Tidak bisa naik motor di
Jogja bisa jadi sebuah kutukan. Dan kutukan ini adalah kutukan untuk selalu
berjumpa dengan wajah-wajah heran dan mengejek. Itu bisa ditanggungkan. Yang
lebih buruk adalah ketika memutuskan berjalan kaki di sekitaran Jogja. Cobalah
untuk berjalan barang setengah kilometer, pasti ada saja trotoar rusak tak layak dilewati atau kendaraan baik mobil maupun motor yang tidak mau mengalah.
Sepertinya berjalan kaki, entah karena tidak bisa naik motor, memilih untuk
menggunakan jasa transportasi umum, atau ingin berjalan kaki saja tanpa ada
alasan tertentu kecuali karena senang, mendapat gangguan yang beragam di kota
Jogja.
Sebagai seorang pejalan
kaki, saya mulai muak dengan kota Jogja. Mulai dari infrastruktur bagi pejalan
kaki yang tidak karuan sampai mental para pengguna jalan yang pantas
dipertanyakan. Masalah ini tidak main-main. Bagi orang yang tidak terbiasa
jalan kaki, mereka tidak akan pernah menyadarinya. Namun bagi pejalan kaki, 2
masalah tersebut membuat mereka merasa dianaktirikan sebagai sesama pengguna
jalan.
Sebagai contoh, rute saya
tiap Selasa sore setelah maghrib dimulai dari studio RRI di jalan Ahmad Jazuli
melewati gereja Kotabaru, SMA 3, Gramedia, dan Trans Jogja di depan RS. Dokter Yap.
Jalan kaki sore hari adalah kegiatan favorit sebagian besar orang. Saat itu
tidak ada gangguan sinar matahari yang terik dan lampu-lampu kota yang
menghiasi berbagai macam gedung adalah pemandangan apik yang sangat sayang untuk
dilewatkan di sore menjelang malam. Sayangnya, kenikmatan yang seharusnya
didapatkan dengan berjalan kaki terganggu dengan tidak ramahnya infrastruktur di sepanjang jalan tersebut. Dimulai dari
Jalan Amat Jazuli sampai gereja Kotabaru, trotoar bukan lagi tempat berjalan
kaki yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Sebagian besar badan trotoar sudah
penuh dengan pedagang, mulai dari makanan sampai helm. Tidak ada ruang sama
sekali yang tertinggal untuk pejalan kaki.
Kalau pun ada, pejalan kaki
harus siap bertemu dengan pedagang yang menutup akses ke badan trotoar sehingga
mau tidak mau pejalan kaki harus mengalah dan turun ke jalan. Mulai dari sini,
siapapun pejalan kaki itu, dia harus mulai hati-hati dan konstan tengok kanan
kiri depan belakang kalau tidak mau disambar motor yang tiba-tiba nyelonong
dari depan atau ngebut dari belakang. Jangan bayangkan profil pengendara motor
atau mobil yang ramah mau mengalah untuk memberi ruang bagi pejalan kaki. Yang
ada adalah pengguna kendaraan bermotor yang memacu kendaraan dengan kecepatan
stabil. Walhasil, yang harus mengalah adalah pejalan kaki yang apabila mau
menyeberang harus menunggu jalan benar-benar sepi yang berdasarkan premis soal
keramaian di Jogja, itu tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah merentangkan
tangan saat ada jeda sambil berlari-lari kecil dengan gesture tengok kanan kiri.
Masalahnya kemudian adalah,
bagaimana kalau pejalan kaki tersebut adalah orang tua? Saya sering melihat di
mana ada orang tua yang menyeberang diklakson berkali-kali oleh pengendara
motor dan mobil yang tidak sabaran. Namanya juga orang tua. Kegesitan otomatis
berkurang, apalagi keawasan. Inilah salah satu alasan mengapa peraturan untuk
mendahulukan pejalan kaki dibuat. Tapi di Jogja, peraturan tersebut menguap
seiring bertambah banyaknya jumlah motor dan mobil di Jogja dan semakin
berkurangnya jumlah orang yang berjalan kaki. Sebegitu banyaknya motor dan
mobil yang berseliweran, mereka berebut ruang untuk diri mereka dan melupakan
satu anggota pengguna jalan lain yang juga berhak untuk dihormati: pejalan
kaki.
Sepertinya kalau sudah
menyangkut lalu lintas kota Jogja, hal sepele bisa berubah menjadi pertikaian.
Saya sering melihat orang yang serempetan atau bertabrakan karena gaya
berkendara yang ugal-ugalan. Tentu saja tidak ada dari kedua belah pihak yang
mau dipersalahkan karena mereka merasa paling benar. Apalagi kalau sudah
menyangkut pejalan kaki. Saya pernah melihat seorang perempuan ditabrak sebuah
motor dari samping. Si penunggang motor bukannya minta maaf malah
membentak-bentak si perempuan yang hanya bisa melongo dan kemudian sadar untuk
membentak balik. Terang saja. Mbak itu sudah berjalan sesuai aturan di trotoar.
Saat asyik berjalan, tiba-tiba saja sebuah motor memotong jalannya untuk masuk
ke sebuah gang kecil di antara trotoar dengan kecepatan tinggi.
Selain faktor manusia yang
secara sadar melanggar peraturan dengan tidak mengindahkan larangan berjualan
di trotoar atau pengendara kendaraan bermotor yang asal, ada satu hal terkait
infrastruktur bagi pejalan kaki yang miskin perhatian, yaitu kondisi trotoar
untuk berjalan kaki. Karena jumlah kendaraan semakin bertambah, sepertinya
pemerintah hanya berinisiatif untuk memperbaiki jalan raya, bukan trotoar. Kondisi
trotoar banyak yang memprihatinkan, entah karena sudah gerimpil dan rusak
digerus waktu atau faktor manusia maupun terkena korban pelebaran jalan. Mau
tidak mau pejalan kaki harus berjalan kaki di jalan raya yang membahayakan
keselamatan mereka karena kesadaran pengguna kendaraan bermotor yang minim.
Saya masih berharap pada
pemerintah Jogja walaupun harapan itu semakin kabur seiring berjalannya waktu.
Mirip seperti kondisi trotoar yang semakin rusak karena tidak ada yang
memperhatikan. Yang perlu diketahui, masih banyak warga yang memilih untuk
berjalan kaki dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi di Jogja. Ada juga
komunitas pejalan kaki yang belum lama mengadakan kegiatan jalan kaki Jogja-Prambanan.
Saya percaya bahwa salah satu indikator kota yang nyaman untuk ditinggali
adalah adanya pejalan kaki yang merasa aman dan nyaman berjalan kaki di
seputaran kota tanpa takut tiba-tiba diseruduk motor ngebut. Sering saya
membayangkan betapa enaknya berjalan di kota-kota besar dunia yang punya
trotoar besar, bersih, nyaman dan ramah terhadap pejalan kaki, seperti New
York, Singapura, atau London. Semoga Jogja pun bisa suatu saat mewujudkannya.
Tapi masih lama ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar