Jumat, 07 Desember 2012

GARUDA


Dulu saat saya masih kecil, Eyang kakung-oom dari ayah-memiliki pajangan burung garuda yang dipasang di atas lukisan eyang buyut saya. Garuda yang sedang menengok ke kanan itu persis seperti garuda yang biasa kita lihat di antara potret presiden dan wakil presiden RI. Hanya saja milik eyang saya lebih kokoh dan besar ukurannya.
Seingat saya, eyang selalu menurunkan dan membersihkan garuda tersebut pada tanggal 17 Agustus. Hingga pada suatu kali eyang meninggal dan tak ada yang ingat lagi pada garuda milik eyang.
Entah kenapa suatu hari saya menyadari ada yang aneh pada lukisan eyang buyut saya. Biasanya kumis eyang buyut saya tampak tidak setebal itu. Saya baru insyaf bahwa penyeimbang kumis itu-sayap burung garuda yang membentang-tidak berada di tempatnya seperti biasa.
Saya bertanya pada ibu dan jawaban yang saya dapat adalah bahwa pajangan tersebut telah rusak, oleh karena itu diturunkan. Waktu itu saya merasa kasihan dengan eyang kakung dan burung garudanya. Saya menanyakan kepada ayah dan ibu saya, kenapa tidak dicoba untuk dibetulkan. Jawabannya saya lupa kenapa tetapi intinya mereka memang tidak berniat untuk membenarkannya dan memasangnya kembali. Dan tiap kali melihat lukisan eyang buyut, gambar Beliau menjadi sedikit aneh. Namun lama kelamaan saya terbiasa dan tidak mempersoalkannya kembali. Lebih tepatnya, saya melupakannya.
Belum lama ini saya teringat lagi pada pajangan garuda itu saat sedang menonton berita tentang Malaysia yang menempatkan tari pendet sebagai salah satu ikon budayanya di sebuah iklan pariwisata. Disebutkan oleh si pembaca berita dengan berapi-api bahwa Malaysia telah bersikap keterlaluan dalam hidup bertetangga sebagai negara serumpun. Dulu ada masalah Sipadan-Ligitan, Ambalat, batik, angklung, reog, bahkan cendol, dan sekarang tari pendet. Bahwa jelas Malaysia telah menyentuh area paling sensitif bangsa Indonesia: kedaulatan.
Sambil melongo saya menyaksikan berbagai macam cara yang dilakukan masyarakat Indonesia untuk menunjukkan protes. Ada yang membakar bendera Malaysia, memplesetkan nama Malaysia menjadi Malingsial, berkeliling kota bersama grup reog dan waroknya, sampai menampilkan tari pendet di halaman kampus. Kemudian saya menjadi ikut marah dan mulai mengamini apa yang tadi telah disebutkan oleh si pembawa berita.
Saya juga seorang Indonesia dan tentu saja saya tidak rela melihat cendol (walaupun saya tidak tahu cendol bersasal dari daerah mana) saya diambil, pendet saya diakui, dan reog bersama waroknya yang sangar itu diklaim sebagai milik Malaysia. Di mana harga diri bangsa ini jika satu per satu kebudayaannya diambil.
Oleh karena itu saat melihat Pak Permadi, anggota Komisi I DPR berbicara keras sambil mengepalkan tangan di salah satu stasiun TV swasta dalam menanggapi klaim Malaysia atas tari pendet dan perlakuan terhadap TKI, saya ikut manggut-manggut. Sesekali saya ikut menyemburkan makian pada Malaysia. Semburan saya makin menjadi saat salah satu pejabat tinggi Malaysia berkata agar rakyat Indonesia tidak terpancing emosinya dan bersikap bijak. Bijak seperti apa yang bisa diharapkan saat sebagian dari anak bangsa diperlakukan keji dan salah satu budaya agung yang menjadi ikon Indonesia diklaim secara sepihak oleh bangsa lain. Pokoknya seharian itu saya misuh-misuh.
Hari berikutnya saya masih melihat berita tentang Malaysia yang mengklaim tari pendet merajai acara-acara berita televisi, mengalahkan sepak terjang Noordin. Namun ada yang berubah pada diri saya. Amarah saya tidak segarang hari kemarin. Bahkan beberapa kali saya mengganti channel TV yang menayangkan berita tersebut dengan acara komedi atau gosip dengan entengnya.
Ada yang berubah pada diri saya, juga pada Indonesia. Saya ingat dulu ada slogan “Ganjang Malajsia” yang diciptakan oleh Bung Karno menyikapi eksistensi Malaysia yang dianggap sebagai produk nekolim (neo-kolonialisme). Selain itu sikap Malaysia juga dianggap lancang dalam peta perpolitikan global: menjadi angota dewan keamanan tidak tetap PBB dan konon katanya mengirimkan mata-matanya ke Indonesia. Menurut salah satu program yang saya saksikan, konfrontasi saat itu benar-benar panas. Banyak selebaran dan iklan bertuliskan “Mengganjang Neo-Kolonialisme Malajsia”. Hubungan dua Negara sempat menegang hingga akhirnya pada 11 Agustus 1966 diakhiri dengan perjanjian perdamaian.
Itu dulu, saat masih ada Bung Karno yang dengan kacamata hitamnya, berpidato mengenai betapa pentingnya sebuah kata bernama “kedaulatan’, bahkan bagi sebuah negara yang masih muda. Bahwa ancaman pada kedaulatan negara, seberapa pun kecilnya dan walaupun hanya dilakukan oleh segelintir oknum, merupakan ancaman bagi keseluruhan negara tersebut. Tidak heran jika saat itu banyak masyarakat dari berbagai elemen yang tergugah untuk turut serta dalam “mengganjang Malajsia”. Kita hanya bisa berucap bahwa masa itu telah lewat.
Sepertinya saat ini, kita-saya dan juga anda-membutuhkan sikap yang tegas dari pemimpin kita terhadap apa yang telah dilakukan Malaysia. Sehingga kita tidak merasa terbiasa saat nantinya tedapat ikon kebudayaan kita yang diklaim lagi oleh Malaysia. Agar saya tidak merasa “biasa” saat nantinya gudeg, ataupun rujak cingur yang sedap dari Surabaya itu diklaim oleh negara manapun sebagai miliknya. Dan pada akhirnya tidak benasib seperti garuda eyang saya-diambil dari tempatnya, dipersoalkan sekenanya,kemudian dilupakan.

Sunday, August 30th 2009

Tidak ada komentar: