Tentu saja kau bukan yang
pertama. Lebih tepatnya, kau yang kedua. Cinta pertamaku adalah seorang bocah
laki-laki yang rumahnya selalu kulewati tiap aku berangkat sekolah. Saat itu
aku masih kelas 4. Dan kau mulai menyelip di antara ruas-ruas hidupku yang sederhana
saat aku 13 tahun, 4 tahun kemudian. 4 Februari 2004 dan itu adalah kali
pertama aku menyebut namamu secara khusus di buku harianku. Aku menulis
kegalauan yang aku rasakan saat itu. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh
kepada diriku sendiri dan terlebih kepada Tuhanku. Berpuluh-puluh pertanyaan
yang beberapa di antaranya tidak perlu untuk dijawab, dan beberapa lagi memang
tidak bisa. Di akhir paragraf, aku memintaNya untuk tidak menganugerahiku
perasaan sakral itu namun kemudian inilah yang terjadi: aku mulai mencintaimu.
Sejak saat itu, namamu makin
sering muncul dalam buku harianku. Aku menulis betapa coklat warna matamu,
tertawamu yang kekanakan, kakimu yang bisa menyentuh tanah saat kau duduk di
sedel sepedamu sedangkan teman-teman yang lain tak bisa, caramu berlari saat
kita main kasti tiap sore, pipimu yang tersipu saat meminta izin berkunjung ke
rumah Eyangku, ceritamu tentang betapa lucunya keluargamu, buku yang kau
berikan padaku, coklat yang kuberikan padamu, ajakanmu untuk bersepeda mengelilingi
alun-alun Wates sampai senja…
Hal-hal sederhana itu begitu
manis untuk diingat. Hampir sembilan tahun dan aku masih takjub dengan begitu
lekatnya memori itu. Aku akan tersenyum tiap kali seseorang menyebut Siti
Nurbaya. Kau pernah berdebat denganku tentang siapa penulis buku tersebut.
Tentu saja aku selalu menang saat itu. Aku masih ingat warna sepedamu, tinggi
kaos kakimu, model sepatumu, lembutnya suara tawamu, cara berlarimu, gaya
berjalanmu, gerakan tanganmu saat berbicara. Waktu tidak bisa membuatnya lekang
dari ingatanku.
Tapi waktu jualah yang
mengambilmu dariku. Kadang kita tidak menyadari betapa jauhnya waktu membawa
masa remaja kita sampai ke ujung kedewasaan. Kita menyemai mimpi kala bersama
dan tiba-tiba kenyataan ada di depan kita. Selalu ada yang harus dikorbankan.
Dan aku benci ketika itu adalah aku.
Kau tahu betapa lamanya aku
menunggu? Aku menunggu sampai aku menyadari bahwa tidak akan ada gunanya
menunggu. Aku bodoh karena itu terjadi belum lama ini. Tahun-tahun yang
terbuang untukmu adalah tahun-tahun penuh senyum getir tiap aku mendengar kau
bahagia bukan denganku.
Tentu saja tidak ada yang
salah. Kau pintar berkompromi dengan waktu sedangkan aku hanya seorang idiot
yang berharap pada sesuatu yang sebenarnya terus melaju perlahan-lahan
meninggalkanku. Kau menang kali ini. Atau sebenarnya kau selalu menang
terhitung saat kau mulai memilih kenyataan sedang aku memilih setia pada mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar