Dulu saat saya masih
kecil, Eyang kakung-oom dari ayah-memiliki pajangan burung garuda yang dipasang
di atas lukisan eyang buyut saya. Garuda yang sedang menengok ke kanan itu
persis seperti garuda yang biasa kita lihat di antara potret presiden dan wakil
presiden RI. Hanya saja milik eyang saya lebih kokoh dan besar ukurannya.
Seingat saya, eyang selalu
menurunkan dan membersihkan garuda tersebut pada tanggal 17 Agustus. Hingga
pada suatu kali eyang meninggal dan tak ada yang ingat lagi pada garuda milik eyang.
Entah kenapa suatu hari
saya menyadari ada yang aneh pada lukisan eyang buyut saya. Biasanya kumis
eyang buyut saya tampak tidak setebal itu. Saya baru insyaf bahwa penyeimbang
kumis itu-sayap burung garuda yang membentang-tidak berada di tempatnya seperti
biasa.
Saya bertanya pada ibu dan
jawaban yang saya dapat adalah bahwa pajangan tersebut telah rusak, oleh karena
itu diturunkan. Waktu itu saya merasa kasihan dengan eyang kakung dan burung
garudanya. Saya menanyakan kepada ayah dan ibu saya, kenapa tidak dicoba untuk
dibetulkan. Jawabannya saya lupa kenapa tetapi intinya mereka memang tidak
berniat untuk membenarkannya dan memasangnya kembali. Dan tiap kali melihat
lukisan eyang buyut, gambar Beliau menjadi sedikit aneh. Namun lama kelamaan
saya terbiasa dan tidak mempersoalkannya kembali. Lebih tepatnya, saya
melupakannya.
Belum lama ini saya
teringat lagi pada pajangan garuda itu saat sedang menonton berita tentang
Malaysia yang menempatkan tari pendet sebagai salah satu ikon budayanya di
sebuah iklan pariwisata. Disebutkan oleh si pembaca berita dengan berapi-api
bahwa Malaysia telah bersikap keterlaluan dalam hidup bertetangga sebagai
negara serumpun. Dulu ada masalah Sipadan-Ligitan, Ambalat, batik, angklung,
reog, bahkan cendol, dan sekarang tari pendet. Bahwa jelas Malaysia telah
menyentuh area paling sensitif bangsa Indonesia: kedaulatan.
Sambil melongo saya
menyaksikan berbagai macam cara yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk
menunjukkan protes. Ada yang membakar bendera Malaysia, memplesetkan nama
Malaysia menjadi Malingsial, berkeliling kota bersama grup reog dan waroknya,
sampai menampilkan tari pendet di halaman kampus. Kemudian saya menjadi ikut
marah dan mulai mengamini apa yang tadi telah disebutkan oleh si pembawa
berita.
Saya juga seorang
Indonesia dan tentu saja saya tidak rela melihat cendol (walaupun saya tidak
tahu cendol bersasal dari daerah mana) saya diambil, pendet saya diakui, dan
reog bersama waroknya yang sangar itu diklaim sebagai milik Malaysia. Di mana
harga diri bangsa ini jika satu per satu kebudayaannya diambil.
Oleh karena itu saat
melihat Pak Permadi, anggota Komisi I DPR berbicara keras sambil mengepalkan
tangan di salah satu stasiun TV swasta dalam menanggapi klaim Malaysia atas
tari pendet dan perlakuan terhadap TKI, saya ikut manggut-manggut. Sesekali
saya ikut menyemburkan makian pada Malaysia. Semburan saya makin menjadi saat
salah satu pejabat tinggi Malaysia berkata agar rakyat Indonesia tidak
terpancing emosinya dan bersikap bijak. Bijak seperti apa yang bisa diharapkan
saat sebagian dari anak bangsa diperlakukan keji dan salah satu budaya agung
yang menjadi ikon Indonesia diklaim secara sepihak oleh bangsa lain. Pokoknya
seharian itu saya misuh-misuh.
Hari berikutnya saya masih
melihat berita tentang Malaysia yang mengklaim tari pendet merajai acara-acara
berita televisi, mengalahkan sepak terjang Noordin. Namun ada yang berubah pada
diri saya. Amarah saya tidak segarang hari kemarin. Bahkan beberapa kali saya
mengganti channel TV yang menayangkan berita tersebut dengan acara komedi atau
gosip dengan entengnya.
Ada yang berubah pada diri
saya, juga pada Indonesia. Saya ingat dulu ada slogan “Ganjang Malajsia” yang
diciptakan oleh Bung Karno menyikapi eksistensi Malaysia yang dianggap sebagai
produk nekolim (neo-kolonialisme). Selain itu sikap Malaysia juga dianggap
lancang dalam peta perpolitikan global: menjadi angota dewan keamanan tidak
tetap PBB dan konon katanya mengirimkan mata-matanya ke Indonesia. Menurut
salah satu program yang saya saksikan, konfrontasi saat itu benar-benar panas.
Banyak selebaran dan iklan bertuliskan “Mengganjang Neo-Kolonialisme Malajsia”.
Hubungan dua Negara sempat menegang hingga akhirnya pada 11 Agustus 1966
diakhiri dengan perjanjian perdamaian.
Itu dulu, saat masih ada
Bung Karno yang dengan kacamata hitamnya, berpidato mengenai betapa pentingnya
sebuah kata bernama “kedaulatan’, bahkan bagi sebuah negara yang masih muda.
Bahwa ancaman pada kedaulatan negara, seberapa pun kecilnya dan walaupun hanya
dilakukan oleh segelintir oknum, merupakan ancaman bagi keseluruhan negara
tersebut. Tidak heran jika saat itu banyak masyarakat dari berbagai elemen yang
tergugah untuk turut serta dalam “mengganjang Malajsia”. Kita hanya bisa
berucap bahwa masa itu telah lewat.
Sepertinya saat ini,
kita-saya dan juga anda-membutuhkan sikap yang tegas dari pemimpin kita
terhadap apa yang telah dilakukan Malaysia. Sehingga kita tidak merasa terbiasa
saat nantinya tedapat ikon kebudayaan kita yang diklaim lagi oleh Malaysia.
Agar saya tidak merasa “biasa” saat nantinya gudeg, ataupun rujak cingur yang
sedap dari Surabaya itu diklaim oleh negara manapun sebagai miliknya. Dan pada
akhirnya tidak benasib seperti garuda eyang saya-diambil dari tempatnya,
dipersoalkan sekenanya,kemudian dilupakan.
Sunday, August 30th 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar