Banyak sekali buku yang
mengupas Soekarno, mulai dari pemikiran, sepak terjang dalam usaha kemerdekaan
RI, kehidupan pribadi, sampai mistisisme. Penulis buku-buku tersebut tidak
hanya dalam lingkaran orang Indonesia namun banyak akademisi luar negeri yang
turut menggali kehidupan Sang Putra Fajar. Oleh karena banyaknya buku yang
telah mengupas kehidupan Sukarno, tim penyusun buku ini sempat kebingungan
menentukan bahan apa yang akan dijadikan salah satu isian dalam seri Bapak
Bangsa edisi Sukarno. Akhirnya kesaksian Heldy Jafar, istri terakhir Bung
Karno, menjadi hal baru yang diangkat dalam buku ini, walaupun porsinya pun
hanya secuil. Lainnya didominasi oleh tulisan-tulisan yang umumnya sudah
menjadi bahan di buku-buku lain tentang Sukarno. Jadi jangan heran kalau buku
ini bisa dikatakan tergolong tipis untuk sosok sebesar Sukarno.
Menurut buku ini, Sukarno
memiliki 9 istri sah yang cukup dikenal publik. Kesembilan wanita tersebut
adalah: Oetari Tjokroaminoto (putri H.O.S. Tjokroaminoto, Inggit Garnasih,
Fatmawati, Hartini, Dewi Soekarno, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan
Heldy Djafar.Yang tidak dikenal ditengarai ada beberapa, termasuk salah satu mantan
hostesu Jepang bernama Sakiko yang bunuh diri pada 30 September 1959 karena
Sukarno lebih memilih Dewi yang juga mantan hostesu. Tidak semua pernikahan
tersebut langgeng dan dikaruniai keturunan.
Bung Karno memang dikenal
sebagai penakluk wanita. Gelar internasionalnya adalah “Le Grand Seducteur”. Menurut
Bambang Widjanarko, sang ajudan, daya tarik dan taraf intelektual Sukarno memikat
banyak wanita. Heldy Jafar sebagai istri terakhir dinikahi Bung Karno saat
usianya masih 18, setahun sebelum Soekarno jatuh dan dijadikan tahanan rumah. Beda
usia di antara keduanya 48 tahun. Dalam penahanan, Bung Karno tak lupa mengiriminya
sebuah surat pendek yang disertai dengan uang dan beberapa botol parfum. Dalam
buku, foto dan teks surat tersebut dimunculkan.
Selain petualangannya dengan
wanita, buku ini juga membahas masuknya Megawati dalam dunia politik. Awalnya Mega
tidak sekali pun diprediksi akan meneruskan karir sang ayah. Justru Guntur,
kakaknya, yang selama ini disebut mewarisi pesona dan jiwa politik sang Bung
yang kelihatannya akan memasuki dunia yang sama. Mega mulai masuk ke dunia
politik tahun 1987 saat Soerjadi, Ketua Umum PDI mengajaknya. Romantisme akan
Sukarno lewat keberadaan Mega cukup mampu mendongkrak popularitas PDI yang
kemudian malah membuat resah Soeharto. Berkomplot dengan Soerjadi, Soeharto
mencoba menggulingkan Mega. Semuanya bermuara pada peristiwa berdarah 27 Juli
1996.
Hal lain yang disinggung
adalah kecintaan Bung Karno akan seni, terutama seni lukis. Bung Karno memilki
koleksi sekitar 3000 karya seni. Pilihan Bung Karno adalah seni lukis beraliran
romantik atau realistis, walaupun ia juga mengoleksi beberapa karya Affandi. Dalam
mendukung dunia seni, Bung Karno berpedoman bahwa seni adalah kemerdekaan
berekspresi yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan beberapa
keputusannya di era Demokrasi Terpimpin.
Dari semua ulasan tentang
Sukarno di buku ini, bagian paling menarik menurut saya ada di bagian akhir,
yaitu “kolom-kolom” yang berisi esei tentang Sukarno dan ditulis oleh beberapa
pakar. Mochtar Pabotinggi menyoroti kesalahan utama Sukarno yang membubarkan
Konstituante yang saat itu sudah hampir selesai menyelesaikan konstitusi dan
malah memberlakukan kembali UUD 1945. Padahal Sukarno mengakui bahwa konstitusi
sebelumnya dibuat dengan tergesa-gesa dan darurat sehingga dibutuhkan adanya
konstitusi baru yang disusun secara hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini
memuluskan praktek demokrasi a la Orde Baru yang kemudian menggantikan
Demokrasi Terpimpin. Tanpa konstitusi negara yang kuat, Orde Baru leluasa
merongrong hak warga negara dan merampas prinsip kesederajatan.
Hal lain yang menarik adalah
bagian wawancara dengan Lambert Giebels, penulis biografi Soekarno Sukarno, 1901-1950. Di salah satu esei,
Bonnie Triyana sempat menyoroti gaya tutur Giebels yang cenderung mengcounter apa yang dikatakan Soekarno
dalam otobiografinya Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams. Giebels nampak mencari-cari
kebohongan dan kelemahan Sukarno. Salah satunya ketika membahas surat
permohonan maafnya pada Gubernur Jenderal terkait peristiwa pembuangannya ke
Ende. Bukti keberadaan surat ini masih kontroversial. Hal lainnya adalah soal
romusha. Sukarno ia anggap bertanggung jawab akan kematian ribuan nyawa saat
romusha. Sukarno memang mengucapkan permintaan maaf untuk pertanggung
jawabannya dalam pengorganisasian romusha dalam otobiografinya. Namun ia
mengatakannya beberapa tahun kemudian, seperti memberi jarak dengan waktu terjadinya
peristiwa.
Giebels sendiri berpendapat
bahwa selain praktik romusha, Sukarno juga terlibat dalam pemberontakan Pembela
Tanah Air (PETA) di Blitar yang menimbulkan banyak kasus pemerkosaan terhadap
perempuan Cina dan Belanda. Sukarno pernah menawarkan diri menjadi juri dalam
kasus pemberontakan tersebut namun Jepang menolaknya karena kasus tersebut akan
mempengaruhi posisi Sukarno di kemudian hari.
Terkait revolusi Indonesia,
Giebels menyebutnya sebagai tindakan anarkis. Hal ini berbeda dengan pandangan
Ben Anderson dan Jan Bank yang menganggap bahwa tindakan anarkis pada 10
November yang termasuk di dalamnya penjarahan, pemerkosaan, dan perampokan
sebagai awal revolusi sosial. Giebels murni menyebutnya sebagai anarkisme. Pendapat
ini didasarkan pada kesaksian korban dari pihak Belanda dan Indo. Sebagai
referensi, ia menggunakan buku Anthony Reid dan Oki Akari (editor) dalam The
Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs 1942-1945, catatan
harian karangan sejarawan J. de Jong Het
Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog, buku Willy Meelhuysen
Revolutie in Soerabaja, dan penilaian
diplomat David Wehl dalam The Birth of
Indonesia. Pemimpin republik ini dianggap tidak mampu mengendalikan maupun
menghentikannya.
Terlepas dari semua pro dan
kontra tentang Soekarno, ia tetaplah seorang bapak bangsa yang ide-ide dan
perjuangannya menjadi dasar dibangunnya negara ini. Mungkin Bung Hatta benar
saat mengatakan bahwa Sukarno adalah kebalikan tokoh Memphistopheles dalam
karya Goethe, “Faust”. Menurut Hatta, “Tujuan Sukarno selalu baik, tapi
langkah-langkah yang diambilnya sering menjauhkannya dari tujuan itu.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar