Rabu, 29 April 2009

Cinta dalam Sepiring Mie

Hari Sabtu belum lama ini, aku pulang dari kampus dengan wajah suntuk. Siapa sih yang tidak suntuk kalau selama seminggu penuh latihan debat debat dari jam lima sampai jam 9 padahal dari pagi sampai sore kuliah tidak pernah ada jeda. Dan yang paling parah, tugasnya kok ya tetep ada terus per mata kuliah. Hahhhh!!! Perlu diketahui juga bahwa sebenarnya aku adalah juara PP Jogja-Wates. Ini berarti aku tidak kost tapi bergantung pada kebaikan bapak-bapak sopir dan kernet jalur 15 dan bus Jogja-Wates tersayang. Karena ada latihan di malam hari, praktis aku tidak pulang selama berhari-hari dan aku homesick berat.
Jadi Sabtu sore yang teduh tidak bisa membangkitkan mental dan fisikku yang memang sudah loyo. Maunya ya terus tidur sajalah sampai pemberhentian berikutnya di bus yang aku tumpangi. Tiba-tiba aku lihat temanku masa SD, SMP, dan SMA yang bisa diajak gila-gilaan naik bus yang sama denganku. Aku berpikir, "Wah, perjalananku bakalan tidak mengasyikkan nih soalnya aku benar-benar capek."
Ya memang benar. Menit-menit pertama kita hanya ngobrol ngalor ngidul tidak jelas juntrungannya. Pokoknya tidak asyik seperti biasanya. Dia ngomongin ujian softwarenya yang agak susah dan aku sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakannya.
Wuahhhhhhh, tidak tahu kenapa, sampai di pertigaan dekat Borobudur Plaza dia nyeletuk,
"Gimana kalau kita nyoba makan masakan Aceh?" di saat aku memang sedang memperhatikan salah satu rumah makan masakan Aceh sambil memikirkan betapa enaknya makan di sana.
Jadilah gayung bersambut dan kami turun dari bus. Kami memesan dua porsi mie aceh. Aku pesan mie Aceh ayam dan Lina (ini nama orangnya) pesen mie Aceh cumi (kelihatannya lebih enak yak..?) lainnya hanya teh panas dua gelas.
Naaaaaaaaaaahhhhhhh, saat makan itulah aku melihat sesuatu yang membuatku ingin terus berada di rumah makan itu. Hoaaaaaahh, mas-mas yang masak mie pesanan kami lebih cakep dari Rizky Hanggono (maksudku mirip tapi lebih cakep). Pas aku mau lihat reaksi Lina, ternyata dia juga sibuk memandang mas-mas itu mungkin sambil berpikir "gimana rasanya ya kalau aku bisa membantu mengelap keringatnya yang dleweran ketika memasak mie pesanan kami". Saat itu juga aku baru tahu bahwa Lina dan aku sama-sama terkena pelet Aceh.
Nahhh, detik-detik yang menggemparkan adalah ketika kami harus membayar pesanan kami. Sambil sok-sok jaim (catatan: Lina tidak pernah jaim, jadi dari tadi dia senyum-senyum) aku dengan anggun (menurutku) menunggu Lina merampungkan pembayarannya. Total uang yang harus dia bayar adalah 12ribu. Masnya kemudian bertanya, "Ada dua ribu nggak Mbak?" (later on she told me that dia saat itu tidak konsen karena membayangkan akan membayar permintaan itu dengan kata-kata seperti ini, "Apa sih yang nggak buat kamu? Jangankan dua ribu..") Lina benar-benar sarap!
Akhirnya kami tidak sukses meninggalkan rumah makan itu karena hati kami tertinggal di sana (hoeeeekkkkk!!!).
Di bus tiba-tiba die nyeletuk, "Yan, besok kalau aku udah lulus kuliah, aku mau menekuni arsitektur Aceh." (Dia kuliah di arsitektur UGM). Karena aku nggak mau kalah, aku jawab, "Sehabis lulus, aku mau nranslate literatur Aceh ke bahas Inggris."(Aku kuliah di Sastra Inggris UNY dan tidak tahu satu pun kata dalam bahasa Aceh).
Sepanjang perjalanan ke Wates, kami hanya sibuk ngobrol dan semua hal yang kami bicarakan adalah hal tentang mas-mas tadi (duhhhhhhhh, pengen tahu namanya) dan Aceh secara keseluruhan. Mulai dari lagu Bungong Jeumpa (selain lagu daerah, ini juga nama rumah makannya), tari Saman, Rencong, sampai GAM (berlagak berat).
Akhirnya perjalanan berakhir. Kami turun di tempat yang sama tapi kami harus berpisah karena arah rumah kami berbeda. Pas aku berjalan menuju arah rumah sambil membayangkan muka si mas-mas tadi, aku langsung menyadari bahwa suntukku hilang sama sekali. Aku merasa sangat bersemangat. Sangatttt!!!
Kapan-kapan kita ke sana lagi ya, Lin! Cari vitamin buat mata dan perut kita. Hagzhagzhgahgz!!!

Rabu, 14 Januari 2009

panas!

Keadaaan bumi ini nampaknya perlu mendapat perhatian lebih dari penghuninya. Coba lihat bagaimana rupa lingkungan yang ada di sekitar, apalagi aku tinggal di negara di mana sebagian besar penduduknya sulit untuk diajak bekerjasama memperhatikan lingkungan, bahkan lingkungan tempat di mana mereka hidup. Sering sekali aku melihat seseorang dengan enaknya membuang sampah di sembarang tempat dengan santainya. Pernah kan memperhatikan wajah-wajah seperti itu? Yang karena sudah kenyang mungkin makan sebungkus makanan ringan atau seplastik es mambo, tangannya malas menggenggam sampahnya itu untuk sementara waktu sembari mencari tempat sampah terdekat. Lebih parah lagi beberapa bulan yang lalu aku dengan jelas melihat dari bus, ada seorang pria yang membuang sampah dari tempat sampahnya ke kali di samping rumahnya. Wajah itu! Oh, aku tidak akan pernah melupakan betapa santainya wajah itu. Seperti tidak memikirkan mengapa sekarang ini banyak banjir terjadi dan kenapa kali-kali di Jogja meluap mencapai rumah-rumah penduduk yang tinggal di bantarannya.
Sebenarnya kejadian seperti itu, ketidakpedulian pada lingkungan, tidak hanya terjadi di Jogja atau di Indonesia, namun juga di beberapa tempat di berbagai belahan duia ini dengan variasi. Aku cukup miris melihat hal ini. Bukannya bermaksud sok atau bagaimana, tapi kita sering kan membaca berita dari koran, majalah atau melihat berita di televisisi yang melaporkan bahwa di dunia ini banyak sekali bencana alam yang disebabkan oleh human-error. Nah, analoginya kemudian, karena ada bencana-bencaa seperti itu, manusia tentu saja bisa mengurangi dampaknya, bukan? Apakah kurang bukti yang menunjukkan bahwa sebenarnya global warming itu benar-benar ada, bukan isapan jempol belaka? Kok ya masih banyak saja orang yang mengatakan bahwa itu hanya isu.
Aku tergerak untuk menuliskan hal ini karena tadi malam aku melihat film yang cukup membuatku shocked. Tadi malam aku melihat film Jerman yang didubing dengan menggunakan bahasa Inggris. Tidak masalah sih, walaupun agak mengurangi efek naturalnya, menurutku. Sebenarnya ini film tidak ada hubungannya sama sekali dengan bagaimana kita harus menjaga lingkungan kita atau scenes yang menunjukkan bagaimana orang berjamaah merusak lingkungan, bukan hal-hal semacam itu. Film ini justru malah sebuah film perang-perangan antara beberapa penjahat dan seseorang yang ceritanya menjadi hero di situ. Keren memang. Judulnya The Clown, sedangkan judul bawahnya memang agak "lebay", The Pay Day.Wiiii, takut!Tapi ada yang lebih keren lagi menurutku. Di film ini, aku melihat bahwa di Jerman sana orang ternyata sangat menghargai lingkungan di mana mereka tinggal, yang juga didukung dengan peran pemerintah tentunya. Bayangkan saja, aku bisa menghitung dengan jari ada berapa mobil yang berseliweran di jalan tol di sana ketika salah satu adegan di film tersebut berlangsung! Coba bandingkan dengan berapa mobil yang berseliweran bisa kita hitung di jalan tol Indonesia dalam waktu satu menit! Alamak! Indonesia parah sekali. Aku memang mendengar dari oomku sendiri bahwa di Jerman sana orang memang memilih unutk naik public transportation seperti kereta bawah tanah. Ada satu fakta yang ingin aku sampaikan terkait dengan fakta ini, bahwa dulu Indonesia di awal pembangunan infrasuktur umumnya di zaman Orde Baru, ada dua ide yang disampaikan oleh para arsitek. Pertama adalah manjadikan jalan tol sebagai sarana transportasi utama, yang kedua mengajukan adanya kereta bawah tanah. Tentu saja proyek yang diterima adalah ide pertama. Tahu sendiri kan zaman itu zaman pemerintahan siapa. Dan tentu saja yang mendapat tender lagi-lagi juga orang yang dekat. Tahu kan,orang yang menerima dana tol paling banyak sekarang ini? Hal kedua yang membuat aku sedikit senang adalah di sana, walaupun di dekat kota, masih ada tempat yang sangat hijau. Ada jalan kecil seperti jalan pedesaan yang dikelilingi oleh perkebunan indah. Memang sepertinya ada di pedesaan sih, tapi pedesaan yang dekat kota, kan? Sedangkan di sini, ayo coba siapa bisa mencarikan aku tempat seperti itu?
Parah ya memang, keadaan bumi sekarang. Sampai-sampai, hanya melihat hal-hal kecilmengenai bagaimana orang bisa menjaga lingkungan tempat tinggalnya saja, aku shocked. Aku tidak bisa dan tidak mamu membayangkan keadaan bumi ini nanti di era my son, my grandson, my great grandson, and my great great great grandson. Fiuuuhhhh...Seperti apa ya kira-kira?

Senin, 05 Januari 2009

back off!!

Kenapa ya di hari-hari belakangan ini orang semakin tidak peduli dengan keadaan lingkungannya? Bukan hanya masalah bagaimana agar tidak berkontribusi terhadap global warming, tapi juga masalah sesama manusia, masalah kemanusiaan.

Sekarang ini berita yang paling santer diliput di televisi atau media pemberitaan manapun adalah agresi militer Israel ke Palestina. Hal ini seharusnya membuat banyak orang sadar akan apa yang sebenarnya terjadi. Tak perlu bertanya lagi tentu mereka akan mengetahui pihak mana yang bersalah dalam agresi militer tersebut. Tapi sepertinya dunia teman-temanku ayem-ayem saja dengan pemberitaan tersebut. Aku tidak akan membahas atau mengambil contoh terlalu jauh. Aku mengambil contoh teman-temanku saja. Saat kemarin aku bercerita bagaimana menderitanya rakyat Palestina karena ketidakadilan yang mereka terima dari sesama penduduk muka bumi ini, tanggapan mereka hanya simpel. Sebenarnya aku juga tidak mengharapkan tanggapan yang cukup dramatis dari mereka, tapi dalam kesimpelan yang mereka tunjukkan kemarin, aku tidak melihat ada rasa kasihan atau perhatian sedikit saja terhadap apa yang menimpa rakyat Palestina.

Apakah karena dunia semakin tua maka manusianya pun semakin digerogoti rasa kemanusiannya, rasa kasihannya antar sesama, dan perhatiannya yang seharusnya ditunjukkan pada orang yang menderita? Entahlah. Aku juga tidak bisa menjawab karena yang kulakukan untuk membuat penderitaan rakyat Palestina lebih ringan juga tidak bisa dianggap sebagai bantuan yang cukup berarti. Semoga Tuhan memberikan keringanan pada beban yang mereka rasakan.

Jumat, 02 Januari 2009

untuk Palestina...

Kau tahu, Saudariku,

Besok matahari akan muncul dari arah yang sama seperti kemarin
Tangkaplah bias keemasannya jika kau merasa harimu makin gelap

Pasir gurun yang lembut itu akan tetap terbang ketika angin berhembus
Dengarkanlah bisikannya kala kau tak mendapatkan satu pun kata penghibur

Angin yang bertiup tiap malam di negerimu yang indah namun penuh dengan puing akan menyapamu malam ini
Terimalah rangkulannya saat tak ada seorang pun yang mau memberikan bahunya untuk tumpuan kesedihanmu

Aku tidak tahu rasanya menjadi dirimu
Karena aku belum pernah berperang dengan batu dan kerikil
Karena aku belum pernah memiliki saudara yang pamit pergi tapi tak pernah kembali
Karena aku belum pernah mendengar suara bom yang menghantam masjid tempat aku biasa shalat tarawih
Karena aku belum pernah melihat orang-orang mati perlahan
Karena aku belum pernah menerima ketidakadilan sebanyak yang kau terima
Karena aku belum pernah...

Kau tahu, Saudariku,
Kau begitu cantik di mataku
Dengan jilbabmu yang melambai diterpa angin

Mari tengadahkan tangan
Kita berdoa bersama
Karena hanya tinggal itulah satu-satunya keadilan yang paling manusiawi di duniamu, bukan?