Pencarian saya selama ini
akhirnya membuahkan hasil. Menemukan buku karangan Y.B. Mangunwijaya ini
nyempil di antara buku-buku di rak kesusastraan Perpustakaan Kota membuat saya
tanpa pikir panjang mengambil dan meminjamnya. Saya baru menyadari betapa
tebalnya novel ini saat bersiap memasukkannya dalam ransel. 802 halaman yang
berisi tiga cerita: Rara Mendut, Genduk
Duku, dan Lusi Lindri. Ketiganya digabung dalam sebuah novel berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi. Konsepnya
seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari yang juga terdiri dari tiga cerita.
Sebelum disusun sebagai
sebuah novel, Rara Mendut terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas
tahun 1982 kemudian dibuat menjadi sebuah film tahun 1983. Inti cerita novel
ini adalah perjuangan tiga orang wanita Jawa di zaman Sultan Agung dan
Amangkurat untuk mencari kebahagiaan. Maklum ketiganya tinggal di wilayah
kraton dan semua wanita yang tinggal di wilayah kraton dianggap sebagai milik
sang raja. Belum lagi fakta bahwa wanita di zaman tersebut dianggap lancang apabila
memiliki cita-cita untuk menentukan nasibnya.
Tahun 1600an atau abad 17
adalah masa di mana raja Jawa Sultan Agung memiliki kekuasaan penuh atas hampir
seluruh pulau Jawa kecuali Betawi yang dikuasai Belanda dan Banten, sebuah
kesultanan Islam di ujung barat pulau Jawa yang menolak tunduk pada kekuasaan
Mataram namun Sultan Agung sendiri pun segan untuk menyerang karena persamaan
agama di antara keduanya. Sultan Agung dikenal sebagai raja yang bijaksana
namun gemar melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang belum mengakui
kedaulatannya. Banyak pembesar setempat yang kurang setuju dengan tindakannya
dan memutuskan untuk melakukan makar. Di tengah panasnya situasi inilah
karakter Rara Mendut muncul.
Posisinya sebagai calon
selir Adipati Pragola di Pati berubah menjadi wanita rampasan perang yang
kemudian harus menetap di harem seorang tumenggung Mataram yang terkenal
digdaya di medan pertempuran, Wiraguna. Rara Mendut secara pribadi memang
dipilih oleh sang tumenggung dengan persetujuan Sultan Agung untuk tinggal di
dalem Wiragunan, puri sang tumenggung, untuk dijadikan selir. Wiraguna yang
tergila-gila dengan sang putri pantai berkulit sawo matang ini harus menunggu
sementara waktu sampai sang Rara bersedia untuk digauli.
Dalam masa penantiannya,
Wiraguna yang kesabarannya hampir hilang meminta Mendut untuk menyetor segepok
uang atau ia harus mulai bersedia melayaninya. Dengan aturan ini, Wiraguna
berharap Mendut luluh dan bersedia melakukan permintaannya. Sayangnya Mendut
memutuskan untuk berjuang mencari keping-keping persembahan dengan jalan
menjadi penjual puntung rokok di pasar. Gaya berjualannya yang tak biasa
mengundang banyak orang yang penasaran dan legendaris. Rara Mendut hanya menjual puntung rokok
yang telah dihisapnya dan ia tak pernah membiarkan orang luar melihat paras
wajahnya karena itu ia berjualan dengan ditutup sebuah kerai warna merah muda. Rasa
penasaran ini juga perlahan merambati seorang pemuda bernama Pranacitra, putra
seorang Nyai saudagar di daerah pantai utara Jawa bernama Singabarong. Ia
berhasil menyusup di balik kerai merah muda dan menyaksikan kecantikan Rara
Mendut. Sang Rara juga jatuh hati dengan ketampanan sang pemuda. Asmara
keduanya mencoreng muka sang Tumenggung yang kemudian memutuskan untuk memburu
dan membunuh keduanya di tepi pantai Selatan.
Nama Genduk Duku di buku
kedua mengacu pada seorang gadis remaja yang menjadi emban Rara Mendut sejak di
istana Pati dan ikut diboyong ke puri Wiragunan di Mataram. Setelah menyaksikan
kematian sang Rara yang sudah dianggapnya sebagai kakak dengan mata kepala
sendiri, ia memutuskan untuk melarikan diri dan berlabuh di desa Telukcikal,
desa asal Rara Mendut. Di sana ia menikah dengan pemuda setempat bernama Slamet
yang berhati mulia.
Saat dalam perjalanan untuk
merantau ke Cirebon, nasib membawa mereka untuk terlibat lagi dalam drama a la
Mataram. Keduanya dipaksa menjadi rakyat jelata yang turut menjaga dan
mengurusi rombongan yang mengantar beberapa tawanan Belanda dari Jepara ke
ibukota Mataram. Setelah sampai di Mataram, keduanya mengunjungi Bendara
Pahitmadu, kakak perempuan Tumenggung Wiraguna yang dahulu pernah menolong Genduk
Duku setelah kematian Rara Mendut.
Perjalanan dilanjutkan untuk
mengunjungi Putri Arumardi, selir Wiraguna, yang bersimpati pada Rara Mendut
dan mendukung bersatunya ia dan Pranacitra. Bekerja sebagai abdi dalem, Genduk Duku
kembali menyaksikan pengulangan kisah Mendut yang kini diperankan oleh seorang
wanita muda bernama Tejarukmi. Tejarukmi harus menunggu dalam puri Wiragunan
sebelum dianggap siap untuk melayani sang Tumenggung. Sayangnya ia keburu jatuh
cinta dengan Putra Mahkota, Raden Mas Jibus, yang sekian lama juga telah
menaruh hati padanya. Gayung bersambut. Wiraguna yang tak terima atas
penghinaan tersebut tidak dapat berbuat banyak mengingat kali ini Putra Mahkota
yang mencoreng namanya. Tejarukmi mati oleh keris Wiraguna saat ia membabi buta
melampiaskan rasa malu dan murkanya yang juga direstui oleh Sang Susuhunan
Mataram. Sayangnya Slamet turut menemui ajal lewat keris yang sama saat
berusaha menyelamatkan Putri Arumardi dari Wiraguna yang saat itu sudah gelap
mata.
Genduk Duku yang hampir gila
menyaksikan kematian sang suami memutuskan untuk menjauh dari hingar bingar
istana dan memilih tinggal di Bukit Tidar. Saat itu ia sudah melahirkan putri pertama
dan satu-satunya yang bernama Lusi Lindri. Buku ketiga kemudian menceritakan
kehidupan wanita muda yang atas persetujuan Genduk Duku dibesarkan di
lingkungan istana di puri Tumenggung Singaranu, mantan dewan patih kerajaan di
masa Sultan Agung.
Kehidupan Lusi Lindri yang
menjadi inti buku ketiga diawali dengan penunjukannya menjadi salah satu Trinisat
Kenya, pasukan pengawal Susuhunan yang terdiri dari 30 gadis. Posisinya sebagai
anggota punggawa kerjaan yang paling dekat dengan raja Mataram memberinya akses
yang cukup dekat pada sang Susuhunan sehingga ia diperintahkan menjadi telik
sandi atau mata-mata bagi Tumenggung Singaranu yang mulai khawatir atas
melemahnya Mataram karena dipimpin oleh seorang raja yang lemah dan hanya suka
bersenang-senang.
Cinta masa remaja Lusi
Lindri dilabuhkan pada seorang remaja tampan keturunan Belanda bernama Hans
yang sayangnya harus kembali bersama keluarganya ke negeri Belanda setelah
bertahun-tahun menjadi tawanan Mataram. Pada akhirnya pelabuhan cinta terakhir
Lusi adalah seorang duda beranak satu bernama Peparing yang bertugas menjaga
danau buatan Segarayasa namun masih keturunan Wanawangsa, sebuah klan
pemberontak yang berdomisili di sekitar Gunung Kidul. Di masa awal pernikahan
mereka, Peparing dan Lusi Lindri diutus untuk menjadi mata-mata di Batavia demi
mengamati pergerakan pemerintah Belanda dalam hubungannya dengan pengaruhnya di
istana Mataram. Mantan Putra Mahkota Raden Mas Jibus yang telah menjadi raja
dan bergelar Amangkurat terkenal lunak dengan Belanda dan gampang takluk
dikarenakan segunung hadiah yang diberikan oleh Gubernur Jenderal.
Keadaan ibukota Mataram yang
semakin tidak menentu karena ruwetnya pemerintahan membuat Lusi dan Peparing
memutuskan tinggal di wilayah Hutan Walada yang menjadi tempat tinggal
Tumenggung Singaranu dan Pangeran Selarong setelah diasingkan oleh raja. Masa keemasan
Mataram perlahan pudar di bawah pemerintahan Susuhunan Amangkurat. Calon
penggantinya, yaitu Putra Mahkota Adipati Anom, menunjukkan gelagat memiliki
hubungan baik dengan Belanda di Batavia. Sedang di daerah-daerah, pemberontak seperti
Trunajaya dan Kajoran mulai mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Mataram.
Pada akhirnya, Susuhunan
Amangkurat melarikan diri sambil membawa pusaka kerajaan ke Imogiri saat para
pemberontak mulai menyerang. Lusi Lindri dan Peparing yang tinggal di dekat puncak
Bukit Kelir menyaksikan iring-iringan keluarga kerajaan bersama maharajanya
yang telah kehilangan taring sejak lama. Cerita ditutup dengan kematian Genduk
Duku di pangkuan Lusi Lindri saat keduanya bersama Peparing pulang sehabis
menengok porak-porandanya istana Mataram.
Lewat novel sejarah ini,
pembaca dapat mengambil pelajaran tentang keteguhan wanita yang memilih dan
berjuang untuk merengkuh impiannya pada masa di mana peranan perempuan hanya
dianggap sebagai kanca wingking. Ada
banyak karakter perempuan kuat ditampilkan oleh Romo Mangun selain ketiga
wanita yang namanya menjadi inti novel trilogi ini. Di antaranya Nyai
Singobarong yang menjadi puan armada dagang di Pantai Utara Jawa yang kekuasaan
dan pengaruhnya disegani oleh para saudagar dan pembesar. Ada juga karakter
Putri Arumardi dan Bendara Pahitmadu yang menggunakan pengaruhnya untuk
menolong. Sampai Ni Semangka, emban Rara Mendut, pun mendapat tempat tersendiri
di novel ini karena dedikasi dan sifat penyayangnya. Secara umum, tokoh-tokoh
wanita di novel ini adalah penggerak utama cerita yang tanpa mereka, cerita
yang bersumber dari babad-babad kuno ini hanyalah milik para pria. Wanita
mengayomi dan menghidupkan, dari mereka lahir kelembutan, kecantikan, namun
juga keteguhan hati yang gaungnya dapat menimbulkan kedamaian namun juga
peperangan.
Mata pembaca menjadi terbuka
oleh banyak hal yang berkaitan dengan sejarah kerajaan Mataram di sekitar abad
ke 17. Romo Mangun kembali meneguhkan bahwa sejarah kerajaan Jawa bukan tentang
romantisme kejayaan sebuah dinasti yang gemah
ripah loh jinawi, namun sebuah kekuasaan yang bertangan besi dan cenderung
sewenang-wenang terhadap rakyat. Tidak sedikit bagian yang mengupas pembunuhan
seorang demang atau tumenggung beserta seluruh kerabatnya sampai ke anak cicit
hanya karena sang pejabat ditengarai lalai menjalankan tugas. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa nyawa manusia harganya lebih murah dibandingkan ayam.
Kesalahan kecil yang tidak berkenan di hati Susuhunan bisa berakibat tumpasnya
seluruh anggota sebuah keluarga tanpa menyisakan apapun selain nama.
Sultan Agung memang
digambarkan sebagai raja yang bijaksana dan mengayomi rakyatnya namun
keputusannya untuk menaklukkan daerah yang membangkang dan menolak tunduk
sampai membumihanguskan keluarga pembesar setempat sampai ke akar-akarnya
membuktikan bahwa sejarah kerajaan Jawa bukanlah sebuah peradaban yang agung
namun penuh kebengisan. Raja Jawa adalah tipikal raja yang menggunakan rakyatnya
untuk membantu memenuhi keinginan sang raja. Sabda raja adalah titah yang
mutlak dijalankan tanpa mengenal kata gagal.
Dalam menggambarkan rakyat
papa, Romo Mangun yang seorang humanis menyoroti sisi penderitaan mereka yang
tak henti-henti dirasakan namun masih bersedia untuk mengabdi pada rajanya
apabila diperintah. Mungkin memang tak ada pilihan lain. Namun peran rakyat
jelatalah yang sesungguhnya teramat besar dirasakan dalam sebuah kerajaan besar
yang dikelilingi oleh beribu pembantu. Rakyatlah sebenarnya tulang punggung
utama dari mengalirnya kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan raja dan para
pembesar. Menindas rakyat merupakan pengingkaran terbesar seorang pemimpin
karena seperti kata Tumenggung Singaranu yang bijak, “Yang pantas kita abdi
adalah rakyat. Kawula semua. Teristimewa yang masih menderita dan dibuat
menderita.” Selamat membaca!
2 komentar:
Sudah lama mencari buku ini. Dan dapat sumber bacaan di medium ini terima kasih Pinterest dan sumber penulisannya 👍🙏
Nuwun sewu untuk cerita RARA MENDUT SEBUAH TRILOGI
Salam hati manis RoyJ
Posting Komentar