatif yang muncul sehingga berubahlah nasib tulang-tulang
tersebut. Pada dasarnya, saat para pedagang ngrokoti
daging dari tulang-tulang ayam, tulang-tulang tersebut tidak benar-benar
bersih dari daging. Masih ada saja daging yang tertinggal. Daging-daging
tempelan itulah yang menjadi buruan utama para penggemar balungan di manapun
mereka berada.
Untuk
membuat balung-balung tadi terlihat layak dikonsumsi (ya masa tulang ayam bekas
dicantelin di paku atau bendrat gerobak tukang bakmi jowo langsung dimakan) dan
memiliki citarasa tinggi, dimasaklah balung-balung tersebut. Sepengetahuan
saya, cara para pedagang bakmi jowo memasak balungan bisa dibedakan menjadi tiga
jenis: dibuat manis, gurih, dan gurih manis. Saya paling sering membeli menu
tersebut di tukang-tukang bakmi jowo yang ada di Wates, kota di mana keluarga
saya tinggal. Ada dua warung bakmi jowo yang rasa balungannya tidak pernah
mengecewakan. Yang pertama adalah Warung Bakmi Kang Marjo yang lokasinya persis
berada di depan SD Muhammadiyah Wates dan Warung Bakmi Jowo Mbah Atmo yang
berlokasi juga persis di depan TK Theresia Pengasih. Balungan di lokasi pertama
rasanya paling enak kalau tanpa kecap sehingga balungannya lebih baik dipesan
dengan rasa gurih. Kalian bisa khusus meminta pada penjualnya. Biasanya
balungan bisa diambil setelah pukul 10 atau 11 karena harus menunggu ayam yang
digunakan habis dicopoti dagingnya. Untuk warung yang kedua, jangan kaget kalau
tiba-tiba penjualnya bilang tidak ada/tidak jual balungan. Entahlah apa
alasannya. Padahal rasanya enak karena kombinasi pedas-manis-gurihnya sangat
pas. Menurut adek saya, bisa saja balungannya sudah dipesan oleh orang lain
sehingga penjualnya menolak menjual pada kami. Tapi masa setiap datang, bahkan
pada saat jam-jam awal dan kami berusaha memesan terlebih dahulu, balungan
tetap dikatakan tidak dijual. Sejujurnya, saya sudah kangen dengan balungan a la Mbah Atmo. Tapi ya sudahlah.
Nahh,
di luar aspek rasa, usaha mencari daging yang masih tertinggal di balungan bisa
menjadi sebuah ajang untuk menghangatkan dan mempererat hubungan antar anggota
keluarga lho. Bagaimana bisa? Keluarga saya sudah membuktikannya.
Seporsi
balungan biasanya berisi tulang yang banyak. Kalau dimakan sendiri sebenarnya
bisa, tapi apa ya kalian tidak kasihan dengan lipatan perut yang semakin baggy dari hari ke hari itu? Nikmatnya
ngrokoti balungan semakin terasa kalau disantap bersama. Apa saja keuntungan
yang bisa didapatkan saat menyantap balungan bersama keluarga?
1. Kebersamaan
yang Aktif
Memang
ada kebersamaan yang pasif? Ada dong! Apa namanya kalau kalian sedang dalam
posisi diajak ngobrol dengan orang tua namun disambi main ponsel. Kalian ada
namun juga tiada di saat yang bersamaan. Kalian membagi jiwa, raga, dan
perhatian ke dua dimensi yang berbeda sehingga percakapan yang terjadi mungkin
saja hanya berjalan satu arah, monoton, dan tidak responsif. Orang tua merasa
disepelekan namun Anda merasa tidak menyepelekan karena konon katanya telepon
seluler yang pintar itu kini tidak bisa lagi dipisahkan dari kehidupan
keseharian kita, bahkan saat kita berinteraksi langsung dengan orang.
Hal
seperti itu tidak akan pernah terjadi saat kalian menyantap balungan. Kalian
tidak akan mungkin tega menjamah telepon seluler pintar kesayangan dan membuat casingnya nglengo atau berminyak. Otomatis, kalian 100% berada dalam
kebersamaan tersebut. Tidak ada lagi alasan mengaktifkan fake calls atau meminta teman lewat WA untuk segera menelepon Anda
di saat-saat muncul pertanyaan serius, seperti kapan lulus dan setelah lulus
mau apa.
2. Masalah
Penting Bisa Dibahas dengan Santai
Percaya
tidak kalau keputusan Adek saya antara akan melanjutkan studi atau langsung
kerja selulus S1 diambil saat dia, Ibuk, dan saya makan balungan? Nyatanya,
itulah yang terjadi. Sensasi saat ngrokoti tulang mampu membuat kalian berada
dalam kondisi yang sangat santai. Proses ngrokoti tulang adalah salah satu
sinonim dari kenikmatan. Inilah alasannya kenapa beberapa orang yang saya kenal
lebih memilih kepala atau ceker daripada dada ayam. Sensasinya itu lho!
Saat
kalian tidak sedang stress, kalian cenderung tidak merasa cemas. Absennya rasa
cemas tersebut bisa membantu kalian untuk membuat keputusan yang rasional tentang
sesuatu. Banyak artikel neuroscience
yang membahas masalah ini. Cari saja dengan kata kunci “Anxiety Causes Irrational Thoughts”. Bagaimana bisa
kalian stress di saat makan enak? Hal inilah yang kemungkinan membuat
keputusan-keputusan rasional yang mengubah dunia bisa saja muncul di meja makan
seseorang atau restoran. Sudah saatnya menjadikan meja makan sebagai ruang diskusi! Dan
balungan sebagai menu utamanya!
3. Makan
Ayam Tengah Malam? Kenapa Tidak?
Ibuk
saya merupakan salah satu orang yang sangat menjaga apa yang dikonsumsi oleh
buah hatinya saat mereka berada di rumah (kalau nggak di rumah dan dalam
pengawasan, anak-anaknya bisa makan apa saja hahahahaha). Beliau suka parno
kalau kami makan terlalu banyak ayam atau fast food sehingga di rumah saya
selalu mudah untuk menemukan sayur, buah, dan ikan karena Ibu saya setiap pagi
rajin pergi ke pasar tradisional untuk berbelanja.
Anehnya,
Beliau tidak pernah protes kalau kami, saya dan Adek, membeli balungan
malam-malam. Padahal makan malam hari menurut ahli kesehatan tidak baik,
apalagi kalau yang dimakan ayam. Nahh, ternyata Ibu saya punya jawaban untuk
itu. Ayam yang digunakan untuk balungan biasanya adalah ayam kampung, bukan
ayam petelur. Tentu saja lebih sehat. Dan soal makan tengah malam, kalau yang
dimakan hanyalah serpihan-serpihan daging unyu yang masih keukeuh nyempil di tulang, what’s
the worst that could happen? Kecuali kalau kalian mengonsumsinya tiap malam
dan tidak cukup hanya 1 porsi.
Bagaimana
bisa hubungan antara para anggota keluarga tidak dekat dan hangat satu sama
lain jika semuanya sering makan balungan? Tangan dan mulut yang klomoh kuah merupakan metafora tidak
adanya sikap sok-sokan antar keluarga, tidak ada hal yang disembunyikan dalam
keluarga. Mungkin bisa juga dipraktikkan untuk hubungan yang lain, seperti
hubungan bisnis atau hubungan percintaan. Sayangnya, saya belum pernah
mempraktikannya di dua area tersebut. Bagaimana? Tertarik untuk mencoba
balungan? Membayangkannya sekarang saja sudah bikin ngiler. Segeralah
bergerilya ke warung-warung bakmi jowo terdekat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar