Afghanistan tentu bukan
negara idaman para backpacker atau traveller untuk dikunjungi. Perang
bertahun-tahun di negara bekas jajahan Uni Soviet ini telah rajin menghiasi
layar kaca. Berita tentang bom bunuh diri dan keganasan Taliban menjadi momok
ampuh bagi para pelancong unuk tidak memasukkan negara ini dalam destination list mereka. Namun berbeda
dengan Agustinus Wibowo. Ia malah tertantang untuk menggali petak demi petak
tanah Afghanistan untuk mencari tahu apakah benar memang tidak ada lagi
keindahan yang patut dinikmati di sana karena semua celah seolah telah tertutup
perang dan kemiskinan. Hasil dari rasa ingin tahu dan keberanian itu tertuang
dalam buku berjudul Selimut Debu
setebal 461 halaman yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan di blog pribadinya
setelah mengalami proses editing beberapa kali.
Pertama-tama, pembaca harus
tahu bahwa buku ini bukanlah hasil perjalanan ke wilayah makmur yang penuh
dengan selebrasi penulis yang sibuk berpamer ria tentang bangunan-bangunan
termasyur yang dikunjungi. Bukan pula tentang tips dan tricks
menyelenggarakan liburan di Afghanistan. Tulisan ini membawa kita untuk
menyelami kehidupan masyarakat Afghanistan dan hubungan mereka dengan khaak dan watan, negeri dan tumpah darah mereka. Agustinus Wibowo punya cara
sendiri dalam bertutur yang membuat pembaca merasa dekat dengan rakyat
Afghanistan dan mengerti penderitaan, mimpi, juga rasa bangga yang mereka
rasakan. Ia menonjolkan sisi humanis dari negara yang selama bertahun-tahun
bergumul dalam perang dan menyisakan kemiskinan bertaraf massive di antara penduduknya.
Saya setuju dengan Maggie
Tiojakin yang menyampaikan kata pengantar untuk buku ini bahwa Agustinus Wibowo
bukan hanya seorang traveller. Ia
seorang explorer. Perjalanan yang
dimulai dari Peshawar, daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan, yang dipenuhi
pengungsi Afghanistan sampai ke provinsi Ghor yang dilanda kekeringan dan gagal
panen hampir sepanjang tahun membuat pembaca yang sedang membaca di atas sofa
empuk mungkin menjadi tidak nyaman. Tapi memang itu yang ingin disampaikan oleh
penulis. Dengan tidak bermaksud menggurui, ia membawa kita menelusuri kenyataan
yang selama ini mungkin hanya bisa diraba lewat imajinasi, bahwa Afghanistan
itu A, B, dan C. Afghanistan ternyata masih punya mimpi yang masih dicoba untuk
diwujudkan. Debu yang memenuhi udara negara ini adalah bagian yang tak
terpisahkan dari bangsa Afghanistan dan mereka berjuang untuk tiap bulir “khaak”
atau debu yang terhirup dalam nafas.
Selain konflik ideologi,
Afghanistan juga berkonflik dengan sesama bangsa sendiri karena bangsa ini
terdiri dari berbagai etnik yang saling mencurigai. Etnik Pashtun mengatakan
kalau etnik Hazara pemalas, sedang Hazara mengatakan bahwa Tajik tidak bisa
dipercaya, sementara Tajik percaya bahwa Pashtun tidak bermoral dan seterusnya
yang tidak akan pernah berhenti. Namun bangsa Afghanistan juga dikenal sebagai
bangsa yang sangat memuliakan tamu. Padahal bangsa ini sangat miskin karena hamper
tidak ada pekerjaan dan uang yang berputar. Belum lagi infrastruktur yang rusak
parah. Roda ekonomi berjalan tersendat-sendat. Afghanistan adalah sebuah negara
yang kembali lagi ke masa berpuluh-puluh tahun silam di mana telepon adalah
barang sangat mewah. Namun semiskin apapun mereka, tidak akan pernah mereka
memperlakukan tamu dengan semena-mena. Tamu harus dijamu dan diperlakukan
seperti raja.
Masih banyak tradisi dan
budaya yang Agustinus Wibowo hadirkan di tulisannya. Beberapa di antaranya
adalah burqa yang dipakai oleh hampir
semua wanita Afghanistan, bachabazi
atau homoseksualitas di kalangan etnik Pashtun, sampai dengan sekte Ismaili
yang merupakan pecahan Syiah. Buku ini membawa pembacanya pada sebuah pemahaman
dari sudut pandang bangsa Afghanistan. Penulis tidak menghakimi, ia malah
menuntun kita untuk berpikir dan merasa, melewati realita yang keras dan penuh syak
wasangka bersama rakyat Afghanistan. Buku ini layak dibaca karena menyajikan
sebuah petualangan yang lengkap. Penulis turut menangis, tertawa, bangga, dan terkoyak
bersama dengan Afghanistan dan ia menyampaikan semua jenis perasaan itu dengan
para pembacanya dengan sangat indah. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar