Bagaimana
perayaan Malam Tahun Baru 2017 kalian? I
wish I could stay at home and watch TV with my family. Sayangnya, keinginan
tersebut tidak bisa dilaksanakan karena saya dan adik laki-laki saya yang biasa
saya panggil Plab harus bertemu dokter gigi langganan. Pindah tanggal kontrol
sebenarnya memungkinkan namun sulit karena si dokter pasiennya banyak. Walhasil,
tepat pukul 08:15 di malam Tahun Baru 2017, kami berangkat dari Wates ke Jalan
Parangtritis. Perjalanan dari Wates sampai ke Gamping, jalanan cenderung masih
lengang. Namun, mulai dari Gamping, kepadatan lalu lintas sudah mulai terasa.
Itulah yang membuat kami memilih untuk lewat ringroad. Biasanya, kami lewat Brigjen Katamso.
Singkat
cerita, sampailah saya dan Plab ke tempat praktik pukul 09:10. Sebenarnya dokter
gigi langganan kami sudah mulai buka praktik sejak ba’da maghrib, namun kami sudah titip untuk dituliskan namanya di daftar
antrean pasien pada penjaga gedung lewat SMS. Kami dapat kabar kalau kami dapat
antrean no.7 sehingga kami berangkat menjelang malam.
Saat
sampai di lantai dua ruang praktik, saya lihat sudah ada 5 orang pasien yang
menunggu. Saya check nama saya dan Plab di papan antrean, benar no.7. Setelah
itu saya mencari tempat duduk dan mulai menanyakan pada 2 ibu-ibu di depan saya
antrean sudah sampai no ke berapa. Mereka tidak menjawab pertanyaan saya dan
hanya balas memandang. Saya berpikir keras mengapa mereka tidak menjawab
pertanyaan saya. Saya khawatir cara bertanya saya pada mereka dianggap kurang
sopan. Oleh karena itu, ketika pasien yang ada di ruang praktik keluar dan
seorang bapak bersiap masuk, saya kembali bertanya pada Bapak itu dengan cara
yang menurut saya sopan, “Maaf, Pak, sekarang sudah antrean nomor berapa ya?”
Mau tahu jawaban si Bapak?
Bapak
itu hanya memperhatikan saya dan melenggang masuk ruang praktik sambil
senyum-senyum. Ajegile!
Bangsa Jepang saat mau naik kendaraan pun antre
Saya
mulai sadar bahwa orang-orang ini tidak masuk sesuai dengan daftar antrean yang
sudah terpampang. Plab juga mengendus hal yang sama sehingga ia refleks berdiri
dari tempat duduknya dan berdiri tepat di depan pintu. Saat si Bapak keluar,
Plab langsung masuk ke ruang praktik dan balik kanan untuk menghadapi orang
yang memaksa masuk tidak sesuai antrean.
Benar
saja, salah satu dari ibu-ibu yang tidak merespon pertanyaan saya sebelumnya
memaksa masuk. Plab memblokir pintu sambil dengan tenang bertanya, “Ibu nomor
berapa?”
Si
Ibu berkata, “Saya sudah antre dari tadi.”
Adik
saya kesal dan bertanya kembali, “Ibu di papan antrean nomor berapa?”
Dengan
pandangan tidak fokus lagi memandang yang mengajak bicara, ia menjawab, “Nomor
sepuluh.”
“Saya
nomor tujuh. Berarti saya dulu yang masuk,” kata Plab.
Si
Ibu hanya mematung sambil kemudian mencari orang lain untuk melampiaskan
kekesalannya. Sialnya, saya, yang dari saat dicuekin pertanyaannya oleh si
bapak sudah pasang tampang jutek, akhirnya kena juga. Si Ibu memperhatikan saya
dengan tatapan benci. Akhirnya saya bilang, “Kami nomor tujuh jadi kami lebih
dulu,” sambil melemparkan tatapan membunuh a
la Ronda Rousey. Si Ibu akhirnya duduk kembali.
Setelah
sukses memperjuangkan hak kami, kami komplain soal tingkah orang-orang tak
beradab tadi pada Bu Dokter dan ternyata Beliau tidak tahu sama sekali soal
kekacauan antrean di luar ruang praktiknya. Begitu pun dengan Pak Dino, penjaga
bangunan yang biasanya dititipi para pasien untuk menuliskan nama mereka di
nomor antrean. Duuuhhhh. Dari beberapa kali kunjungan kami ke situ, baru kali
ini saya menemukan sistem antrean macam kasus Jessica-Mirna. Ruwet.
Para
pasien yang kacau ini punya sistem antre a
la mereka sendiri: mereka datang, nulis nama di papan antre, namun masuknya
sesuai dengan yang ada lebih lama di tempat itu. Lha apa kabar yang sudah
datang awal, nulis nomor antrean 5, lalu pulang terlebih dahulu untuk menunggu
giliran? Masa yang menulis nomor 10 lebih didahulukan dari orang yang nomor 5
ini.
Sepulang
kontrol, saya dan Plab masih membicarakan kasus tadi dan betapa rendahnya
kesadaran orang Indonesia tentang antre. Sepertinya antre merupakan hal sepele,
tapi tunggu sampai kalian merasakan antreannya diserobot. Rasanya aura membunuh
dalam diri kita yang bahkan keberadaannya pun mungkin tak pernah disadari
tiba-tiba muncul.
Antre
adalah salah satu cara bagaimana teori tentang sistem yang adil itu
diimplementasikan dalam kehidupan. Ketika kalian mengantre, kalian sedang
melaksanakan sekaligus memperjuangkan hak kalian untuk mendapat perlakuan yang
adil. Jangan biarkan seorang pun di dunia ini merebut hak tersebut. Kalau
kalian diam dalam soal yang katanya dianggap remeh ini, kalian tidak akan punya
kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak yang lebih besar. Begitu juga halnya
ketika melihat orang lain diserobot antreannya. Jangan hanya diam. Bukan kali
ini saja saya dan Plab mendapat pengalaman serobot menyerobot antrean. Sepanjang
yang bisa saya ingat, kami tidak pernah diam.
Pulangnya,
kami lewat sekitaran Via Via yang jalannya dipenuhi orang-orang dan kendaraan yang
rebutan bergerak. Di saat motor-motor, sepeda, dan becak mengantre untuk
melewati sisi jalan sebelah kiri yang masih lengang, ada seseorang yang
melepaskan kembang api yang bisa meletus di tengah antrean tersebut. Saya dan
Plab yang termasuk dalam antrean tersebut hanya bisa misuh. Sayangnya, kami gagal menemukan pelakunya. Kalau kami tahu
dan yakin dengan pelakunya, saya tidak akan ragu untuk misuhi dan menampar wajahnya. Kembang api petasan itu berbahaya. Pagi
ini saya melihat berita kalau ada 6 orang masuk RS gara-gara tidak sengaja
terkena kembang api jenis ini. Somplak bener pelakunya! Untung kami masih
selamat.
Setelah
itu, kami pergi ke Mister Burger di Jalan Sudirman untuk membeli Hot Sausage
Cheese yang menjadi favorit Plab. Jalanan Jogja di Malam Tahun Baru 2017 serupa
antrean sembako. Apalagi lalu lintas di Jalan Sudirman yang mayoritas mengarah
ke Tugu. Macet total. Saat sampai di Mister Burger pun, saya harus mengantre
cukup lama.
Tepat
di depan giliran saya, ada 6 orang mbak-mbak dan mas-mas yang usianya mungkin
di awal 30an sedang memilih-milih menu. Memilih menu merupakan kegiatan yang
biasa kita lakukan sebelum memesan. Yang tidak biasa itu kalau tiap orang dari
6 orang itu membutuhkan kurang lebih 3 menit (iya, saya sampai menghitung pakai
detikan di jam tangan!)untuk memutuskan pilihan. 3x6=18 menit! Padahal antrean
di belakang mereka sudah mengular. Sebelum sampai di gilirannya, orang-orang
ini sebenarnya bisa lho memperhatikan menu yang terpampang besar-besar (plus
harganya) di dinding Mister Burger sehingga sudah tahu apa yang mereka mau
pesan.
Orang-orang
yang mengantre di belakang saya sudah teriak semacam, “Keburu 2017, nih!” atau “Lama
banget sih!”. Saya sih memilih memasang muka Ronda Rousey lagi. Sayangnya, enam
orang ini benar-benar muka badak. Mereka sudah tahu kalau diteriaki dan banyak
orang jengah dengan lamanya waktu yang mereka habiskan untuk memesan. Anehnya,
orang-orang ini masih saja cuek. Saat 18 menit kemudian mereka selesai memesan
dan membayar, antrean sudah tambah mengular. Entahlah. Saya bingung juga dengan
keberadaan orang-orang yang tidak peka saat mengantre macam mereka ini.
Setelah
mendapatkan pesanan, saya dan Plab bersiap pulang. Saat orang-orang antre
menuju arah Tugu, kami perlu bersabar menerobos arus tersebut untuk bisa ke
arah Gramedia. Untungnya ada mas-mas bermobil merah yang rela memundurkan
mobilnya untuk kami sehingga kami berhasil menyeberang ke sisi utara Jalan
Sudirman dan pulang lewat ringroad. Akhirnya,
ada juga hal yang bisa membuat lega di akhir Malam Tahun Baru 2017. Semoga
Malam Tahun Baruan kalian tidak semenjengkelkan saya.
Sumber gambar: http://touristinparadise.blogspot.co.id/2005/06/yokoso-japan-day-05.html