Buku terbitan Lentera
Dipantara ini merupakan kumpulan esei mengenai Pramoedya Ananta Toer yang
diterbitkan dalam rangka mengenang 1000 hari meninggalnya sang sastrawan besar.
Esei ditulis oleh orang-orang dengan latar belakang yang bervariasi, mulai dari
wartawan, sejarawan, mahasiswa, guru, keluarga Pram, sampai masyarakat umum
yang mengaku sebagai pengagum Pram. Singkatnya, orang-orang yang merasa dirinya
bertautan dengan sang penulis yang telah berulang kali dinominasikan sebagai
penerima hadiah Nobel sastra. Pertautan itu banyak sekali bentuknya. Ada yang
terjalin karena pertalian darah, ide, maupun inspirasi.
Total ada 67 tulisan dari
berbagai kontributor tentang pandangan mereka mengenai Pram, baik secara
personal maupun akademik. Namanya saja kesan, tentu saja bervariasi, namun
tidak sedikit yang mengungkapkan hal-hal yang sama, terutama masalah sejarah
kehidupan Pram dan penghargaannya. Hal ini menjadi membosankan karena pembaca
harus membaca hal yang sama beberapa kali. Kemungkinan besar ini karena
beberapa tulisan merupakan obituari di media massa yang tentu saja isinya
adalah menapaki kehidupan sang sastrawan, terutama sisi yang banyak dibahas.
Beberapa kontributor memilih
untuk menghadirkan sosok Pram dengan cara yang cukup unik. Goenawan Mohamad
misalnya. Dengan menggunakan gaya tulisan Catatan Pinggirnya, ia menganggap
Pram sebagai jembatan antara generasi zamannya dan genarasi muda dalam
menularkan semangat nasionalisme. Lewat tulisannya, banyak anak muda yang
terbakar dan terinspirasi. Di situ ada sebuah sejarah yang dirawat dan mimpi
yang diestafetkan. Lain lagi komentar
Max Lane, penerjemah Tetralogi Buru Pram dalam bahasa Inggris. Terlepas dari
karya dan pandangan Pram yang selalu disebut mengkritik Indonesia dengan keras,
sebenarnya Pram adalah seorang pencinta Indonesia dengan caranya. Pram
menyampaikan rasa cintanya lewat novel-novel yang ditulisnya berdasarkan
penelitian sejarah. Pram memang dikenal sebagai seorang “researcher” yang tekun
dan ulung. Ia ingin “menggali kembali asal usul makhluk Indonesia itu dan
menjelaskan pada rakyatnya: Inilah negeri yang kucintai itu”.
Tulisan Eka Budianta
mengkritik keras pemerintah Indonesia yang sampai sekarang dianggap belum mampu
menghargai seorang sastrawan sehebat Pram. Hal ini memang ada hubungannya
dengan sepak terjang Pram masa lalu di Lekra yang dianggap sebagai “onderbouw”
atau substruktur PKI. Nampaknya masih ada rasa segan dari pemerintah Indonesia
untuk mengakui prestasi putra bangsa yang memiliki keterkaitan dengan partai
palu arit. Keseganan ini yang menurut Eka harus mulai dihapus mengingat
kontribusi besar yang diberikan Pram bagi Indonesia, khususnya dalam dunia
sastra. Lewat karyanya, Pram mengenalkan sastra Indonesia pada dunia. Tanpanya,
ranah sastra Indonesia tak akan pernah dilirik oleh dunia luar. Bintang
Mahaputra rasanya bukanlah penghargaan yang terlalu berlebihan, Sayang sampai
akhir hayatnya, Pram tak pernah mendapat pengakuan apapun dari pemerintah
Indonesia.
Masih banyak tulisan yang
mengupas kehidupan Pram di buku setebal 504 halaman ini. Mulai dari masa
kecilnya sampai kematiannya tanggal 30 April 2006. Beberapa tulisan juga
mengupas pertentangannya dengan para penandatangan Manifesto Kebudayaan.
Rata-rata tulisan tersebut menyebutkan bahwa posisi Pram bukan sebagai
penentang ide demokrasi namun ia menentang seni, khususnya sastra, yang tak
memiliki visi dan hanya luapan ekspresi semata.
Di antara semua tulisan
untuk menghormati kepergiannya, ada 2 yang cukup unik. Pertama adalah tulisan
dari Soelistiyono B.A. alias Ki Panji Konang, kawan dekat Pram saat
kanak-kanak. Soelistiyono menulis menggunakan bahasa Jawa. Saya anggap ini unik
karena lewat bahasa Jawa, masa kecil Pram yang dituturkan oleh sahabat masa
kecilnya terasa dekat. Mungkin karena Pram sendiri adalah orang Jawa sehingg
bahasa Jawa membawa pembaca pada romantisme tertentu, walaupun Pram sendiri
sangat membenci bahasa Jawa yang dia anggap sebagai salah satu manifestasi
hierarki dalam kebudayaan Jawa. Tulisan kedua ditulis oleh Soesilo Toer, salah
satu adik Pram. Ia penyumbang tulisan terbanyak, total 93 halaman, yang
semuanya mengupas sisi Pram yang sebagian besar belum pernah terekspos. Soesilo
Toer tidak ragu untuk menyajikan kesan yang mungkin bisa membuat sebagian pembaca
ataupun penggemar Pram terganggu. Di salah satu kenangan, disebutkan bagaimana
saat dalam salah satu kunjungan ke kampung halamannya di Blora, Pram menderita
diare karena menolak makan. Padahal saat itu Blora sedang kekurangan air
sehingga kotorannya tak sempat dibersihkan. Atau mungkin isu yang beredar bahwa
Pram mau memperkosa teman sepermainannya
yang lantas ia boyong ke Jakarta dan dijadikan pembantu rumah tangga, Inem.
Inem ini adalah Inem yang sama yang menjadi salah satu tokoh dalam “Tjerita
dari Blora”.
Soesilo
menggambarkan kakak tertuanya itu dalam sisi yang berbeda sama sekali. Bahwa di
balik sifat kerasnya, Pram sebenarnya berhati lembut. Soesilo dalam beberapa
kesempatan menyaksikannya menangis. Dengan ini, pembaca jadi tahu bahwa Pram
juga seperti manusia kebanyakan. Selama ini orang menganggapnya seperti dewa yang
layak dipuja dan tak pernah salah. Dalam 81 tahun masa hidupnya, pemujanya
harus berbesar hati mengakui bahwa ia pernah terlibat dalam hingar bingar
pertarungan ideologi di era 60an. Ia mungkin memilih jalan yang salah. Tapi
sama seperti kebanyakan tokoh-tokoh dalam karya fiksinya, tidak ada manusia
sempurna. Semuanya harus bergelut dengan perjuangan keras yang sering berakhir
dengan kekalahan. Pram tutup usia dengan tidak diakui sepenuhnya. Tapi
wasiatnya bagi generasi muda untuk membuat perubahan dan meneruskan perjuangan akan
terus bergaung dan membara. Dikobarkan oleh bara humanisme di sebagian besar
karyanya yang hanya bisa abadi bila dibaca dan ditularkan. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar