Kekuasaan itu mengerikan.
Orang berlomba untuk mendapatkannya dan sekali ada dalam genggaman, mereka
enggan untuk melepasnya. Salah satu bentuk fanatisme yang menjadi penyakit
orang-orang yang dekat dengan kepercayaan. Fanatisme yang satu ini meneguhkan
eksistensinya dengan cara mengecilkan yang lain, baik musuh maupun pendukungnya,
lewat segala cara. Bahkan lewat cara yang paling kejam sekali pun. Dalam hal
ini setiap zaman punya kisahnya sendiri-sendiri.
Saya masih ingat potret
seorang jenderal Vietnam Utara yang menempelkan laras Smith and Weston di
pelipis seorang Vietkong kemudian menembakkannya gara-gara si Vietkong menolak
diinterogasi. Kejadian menegangkan itu diabadikan seorang fotografer perang di
tahun 1968 dan cukup menjelaskan kepada saya tentang bagaimana bagi seorang
penguasa fanatik, sebuah ancaman bagi kedudukan pribadi bisa berarti merupakan
ancaman bagi keselamatan orang lain yang dicurigai mengancam kekuasaannya.
Siapa yang pernah membaca
Babad Tanah Jawi pasti bergidik saat sampai pada bab di mana Amangkurat I
memasukkan 60 pelayan ke kamar gelap dan tidak memeberi makan mereka sampai
mati karena salah satu istrinya meninggal. Salah satu raja Jawa ini juga pernah
memerintahkan untuk membunuh 6000 ulama beserta anak istri mereka. Penerusnya,
Amangkurat II, tidak kalah kejam. Ia mencincang hati Trunajaya dan membagikannya
kepada para bupati yang hadir di balairung untuk ditelan. Peristiwa ini terjadi
sekitar abad ke-17. Suatu hal yang membuktikan kejamnya sebuah kekuasaan tanpa
kendali. Sebuah kekuasaan mutlak yang bahkan dilegalkan oleh perundang-undangan
di bawah pengawasan sang penguasa. Si penguasa tidak salah karena ia memiliki
kekuasaan penuh dan layak untuk menggunakannya tanpa ada batasan.
Demi megukuhkan kekuasaan,
seorang penguasa tidak jarang melakukan hal-hal konyol yang sepatutnya bisa
dihindari. Merupakan naluri seorang penguasa yang fanatik kepada kekuasaannya
untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Umumnya mereka akan melihat keberadaan
orang-orang yang dikuasainya sebagai lahan empuk penyokong keberadaannya. Ada
dua cara. Cara pertama, si penguasa akan menyiksa bawahannya untuk menunjukkan
seberapa besar pengaruhnya. Cara kedua, si penguasa akan mensuplai dirinya
dengan semua kebaikan dan kenyamanan yang bisa didapatkannya sehingga
orang-orang yang dikuasainya hanya tinggal dengan yang tersisa.
Entah kenapa saya tidak
mau membahas yang pertama. Stalin dan Robespierre sudah cukup memberikan
gambaran kepada saya tentang bagaimana kekusaan itu berarti Anda boleh
memancung ribuan orang dengan guillotine atau mengirim jutaan orang ke Siberia
tanpa ransum hanya karena tidak sepaham. Cara memepertahankan kekusaan yang
menurut saya terlalu jelas kejahatannya. Hal ini bisa mengendurkan kepercayaan
rakyat yang terlanjur mendukung si penguasa.
Bagaimana jika mulai
membahas cara yang kedua? Cara ini dianggap lebih aman dan elegan. Langkah
pertama adalah dengan menyebarkan kesan bahwa si penguasa akan membuat
rakyatnya lebih makmur dengan tatanan baru yang dibuatnya. Rakyat tidak perlu
diberi tahu seberapa besar derajat kemungkinan kemakmuran itu akan mereka
dapat. Yang terpenting dari langkah awal ini adalah kesan yang tertanam pada
rakyat bahwa akan ada sebuah tatanan atau katakanlah program (ups!) yang akan
mengangkat mereka dari siklus penderitaan berlarut.
Tahu apa yang menjadi
modal dari berhasilnya langkah ini? Kepercayaan. Betapa dahsyat kata ini bila
jutaan orang yang memilikinya memilih untuk meberikannya kepada seseorang.
Seseorang ini, yang kita percaya telah fanatik kepada tahta kekuasaan,
menelikungkan kepercayaan itu menjadi sebuah sumber keuntungan pribadi demi
pengukuhan eksistensi. Dan pada akhirnya kemakmuran itu tidak akan pernah ada
karena sifatnya semu, dibuat untuk pencapaian keinginan si penguasa. Yang
paling berbahaya dari semuanya, sangat sering kenyamanan yang telah didapatkan
membuat si penguasa ketagihan. Setelah pencapaian pertama, ada pencapaian kedua
(ups!), ketiga, keempat . . . Singkatnya, bisa diumpamakan dua detik yang lalu
ia menginginkan Toyota Camry, dua menit kemudian pikirannya beralih pada Toyota
Crown Majesty (ups!).
Sejarah tidak melewatkan
begitu saja fakta-fakta seperti ini. Cultuurstelsel atau Tanam Paksa awalnya
ditujukan untuk membantu membayar hutang Hindia Belanda yang mencapai f 37 juta
kepada pemerintah Netherland demi membiayai Perang Jawa (Perang Diponegoro).
Tujuan lain adalah untuk memberi rakyat Jawa kemakmuran karena tanaman yang
ditanam laku keras di pasaran dunia. Namun pada akhirnya, saat kesulitan
ekonomi terselesaikan, tingkat kemakmuran rakyat tidak pernah naik grafiknya
karena memang mereka belum pernah mencapai kondisi makmur. Grafik itu menurun
drastis. Karena keserakahanlah pemerintah Hindia Belanda kemudian melupakan
janji kemakmuran dan memfokuskan pada penambahan kekayaan negara. Pundi-pundi
uang kolonial menggunung bersama dengan penggiringan 18000 keluarga di Jawa ke
kebun-kebun untuk menggarap tanah yang hasilnya merupakan primadona pasar
dunia. Jumlah penduduk tersebut merupakan ¼ jumlah penduduk Jawa saat itu.
Menurut Stokvis, sampai 1866, masih ada daerah di mana seorang penanam kopi
hanya mendapat 4-5 sen padahal ia membutuhkan 30 sen untuk hidup.
Kemudian dunia modern
mengenal nama-nama seperti Hugo Chavez, Rafael Trujilo, dan Soeharto. Sulit
memang mempercayai kenyataan bahwa kepercayaan penuh bisa dikhianati oleh orang
yang sangat dipercaya. Lebih sulit lagi untuk percaya bahwa kualitas pendidikan
dan kesehatan yang belum bisa dikatakan cukup yang selama ini kita terima masih
jauh teramat unggul dibanding yang bisa didapatkan di daerah-daerah pelosok
Papua. Teman baik saya, Ellen, mengungkapkannya pada saya beberapa waktu yang
lalu. Kemudian, masihkah bisa dipercaya bila seorang tukang becak dengan
seorang istri dan 6 anak di Medan hanya berpenghasilan Rp 10.000,00 sehari?
Sepertinya semua orang
akan melakukan hal yang sama jika kekuasaan telah berada di genggaman.
Merupakan sifat naluriah manusia untuk meraih apa-apa yang diinginkan saat
instrumen-instrumen untuk mewujudkannya telah tersedia. Namun akan celaka jika
hal ini terjadi pada seorang pemimpin. Ia memang manusia tetapi ia harus
sedikit berbeda, maka kemudian ia layak disebut pemimpin. Pertanyaannya
kemudian, tidak adakah pemimpin seperti itu? Tentu masih ada. Tapi sangat
sedikit jumlahnya. Teramat sedikit . . .
“Seorang pemimpin yang baik ibarat danau. Dia tak lasak seperti
sungai di gunung, tapi dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tetapi
menampung. Dia tahu bahwa sumbernya adalah air yang datang dari pedalaman yang
jauh.” (Tao)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar