Sejak kecil saya gemar
membaca, terutama karya sastra. Di SMP saya mulai kenal dengan sastrawan era
Pujangga Lama sampai dengan 60an karena guru bahasa Indonesia saya mewajibkan
semua murid yang diampunya untuk membaca paling tidak 5 karya sastra dari era-era
tersebut selama satu semester. Tugas tersebut telah menimbulkan sebuah
kecintaan mendalam pada karya sastra Indonesia yang tidak lekang sampai
sekarang.
Jarang sekali saya membeli
buku sastra. Lebih banyak saya mendapatkan koleksi-koleksi karya sastra lewat perpustakaan
daerah atau perpustakaan kota. Hanya dengan bermodal uang pendaftaran kurang
dari 5 ribu rupiah, foto copy identitas, dan selembar foto, saya bisa dengan
gratis membaca dan membawa pulang buku yang saya pinjam. Masa peminjamannya pun
lumayan lama. Di perpustakaan daerah di mana saya tinggal, meminjam sampai
melewati masa pinjam pun tidak didenda. Pernah saya meminjam sebuah buku sampai
5 bulan dan tidak diminta untuk membayar sepeser pun.
Pelayanan pegawai
perpustakaan juga rata-rata ramah dan helpful.
Tidak pernah saya memiliki pengalaman buruk dengan pegawai perpustakaan. Well, sebenarnya pernah sekali terjadi
saat saya masih kuliah. Perpustakaan fakultas saya memiliki seorang pegawai
yang menyebalkan karena membentak saya gara-gara dia tahu saya orang Jawa tapi
tidak memakai bahasa Jawa ketika berbicara dengannya. Saya hanya bisa melongo
dan mencak-mencak kemudian. Selain
pengalaman menyebalkan tersebut, secara umum saya tidak pernah punya masalah
dengan para pegawainya dan malahan merasa berterima kasih karena cukup membantu
saat ada kesulitan.
Dari tahun ke tahun, selain
pelayanan dari sisi sumber daya manusianya, penataan ruang dan fasilitas juga
mengalami peningkatan. Saya acungi jempol kepada para petinggi pemerintah yang
mempunyai ide untuk selalu meningkatkan kualitas satu ini. Bangunan yang baru,
susunan meja dan kursi yang nyaman, pemasangan AC, ketersediaan wifi dan internet adalah beberapa di
antaranya.
Sayangnya di antara semua
itu saya masih merasakan adanya kekurangan. Walaupun fasilitas dan pelayanan
semakin meningkat, namun koleksi buku-buku di perpustakaan terasa jauh masih
kurang. Sering sekali saya tidak bisa menemukan buku yang saya cari. Seumpama
terdiri dari beberapa seri atau episode, saya hanya bisa menemukan beberapa di
antaranya, tidak pernah lengkap. Saya curiga kalau perpustakaan-perpustakaan
ini kurang peka dengan terbitnya buku-buku baru. Sepertinya mereka tidak
memiliki sumber yang menyediakan informasi tentang buku-buku baru. Hal ini
menyebabkan sering kecewanya pengunjung.
Saya sadar bahwa penerbitan
buku, terutama buku sastra yang memenuhi kriteria tulisan sastra, di Indonesia
memang tidak bisa dibandingkan kuantitasnya dengan negara-negara lain. Bahkan
dengan Malaysia saja Indonesia kalah dalam jumlah penerbitan padahal Indonesia
lebih kaya dalam bahasa, seni, dan juga budaya yang bisa dijadikan bahan
tulisan. Apakah ini ada hubungannya dengan minat baca masyarakat Indonesia yang
masih rendah sehingga penambahan buku di perpustakaan secara rutin pun akan
percuma karena jumlah orang yang tertarik untuk menulis dan membaca serta berkunjung
ke perpustakaan masih teramat rendah? Kalau memang itu yang menjadi masalah,
seharusnya badan perpustakaan daerah tidak lalu memutuskan untuk tidak peka
terhadap penerbitan buku baru karena masih banyak orang-orang yang mengandalkan
perpustakaan sebagai sumber informasi sastra.
Banyak buku-buku yang
berlabel sastra tapi jauh dari kriteria sebutan buku sastra mulai membanjiri
toko-toko buku sejak beberapa tahun yang lalu. Generasi muda zaman sekarang
lebih tertarik dengan buku-buku semacam itu. Dengan tema percintaan, penggunaan
bahasa gaul, dan cerita yang kurang berbobot, banyak orang terpikat. Yang harus
disadari, di samping buku-buku tersebut, masih ada juga buku-buku sastra yang
memenuhi kriteria penulisan dalam bahasa Indonesia yang juga layak untuk
diperhatikan walaupun jumlahnya terbatas. Sebagai salah satu sumber informaasi sastra
tulis yang masih diandalkan sebagian masyarakat, perpustakaan seharusnya
menambah koleksi buku-buku tidak hanya berdasar pada ketertarikan mayoritas
masyarakat, namun perpustakaan harus menyediakan sebanyak mungkin jenis buku sastra
yang memang dirasa perlu untuk ditempatkan di rak-rak buku berlabel “sastra”.
Generasi muda memang
mayoritas tidak tertarik untuk membaca buku, apalagi buku sastra yang berat
karena tidak menggunakan bahasa gaul. Tapi masih ada juga golongan minoritas yang
jatuh cinta dengan buku-buku sastra dan masih berharap adanya kesempatan untuk
bisa menemukan buku-buku sastra kualitas bagus di perpustakaan yang sering
mereka kunjungi. Bukankah ini tugas pemerintah lewat badan perpustakaan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar