Dalam sejarah seni dan
budaya, Indonesia memiliki dua buah peristiwa yang mempengaruhi arah jalannya
budaya dan corak yang dianut oleh para cendekia. Yang pertama adalah Polemik
Kebudayaan yang terjadi antara Agustus 1935-Juni 1939. Yang kedua adalah
Manifesto Kebudayaan yang diproklamirkan pada 1963. Yang pertama bisa disebut
sebagai peletak dasar kebudayaan Indonesia pertama kali karena saat itu
orang-orang, terutama para cerdik cendekia, mempertanyakan budaya jenis apa
yang seharusnya dianut oleh bangsa Indonesia.
Lewat buku berjudul Polemik Kebudayaan , Achdiat Karta Mihardja mengumpulkan tulisan para tokoh kebudayaan Indonesia di zaman itu yang coba untuk ditampilkan kembali agar tidak terlupakan seiring bergantinya zaman,
terutama oleh generasi muda. Menyadari pentingnya peran Polemik Kebudayaan
dalam menggambarkan pokok pikiran para pendahulu, buku ini telah mengalami tiga
kali turun cetak oleh Penerbit Balai Pustaka. Cetakan terakhir ada di tahun
1998.
Tulisan di buku ini menggunakan
bahasa Indonesia yang masih sarat dengan pengaruh Melayu. Tidak heran karena
setelah diproklamirkan lewat Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, bahasa
Indonesia mulai dipakai sebagai bahasa pengantar oleh sebagian besar penerbitan
dan percetakan surat kabar serta buku bangsa Indonesia secara luas. Struktur
dan diksinya masih agak sama dengan bahasa Melayu karena memang bahasa
Indonesia adalah anak atau cabang dari bahasa tersebut. Dari sinilah nantinya
bahasa Indonesia berkembang menjadi bahasa seperti yang dipakai saat ini.
Dari proses pengumpulan
tulisan yang dilakukan oleh Achdiat Karta Mihardja, hasilnya disusun dalam dua
buku. Buku yang akan dibahas adalah kumpulan pertama dari tulisan tentang
Polemik Kebudayaan. Penyumbang tulisan ini antara lain: Sutan Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Purbatjaraka, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M.
Amir, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketujuh
penulis datang dari berbagai latar belakang yang tidak jauh berbeda, yaitu
kesusastraan, jurnalisme, dan pendidikan. Tiga ranah yang sangat terhubung erat
dan menjadi tonggak-tonggak perjuangan di masa itu.
Achdiat Karta Mihardja
mengelompokkan tulisan-tulisan yang dikumpulkannya dalam tiga jenis polemik
yang berjudul Polemik I, II, dan III. Sutan Takdir Alisjahbana adalah orang
yang bertanggung jawab terhadap terciptanya pertukaran ide yang hebat ini.
Dalam Polemik I, ia mempertanyakan kebudayaan jenis apa yang sesuai untuk
dimiliki bangsa Indonesia yang baru lahir. Tentu saja bukan kebudayaan daerah
yang dianggapnya sangat erat unsur kedaerahan, STA menyebut kebudayaan
berorientasi daerah sebagai provincialisme.
Ini membuat STA membuat zaman yang dinamainya zaman Indonesia dan Prae-Indonesia. Zaman
Indonesia adalah zaman di mana bangsa Indonesia memiliki tujuan sama dan tidak
mengagungkan sejarah dan potensi kedaerahannya. Zaman Prae-Indonesia adalah
zaman di mana konsep bangsa Indonesia belum terbentuk dan tiap-tiap orang masih
mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari suku Jawa, Bugis, Maluku, dll.,
bukan bagian dari bangsa Indonesia. Sehingga dalam merumuskan kebudayaan
Indonesia saat itu, sangkut paut dengan sejarah sebelum terbentuknya konsep
bangsa Indonesia murni harus dinafikkan. Kebudayaan Indonesia harus mulai
dibangun dan didefinisikan. Untuk membangun dan mendefinisikan, bangsa
Indonesia harus berpedoman pada Barat karena Barat dianggap telah mampu mengandalkan
kemampuannya sebagai manusia untuk menaklukkan alam serta meningkatkan kualitas
diri secara materi. Tulisannya ini berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan
Baru” dan diterbitkan di harian Pujangga Baru.
Pandangan ini mengundang
bantahan dari pemikir lain, di antaranya Sanusi Pane dan Purbatjaraka. Keduanya
sepakat bahwa zaman sebelum nama bangsa Indonesia dideklarasikan adalah sejarah
yang tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia masa sekarang. Dalam membangun,
kombinasi antara Barat dan Timur merupakan rumus yang ideal. Tidak bisa
meninggalkan Timur yang telah mendarah daging dan mempengaruhi semua aspek
keIndonesiaan saat ini.
Dalam Polemik II, lewat
karyanya berjudul “Semboyan yang Tegas”, STA kembali melempar sebuah tulisan
yang merupakan kritik atas hasil Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia yang
pertama di Solo tanggal 8, 9, dan 10 Juni. Antiintelektualisme,
antiindividualisme, antiegoisme, dan antimaterialisme yang didengungkan sebagai
isi utama kongres tidak bisa dilakukan dalam membangun dan mendidik generasi
muda. Intelektualisme, Individualisme, egoisme, dan materialism adalah jiwa
pendidikan dan pembangunan Barat yang harus merasuk dalam sanubari generasi
penerus. Pendidikan a la Barat harus
lebih diutamakan dan mendapatkan tempat khusus dalam membangun bangsa Indonesia
yang baru lahir. Keempatnya merupakan pilar utama yang membuat sebuah bangsa
menjadi kuat dan mendapat gairah untuk berusaha dan bersaing. Pendidikan Timur
mengacu pada didikan pasif karena sifatnya yang komunal, bukan individual. Masyarakat
tidak tergerak untuk memperkaya dirinya karena lingkungannya tidak tergerak
untuk berkembang.
Tanggapan datang dari R.
Sutomo sebagai salah satu penggagas keempat “anti’ tadi dan juga Adinegoro. R.
Sutomo menyoroti kekurangan pengajaran Barat yang menjauhkan keeratan antar
individu. Ada jurang pemisah antara pelajar yang bersekolah di sekolah-sekolah
Barat yang dibuat dalam berbagai level. Anak-anak yang bersekolah di HIS atau
ELS cenderung menganggap dirinya lebih baik dari anak-anak dari sekolah lain. Sifat
seperti ini akan menimbulkan kerenggangan persatuan di antara generasi muda.
Sedang pendidikan Barat a la Timur
yang dinamainya pesantren terbukti faedahnya dalam menyatukan generasi muda dan
mengawasi akhlaknya karena mereka hidup dalam pemondokan yang dibuat sekolah. Adinegoro
muncul dengan menyoroti perbedaan antara culture
dan civilization. Pendidikan Barat
yang sifatnya teknik bisa dipindahkan ke Timur. Teknik ini adalah contoh civilization yang bisa dipindahkan dan
diadopsi untuk mempermudah terselenggaranya kehidupan keseharian namun berbeda
dengan culture. Culture adalah bagian dari masyarakat yang melekat dan khas dari
suatu bangsa. Dengan ini, tidak mungkin untuk mengadopsi keseluruhan kebudayaan
Barat lewat pendidikannya dan melekatkannya secara langsung pada bangsa Indonesia.
Di antara para pengkritik,
ada juga Tjindarbumi yang setuju dengan pemikiran STA. Sedangkan Dr. M. Amir
dan Ki Hadjar Dewantara hadir dengan caranya sendiri dalam menyikapi ide STA. Dr.
M. Amir lewat tulisannya yang panjang mengungkapkan ide utama pemikir-pemikir
Barat bahwa kebudayaan dan kemegahan Barat yang sekarang dicapai lewat proses
panjang dan bukan murni hasil dari intelektualisme, individualisme, egoisme,
dan materialism. Kemegahan Barat juga hadir lewat jiwa-jiwa rohaniah yang
dibawa agama dan filosofi Yunani kuno. Sehingga dalam mencontoh Barat,
kenasionalan yang lama dibangun sebelum terbentuk bangsa Indonesia tetap tidak
bisa dinafikkan.
Ki Hadjar Dewantara menyadari
bahwa keinginan manusia terhadap pergantian adat adalah naluriah dan alamiah.
Manusia menginginkan perubahan yang merupakan manifestasi keadaan “alam” dan
“zaman” dan sebagai makhluk berakal, manusia memiliki kuasa untuk melakukan
perubahan ini. Pertentangan pemikiran sebagai dampak dari kuasa tersebut harus
didikapi secara positif karena masing-masing kubu yang saling bertentangan
bermaksud baik.
Polemik terakhir yaitu
Polemik III kembali lagi menyoroti masalah kebudayaan baru yang menurut STA
harus sesuai dengan kebudayaan internasional dan oleh karena itu harus 100%
berbeda dari kebudayaan nenek moyang. Dalam tulisannya yang berjudul “Pekerjaan
Pembangunan Bangsa Sebagai Pekerjaan Pendidikan”, pendidikan sebagai media
pengantar ide harus mampu membawa generasi muda Indonesia ke kondisi tersebut.
Sedangkan Dr. M. Amir dalam menanggapi pernyataan STA hadir dengan argumen
bahwa bangsa Indonesia harus memperhatikan dan mempertahankan budayanya karena
itu yang menjadi pokok dan memberi definisi pada sebuah bangsa.
Kumpulan tulisan dari ketujuh pemikir di zaman sebelum
kemerdekaan ini bukan menunjukkan perpecahan namun justru merupakan bukti bahwa
para cendekiawan saat itu hadir dan menawarkan ide yang menurut masing-masing
dari mereka sesuai untuk membangun bangsa Indonesia yang masih sangat muda. Pertentangan
ide membuktikan adanya energi positif sebagai hasil dari proses berpikir. Semuanya
mati-matian mempertahankan gagasan atas dasar kebaikan bagi bangsa Indonesia. STA
yang Barat sentris percaya bahwa modernisasi adalah tujuan yang harus diraih
oleh bangsa Indonesia yang baru lahir. Ketertinggalan dengan negara-negara maju
lain yang sudah merdeka harus dikejar. Satu-satunya cara untuk bisa menjadi
mereka adalah berpikir dan berlaku menjadi mereka. Pemikir yang lain seperti R.
Sutomo berpendapat bahwa sebagai orang Timur, kebudayaan Timur harus mendapat
tempat penuh. Pendidikan pun harus disampaikan dengan cara Timur karena
sifatnya yang menjiwai semangat dan kekhasan masyarakatnya yang komunal. Pemikir
yang lain menawarkan sebuah penggabungan antara Barat dan Timur. Menggabungkan
saripati Barat lewat civilization
yang termanifestasi dalam teknik dan culture
Timur yang menjadi akar dan tak terpisah dari bangsa dan budaya Indonesia.
Menarik juga ketika ide yang
disampaikan hampir 80 tahun yang lalu masih relevan dengan keadaan saat ini. Saat
ini orang mempermasalahkan efek buruk globalisasi yang menggerus budaya
nasional dan semakin membawa bangsa ini meninggalkan kearifan lokal dan
nasional. Cita-cita nasional dan kerjasama bukan menjadi prioritas lagi. Orang
lebih tertarik untuk berjuang secara individu dan meningkatkan kualitas
pribadi.
Polemik Kebudayaan adalah
salah satu bukti bahwa Indonesia pernah punya pemikir hebat yang berusaha
memberikan definisi pada bangsa ini di kehidupan mendatang. Mereka mempunyai
kepercayaan bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa besar dan oleh karena itu
konsep tentang berbudaya pun penting untuk dirumuskan. Padahal saat itu nama
Indonesia sebagai sebuah negara belum ada. Ia baru dideklarasikan 10 tahun
kemudian. Beberapa dari pemikir Polemik Kebudayaan tersebut sudah berpulang
ketika akhirnya bangsa yang mereka cita-citakan punya wadah untuk membuktikan
dan mewujudkan cita-citanya. Tapi gaung pemikiran mereka tak akan pernah padam
ditelan zaman karena ketulusan, kepercayaan dan dedikasi mereka pada bangsa
yang dulu masih muda ini. Selamat membaca!
3 komentar:
izin copas ya . makasih sangat bermanfaat :)
Silakan. Dengan senang hati..
Kak, 'Fakta' di 3 kalimat pembukanya bersumber dari buku apa ya? Terima Kasih.
Posting Komentar