Diambil dari koleksi Dwi Lisa Susanti
Bagi
yang baru pertama kali mendengar frasa ini, sama. Saya juga. Kebetulan saya
mendapat kesempatan untuk mengetahui arti frasa ini saat megikuti sebuah kuliah
umum yang digelar oleh Program Pascasarjana Prodi Ilmu Sastra UGM pada hari Selasa,
22 Oktober 2013. Kuliah umum tersebut menghadirkan Prof. Dr. H.M. J. Maier
sebagai pembicara. Beliau adalah ahli Sastra Melayu dari University of
California Riverside. Beliau adalah murid langsung Prof. Teeuw, ahli sastra
Indonesia dari Universitas Leiden. Prof.
Maier adalah juga penerjemah beberapa karya sastra Indonesia terkenal ke bahasa
Belanda. Beberapa di antaranya: “Ken Arok”, “Bukan Pasar Malam”, “Sri Sumarah”,
dan “Jejak Langkah”. Saat ini Beliau sedang dalam sebuah proyek bersama seorang
dosen Universitas Sanata Dharma untuk menerjemahkan sebuah karya Roland Barthes
yang berjudul The Pleasure of the Text.
Pembahasan
tentang kacukan kemelayuan berangkat dari buku tersebut. Buku ini menempatkan
pembaca dalam posisi yang lebih penting daripada penulis. Yang perlu dipahami
adalah, dalam proses membaca, yang paling penting bukanlah proses untuk mencari
ide namun mencari kenikmatan. Ide atau gagasan terdapat di setiap buku dan bisa
ditemukan oleh pembaca sedangkan kenikmatan adalah milik pribadi pembaca yang
proses pencariannya lebih personal.
Dalam
memperhatikan pembaca, Barthes meminta untuk mulai melihat pada jenis teks dan
membedakannya menjadi dua. Barthes memiliki istilah khusus untuk menyebut teks
sebagai teks yang readerly dan writerly. Yang pertama digunakan untuk
teks yang memiliki kenikmatan yang dicari oleh pembaca. Novel dapat digolongkan
dalam kategori ini. Writerly
digunakan untuk teks yang memiliki kualitas untuk menantang pembacanya sehingga
sebagai hasil akhir, pembaca akan menuliskan hasil pembacaannya terhadap buku
tersebut.
Klasifikasi
ini menurut Prof. Maier menarik jika dihubungkan dengan sastra Melayu.
Kebanyakan sastra Melayu memiliki banyak versi dan setiap ditulis ulang, selalu
ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penulis barunya. Sebagai contoh
adalah teks Hang Tuah. Saat ini ada
10 versi teks Hang Tuah. Hal ini
disebabkan karena tiap kali membaca, pembaca menganggapnya sebagai teks writely sehingga saat ia menuliskannya
kembali, ia memberi pemaknaan yang baru atas teks tersebut sebagai hasil dari
proses membacanya. Jadi, teks-teks baru mengandung pengulangan dari teks
sebelumnya namun masih terdapat perbedaan, kalau tidak bisa disebut sebagai
penyimpangan.
Tidak
hanya terjadi di masa sebelum dikenal mesin cetak untuk menggandakan teks, di
abad 20 pun ditemukan teks-teks yang dicetak dengan isi yang berbeda dengan
naskah aslinya. Contohnya adalah novel Sitti
Nurbaya karangan Marah Rusli. Di halaman pertama, teks awal yang menyebut
bendera dengan warna merah-putih-biru, pada teks berikutnya menyebutnya dengan
merah putih saja. Alasannya tentu saja terkait dengan politik.
Dari
sini, mulai menarik untuk menyelidiki bagaimana cara orang Melayu berpikir dan
jawaban tersebut dapat diperoleh dengan menyimak karya sastra yang dihasilkan
dalam bahasa tersebut. Prof. Maier memilih menggunakan bahasa Melayu untuk
menyebut bahasa Indonesia karena ia masih termasuk rumpun bahasa Melayu dan
merupakan hasil dari perkembangan bahasa tersebut.
Prof.
Maier memiliki argumen awal bahwa bahasa Melayu sangat cair karena gampang
berubah. Sebagai akibatnya, teks berisi banyak hal yang berbeda dari teks
pertamanya sehingga sastra Melayu dapat disebut sastra yang hybrid atau campur aduk. Istilah kacukan
memiliki arti yang sama dengan campur aduk. Istilah ini juga disebut dalam
naskah Hang Tuah. Naskah Hang Tuah
menceritakan seorang hamba yang mengabdi di isatana kerajaan Melaka namun
akhirnya keluar dan berpetualang di Indrapura. Berhubung ia pintar menari, ia
dipanggil menari di salah satu kerajaan. Pihak kerajaan terkesan dengan
tariannya dan menganggap bahwa ia adalah seorang Melayu asli. Hang Tuah
menyangkal dengan mengatakan bahwa dirinya adalah Melayu kacukan. Ia punya
identitas campur aduk.
Jawaban
tentang keaslian Melayu kemudian dipertanyakan. Melayu itu sebenarnya apa? Menurut
KBBI, Melayu merupakan kata benda, tapi kenapa bisa dipakai untuk kata sifat? Apakah
Melayu itu nama daerah, nama bangsa, atau nama bahasa? Tidak ada jawaban pasti
dan pertanyaan tersebut menurut Prof. Maier merupakan pertanyaan yang tak perlu
ditanyakan. Namun bangsa Melayu memang selalu tergerak untuk mencari keaslian
mereka. Orang Melayu selalu menyimpan impian untuk menjadi sempurna. Dalam teks
Hang Tuah, pertanyaan pihak kerajaan tentang keaslian dirinya menunjukkan bahwa
keaslian sebagai orang Melayu mendapat tempat dalam masyarakat. Padahal apabila
kita lihat lebih jauh, istilah Melayu merupakan konstruksi dari masyarakat
penjajah. Sebelum dijajah, para nelayan yang tinggal di semenanjung Malaka atau
petani yang bercocok tanam di pedalaman Riau misalnya, tidak menyadari bahwa
mereka orang Melayu. Saat pertama kali diberi pertanyaan tentang siapa
sebenarnya mereka, kemungkinan besar mereka akan menjawabnya dengan jawaban
semacam petani dari Riau atau nelayan dari Bagansiapiapi.
Konstruksi
Melayu, oleh karena itu, memiliki hubungan dengan kekuasaan kolonial yang dulu
pernah bercokol di wilayah Asia Tenggara, baik Indonesia maupun Malaysia. Untuk
mengaitkan isu ini dengan bahasa, fakta bahwa bahasa Melayu merupakan hasil
standardisasi kolonial merupakan bukti otentik. Kolonial membagi bahasa Melayu
menjadi Melayu sungguh dan Melayu pasar. Melayu sungguh adalah bahasa yang pada
akhirnya berkembang menjadi bahasa Indonesia sedangkan Melayu pasar merupakan
bahasa yang digunakan oleh kebanyakan rakyat, mayoritas rakyat kecil, di
wilayah semenanjung Malaka dan Sumatra. Melihat dari fakta ini, bukankah bahasa
Indonesia sebenarnya adalah hasil konstruksi pemerintah kolonial? Selama ini
kita selalu bangga dengan menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Namun persatuan itu sendiri pun adalah sumbangsih dari pemerintah kolonial.
Bahasa
Melayu yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia dan Malaysia,
oleh karena itu bisa disebut sebagai Melayu kacukan, Melayu yang tidak murni,
Melayu yang bukan sungguh karena yang sungguh itu tidak pernah ada. Jalan ke
sana selalu mendapat pertentangan karena kacukan ada di mana-mana. Apabila ini
diterapkan dalam teks, tidak ada teks Melayu yang asli. Semuanya kacukan
sehinggan mengklasifikasi teks sebagai yang adiluhung dan rendahan sungguh
adalah perbuatan yang salah menurut Prof. Maier.
Pertanyaan
dan jawaban dalam diskusi:
- Pertanyaan : Ada sebuah buku yang menyatakan bahwa cerita pelipur lara adalah contoh Melayu Sungguh. Lalu bagaimana kaitannya dengan kacukan? Jawaban : Kalau kita memahami Melayu hanya dari ceritanya saja, tentu saja tidak akan pernah menemukan jawaban karena Melayu itu luas. Seperti yang telah dibahas tadi, semua teks adalah teks kacukan. Oleh karena itu, konsep Melayu Sungguh tak pernah ada.
- Pertanyaan : Bagaimana tanggapan Bapak tentang fenomena bahasa Alay dalam bahasa Indonesia? Apakah termasuk kacukan? Jawaban : Dulu Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1981, sekembalinya ia dari Amerika Serikat dan menyadari perkembangan bahasa Indonesia di negaranya, berkseimpulan bahwa eksperimen bahasa Indonesia gagal. Bahasa Indonesia tidak bisa menyatukan Indonesia karena ada banyak dialek yang blang blonteng. Jadi, bahasa alay atau slang selalu ada namun masih tetap ada semacam kesadaran untuk menjadikan bahasa tertentu, dalam hal ini bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan.
- Pertanyaan : Kalau Melayu yang sebenarnya tidak ada? Bagaimana memahami Melayu sebagai constructed identity? Jawaban : Secara politik, pada dasarnya setiap negara memiliki bahasa persatuan. Tapi kalau kita mengambil Malaysia sebagai contoh, hanya sedikit orang yang mengerti bahasa Melayu. Kebanyakan yang mengerti adalah orang yang menganggap diri mereka orang Melayu. Sedangkan orang Cina atau India yang tinggal di sana tidak merasa berkewajiban untuk mempelajarinya. Tapi toh masyarakat itu tetap bersama terlepas dari apakah masyarakat tersebut menggunakan bahasa yang sama atau tidak. Selalu ada yang meracuni dan menuntut adanya ideologi dalam kaitannya dengan identitas. Walaupun mereka nantinya memiliki identitas, mereka masih dalam lingkaran identitas yang ditentukan oleh kekuasaan.
- Pertanyaan : Bagaimana kaitan antara kacukan Kemelayuan dengan estetika?Jawaban : Setiap orang memiliki konsepnya sendiri tentang identitas walaupun ia kadang harus ikut identitas lain yang telah ditentukan. Tapi yang paling menarik dari semuanya adalah kita selalu mencari identitas salah satunya melalui bahasa walaupun usaha untuk menstandardisasinya akan selalu gagal. Bahasa ini adalah salah satu bentuk dari estetika.
- Pertanyaan : Kalau saya ingin meneliti tentang sastra Melayu klasik, bagaimana cara membedakan antara sastra yang kacukan dengan yang sungguh? Jawaban : Bagaimana cara mendefinisikan sastra klasik dan kacukan, menurut saya itu tidak mungkin bisa. Dalam sastra klasik Melayu, tulisan Nasrani dinafikkan karena selama ini mereka mau membangun ideologi bahwa Melayu adalah Islam. Mereka menganggap teks-teks Nasrani bukan asli Melayu, kacukan. Padahal sastra Melayu Islam sendiri adalah kacukan karena teks baru selalu dibangun berdasarkan teks sebelumnya. Tidak ada perbedaan antara sastra Melayu klasik dan sastra Melayu kacukan, pun antara sastra Melayu Islam dan sastra Melayu Nasrani.
- Pertanyaan : Apabila semua teks adalah kacukan, apakah ini berarti ilmu pengetahuan, terutama bahasa dan sastra, tidak butuh adanya pengklasifikasian teks? Jawaban : Saya dan orang-orang seangkatan saya tumbuh bersama paham strukturalisme yang diajarkan di kelas. Dalam strukturalisme, ada pengklasifikasian. Tapi paham pascastrukturalisme membuat kita mengerti bahwa tidak ada pengklasifikasian karena nyatanya dunia ini penuh dengan kekacauan. Oleh karena itu, tidak ada pengklasifikasian dalam sastra. Semua jenis teks itu setara. Mereka semua kacukan.
Pandangan
Pak Maier menawarkan salah satu perspektif dalam melihat teks di ranah sastra
Melayu secara khusus dan semua jenis teks secara umum. Tentang tidak adanya
penggolongan teks, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan teman sekelas saya.
Jika teks memang tidak diklasifikasikan, bagaimana kemudian cara kita untuk
meneliti teks sastra populer misalnya? Karena selama ini kami diajarkan bahwa
metode meneliti sastra populer berbeda dengan metode meneliti sastra adiluhung.
Tapi pertanyaan saya memang tidak harus dijawab. Ilmu menawarkan begitu banyak
interpretasi, apalagi ilmu bahasa. Tinggal memilih mana yang menurut kita
cocok.