Bagi yang rajin mengakses
twitter, pasti tidak asing dengan istilah “Jancukers”. Apalagi bagi para tweeps
yang memang memfollow sebuah akun bernama @sudjiwotedjo. Hampir setiap hari
pasti istilah “Jancuk” atau “Jancukers” menghiasi tweet-tweet si empunya akun. Yang
memfollow juga pasti tidak lagi kaget dengan istilah yang mungkin kala pertama
mendengar akan tedengar sangat kasar. Tapi kalau sudah tahu maknanya, hilang
lah anggapan buruk tersebut.
“Republik #Jancukers”
menurut pengantar yang ditulis di cover belakang buku adalah hasil perenungan
Sujiwo Tejo, sang penulis, akan hal-hal keseharian. Perenungan itu memunculkan
sebuah cita-cita, nyaris utopia, yang dinamainya Republik Jancukers. Jancukers
adalah nama follower Sujiwo Tejo di Twitter. Republik Jancukers berarti
Republik ideal yang berpenduduk orang-orang dengan jiwa Jancukers. Sujiwo Tejo
pastilah berkemauan agar followersnya mengerti benar alam pikiran dan
cita-citanya akan sebuah negara dan bangsa yang ideal.
Secara tidak langsung,
“Republik #Jancukers” adalah antitesis dari Republik Indonesia. Walaupun tidak
disebutkan secara gamblang, namun cara Sujiwo Tejo menceritakan permasalahan
yang terjadi di Indonesia dan bagaimana orang-orang di sana menyikapinya tampak
kontras dengan cara rakyat dan peraturan di negara Jancukers yang dipimpin
olehnya melihat masalah yang sama. Tapi jangan lalu menganggap bahwa buku ini
berisi sesuatu yang sangat berat. Malah sebaliknya.
Tulisan yang tersaji sangat
kocak karena Sujiwo Tejo memposisikan dirinya bukan sebagai pengkritik tapi
pengamat. Sering saya terbawa untuk tertawa ngakak. Caranya mengamati ya dengan
memberikan perbandingan antara situasi di Indonesia dengan apa yang terjadi
bila itu ada di negara Jancukers. Contohnya saat ia membahasa ketidaktahuan
masyarakat sekarang tentang dasar negara yang sangat kontras dengan keupdatean mereka tentang masalah remeh
temeh yang lain seperti kehidupan pribadi orang lain. Kanguru sendiri adalah
cara Sujiwo Tejo menggarisbawahi esensi suatu hal. Bahwa yang paling penting
dari sebuah benda bukan namanya, namun esensinya, maknanya. Australia dinamakan
“negeri Kanguru” karena mamalia tersebut banyak ditemukan di sana. Lalu kenapa
“Papua” tidak disebut “negeri Kanguru” juga? Pesan dari perumpamaan ini jelas. Masyarakat Indonesia cenderung mengedepankan
nama atau bentuk luar sesuatu tanpa meresapi makna dibaliknya. Sama seperti
ketika mereka memaknai dasar negara sebatas sebuah istilah tanpa memahami
kepribadian di dalamnya.
Masih banyak perumpamaan
serupa karena sejatinya buku ini adalah rangkuman dari hal-hal sederhana dalam
kehidupan sehari-hari yang luput diamati. Sujiwo Tejo mengambil hal tersebut
sebagai sebuah bahasan untuk mengantar ke sebuah diskusi yang lebih mendalam
tentang kualitas sebuah bangsa dan negara. Memang kalau dipikir-pikir,
Indonesia jadi terlihat sangat buruk setelah membaca buku ini. Tapi yang
berpikiran positif malah bisa terpacu untuk mulai berbenah diri karena
sebenarnya berbuat baik sebagai warga negara juga adalah tentang melakukan
hal-hal keseharian yang remeh-temeh.
Total ada 14 bab yang
masing-masing diberi judul sesuai dengan judul-judul lagu di album barunya
“Mirah Ingsun”. Kalau membeli bukunya, dapat gratis sebuah CD dari album ini.
Di awal bab, selalu ada lirik dari judul lagu yang dijadikan nama bab dan yang
menarik, selalu ada versi bahasa Inggris dari lirik tersebut. Dari semua hal
yang ada di buku ini, terjemahan tersebut paling menarik perhatian saya karena
Bahasa Inggrisnya bukan merupakan hasil penerjemahan lirik dari Bahasa
Indonesia tapi Bahasa Jawa. Memang lagu-lagu di “Mirah Ingsun” semuanya
berbahasa Jawa dan bukan bahasa Jawa yang diksinya familiar untuk saya (saya
orang Jawa tulen). Diksinya adalah diksi bahasa Jawa yang biasa dipakai untuk
berpuisi. Mungkin termasuk tingkatan krama
inggil atau kuno saya tidak tahu tapi jelas bahwa itu bahasa Jawa.
Sebagai anak sastra, saya
tergerak untuk menelusuri tiap kata hasil terjemahan. Mencari tahu tingkat
kesesuaian maknanya dan pilihan diksi yang digunakan. Kesimpulan: terjemahan
itu bukan pekerjaan mudah.
Intinya, kalau ada yang
ingin tahu atau penasaran dengan gaya tulisan Sujiwo Tejo yang nyeleneh, baca saja buku setebal 400
halaman ini. Selain berisi kritik, buku ini juga berisi humor, sesuai dengan
kepribadian penulisnya yang agak antik. Selamat membaca!
1 komentar:
Jika anda rela ngelepas cd mirah ingsun saya akan ngambil dengan harga baik
Posting Komentar