Untuk sebagian orang,
mengingat bukanlah kegiatan menyenangkan. Ada luka dan kesedihan yang dibawa
oleh waktu lampau yang membuat seseorang enggan untuk mengungkit masa lalunya.
Oleh karenanya, kegiatan mengingat bukan melulu romantisme penuh suka cita tapi
juga terkadang sarat dengan linangan air mata. Namun orang tidak bisa serta
merta membebaskan diri dari kenangan karena bagai sejarah, ia adalah bagian tak
terpisahkan dari manusia. Kenangan turut mengukir pribadi dan menentukan jalan
hidup yang dilakoni manusia di masa mendatang. Ia akan tetap ada seberapa kuat
pun seseorang berusaha menafikkannya dari dirinya.
Apa beda sejarah dengan
kenangan? Sejarah adalah masa lalu yang sifatnya komunal. Sejarah manusia
adalah sejarah menjadi bagian dari masyarakat. Sebagai contoh, saya adalah
seorang Jawa yang dilahirkan pada tanggal 25 Februari 1989. Aktivitas saya
sejak tanggal tersebut sampai sekarang disebut sejarah jika berhubungan erat
dengan fungsi-fungsi saya sebagai makhluk komunal. Sejarah tentang saya akan
berarti bagi catatan sipil yang mencatat akta kelahiran, universitas yang
mencocokkan nama dan tanggal lahir ketika membuat ijazah, dan suatu saat seumpama saya
menjadi presiden, semua hal yang saya pernah lakukan akan menjadi sejarah bagi
orang-orang yang tertarik dengan masa lalu saya. Dengan kata lain, sejarah membuat manusia
sebagai milik publik.
Sedangkan kenangan adalah
bentuk sejarah yang sifatnya pribadi. Ia hanya bermanfaat bagi seseorang yang
bersinggungan langsung dengan proses sejarahnya. Karena bersifat pribadi,
kenangan lebih kuat dalam rasa dan efek yang ditimbulkan pasca melakukan proses
mengenang. Dalam melakukan proses mengenang, manusia pada dasarnya sedang
mengundang kembali bagian dari dirinya di masa lalu. Oleh karena itu, tidak ada
orang di dunia ini yang memiliki kenangan yang sama. Kenangan dibangun berdasar
interpretasi pribadi seorang manusia terhadap suatu peristiwa dan kemudian hanya
menjadi milik pribadi manusia tersebut.
Efek mengenang sering lebih
kuat dibandingkan belajar sejarah. Tidak ada yang bisa menandingi pengalaman
yang sudah dialami secara langsung oleh seseorang. Di sana ada proses belajar,
mengingat, melupakan dan berbagai macam perasaan yang menyertainya. Apapun yang
dialami secara pribadi menimbulkan bekas yang lebih jelas dan dalam. Apapun
itu, baik buruk maupun bahagia.
Tulisan saya ini adalah
hasil perenungan tentang apa yang telah terjadi pada diri sendiri. Suatu hari
saya menemukan diri saya menangis di kamar seorang sepupu setelah mencoba
mengenang masa kecil saya di rumah Pakdhe dan Budhe saya di Sentolo. Dulu rumah
itu sangat semarak karena ada 5 orang yang menghuni ditambah seorang penghuni
tidak tetap yang tiap akhir minggu selalu datang untuk berlibur, yaitu saya. Rumah
itu kini sepi karena hanya ditinggali oleh Budhe, sepupu no.3, dan anaknya. Pakdhe
saya sudah meninggal. 2 sepupu saya yang lain juga telah memiliki anak dan
mengikuti suami mereka. Suami sepupu no.3 hanya kembali pada waktu-waktu
tertentu karena sekarang ia bertugas di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan 15
tahun yang lalu, rumah itu telah banyak kehilangan suasana ramai yang dulu
selalu saya rindukan tiap akhir minggu. Saya mengingat berapa lama saya tidak
datang ke tempat tersebut. Sebenarnya baru sebulan yang lalu saya datang untuk
menengok keponakan tapi baru kali ini saya mencoba untuk mengingat apa saja
yang berubah dari tempat yang sangat berarti bagi saya itu. Saya telusuri tiap
sudut rumah dan masuk ke tiap kamar. Semakin lama kenangan itu semakin deras
muncul dan hilang lenyap dalam ingatan. Tiap saya melangkah ke tempat berbeda,
tiap itu juga kenangan berbeda muncul dan menyisihkan kenangan sebelumnya.
Deretan foto di dinding
turut menemani perjalanan menyesakkan sore itu. Perjalanan mengenang yang
merupakan kombinasi antara rasa sedih dan bahagia. Saya melihat potret
kanak-kanak saya di antara 3 sepupu saya, foto Pakdhe dan Budhe saat masih
dinas di kantor dan belum pensiun, foto keluarga di mana selalu ada saya di
situ. Kemudian tiba-tiba semuanya beralih ke foto-foto wisuda ketiga sepupu dan
foto-foto pernikahan mereka. Di deretan yang lain, nampak foto-foto ketiga
keponakan saya dengan berbagai pose. Bahkan foto di sini pun punya alur
ceritanya sendiri. Tiba-tiba saya merasa sangat lelah. Begitu panjang waktu
yang sudah terlewati dan begitu banyak kenangan yang telah tersimpan dalam
memori. Namun sekali mengeluarkannya, perasaan sesak itu selalu ada.
Saat saya tiba di halaman
belakang, lama saya memandang pohon jambu yang saat itu belum berbuah.
Bertahun-tahun yang lalu, saya dan ketiga sepupu sering memanjatnya dan
memandang Pakdhe dan rewang di rumah yang sedang memberi makan ayam. Pohon itu
sudah bertambah tinggi dan dahannya telah lebih bercabang. Kalau sedang musim,
jambu berwarna pink keruh itu akan menggantung bergerombol dan seingat saya,
saya tidak pernah bisa menggapainya sekuat apapun saya meloncat. Sore itu saya
angkat tangan saya dan saya raih cabang terdekat. Tidak perlu meloncat, dan
cabang itu sepenuhnya ada dalam rengkuhan jemari saya. Ternyata saya juga telah
berubah.
Di belakang rumah Budhe dan
Pakdhe tinggal Mbah Kismo dan istrinya. Usia mereka mungkin sekitar 90 tahun.
Saat saya kanak-kanak, saya sering menghabiskan waktu mengikuti Mbah Kismo
mencari pakan sapi dan melihat istrinya membuat tempe. Mereka berdua adalah
figur yang tidak terpisahkan dari masa kecil saya di Sentolo. Sore itu saya
mengunjungi rumah mereka. Biasanya saya masuk lewat dapur. Seekor sapi berwarna
coklat tua nampak memamah biak di dekat pintu dapur. Sama seperti
bertahun-tahun yang lalu saat saya lekat memandangnya sehabis mengikuti Mbah
Kismo mencari rumput. Namun ada yang berubah pada dapurnya. Dapur berlantai
tanah itu sudah tak terurus dan beralih fungsi menjadi kandang bebek. Perlahan
saya masuk dan melihat seorang laki-laki renta yang sedang tertidur dengan
hanya mengenakan celana pendek hitam. Kaget dengan suara langkah saya di lantai
yang tak pernah disapu dan penuh debu, ia terbangun. Indera pendengarannya
masih sebagus dulu. Perlahan ia mendekati saya dan ternyata ia masih mengenali
saya. Kami bersalaman dan saling bertukar kabar. Sore itu ternyata ia sedang
beristirahat sebentar sambil menunggu waktu mencari rumput. Kedatangan saya
yang tidak sengaja membangunkannya ia anggap sebagai pertanda waktu mencari
rumput.
Sambil menunggu ia bersiap,
saya kelilingi lagi rumah tua itu sambil mencari Mbah Kismo putri. Saya sibak
kerai yang penuh debu dan menemukan kamar yang penuh sarang laba-laba dan kasur
berdebu yang digulung. Tiba-tiba saya sadar kalau Mbah Kismo putri telah meninggal.
Bagaimana saya bisa lupa kalau beberapa tahun yang lalu sepupu saya mengirimkan
pesan tentang kematiannya. Entah kenapa tiba-tiba saya menangis tanpa suara.
Dan saat itu juga saya berpamitan pada Mbah Kismo dengan linangan masih di
pipi. Saya tak khawatir ia akan menyadarinya. Rumah itu terlalu gelap dan ia
tidak akan bisa menangkap mimik wajah saya. Semoga memang tidak.
Sore itu saya membiarkan
diri saya menangis dan terus menangis. Entah apa yang ditangisi. Padahal saya
hanya mencoba mengingat apa yang pernah saya alami di tempat penuh kenangan
ini. Mungkin kegiatan mengenang itu membuat saya sadar bahwa terlalu banyak
orang-orang yang telah pergi. Atau mungkin saya sedih karena bertambah tua.
Ataukah mungkin ada rasa bahagia karena saya sudah punya 3 keponakan yang
sangat lucu.
Tidak mampu saya
mengatakannya. Tapi semua masa lalu itu begitu dekat dan saya yakin hanya saya
yang bisa mngerti dengan kompleksnya perasaan di dalamnya. Saya menikmati naik
turunnya emosi sore itu. Dan memang, perasaan sore itu tidak mampu dituliskan
namanya. Lalu tiba-tiba saya merasa capek. Bermain dengan kenangan ternyata
kegiatan yang melelahkan.