Ini kali kedua saya membaca
Catatan Pinggir 6. Pertama kali membaca sekitar tahun 2008. Ada banyak hal
menarik yang tak lekang oleh waktu ketika dibahas oleh Goenwan Mohamad yang
membuat jeda 5 tahun dari pertama kali membacanya masih relevan untuk dimaknai.
Bahkan jeda dari waktu ketika tulisan ini ditulis (2001-2003) sampai dengan
saat saya membaca kumpulan Catatan Pinggir ini di 2013 memiliki relevansi yang
juga masih kuat. Inilah salah satu keunikan dan kekuatan tulisan Goenawan
Mohamad. Atau mungkin ini karena ia memilih topik-topik yang selalu menjadi
kajian dan perdebatan di sepanjang sejarah peradaban, seperti perang,
kemanusiaan, agama, dan seni.
Kalau saya tidak salah
ingat, kali pertama saya membaca “Catatan Pinggir 6”, klasifikasi tulisannya di
cetakan tersebut masih berdasarkan tema. Saya lupa apa saja, tapi mungkin
seperti “politik”, “seni”, dsb. Yang berarti tidak berdasarkan kronologi
tulisan tersebut ditulis. Sedangkan di buku edisi cetakan 2012 ini, kumpulan
tulisan Goenawan Mohamad di majalah Tempo disusun secara kronologis yang
membuat saya bisa menebak peristiwa apa saja yang terjadi saat masing-masing
tulisan diproduksi. Misalnya saat “Aktor” ditulis pada 3 November 2002. Saat
itu Goenawan Mohamad menggunakan perumpamaan aktor di pentas teater Yunani kuno
untuk menggambarkan laku Presiden Megawati dalam menyikapi pengeboman di Bali
dengan melakukan kunjungan negara ke Yunani.
Saya sering merasa bahwa
Catatan Pinggir penuh dengan sindiran atau ironi tapi di saat yang bersamaan,
saya juga dibimbing perlahan untuk turut berpikir atau merasakan sindiran
tersebut. Cara bertuturnya yang bijaksana dan tidak menghakimi pada dasarnya
adalah sindiran tidak langsung bagi beberapa gelintir orang atau institusi yang
bertindak secara sewenang-wenang. Walaupun kajian yang dilakukannya merujuk
pada desain yang besar, ia sering menggunakan hal-hal yang terlihat remeh temeh
untuk dikaitkan. Seperti saat ia menulis “Jalan” pada 14 Juli 2002. Itu adalah
sindirannya tentang Jakarta yang penuh dengan privatisasi, sampai pada
jalan-jalannya, ruang publik yang seharusnya bebas dinikmati semua golongan
masyarakat.
Dalam kurun waktu 2001-2003,
isu terbanyak yang Goenawan Mohamad tulis adalah soal deklarasi perang AS ke
Afganistan dan Irak, serangan Israel ke Palestina, dan pengeboman di Bali. Menarik
karena ia bisa membahas 3 isu besar itu dalam ranah berbeda-beda lewat bermacam
jenis metafora dan simbolisme. Saya menikmati dan belajar banyak tanpa merasa
didikte. Yang paling saya suka, ia juga menyisipkan fakta-fakta sejarah global
atau nasional yang sebagian besar belum saya ketahui. Secara umum, mau jilid
berapa pun yang mau Anda baca terlebih dulu (ada 7 jilid), itu tidak masalah
karena isunya selalu relevan dan Anda bisa belajar banyak. Selamat membaca buku setebal 446 halaman ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar