Rabu, 23 Oktober 2013

KACUKAN KEMELAYUAN

Diambil dari koleksi Dwi Lisa Susanti

Bagi yang baru pertama kali mendengar frasa ini, sama. Saya juga. Kebetulan saya mendapat kesempatan untuk mengetahui arti frasa ini saat megikuti sebuah kuliah umum yang digelar oleh Program Pascasarjana Prodi Ilmu Sastra UGM pada hari Selasa, 22 Oktober 2013. Kuliah umum tersebut menghadirkan Prof. Dr. H.M. J. Maier sebagai pembicara. Beliau adalah ahli Sastra Melayu dari University of California Riverside. Beliau adalah murid langsung Prof. Teeuw, ahli sastra Indonesia dari Universitas Leiden.  Prof. Maier adalah juga penerjemah beberapa karya sastra Indonesia terkenal ke bahasa Belanda. Beberapa di antaranya: “Ken Arok”, “Bukan Pasar Malam”, “Sri Sumarah”, dan “Jejak Langkah”. Saat ini Beliau sedang dalam sebuah proyek bersama seorang dosen Universitas Sanata Dharma untuk menerjemahkan sebuah karya Roland Barthes yang berjudul The Pleasure of the Text.
Pembahasan tentang kacukan kemelayuan berangkat dari buku tersebut. Buku ini menempatkan pembaca dalam posisi yang lebih penting daripada penulis. Yang perlu dipahami adalah, dalam proses membaca, yang paling penting bukanlah proses untuk mencari ide namun mencari kenikmatan. Ide atau gagasan terdapat di setiap buku dan bisa ditemukan oleh pembaca sedangkan kenikmatan adalah milik pribadi pembaca yang proses pencariannya lebih personal.
Dalam memperhatikan pembaca, Barthes meminta untuk mulai melihat pada jenis teks dan membedakannya menjadi dua. Barthes memiliki istilah khusus untuk menyebut teks sebagai teks yang readerly dan writerly. Yang pertama digunakan untuk teks yang memiliki kenikmatan yang dicari oleh pembaca. Novel dapat digolongkan dalam kategori ini. Writerly digunakan untuk teks yang memiliki kualitas untuk menantang pembacanya sehingga sebagai hasil akhir, pembaca akan menuliskan hasil pembacaannya terhadap buku tersebut.
Klasifikasi ini menurut Prof. Maier menarik jika dihubungkan dengan sastra Melayu. Kebanyakan sastra Melayu memiliki banyak versi dan setiap ditulis ulang, selalu ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penulis barunya. Sebagai contoh adalah teks Hang Tuah. Saat ini ada 10 versi teks Hang Tuah. Hal ini disebabkan karena tiap kali membaca, pembaca menganggapnya sebagai teks writely sehingga saat ia menuliskannya kembali, ia memberi pemaknaan yang baru atas teks tersebut sebagai hasil dari proses membacanya. Jadi, teks-teks baru mengandung pengulangan dari teks sebelumnya namun masih terdapat perbedaan, kalau tidak bisa disebut sebagai penyimpangan.
Tidak hanya terjadi di masa sebelum dikenal mesin cetak untuk menggandakan teks, di abad 20 pun ditemukan teks-teks yang dicetak dengan isi yang berbeda dengan naskah aslinya. Contohnya adalah novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli. Di halaman pertama, teks awal yang menyebut bendera dengan warna merah-putih-biru, pada teks berikutnya menyebutnya dengan merah putih saja. Alasannya tentu saja terkait dengan politik.
Dari sini, mulai menarik untuk menyelidiki bagaimana cara orang Melayu berpikir dan jawaban tersebut dapat diperoleh dengan menyimak karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa tersebut. Prof. Maier memilih menggunakan bahasa Melayu untuk menyebut bahasa Indonesia karena ia masih termasuk rumpun bahasa Melayu dan merupakan hasil dari perkembangan bahasa tersebut.
Prof. Maier memiliki argumen awal bahwa bahasa Melayu sangat cair karena gampang berubah. Sebagai akibatnya, teks berisi banyak hal yang berbeda dari teks pertamanya sehingga sastra Melayu dapat disebut sastra yang hybrid atau campur aduk. Istilah kacukan memiliki arti yang sama dengan campur aduk. Istilah ini juga disebut dalam naskah Hang Tuah. Naskah Hang Tuah menceritakan seorang hamba yang mengabdi di isatana kerajaan Melaka namun akhirnya keluar dan berpetualang di Indrapura. Berhubung ia pintar menari, ia dipanggil menari di salah satu kerajaan. Pihak kerajaan terkesan dengan tariannya dan menganggap bahwa ia adalah seorang Melayu asli. Hang Tuah menyangkal dengan mengatakan bahwa dirinya adalah Melayu kacukan. Ia punya identitas campur aduk. 
Jawaban tentang keaslian Melayu kemudian dipertanyakan. Melayu itu sebenarnya apa? Menurut KBBI, Melayu merupakan kata benda, tapi kenapa bisa dipakai untuk kata sifat? Apakah Melayu itu nama daerah, nama bangsa, atau nama bahasa? Tidak ada jawaban pasti dan pertanyaan tersebut menurut Prof. Maier merupakan pertanyaan yang tak perlu ditanyakan. Namun bangsa Melayu memang selalu tergerak untuk mencari keaslian mereka. Orang Melayu selalu menyimpan impian untuk menjadi sempurna. Dalam teks Hang Tuah, pertanyaan pihak kerajaan tentang keaslian dirinya menunjukkan bahwa keaslian sebagai orang Melayu mendapat tempat dalam masyarakat. Padahal apabila kita lihat lebih jauh, istilah Melayu merupakan konstruksi dari masyarakat penjajah. Sebelum dijajah, para nelayan yang tinggal di semenanjung Malaka atau petani yang bercocok tanam di pedalaman Riau misalnya, tidak menyadari bahwa mereka orang Melayu. Saat pertama kali diberi pertanyaan tentang siapa sebenarnya mereka, kemungkinan besar mereka akan menjawabnya dengan jawaban semacam petani dari Riau atau nelayan dari Bagansiapiapi.
Konstruksi Melayu, oleh karena itu, memiliki hubungan dengan kekuasaan kolonial yang dulu pernah bercokol di wilayah Asia Tenggara, baik Indonesia maupun Malaysia. Untuk mengaitkan isu ini dengan bahasa, fakta bahwa bahasa Melayu merupakan hasil standardisasi kolonial merupakan bukti otentik. Kolonial membagi bahasa Melayu menjadi Melayu sungguh dan Melayu pasar. Melayu sungguh adalah bahasa yang pada akhirnya berkembang menjadi bahasa Indonesia sedangkan Melayu pasar merupakan bahasa yang digunakan oleh kebanyakan rakyat, mayoritas rakyat kecil, di wilayah semenanjung Malaka dan Sumatra. Melihat dari fakta ini, bukankah bahasa Indonesia sebenarnya adalah hasil konstruksi pemerintah kolonial? Selama ini kita selalu bangga dengan menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun persatuan itu sendiri pun adalah sumbangsih dari pemerintah kolonial.
Bahasa Melayu yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia dan Malaysia, oleh karena itu bisa disebut sebagai Melayu kacukan, Melayu yang tidak murni, Melayu yang bukan sungguh karena yang sungguh itu tidak pernah ada. Jalan ke sana selalu mendapat pertentangan karena kacukan ada di mana-mana. Apabila ini diterapkan dalam teks, tidak ada teks Melayu yang asli. Semuanya kacukan sehinggan mengklasifikasi teks sebagai yang adiluhung dan rendahan sungguh adalah perbuatan yang salah menurut Prof. Maier.
Pertanyaan dan jawaban dalam diskusi:
  1. Pertanyaan   : Ada sebuah buku yang menyatakan bahwa cerita pelipur lara adalah contoh Melayu Sungguh. Lalu bagaimana kaitannya dengan kacukan?           Jawaban        : Kalau kita memahami Melayu hanya dari ceritanya saja, tentu saja tidak akan pernah menemukan jawaban karena Melayu itu luas. Seperti yang telah dibahas tadi, semua teks adalah teks kacukan. Oleh karena itu, konsep Melayu Sungguh tak pernah ada.
  1. Pertanyaan   : Bagaimana tanggapan Bapak tentang fenomena bahasa Alay dalam bahasa Indonesia? Apakah termasuk kacukan?                                                 Jawaban        : Dulu Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1981, sekembalinya ia dari Amerika Serikat dan menyadari perkembangan bahasa Indonesia di negaranya, berkseimpulan bahwa eksperimen bahasa Indonesia gagal. Bahasa Indonesia tidak bisa menyatukan Indonesia karena ada banyak dialek yang blang blonteng. Jadi, bahasa alay atau slang selalu ada namun masih tetap ada semacam kesadaran untuk menjadikan bahasa tertentu, dalam hal ini bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan.
  1. Pertanyaan   : Kalau Melayu yang sebenarnya tidak ada? Bagaimana memahami Melayu sebagai constructed identity?                                                                               Jawaban        : Secara politik, pada dasarnya setiap negara memiliki bahasa persatuan. Tapi kalau kita mengambil Malaysia sebagai contoh, hanya sedikit orang yang mengerti bahasa Melayu. Kebanyakan yang mengerti adalah orang yang menganggap diri mereka orang Melayu. Sedangkan orang Cina atau India yang tinggal di sana tidak merasa berkewajiban untuk mempelajarinya. Tapi toh masyarakat itu tetap bersama terlepas dari apakah masyarakat tersebut menggunakan bahasa yang sama atau tidak. Selalu ada yang meracuni dan menuntut adanya ideologi dalam kaitannya dengan identitas. Walaupun mereka nantinya memiliki identitas, mereka masih dalam lingkaran identitas yang ditentukan oleh kekuasaan.
  1. Pertanyaan   : Bagaimana kaitan antara kacukan Kemelayuan dengan estetika?Jawaban        : Setiap orang memiliki konsepnya sendiri tentang identitas walaupun  ia kadang harus ikut identitas lain yang telah ditentukan. Tapi yang paling menarik dari semuanya adalah kita selalu mencari identitas salah satunya melalui bahasa walaupun usaha untuk menstandardisasinya akan selalu gagal. Bahasa ini adalah salah satu bentuk dari estetika.
  1. Pertanyaan   : Kalau saya ingin meneliti tentang sastra Melayu klasik, bagaimana cara membedakan antara sastra yang kacukan dengan yang sungguh?                     Jawaban        : Bagaimana cara mendefinisikan sastra klasik dan kacukan, menurut saya itu tidak mungkin bisa. Dalam sastra klasik Melayu, tulisan Nasrani dinafikkan karena selama ini mereka mau membangun ideologi bahwa Melayu adalah Islam. Mereka menganggap teks-teks Nasrani bukan asli Melayu, kacukan. Padahal sastra Melayu Islam sendiri adalah kacukan karena teks baru selalu dibangun berdasarkan teks sebelumnya. Tidak ada perbedaan antara sastra Melayu klasik dan sastra Melayu kacukan, pun antara sastra Melayu Islam dan sastra Melayu Nasrani.
  1. Pertanyaan   : Apabila semua teks adalah kacukan, apakah ini berarti ilmu pengetahuan, terutama bahasa dan sastra, tidak butuh adanya pengklasifikasian teks?       Jawaban        : Saya dan orang-orang seangkatan saya tumbuh bersama paham strukturalisme yang diajarkan di kelas. Dalam strukturalisme, ada pengklasifikasian. Tapi paham pascastrukturalisme membuat kita mengerti bahwa tidak ada pengklasifikasian karena nyatanya dunia ini penuh dengan kekacauan. Oleh karena itu, tidak ada pengklasifikasian dalam sastra. Semua jenis teks itu setara. Mereka semua kacukan.
Pandangan Pak Maier menawarkan salah satu perspektif dalam melihat teks di ranah sastra Melayu secara khusus dan semua jenis teks secara umum. Tentang tidak adanya penggolongan teks, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan teman sekelas saya. Jika teks memang tidak diklasifikasikan, bagaimana kemudian cara kita untuk meneliti teks sastra populer misalnya? Karena selama ini kami diajarkan bahwa metode meneliti sastra populer berbeda dengan metode meneliti sastra adiluhung. Tapi pertanyaan saya memang tidak harus dijawab. Ilmu menawarkan begitu banyak interpretasi, apalagi ilmu bahasa. Tinggal memilih mana yang menurut kita cocok.