Tiap daerah di Nusantara
punya sejarahnya sendiri. Sejarah tersebut dibentuk dari beratus tahun
pergolakan berdarah atau perdagangan dengan berbagai bangsa. Misalnya, jadi ada
yang patut untuk dikenang saat melintas di dekat muara Ciliwung. Mungkin saja
tempat kita berdiri dulu adalah tempat berdirinya sebuah tiang batu bertulis peninggalan
orang Portugis. Pun ketika kita berjalan di antara pencakar langit kota
Surabaya. Patut disyukuri bahwa para pahlwan lah yang membuat semua bukti
modernisasi itu mungkin untuk dinikmati. Itulah kira-kira yang ingin
disampaikan lewat buku karangan Rosihan Anwar ini. Sejarah panjang yang
dilewati bangsa ini dibentuk tidak hanya dari sejarah-sejarah besar namun juga
terdiri dari hal-hal kecil di masa lalu yang sering dianggap remeh.
Buku setebal 316 halaman ini
terdiri dari 13 bab yang menceritakan sejarah beberapa daerah di Indonesia.
Memang tidak semua daerah di Indonesia disebut sejarahnya tapi jabaran ketigabelas
daerah dalam buku ini cukup mewakili mengingat daerah-daerah tersebut memegang
peranan penting dalam pahit manis perjalanan Nusantara sampai menjadi
Indonesia. Ketigabelas daerah itu adalah: Timor Timur, Maluku, Aceh, Nias,
Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Bengkulu, Banten, Kep. Kokos, Jawa Barta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Rosihan Anwar yang rajin
membaca, mencatat, dan menuangkan hasil pemikirannya dalam berbagai macam
tulisan yang tak terhitung jumlahnya mengumpulkan beberapa tulisan yang pernah
dibuatnya di masa lalu dan membuatnya menjadi buku. Selain tulisan pribadinya,
wartawan senior ini juga mengutip berbagai fakta sejarah dari buku-buku yang
kebanyakan berbahasa Belanda. Buku ini menjadi kaya akan referensi dan menarik
untuk dibaca karena mengungkap fakta-fakta sejarah kecil yang biasnya luput
dari pembahasan padahal kaya akan pernak-pernik menarik yang memperkaya sejarah
besarnya. Ini sesuai dengan judulnya, “petite histoire”, yang berarti sejarah
kecil.
Karena berisi fakta sejarah
yang bisanya luput untuk dikupas, pembaca pada akhirnya malah berkesempatan
untuk mengetahui hal-hal menarik. Tidak banyak yang tahu kalau nama daerah
Menteng di Jakarta diambil dari nama komisaris Hindia Belanda yang ditempatkan
di Palembang dan Bangka, Muntinghe. Atau kalau untuk saya pribadi, saya shocked saat mengetahui bahwa Rangkayo
Rasuna Said yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Jakarta adalah
seorang wanita orator ulung dari ranah Minang. Sebelumnya saya selalu mengira
bahwa ia adalah seorang pria.
Setiap bab selalu dibuka
dengan cuplikan berita di surat kabar mengenai kondisi terkini daerah terkait.
Setelah itu Rosihan mulai menuturkan sejarah daerah tersebut. Teknik tersebut
efektif untuk menggiring pembaca membayangkan keadaan terkini secara politik,
ekonomi, maupun sosial budaya di sebuah daerah dan perlahan menyelami keadaannya
dari mulai beratus-ratus tahun sebelumnya. Terasa ada romantika yang muncul
karena munculnya perbandingan. Masa lalu seperti biasa menjadi topik yang menarik
untuk dikenang walaupun tidak semuanya merupakan kisah yang manis.
Bab favorit saya adalah bab
berjudul “Jawa Barat: Sejarah Campur Sari Tiga Zaman” yang menyajikan fakta-fakta
sejarah mulai dari zaman Hindia Belanda, Jepang, dan zaman mempertahankan
kemerdekaan. Rosihan Anwar mengutip banyak tulisan asing berbahasa Belanda sebagai
sumber tulisannya. Salah satunya adalah tulisan wartawan-sejarawan bernama Joop
van den Berg yang rajin menelusuri pasar barang-barang antik di Belanda untuk
berbelanja manuskrip atau dokumen di zaman Hindia Belanda. Penemuannya ia
kombinasikan dengan catatan di perpustakaan dan kemudian melahirkan sebuah
kumpulan “petite histoire” berjudul De
Wayang Fox-trot-Sporen uit een Indisch verleden yang diterbitkan tahun
1992. Di dalamnya banyak laporan tentang kejadian sehari-hari yang mampu untuk
menggambarkan kehidupan masyarakat di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Salah
satunya adalah data tentang pendapatan dan pengeluaran sebuah keluarga
Indo-Belanda yang kepala keluarganya bekerja sebagai pegawai Staats Spoorwegen
(SS) atau Jawatan Kereta Api di daerah Bandung. Joop menuliskan data tersebut
berbekal sebuah buku keuangan keluarga tersebut yang ditemukannya di pasar
loak. Dari sana, bisa diperkirakan kehidupan ekonomi keluarga Indo-Belanda yang
hidup di zaman tersebut.
Rosihan Anwar juga menceritakan
kehidupan seorang pengarang Belanda bernama Edgar du Perron yang lebih dikenal
dengan nama Eddy du Perron. Ia adalah penulis biografi Multatuli berjudul De Man van Lebak dan Multatuli: Twede Pleidooi . Ia juga penulis
roman dan esai. Selain itu, ia juga pernah menulis surat terbuka kepada Sutan
Sjahrir yang menyatakan pandangan pribadinya kepada perjuangan Sjahrir yang
saat itu sedang dalam pembuangan di Banda Neira. Sjahrir adalah tokoh
nasionalis yang dihormatinya dan dengan itu pembaca bisa tahu bahwa ada juga totok
yang bersimpati dengan perjuangan mencapai kemerdekaan. Tidak semua totok
menentang perjuangan para bapak bangsa pada saat itu.
Masih ada 12 bab lain yang
layak untuk dijadikan bab favorit. Buku ini berjasa banyak bagi generasi
sekarang untuk menghadirkan sejarah-sejarah kecil yang mulai tenggelam ditelan
arus zaman. Dengan membacanya, pembaca akan mengingat bahwa bangsa yang sedang
terpuruk karena rentetan masalah ini dulunya memiliki peradaban agung. Ia juga
bisa bangkit dan melawan penindasan dan segala ketidakadilan di zamannya.
Sangat besar pembelajaran yang bisa dipetik. Mulai dari berpikir positif bahwa
bangsa ini tidak pernah lelah berjuang sebesar apapun musuhnya. Selamat
membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar