Saya akui bahwa saya sungguh
terlambat membaca buku ini karena buku ini terbit tahun 2009 dan kira-kira-kira
3 tahun sebelumnya, saya pernah sepintas melihat iklan tentang buku ini saat
membaca majalah Tempo. Saat itu saya tertarik karena buku ini ditulis oleh
Rosihan Anwar, wartawan senior yang namanya sering muncul di buku-buku maupun
review-review sejarah yang saya baca.
Petite
Histoire tidak hanya terdiri dari 1 jilid namun ada 4 jilid yang
masing-masing sepertinya menceritakan tentang bidang tertentu yang berpengaruh
pada sejarah Indonesia. Sayangnya saya memang sedang sial. Bukannya menemukan
jilid 1, malah jilid 3 yang saya temukan terlebih dahulu. Namun saya sedikit
bersyukur karena sepertinya buku ini tidak seperti cerita bersambung di mana
kita harus tahu info di buku sebelumnya.
Setelah membaca buku ini,
ada tiga topik yang disoroti oleh penulis. Bagian pertama adalah kebangkitan
nasional. Bagian kedua adalah peranan tokoh-tokoh penting yang namanya kurang
dikenal dalam perjuangan merebut maupun mempertahankan kemerdekaan, dan yang
terakhir adalah dunia kewartawanan. Bagian favorit saya adalah yang pertama
karena menyajikan fakta-fakta sejarah yang berhubungan dengan politik. Sebagai
contoh adalah fakta bahwa dahulu salah satu tokoh perjuangan, yaitu dr. Abdul
Halim, pernah menjual candu ke Singapura karena RI membutuhkan valuta asing
untuk membeli senjata,obat-obatan, dan perlengkapan tentara. RI juga ternyata
pernah memiliki pabrik candu yang ada di bawah kepengurusan Djawatan Tjandoe
dan Garam. Pabrik tersebut merupakan warisan dari zaman Belanda.
Bagian I dimulai dengan
peran wartawan dalam pergerakan nasional. Rosihan Anwar menyebutkan beberapa
nama wartawan pribumi awal seperti R.M. Tirtoadisoerjo yang mendirikan “Medan
Prijaji” serta dr. Abdul Rivai yang mendirikan majalah “Bintang Hindia” yang
terbit di Belanda. Dari wartawan, bahasan beralih pada peran para dokter yang
bersekolah di STOVIA, sekolah dokter jawa pertama di Hindia Belanda. Tokoh-tokohnya
antara lain: Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo. Rosihan Anwar
kerap kali juga menyajikan fakta-fakta sejarah jauh sebelum zaman pergerakan
nasional yang membantu penjelasannya tentang zaman pergerakan nasional.
Contohnya, runtuhnya Hindia Belanda disebabkan oleh banyak faktor. Salah
satunya adalah faktor dari dalam yaitu korupsi yang sudah merajalela di tiap
tingkatan pemerintahan mulai dari tingkat pribumi yang mendapat mandat dari
atas sampai tingkat pemerintahan pusat di Batavia. Sebenarnya Gubernur Jenderal
Daendels (1808-1811) pernah berusaha keras untuk melawan praktek korupsi ini
namun nampaknya efek perlawanan tersebut tidak bertahan sampai zaman pergerakan
nasional.
Bagian II menyoroti
tokoh-tokoh yang berperan dalam aktivitas merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Sebagian besar tokoh-tokoh tersebut tidak pernah kita dengar
namanya dalam buku-buku pelajaran sejarah. Mungkin karena mereka datang dari
berbagai bidang dan jumlahnya cukup banyak. Ada beberapa tokoh wanita yang turut
disebutkan, seperti Miriam Budiardjo dan Soerastri Karma Trimurti. Hal ini
membuktikan bahwa peran serta wanita baik di zaman pergerakan maupun
kemerdekaan tidak bisa dinafikkan karena ternyata mereka telah menorehkan
prestasi yang tidak bisa dipandang remeh. Tokoh-tokoh lain yang disebutkan
sebagian besar adalah kenalan baik Rosihan Anwar yang berafiliasi dengan PSI
(Partai Sosialis Indonesia). Rosihan Anwar adalah pengikut PSI. Memang ada
tokoh-tokoh lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan PSI tapi jumlahnya
tidak sebanyak yang punya. Oleh karena itu, saat menceritakan tokoh-tokoh yang
terlibat G 30 S/PKI, tulisan Rosihan Anwar sedikit bernada sinis. Perbandingan
sangat terlihat saat dia menceritakan kesan tentang Sarbini, tokoh ekonomi, serta
Soedarpo Sastrosatomo yang penuh dengan puja puji dan pandangannya tentang
Pramoedya Ananta Toer dan Sobron Aidit yang PKI. Sangat kentara di beberapa
tulisannya Rosihan Anwar menunjukkan ketidaksukaannya dengan PKI. Mungkin
karena dulu PKI berkonfrontasi dengan PSI. Hal ini membuat saya menilai
tulisannya bias.
Bagian terakhir kebanyakan
menyoroti tentang penyelenggaraan FFI dan pandangan Rosihan Anwar tentang
bagaimana seharusnya pers Indonesia menyikapi berbagai kejadian di Indonesia,
mulai dari politik, sosial, budaya. Dalam FFI, Rosihan Anwar menyebutkan
peranannya dalam ajang tersebut dan proses penentuan pemenang dalam FFI. Hal
kedua merupakan favorit saya karena saya bisa mengetahui
pertimbangan-pertimbangan apa saja yang diambil dalam memilih film terbaik. Di
bagian kewartawanan, ia menyoroti mental wartawan Indonesia yang tidak mau
bekerja keras dan cenderung money-oriented.
Hal ini dia bandingkan dengan kinerja wartawan zaman perjuangan yang selalu
mengedepankan prinsip komunal dan nasional dibandingkan individual.
Akhirnya, terlepas dari
berbagai bias yang menurut saya banyak terdapat di buku ini, saya tetap
merekomendasikan buku ini dibaca oleh mereka yang tertarik pada sejarah
Indonesia, terutama sejarah pergerakan dan tokoh-tokoh perjuangan yang namanya
tidak banyak diketahui. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar