Jumat, 15 Maret 2013

PRAMOEDYA MENGGUGAT: MELACAK JEJAK INDONESIA



Buku setebal 407 halaman ini ditulis oleh Prof. Koh Young Hun, seorang profesor berkebangsaan Korea Selatan yang mendalami sastra Indonesia. Gelar doktornya ia dapatkan dengan meneliti karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini merupakan salah satu karyanya yang juga mengupas karya sang novelis yang, mengutip A. Teeuw, hanya muncul dalam satu generasi atau malah dalam satu abad. Format tulisannya mirip dengan karya ilmiah karena tulisan ini menelaah karya-karya Pram menggunakan pendekatan tertentu dan ada pula batasan masalah.
Prof. Koh memilih 7 novel karangan Pram untuk dijadikan fokus pembahasan karena karya-karya ini dianggap sebagai karya-karya terbesar Pram dan ketujuhnya bisa disebut sebagai novel sejarah. Ketujuh novel tersebut adalah: Tetralogi Bumi Manusia (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai. Dua pendekatan dipilih untuk meneliti novel-novel ini, yaitu sosiologi sastra dan pendekatan kemasyarakatan.
Penulisan sebuah karya fiksi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pribadi si penulis termasuk pandangan dan latar belakangnya. Prof. Koh mengerti benar akan hal ini. Oleh karenanya, sebelum membahas tentang karya-karya tersebut, dalam bab-bab awal ia menceritakan kisah hidup Pram, termasuk sepak terjangnya dalam Lekra (lembaga kebudayaan PKI) dan pandangannya tentang kesusasteraan. Dalam hubungannya dengan Lekra, Prof. Koh menekankan berkali-kali bahwa Pram hanya merupakan korban dari PKI. Ia dimanfaatkan oleh petinggi PKI untuk menduduki kursi Lekra karena saat itu Pram dianggap sebagai sastrawan yang berprestasi dan sangat mumpuni. Penyangkalan tersebut menjadi sangat menonjol dan malah membuat pembaca mempertanyakan kemungkinan Pram terlibat sangat jauh dengan PKI.
Kekekeuhan Prof. Koh beralasan karena selama ini Pram dan karya-karyanya dicap sangat “merah” oleh pemerintah Orde Baru dan beberapa karyanya dianggap membawa isu pertentangan kelas. Prof. Koh ingin membuktikan bahwa semua itu tidak tepat dan lewat buku ini ia menunjukkan bukti bahwa isu terbesar yang dibawa sesungguhnya adalah kemanusiaan. Ini ditunjukkan lewat karya-karyanya yang menyoroti keadaan manusia yang tertindas dan menderita. Pram mengemukakan masalah kemanusiaan dalam konteks bagaimana manusia berusaha melepaskan dirinya dari belenggu yang merongrong dirinya. Belenggu itu bisa direpresentasikan oleh berbagai hal, mulai dari kemiskinan sampai dengan budaya.
Pram juga memiliki pandangan pribadi tentang bagaimana sastra seharusnya ditulis. Ia dikenal sebagai pengikut realisme sosialis, sebuah pandangan yang dikemukakan Maxim Gorky, yang merupakan metode dasar satra dan kritik yang menuntut agar para pengarang memberikan perhatian yang setia, penuh kebenaran, dan konkret berdasarkan ideologi, dan latihan para buruh dalam semangat sosialisme (hlm. 68). Oleh karenanya, Pram sangat menentang karya sastra yang hanya menghargai kebahagiaan perseorangan sebagai hasil akhir. Alasan ini jugalah yang membuatnya menentang humanisme universal. Ia sangat menentang sastra yang hanya bersifat fantasi dan tidak mementingkan realitas. Hal ini merupakan representasi dirinya yang sangat sensitif akan perosalan kemanusiaan. Menurut Prof. Koh, hal ini berbeda dengan tujuan komunisme yang berfokus pada pertentangan golongan.
Prof. Koh melalui wawancara yang dilakukannya dengan Pram sebelum meninggal menyimpulkan bahwa Pram sangat terinspirasi oleh gerakan Samin. Gerakan Samin adalah gerakan perlawanan rakyat jelata yang muncul sekitar tahun 1890 di Jawa terhadap kesewenang-wenangan pemerintah Belanda. Ciri khas gerakan ini adalah perlawanan tanpa kekerasan (passive resistance). Orang-orang Samin juga dikenal egaliter. Mereka hanya menggunakan bahasa Jawa ngoko untuk berkomunikasi. Berbeda dengan orang-orang Jawa kebanyakan yang menganut tingkatan bahasa. Dua hal ini terlihat jelas termanifestasikan dalam karya-karya Pram. Tokoh Minke bisa dijadikan sebagai contoh. Ia berjuang dengan menulis dan menerbitkan harian berbahasa Melayu untuk menyadarkan bangsanya atas ketertindasan yang telah mengakar selama ratusan tahun. Minke juga menolak tradisi Jawa yang memposisikan manusia berdasarkan kasta.
Dalam hal ini, Pram dikenal keras menentang feodalisme budaya Jawa yang mengungkung dan tidak membebaskan individu untuk berkarya dan berusaha mengubah keadaan. Berubahnya keadaan bagi masyarakat Jawa dianggap dapat merusak keseimbangan kosmos. Kepercayaan ini membuat masyarakat Jawa terbatas inisiatifnya untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik dan cenderung menerima keadaan. Tokoh Minke dalam Bumi Manusia yang telah mengenyam kebudayaan Barat dan berasal dari keluarga priyayi menyadari kekurangan ini. Ia tergerak untuk mengubah nasib bangsanya yang terjajah. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah menyadarkan mereka. Dan ia memilih bidang penulisan sebagai jalan perjuangannya. Ia didukung oleh seorang tokoh wanita bernama Nyai Ontosoroh, seorang wanita korban feodalisme dan kolonialisme. Saat remaja ia dijual oleh sang ayah pada pejabat Belanda untuk dijadikan gundik. Selama menjadi gundik itu ia dikenalkan dengan pendidikan Eropa oleh sang pejabat Belanda, Herman Mellema. Pada akhirnya, Nyai Ontosoroh muncul sebagai wanita pebisnis sukses dan berpengaruh.
Minke juga mengembangkan jalan perjuangannya dengan membentuk sebuah organisasi modern pribumi yang pertama. Ia menamainya Sarekat Islam. SI berbeda dengan organisasi pribumi sebelumnya karena ia tidak membatasi diri untuk kalangan tertentu. Ia merangkul semua suku dan bangsa yang ada di Hindia Belanda. Ia juga tidak terbatas hanya pada golongan priyayi. Perjuangan Minke ini memang berakhir tragis dengan kematiannya. Namun Pram telah menunjukkan peran seorang pribumi Indonesia yang telah mengenyam pendidikan Barat namun memilih untuk melawan kolonialisme yang seharusnya bisa memberinya kenyamanan. Novel sejarah ini berbeda dengan novel-novel sebelumnya karena menyajikan 4 hal yang berbeda: citra pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya bangsa, gerakan kebangkitan bangsa, dan peranan wanita dalam peralihan zaman (hlm. 89).
Dalam menyikapi novel sejarah, pembaca besar kemungkinannya tidak menemukan cerita yang sama persis dengan fakta sejarah karena novel sejarah tetaplah sebuah novel yang memuat sebuah alur cerita fiksi. Penulis bebas untuk menyajikan tokoh-tokoh rekaan yang sesuai dengan zaman tersebut ataupun tokoh-tokoh nyata dari zaman tertentu. Namun penulis tetaplah memiliki misi yang ingin disampaikannya. Begitu pula Pram dan novel-novel sejarahnya. Yang terpenting dalam novel sejarah adalah ceritanya mampu membawa pembaca seolah-olah merasakan masa atau zaman di mana cerita tersebut menjadi latar belakang. Dalam Arok Dedes, Pram menyoroti proses penggulingan kekuasaan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung oleh Ken Arok. Kisah tersebut menurut Pram adalah kudeta pertama dalam sejarah Indonesia. Lewat kelicikan dan pengorganisasian massa, Ken Arok menggulingkan sang Akuwu lewat tangan Kebo Ijo. Sang Akuwu tewas di tangan Kebo Ijo. Apabila dilihat lebih seksama, cerita Arok Dedes adalah representasi dari kudeta September 1965 ketika kekuasaan beralih dari Soekarno ke Soeharto. Adanya kelicikan, strategi, pengorganisasian massa, dan pertumpahan darah sama dengan peristiwa September 1965.
Novel sejarah Pram yang lain adalah Arus Balik. Novel ini menyoroti kehancuran kekuasaan laut Nusantara karena kedatangan bangsa Eropa dan dimulainya episode awal kolonialisme Eropa di Nusantara. Pram percaya bahwa bagi Nusantara, laut memiliki posisi yang lebih penting daripada darat. Sayangnya, raja-raja Nusantara lebih mementingkan kepentingan sendiri dan tidak menghiraukan bahaya Eropa yang mulai mendekat. Raja-raja terebut peragu karena terlalu setia pada dasar-dasar lama. Mereka kemudian tak kuasa untuk membendung hal-hal baru yang datang secara bersamaan. Inilah kunci kehancuran kerajaan Nusantara. Akibatnya, semakin jarang kapal-kapal Nusantara yang berlayar ke Utara. Sebagai gantinya, makin banyak kapal-kapal dari Utara yang masuk ke Nusantara membawa barang-barang dan ide-ide baru.
Gadis Pantai adalah representasi Pram tentang feodalisme Jawa yang tidak berpihak pada rakyat kecil dan wanita. Novel ini menggambarkan posisi perempuan dalam budaya feodal Jawa. Kalangan priyayi sering mengambil perawan dari kalangan rendah untuk dijadikan istri sementara sebelum si priyayi mendapatkan istri sebenarnya yang berasal dari golongan yang sama. Setelah menemukan istri dari strata yang sama, perempuan jelata tersebut akan dikembalikan ke orang tuanya. Perempuan dalam budaya Jawa, utamanya perempuan melarat dan dari kalangan rendahan, hanya dianggap sebagai benda. Gadis Pantai Pram adalah potret wanita dengan segala keterbatasannya yang mencoba untuk melawan budaya feodal tersebut. Ia sering mempertanyakan ketidakadilan yang terjadi antara sang Bendoro dengan bapaknya di kampung nelayan, maupun antara dirinya setelah tinggal di rumah sang Bendoro dengan mbok embannya. Gadis Pantai memang tak kuasa mengubah sistem yang sudah mendarah daging di masyarakatnya, namun ia melawan melalui penolakannya untuk bersifat dan bertingkah sama seperti masyarakat kebanyakan.
Sosoknya memang berbeda dengan Nyai Ontosoroh yang berinisiatif untuk membebaskan dirinya dari pandangan remeh orang-orang di sekitarnya. Nyai Ontosoroh menenggelamkan sebutan gundik dengan tampil menjadi seorang pebisnis sukses dan wanita yang berpengaruh. Sedangkan Gadis Pantai bersikap pasrah pada keadaan yang tidak adil. Ia terus hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ia temukan jawabannya.
Dalam novel-novel Pram, Prof. Koh menemukan gambaran nyata masyarakat Indonesia yang jejaknya dapat ditelusuri sejak ratusan tahun silam. Di dalamnya ternyata ada banyak ketimpangan namun Pram menggambarkan bagaimana di setiap zaman ada saja orang-orang yang bertekad kuat dan berjuang memperbaiki ketimpangan tersebut. Beberapa di antaranya kalah dan tak berhasil sedang beberapa yang lain mampu membawa masyarakat zamannya merasakan perbedaan yang selangkah lebih maju. Namun semuanya telah mencoba. Tidak ada tokoh-tokoh utama  Pram yang pasif dengan keadaan sekitar. Dinamika sejarah Indonesia memang dibentuk oleh orang-orang bertekad kuat seperti tokoh-tokoh Pram. Oleh karenanya, novel-novel Pram dapat dikatakan sebagai representasi masyarakat Indonesia dari zaman ke zaman. 

Kamis, 14 Maret 2013

TAN MALAKA: BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN



Nama Dwitunggal Soekarno-Hatta dan Triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan ketiganya dinobatkan sebagai bapak bangsa. Sebenarnya ada sebuah nama lagi yang samar-samar pernah terdengar tapi sosoknya masih kabur. Dialah Tan Malaka, penggagas ide Republik Indonesia yang buku-bukunya menjadi acuan para pemuda revolusioner yang turut serta dalam perjuangan awal merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme. Salah satu dari para pemuda ini adalah Soekarno.
Tan Malaka adalah seorang putra Minang. Nama aslinya adalah Ibrahim. Di usia yang belum genap 17, ia menerima gelar Datuk Tan Malaka. Gelar tersebut diperuntukkan bagi anak tertua keluarga Simabur yang diwariskan secara turun-temurun sebelum sang ayah meninggal sehingga nama lengkapnya pun menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia bersekolah di Sekolah Raja di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) dan setelah lulus, dengan bantuan gurunya yanag bernama G.H. Horensma, ia dapat meneruskan pendidikannya ke Kweekschool (sekolah guru) di Haarlem, Belanda. Biaya untuk melanjutkan studinya didapatkan dari patungan para pemuka warga di kampungnya. Mereka mengumpulkan f 30 per bulan. Biaya ini dihitung sebagai utang dan saat pulang nanti, Tan harus membayar dengan uang gajinya. Pada akhirnya ia tak bisa membayarnya karena gagal menjadi seorang guru. Ia menjadi seorang revolusioner yang bertualang dari satu negara ke negara lain.
Petualangannya menjadi seorang revolusioner dimulai saat ia mendengarkan diskusi hangat teman-teman satu kostnya. Sejak saat itu, ia rajin menyelami pemikiran-pemikiran politik dan mendapatkan informasi terkait melalui buku dan berbagai macam surat kabar yang akhirnya membuatnya tertinggal di pelajaran sekolahnya.  Ia juga mulai aktif menghadiri rapat-rapat yang sering diadakan Himpunan Hindia. Tan memutuskan pulang ke Indonesia tahun 1919.
Di Indonesia, Tan menjadi guru sekolah rendah di perkebunan teh Belanda di Deli. Di sana ia melihat penderitaan kuli kontrak dan sering menampung keluh-kesah mereka. Minimnya pendidikan membuat kuli-kuli buta huruf ini terjerat kontrak yang tak mereka pahami. Melihat kenyataan tersebut, Tan bermimpi untuk mendirikan sebuah sekolah yang pada akhirnya terwujud berkat dukungan Sarekat Islam. Ia mendirikan sekolah rakyat bersama dengan Semaun yang merupakan tokoh Sarekat Islam Kiri. Di sekolahnya, selain mengajarkan ilmu pengetahuan umum seperti menulis dan berhitung, ia juga mengenalkan organisasi dan demokrasi. Sekolah dengan gaya seperti ini menginspirasi didirikannya sekolah-sekolah serupa di berbagai kota.
Pemerintah kolonial Belanda membuangnya ke Belanda karena dituduh menjadi dalang pemogokan buruh pelabuhan dan minyak. Di Belanda, ia mulai aktif di Partai Komunis Belanda. Ia sempat berpidato di Kongres Komunis Internasional (Komintern) ke-4 di Moskow. Isi pidatonya mengenai aliansi komunisme dengan Pan-Islamisme. Selama ini komunisme menganggap Pan-Islamisme sebagai representasi imperialisme padahal Pan-Islamisme juga sedang berjuang melawan imperialisme. Pandangannya ini turut mewarnai jalan perjuangannya saat sampai di Indonesia nanti. Idenya untuk merangkul golongan Islam dianggap menghianati cita-cita komunisme. Ia dianggap menyimpang dari perjuangan utama kaum Bolsyewik dan disebut sebagai pengikut Tolstoy. Tujuan utamanya memang bukan membebaskan tanah airnya dari sistem masyarakat berkelas-kelas tapi menyatukan mereka untuk mencapai Republik Indonesia yang diidam-idamkannya. Tan menulis konsep Republik Indonesia ini dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).
Setelah tinggal di Rusia, ia kemudian memulai perjalanan panjangnya menjadi wakil Komintern di Asia Timur dan pelarian di beberapa negara Asia seperti China, Filipina, Singapura, Thailand, Burma, Singapura, dan Malaysia. Saat di Kanton (sekarang Guangzhou), ia sempat bertemu dengan dr. Sun Yat Sen yang dikaguminya. Saat di Filipina ia sempat menjadi kontributor harian El Debate. Saat di Thailand, ia sempat mendirikan Partai Republik Indonesia namun partai ini mati suri. Ia sering tertangkap namun biasa meloloskan diri. Tuduhannya menjadi agen Bolsyewik dari Jawa. Selama periode ini, ia menggunakan paling tidak 7 nama samaran dan 13 alamat yang berbeda.
Tan memutuskan untuk pulang ke tanah air dan memulai sepak terjangnya. Tahun 1942, Tan tinggal di Rawajati dan di tahun berikutnya mendaftar sebagai kerani (juru tulis) di pertambangan batu bara yang dikelola Jepang di daerah Bayah, Banten. Ia menggunakan nama alias Ilyas Hussein. Saat itu pulalah ia mulai menulis sebuah buku yang dianggap sebagai karya terbesanya, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Rizal Adhitya Hidayat, pengajar di Universitas Esa Unggul dan peneliti Lemhanas, mengatakan bahwa Madilog merupakan sintesa pemikiran Hegel yang mengedepankan ide sebagai kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) dengan pemikiran Marx-Engels tentang materialisme. Tan mensintesakan keduanya dalam rangka mencapai sebuah masyarakat yang berbudaya pasif menjadi kelas sosial baru yang berlandaskan sains dan bebas pikiran mistis.
Persinggungannya dengan kuli-kuli romusha saat bekerja sebagai juru tulis di Banten mengobarkan semangat perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia. Ironis karena dia malah tidak terlibat dalam deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia sama sekali tidak tahu saat proklamasi dibacakan. Namun, Tan sangat mendukung Republik yang baru berdiri itu. Ia adalah salah satu tokoh yang menggerakkan massa dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945 untuk menggalang dukungan rakyat terhadap proklamasi yang dengungnya belum begitu keras.
Walaupun tidak terlibat langsung dalam proklamasi kemerdekaan RI, Tan merupakan sosok yang dipercaya Soekarno. Pada 30 September 1945, Soekarno mengadakan sebuah pertemuan yang dihadiri Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, dan Gatot Taroenamihardjo di kediaman Ahmad Subardjo. Isi dari pertemuan tersebut adalah kesepakatan memilih Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu dengan Soekarno-Hatta. Soekarno kemudian menemui Hatta dan menyampaikan hasil pertemuan. Hatta tidak menyetujuinya dengan alasan bahwa Tan Malak adalah tokoh kiri. Hal ini pasti akan menimbulkan gejolak politik. Hatta mengusulkan bahwa penerus revolusi harus berasal dari 4 kutub sehingga dipilihlah Tan Malaka (kiri), Sutan Sjahrir (kiri-tengah), Wongsonegoro (kanan-feodal), dan Soekiman (Islam). Soekarno menyetujui usul ini.
Dalam pertemuan 1 Oktober, posisi Soekiman diganti dengan Iwa dengan pertimbangan bahwa Iwa yang merupakan sahabat Soekiman dekat dengan kelompok Islam. Kemudian surat wasiat diketik, dibuat rangkap 3, dan ditandatangani Soekarno-Hatta. Soebardjo diamanahi untuk memberikan wasiat tersebut kepada Sjahrir dan Wongsonegoro namun pada akhirnya wasiat tersebut tak sampai. Diduga ini karena Subardjo kecewa Tan Malaka bukan calon pewaris tunggal. Namun Soebardjo dalam bukunya, Kesadaran Nasional, menyangkal dengan mengatakan bahwa situasi revolusi yang tak menentu menghambatnya untuk menyerahkan wasiat tersebut.
Dalam mewujudakan cita-citanya, Tan sangat anti kompromi dengan penjajah, baik Jepang maupun Belanda. Oleh karenanya, berseberangan dengan Sekarno-Hatta-Sjahrir yang memilih jalan diplomasi. Bersama Soedirman (Jend.), Tan berada dalam garda terdepan dilakukannya perang gerilya. Ia juga pernah dipenjara karena dituduh akan mengkudeta Soekarno-Hatta. Setelah dibebaskan pada 1948, ia mendirikan Partai Murba.
Saat bergerilya melawan agresi militer Belanda di Selopanggung, Kediri, ia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur. Menurut sejarawan Belanda yang menghabiskan 36 tahun untuk meneliti Tan Malaka, Harry A.Poeze, Soekotjo salah menafsirkan perintah Panglima Soengkono yang mengatakan “hukum militer” sebagai “tembak mati” pada 21 Februari 1949. Tan diburu karena ia dituduh melawan Soekarno-Hatta. Sebenarnya teori tentang kematian Tan Malaka ada berbagai versi, namun sebagai pembaca, saya menggunakan versi Poeze dengan pertimbangan Poeze telah sekian lama memfokuskan diri pada penelitian tentang Tan sehingga memiliki teori dan pertimbangan paling kuat saat menyebutkan penyebab kematian Tan.
Sosok Tan Malaka selama ini dipercaya sebagai tokoh komunis sehingga namanya dihapus dalam buku sejarah Orde Baru untuk mengecilkan jasanya. Pada kenyataannya, ia sendiri ditolak oleh rekan-rekan seperjuangannya di PKI karena dianggap menghianati perjuangan dengan membela golongan Islam dan dituduh menjadi dalang gagalnya pemberontakan PKI pada tanggal 12 November 1926-12 Januari 1927. Saat itu Tan masih berada di Filipina sebagai agen Komintern yang dikejar-kejar polisi internasional. Padahal Tan sudah sedari awal menolak pemberontakan tersebut karena tahu akan gagal. Ia beranggapan bahwa saat itu PKI belum siap.
Sosoknya yang jarang ditampilkan namun berandil besar dalam sejarah Republik ini juga dilukiskan dalam sebuah roman bertema spionase yang terisnpirasi oleh kehidupan revolusionernya yang berjudul Patjar Merah Indonesia karangan Hasbullah Parindurie yang menulis dengan nama samaran Matu Mona. Banyak orang yang menyamar menjadi dirinya karena karisma yang dimunculkannya lewat perjalanan hidupnya mengembara di berbagai negara mampu menginspirasi banyak pemuda kala itu dan membuat beberapa pihak ingin memanfaatkannya.
Pada akhirnya, saya harus berterima kasih kepada Tempo karena telah berjasa untuk membawa kembali sosok Tan Malaka ke hadapan masyarakat Indonesia yang selama ini kehilangan bayangan tentangnya. Tan layak disebut sebagai bapak bangsa karena pemikiran orisinilnya yang ia tuangkan dalam buku-bukunya serta prinsipnya yang kuat untuk tidak mau berdiplomasi dengan Belanda. Walaupun ia sedikit berbeda dengan kebanyakan tokoh nasional lainnya karena selalu memilih di balik layar, perannya yang besar sampai kemudian dipercaya Soekarno sebagai pewaris perjuangan tidak bisa dinafikkan.
Tempo menyusun cerita kehidupan Tan tidak secara kronologis. Mungkin dengan tujuan agar pembaca mengenal peran utamanya terlebih dahulu bagi republik ini sekaligus menjawab teka-teki terbesar tentang siapa sebenarnya orang Minang ini. Selamat membaca!

Selasa, 05 Maret 2013

5 FAVORITE SONGS FROM JOHN MAYER



      If I have to choose ten of my favorite musicians, John Mayer will be definitely included in it. Like most of all girls throughout the world who admire him, I am maybe bewitched by his charm and incredible music skill. I admit that most girls are easily attracted by guys who are able to play music instruments, mostly guitars. But most of all, his songs have quality that capture the entire consciousness of mine. Nearly often I find myself relaxed or mad or in love while listening to his songs. There are lots of his songs which are able to make me behave as such, but among all of them, there are several that I will be called as the arresting ones. These choices are really personal, so subjectivity plays an important part here. Nothing to do with musical quality or technique analysis because I am not an expert in music. I will be sincerely grateful being called as merely a fan of him. And here are some of them as listed randomly:

1. Gravity (Continuum, 2006)
Too often we are beaten by reality and burdened by a number of problems. Gravity is a good metaphor to convey an understanding that as human beings, often we do not have the capability to lift up the burden and feel free from the problems. The song asks us to enjoy the process of making an effort to free from the burden and continuing to look for the way out. There is always light nearby that guides us. His guitar rhythm and melody are quite soothing.

2. Stop This Train (Continuum, 2006)
I play the song quite often. Mostly when I am questioning many things about life. You must be often having that kind of feeling when you wish that time what would it become when time machine existed. The song makes me realize that turning back time is the silliest thing human beings can think of because our life is like the journey of a train. We cannot ask the train to stop at anytime and let us turn back just to see the scenery that we have passed. The only thing we can do is remain with what is still left and make the best of it until we reach the last destination. It is kind of sad when you listen to this song when you are deeply down but at the same time it also neutralizes your sadness and despondency. You still have time to make everything better. And most of all, this song never once blames us for what we have been through.

3. Your Body Is a Wonderland (Room for Squares, 2001)
I have no idea how he is so witty to describe love-making in well-chosen and classy diction. He uses some metaphors to illustrate his lover’s beauty when they’re both having sex. It doesn't make this song sound vulgar at all. On the other hand, the song is clearly a masterpiece that brought him his first Grammy in 2003. As a woman, I fell touched and special each time I listen to this one. Also, the acoustic throughout the song is simply relaxing.

4. Why Georgia (Room for Squares, 2001)
I heard that Georgia is the state from where he started his career. I can tell how well he remembers every inch of his life in the state just by listening to this one. He portrays it in the lyrics and makes the listeners feel the early step that he took to pursue his dream. He brings them to walk with him and told when he would jump, leap, or just walk coolly. The acoustic in the beginning of the song is captivating.

5. St. Patrick’s Day (Room for Squares, 2001)
The song conveys a message that separation is a possibility in relationship. While realizing that the fact is there, what lovers should do is enjoy the togetherness up to the last moment. John Mayer tells the journey of lovers from the very first time they meet, relish the process of getting to know each other, enjoy every celebration in every month, and wait for the worst possibility that might happen in St. Patrick’s Day. They do not mind if it finally happens. It tells how lovers should be grown-ups in reacting upon separation.