Bung Hatta adalah bapak
bangsa favorit saya. Bisa dibayangkan betapa girangnya perasaan ini ketika
menemukan Seri Buku Tempo Bapak Bangsa edisi Hatta yang terselip di salah satu
rak perpustakaan daerah. Saya mengagumi Beliau sejak SMP tingkat I. Dimulai
dari ketidaksengajaan membaca beberapa buku yang dibuat khusus untuk
memperingati 100 tahun Bung Hatta. Isinya adalah kenangan orang-orang
terdekatnya tentang si Bung. Sejak itu, saya lahap tiap info tentang Bung
Kacamata ini di manapun saya menemukan buku tentang Beliau.
Seri Buku Tempo edisi Bung
Hatta sudah diterbitkan sejak 2010. Dan saat melihat iklan tersebut di majalah
Tempo, saya mulai mencari di perpustakaan-perpustakaan terdekat. Sayangnya baru
bisa ditemukan di tahun 2013. Pencarian selama hampir tiga tahun berujung pada
3 jam proses membaca yang terkadang diselingi dengan rasa mendiring dan mata
berkaca-kaca. Dua yang terakhir ini sangat personal mengingat saya adalah pengagum
si Bung.
Pada dasarnya buku ini,
seperti yang dikatakan Arif Zulkifli dalam kata pengantar, adalah hasil
penelusuran jejak sang Bung dalam empat periode hidupnya di Bukittinggi, Eropa,
Jawa, dan di tanah buangan (Banda Neira ,Tanah Merah, Boven Digul, dan Bangka).
Buku ini menjadi kumpulan memoar dan pemikirannya yang tersebar dalam berbagai
tulisan, pidato, cerita, dan foto.
Bung Hatta dikenal sebagai orang
yang serius. Dua sifat lainnya yang juga paling menonjol adalah pecinta buku
dan tepat waktu. Kecintaannya pada buku membuatnya kaya akan ilmu pengetahuan
dan penuh kebijaksanaan. Sifat disiplinnya juga tercermin dalam kehidupan
sehari-harinya sampai ia wafat pada 14 Maret 1980.
Sejak kecil, putra Minang
yang dilahirkan di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902 ini
telah menunjukkan keseriusan dalam belajar. Ia lahir dari kalangan bangsawan, perpaduan
keluarga ulama dan saudagar. Namun sejak kecil, ia telah hapal dengan
kesewenang-wenangan kolonial yang salah satunya pernah menangkap kerabat sang
kakek, Rais, yang mengkritik seorang pejabat Belanda.
Lingkungannya telah
membentuknya menjadi seorang yang relijius. Pribadinya adalah perpaduan antara
kesalehan dan intelektualitas. Ia dikenal sebagai salah satu bapak bangsa yang
kualitas intelektualitasnya paling cemerlang. Ia mendapat kesempatan belajar di
Rotterdamse Handelshogeschool, sebuah sekolah ekonomi bergengsi pada 1921. Selama
masa studinya, ia berkenalan dengan beberapa mahasiswa asal Hindia Belanda dan
mulai terlibat dalam diskusi-diskusi kecil. Ini adalah awal terbentuknya
Indische Vereeniging yang kemudian diubah menjadi Indonesische Vereeniging dan
akhirnya bernama Perhimpunan Indonesia. Selain berdiskusi, organisasi ini juga
melakukan penerbitan yang berujung pada penangkapan Hatta tahun 1927. Ini
akibat tulisannya yang mengkritik pemerintah kolonial. Saat menjalani siding,
ia membacakan pembelaannya selama tiga setengah jam di depan pengadilan dengan
judul “Indonesia Vrij” atau “Indonesia Merdeka”.
Sepulangnya ke tanah air, ia
mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia bersama Sutan Sjahrir. Partai ini
menekankan pada aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah.
Aspek ini berseberangan dengan Soekarno. Dalam konsep pembentukan partai dan
keanggotaannya, Soekarno lebih memilih penggalangan kekuatan massa. Dwitunggal
ini memang tidak selamanya akur. Mereka berdua sering berseberangan pendapat
yang puncaknya ditandai dengan pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden
tanggal 20 Juli 1956. Hal ini terjadi karena Soekarno mulai mencanangkan Demokrasi
Terpimpin. Dalam menentang sistem Demokrasi Terpimpin, Hatta menulis “Demokrasi
Kita”, yang sempat dinyatakan sebagai bacaan terlarang padahal relevansinya
dengan zaman sekarang masih nyata terpapar. Namun keduanya tetaplah dua sahabat
yang saling menghormati. Soekarno sempat meminta Hatta untuk menjadi wali nikah
putra sulungnya, Guntur, yang disanggupi oleh Hatta. Pertemuan terakhir dua
bung ini terjadi saat Soekarno dirawat di rumah sakit. Hatta hadir menjenguk
dan menurut Meutia Farida Hatta, putri sulung Hatta, keduanya memang tidak
bercakap-cakap banyak namun keduanya seperti saling mengerti dan memaafkan satu
sama lain.
Hatta memang dikenal sebagai
pemikir dan orator ulung. Ia mungkin tidak sehebat Soekarno dalam berorasi,
namun tulisan-tulisannya berbicara senyaring orasi Soekarno. Ia adalah seorang deep reader yang menuangkan gagasannya
lewat sebuah proses pemikiran penuh pertimbangan dan dilandasi dengan landasan
yang kuat. Hatta dikenal sebagai seorang sosialis, namun ia juga rasionalis. Ia
tak membiarkan dirinya terjebak dalam hingar bingar pengerahan fisik massa.
Visinya sangat berorientasi pada kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal.
Periode tanah pembuangan
adalah masa yang digambarkan sedikit berbeda dalam hidup Hatta. Hatta dibuang
karena kegiatan politiknya yang dinilai membahayakan pemerintah kolonial. Hatta
pernah dibuang di tiga tempat. Yang pertama di daerah Boven Digul, Papua. Tempat
ini sering disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda. Memang tidak ada rantai
dan kerja paksa, namun orang bisa tidak tahan secara mental karena dirongrong
kebosanan. Akhirnya Hatta dan Sjahrir pada tahun 1936 dipindahkan ke Banda
Neira. Periode ini mungkin merupakan periode cukup menyenangkan dalam tahun-tahun
perjuangan Hatta. Keberadaan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya serta alam
yang indah seperti memberi semangat baru. Ia tetap rajin membaca dan menulis
sambil sesekali ikut bermain dengan anak-anak. Des Alwi adalah salah satu anak
Banda Neira yang kemudian diangkat anak oleh Sjahrir dan Hatta. Saat keduanya
diminta pulang oleh pemerintah kolonial ke Jakarta tahun 1942, mereka membawa
serta empat orang anak Banda bersama mereka. Tempat pembuangan ketiga adalah
Menumbing, Bangka. Saat Belanda menyerbu Yogyakarta pada Desember 1948, Hatta
dan Soekarno ditangkap dan dibuang. Mereka dibuang di tempat berbeda sebelum
akhirnya ditempatkan di Bangka.
Masa senja Hatta memang
memprihatinkan. Sejak pengunduran dirinya sebagai presiden, ia hanya menerima
penghasilan dari uang pensiun negara dan royalti menulis buku. Sempat ia
kesulitan membayar tagihan listrik rumahnya. Beberapa perusahaan menawarinya
menjadi komisaris perusahaan, namun ia menolak karena prinsip dan keteguhan hatinya
membela rakyat.
Dan begitulah, mengenang
Bung Hatta lewat tulisan-tulisan tentangnya adalah sebuah proses yang
menggetarkan hati. Tidak perlu tulisan yang muluk-muluk untuk membuat
pembacanya menghormati dedikasi dan kejujuran proklamator ini. Di atas
semuanya, Indonesia harus bangga karena pernah memiliki seorang putra yang
ikhlas mengabdikan dirinya untuk bangsa. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar