Rabu, 06 Agustus 2014

JALAN TAK ADA UJUNG


Dari beberapa karya Mochtar Lubis yang pernah saya baca, Jalan Tak Ada Ujung sampai saat ini masih jadi favorit saya. Sudah tak terhitung berapa kali novel ini telah saya baca gara-gara novel ini menjadi salah satu koleksi sepupu dan dapat dengan mudah dijangkau di rak bukunya. Sejak saya belum sekolah sampai SMA kelas 2, saya tidak pernah absen untuk menghabiskan waktu liburan di rumah Pakdhe dan Budhe yang ada di kota sebelah. Jalan Tak Ada Ujung telah menemani hari-hari libur saya di sana selama tahun-tahun tersebut selain novel-novel Mira W, majalah Bobo dan Djaka Lodhang. Ada mungkin 10 kali buku ini telah saya baca.
Bersetting bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan, novel ini bercerita seputar kehidupan seorang guru bernama Isa yang merasa dirinya lemah dan penakut. Selama ini ia berusaha keras untuk menyembunyikan ketakutannya tersebut sehingga tidak ada orang yang tahu. Ia takut pada zaman yang semakin sulit, ia takut pada gajinya yang tersendat, ia takut pada NICA, ia takut menjadi kurir para pejuang. Rasa takutnya membuatnya menjadi lemah dan berimbas pada ketidakmampuannya untuk melayani istrinya di ranjang. Guru Isa sadar bahwa darahnya tak lagi meletup-letup seperti dulu kala. Ia kini telah hampir padam.
Guru Isa menjadi kurir para pejuang kemerdekaan yang mencegah kekuatan pihak asing, baik itu Belanda maupun Inggris, untuk kembali menanamkan pengaruhnya di republik yang sudah merdeka. Tugasnya hanya berkisar di antara menyampaikan pesan atau mencari kendaraan untuk mengangkut amunisi para pejuang. Dalam melakukannya, ia merasa terbebani dan menderita karena rasa takutnya. Ia sering bermimpi terjebak dalam sebuah jalan yang tak ada ujung. Saat ia takut dan berniat kembali, jalan di belakangnya telah menghilang.
Rasa takut Guru Isa ini berbanding terbalik dengan semangat Hazil yang menyala-nyala. Hazil adalah seorang pemuda yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ia mengorganisir banyak hal untuk melancarkan perjuangan. Ayahnya adalah seorang mantan pegawai kolonial yang mengutuk zaman kemerdekaan karena membuat hidupnya susah tanpa pekerjaan, penghasilan, dan pengaruh. Ayah Hazil adalah contoh generasi tua yang lebih memilih untuk mendukung kolonisasi asalkan hidupnya tenang dan tercukupi, sedangkan Hazil adalah kebalikannya.
Seperti Guru Isa, Hazil adalah seorang penggemar musik sekaligus pemain biola yang mahir. Ia sering berkunjung ke kediaman Guru Isa untuk berlatih dan membuat komposisi lagu bersama. Dengan hadirnya Hazil, hidup Guru Isa sedikit lebih bersemangat. Intensitas kunjungan Hazil ke rumah Guru Isa pun mendekatkannya dengan Fatimah, istri Guru Isa. Kedekatan itu pun berbuah menjadi rasa suka dan Hazil mampu memenuhi tempat Guru Isa yang selama ini tidak mampu untuk membahagiakan sang istri. Pada akhirnya Guru Isa diam-diam mengetahui hubungan tersebut, namun tidak ada yang dapat dilakukannya. Ia cenderung menyalahkan dirinya sendiri yang lemah.
Perjanjian Linggarjati yang dinilai merugikan Indonesia membuat para pejuang ingin menunjukkan bahwa mereka masih memiliki taring. Direncanakanlah untuk melemparkan granat pada sekumpulan tentara Belanda yang baru keluar dari bioskop Rex. Tugas itu akan dipasrahkan pada Hazil dan Rakhmat. Sedangkan Guru Isa bertugas mengamati berhasil tidaknya lemparan granat tersebut dan seberapa parah dampaknya. Granat tersebut hanya menewaskan beberapa serdadu. Namun, setelah itu Guru Isa dibayangi ketakutan akan polisi militer yang memburunya.
Pada akhirnya, polisi militer behasil mengankap Hazil. Setelah menerima berbagai siksaan, ia menyebut nama Rakhmat dan Guru Isa. Jadilah Guru Isa diciduk dan dibawa ke tahanan. Ia juga menerima siksaan yang tiada henti. Namun mulai dari sini, ketakutan dalam diri Guru Isa mulai menghilang. Ternyata apa yang dibayangkannya selama ini tidak semenakutkan apa yang dialaminya. Ia masih bisa bertahan. Kesadarannya ini menumbuhkan kembali keberaniannya. Ia merasa darahnya mulai kembali panas dan bersemangat. Sebaliknya, Hazil menjadi rapuh dan terjebak dalam ketakutannya.
Dengan bahasa yang lugas, novel ini justru bisa membawa kepada sebuah situasi manusiawi yang dialami oleh kebanyakan masyarakat di zaman tersebut. Setiap orang memiliki ketakutannya masing-masing. Namun di antara ketakutan dan rasa putus asa yang mengikuti, ada juga harapan akan masa depan yang lebih baik yang memunculkan kebahagiaan.
Dari sisi sejarah, novel ini bisa menggambarkan sisi gelap perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan tersebut bisa mengorbankan segalanya, termasuk kemanusiaan. Ada bagian di mana Guru Isa, Hazil, dan Rakhmat bertemu dengan anggota pejuang kemerdekaan yang tak segan menyembelih orang lain tanpa banyak pertimbangan. Semua yang dianggap mencurigakan langsung dihabisi. Nurani mereka terkoyak saat menyaksikan dua tubuh hasil sembelihan yang mulai membusuk. Perang kadang memang menghasilkan orang-orang biadab yang kehilangan nurani.
Di masa itu, manusia di Jakarta, mulai dari tukang becak sampai pegawai berjuang mati-matian untuk bisa sekedar makan. Kondisi yang tidak aman memperlambat pasokan bahan makanan dan menimbulkan kelangkaan sehingga harga-harga cepat naik. Berhutang adalah hal yang lumrah. Namun, di antara semua kekurangan dan bayang-bayang pencidukan oleh polisi militer karena dituduh musuh, masih ada harapan yang bisa bertransformasi menjadi senda gurau saat bertemu kawan. Semua orang Indonesia tidak ragu untuk mengucapkan salam “Merdeka!” tiap bertemu orang Indonesia yang lain. Mereka bisa sangat dekat dan tidak ragu untuk menolong. Tidak ada kesenjangan karena semua orang susah dan berjuang. Sangat berbeda dengan novel Mochtar Lubis yang berjudul “Senja di Jakarta” yang menggambarkan sebuah bangsa di alam merdeka yang justru punya kesenjangan sosial teramat lebar. Fakta lain yang menurut saya menarik adalah masyarakat zaman itu menyebut tentara dengan sebutan “ubel-ubel”. Ini ditujukan bagi tentara sekutu yang kebanyakan berasal dari India dan menggunakan kain yang dililitkan (Jawa: diubelke) di kepala.
Secara pribadi novel setebal 167 halaman ini membuat saya melihat pergulatan yang dialami oleh seorang manusia di dunia ini dengan rasa takutnya. Saya pikir, siapapun yang membacanya pasti tidak akan asing dengan pergulatan tersebut. Kita pun punya pergulatan dalam diri masing-masing. Selamat membaca!

Selasa, 05 Agustus 2014

HARIMAU! HARIMAU!


Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975, judul awal buku ini bukanlah Harimau! Harimau! namun Hutan. Novel yang dikarang saat Mochtar Lubis mendekam di penjara di Madiun ini menerima penghargaan buku terbaik dari Yayasan Buku Utama pada tahun 1975 dan Yayasan Jaya Raya di tahun 1979 serta telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti Inggris dan Belanda.
Novel ini bercerita tentang tujuh pencari damar yang harus berjuang hidup dan main petak umpet dengan harimau yang memburu mereka. Ketujuh orang itu adalah Sutan, Talib, Sanip, Wak Katok, Pak Balam, Pak Haji, dan Buyung. Masing-masing dari mereka memiliki masa lalu dan dosa yang mereka anggap sebagai penyebab dari diburunya mereka oleh sang harimau. Mereka bergelut dengan pertanyaan apakah harus mengakui kesalahan mereka selama ini atau menyangkal dan menyimpannya dalam-dalam agar harimau tidak memburu mereka lagi. Ada yang mudah tergoda dengan wanita, ada yang dengan sengaja membunuh teman sendiri saat zaman perjuangan, ada yang mencuri, ada yang berzina, ada yang menipu, ada yang tidak percaya dengan manusia lain dan Tuhan, singkatnya semua hal yang dianggap buruk terkumpul dalam dosa dan masa lalu ketujuh tokoh tersebut.
Menarik saat membicarakan rasa percaya mereka bahwa harimau yang mereka hadapi adalah harimau jadi-jadian yang dikirim untuk menghukum. Hal ini memunculkan perdebatan di antara para tokoh tentang apa yang harus dilakukan untuk menolak hukuman. Satu-satunya cara yang disepakati adalah mengatakan dosa dan masa lalu. Pilihan ini sebenarnya banyak ditentang oleh semuanya, kecuali Pak Balam yang mengusulkannya saat menunggu ajal datang setelah diterkam harimau. Semuanya ingin sembunyi dan lari dari dosanya dan meyakinkan diri sendiri bahwa harimau yang ada hanyalah harimau biasa yang sedang lapar.
Namun kemudian Talib diterkam. Selanjutnya Sutan. Dan yang lain mulai mempertanyakan kemungkinan bahwa memang benar yang datang adalah harimau siluman. Tapi yang lebih penting adalah pergelutan mereka dengan hati nurani sendiri. Benarkah semua hal buruk yang dilakukan di masa lalu itu adalah dosa? Atau hanya hal biasa karena setiap orang pun berdosa dan lumrah dilakukan. Lagipula dosa pribadi mereka tidak terlalu besar dibandingkan dosa teman yang lain.
Pada akhirnya hanya tinggal Buyung, Sanip, dan Wak Katok. Di situasi yang mengharuskan mereka berhadap-hadapan dengan sang harimau, terlihat watak asli Wak Katok. Ia yang selama ini dianggap sebagai pemimpin karena karisma dan ilmunya ternyata hanyalah manusia biasa yang penuh dengan rasa takut. Semua orang salah menganggapnya sebagai seorang yang bijaksana. Ia memperkosa istri-istri musuh di zaman perjuangan, membunuh teman sendiri, menipu warga desa, dan juga berzina dengan Siti Rapiah, istri muda Wak Hitam yang pondoknya di tengah hutan mereka tinggali saat mencari damar. Di akhir cerita, Wak Katok benar-benar hancur sebagai manusia. Tidak ada dari harga dirinya yang tertinggal di mata Buyung dan Sanip yang berhasil membunuh harimau yang ternyata hanyalah harimau lapar.
Satu hal yang membuat buku yang terdiri dari tujuh bab ini menjadi salah satu novel Indonesia favorit saya adalah kemampuannya untuk membuat pembacanya tidak beranjak sebelum cerita selesai, apalagi untuk yang baru pertama kali membacanya. Mungkin alasan tersebut berkorelasi dengan fakta bahwa cerita dalam novel ini adalah tentang cara-cara berbagai manusia bertahan hidup dari ancaman harimau. Karakter setiap tokoh berfungsi seperti petunjuk yang membuat pembaca mengira-ngira siapa lagi yang akan mati terkena terkaman sang raja hutan. Dengan mangikuti alurnya, akan tampak satu demi satu, siapa saja yang akhirnya meregang nyawa.
Sebenarnya ini bukan kali pertama saya membaca Harimau! Harimau!. Terhitung ini sudah yang ketiga kalinya. Namun tidak seperti menonton film, membaca buku menurut saya bisa memberi pembaca perspektif baru walaupun yang dibaca adalah buku yang sama. Tiga kali proses pembacaan yang saya pernah lakukan pada novel ini mengantarkan pada pemahaman yang semakin kaya. Jika pengalaman membaca yang pertama (kelas 2 SMP) saya lebih penasaran terhadap siapa saja yang akan selamat dari terkaman harimau, pembacaan kedua yang saya lakukan (kelas 3 SMA) membuka mata saya bahwa novel ini bukan sekedar tentang para pencari damar yang bertahan hidup di tengah hutan yang berbahaya karena terdapat seekor harimau lapar. Saya mulai mengerti bahwa novel ini adalah tentang manusia yang sebenarnya harus bergelut dengan usaha tiada henti untuk, seperti yang dikatakan Pak Haji, melawan harimau yang ada dalam diri mereka sendiri dan betapa pentingnya untuk bersikap jujur sesuai dengan hati nurani.
Di ketiga kalinya, saya menemukan bahwa buku ini mengandung isu politik yang kental. Ketujuh pendamar adaah representasi rakyat Indonesia yang dikomandoi oleh seorang sosok karismatik Wak Katok yang merupakan alegori untuk Presiden Soekarno. Harimau bisa diartikan sebagai tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Novel ini hanya setebal 214 halaman. Ada banyak waktu yang bisa diluangkan untuk membacanya dan menemukan keasyikan dalam mengikuti alurnya. Selamat membaca!

Senin, 14 Juli 2014

SENJA DI JAKARTA


Senja di Jakarta pertama-tama lebih dikenal sebagai Twilight in Jakarta karena novel ini pertama kali diterbitkan dalam versi bahasa Inggris pada tahun 1963. Hal ini mengingat Mochtar Lubis yang saat itu masih dalam tahanan rezim Presiden Soekarno tidak memperoleh izin untuk menerbitkan bukunya.  Awalnya diberi judul Yang Terinjak dan Melawan, novel ini baru boleh diterbitkan di Indonesia pada tahun 1970. Hal inilah yang membuat Senja di Jakarta menjadi novel karya Mochtar Lubis yang paling dikenal di dunia internasional karena setelah diterbitkan dalam bahasa Inggris, berturut-turut novel ini dialihbahasakan dalam berbagai bahasa seperti Prancis dan Jepang. Seperti yang tercantum di halaman terakhir, novel ini diselesaikan pada tahun 1957 dan dengan kuat menggambarkan situasi politik dan sosial yang terjadi di Jakarta pada saat itu.
Senja di Jakarta adalah novel tentang manusia Jakarta dari tiga kelas sosial. Kelas atas yang dekat dengan kekuasaan diwakili oleh Raden Kaslan dan putranya Suryono, kelas menengah golongan pegawai negeri diwakili keluarga Sugeng, serta kelas bawah yang untuk makan atau tidak hari ini masih belum pasti diwakili oleh Saimun dan Itam. Ketiga golongan tersebut tidak mengenal satu sama lain karena tiap-tiap dari mereka hanya bergaul dengan kalangannya sendiri. Namun, dalam beberapa kesempatan, Mochtar Lubis mempertemukan golongan-golongan tersebut walaupun hanya sambil lalu. Contohnya saat mobil yang dikendarai Suryono tidak sengaja menyerempet Saimun yang linglung memikirkan sulitnya memperoleh rebewes (SIM). Pola penceritaan yang seperti itu mengingatkan saya pada novel Charles Dickens yang berjudul Our Mutual Friend.
Keluarga Raden Kaslan adalah keluarga priyayi yang tidak pernah hidup susah. Mereka kaya dan berpengaruh mengingat Raden Kaslan tergabung dalam Partai Indonesia yang saat itu menjadi salah satu partai yang menjadi anggota dalam kabinet. Indonesia memang pernah memiliki sistem pemerintahan parlementer yang membuat kabinet sangat tidak stabil dan mudah berganti. Hanya dengan mosi tidak percaya dari partai oposisi, kabinet saat itu sangat mudah untuk digoyang dan ditumbangkan.
Karena pengaruhnya yang besar dalam partai, terutama posisinya sebagai pengusaha yang sukses, Raden Kaslan diminta Husin Limbara, pemimpin Partai Indonesia, untuk mencarikan dana Pemilu bagi partai yang nilainya mencapai puluhan juta (di masa itu, jumlah ini tergolong sangat banyak, sebagai perbandingan, harga nasi sayur sepiring adalah satu rupiah). Raden Kaslan mengusulkan untuk membuat perusahaan impor fiktif. Anak dan istri baru Raden Kaslan, Fatma, pun dilibatkan dalam pembuatan perusahaan tersebut. Untuk memperlancar jalan izin penerbitan perusahaan tersebut, mereka menyuap seorang pegawai negeri di Kementerian Perekonomian yang terpaksa menyetujui permintaan Raden Kaslan karena membutuhkan uang mengingat istrinya yang sedang hamil anak kedua memaksa memiliki rumah baru. Pegawai tersebut bernama Sugeng.
Singkat cerita, keluarga Raden Kaslan dan partai mendulang keuntungan yang teramat banyak. Sementara itu, Sugeng juga turut menikmati keuntungan karena korupsi yang dilakukannya. Kehidupan Saimun dan Itam tidak banyak berubah. Saimun berhasil menjadi supir truk tanpa rebewes, sedang Itam menjadi tukang becak, namun mereka tetap harus berpikir keras bagaimana caranya agar perut hari itu tidak kosong. Pada akhirnya, keluarga Raden Kaslan menerima imbas dari perbuatannya setelah pihak oposisi memberitakan cara-cara tidak jujur yang selama ini telah digunakan oleh Partai Indonesia untuk mendulang uang. Hal ini disusul dengan kematian Suryono karena kecelakaan saat berlibur dan berselingkuh dengan Fatma, ibu tirinya yang masih muda.
Novel ini secara gamblang mengkritik politisi-politisi Indonesia di era Soekarno yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan partai daripada rakyat. Para politisi sibuk mempertahankan posisi partai mereka di pemerintahan yang sangat mudah digantikan oleh oposisi sehingga susahnya kehidupan rakyat kecil yang diwakili oleh Itam dan Saimun tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Ada perbedaan yang sangat besar saat menyimak kehidupan keluarga Raden Kaslan yang dengan mudahnya berganti mobil dan bingung bagaimana caranya menghamburkan uang dengan Saiman dan Itam yang harus berbecek-becek mengangkut sampah di tempat penampungan sampah dan mengantre untuk menerima gaji yang kerap ludes untuk membayar hutang.
Mochtar Lubis juga menceritakan aktivitas diskusi para pemuda yang lazim pada saat itu, di mana para pemuda mendiskusikan tentang berbagai paham seperti demokrasi, Marxisme, dan agama dan menganalisis paham mana yang kira-kira mampu untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Indonesia. Para pemuda ini berasal dari kalangan menengah ke atas dan hanya beberapa yang aktif berjuang secara nyata di masyarakat, lainnya hanya omong doang. Dilihat dari aktivitas para pemuda ini, jelas terlihat kalau Mochtar Lubis adalah penentang Marxisme karena tokoh pemuda yang berideologi Marxis, Akhmad, ia gambarkan sebagai pemuda yang temperamen dan bersedia menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kepentingan partainya, termasuk mengorganisir massa untuk melakukan protes yang berakhir pada tindakan anarkis.
Yang menarik dari novel ini adalah relevansi antara keadaan di zaman Soekarno dengan saat ini. Degradasi moral dari para politisi yang lebih mementingkan urusan partai dan pribadi daripada rakyat serta kehidupan rakyat kecil yang hidup dalam perjuangan untuk sekedar makan dan bergelut dengan naiknya harga kebutuhan pokok bukanlah hal yang sepenuhnya asing untuk pembaca saai ini. Ini membuktikan bahwa selama lebih dari 50 tahun kemerdekaan, sejatinya tidak banyak yang berubah dari bangsa ini. Selamat membaca!

MANUSIA INDONESIA


Mochtar Lubis adalah salah satu sastrawan Indonesia favorit saya. Sejak SMP, saya sudah akrab dengan buku-bukunya. Terima kasih tak terhingga harus saya ucapkan pada guru bahasa Indonesia saya, Bu Dian, yang tanpa henti memaksa saya dan teman-teman sekelas untuk melahap buku-buku sastra Indonesia dari berbagai zaman.
Tidak seperti buku-buku sastra yang saya akrabi sebelumnya, Manusia Indonesia adalah teks pidato Mochtar Lubis yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977. Jadi ada kesan berbeda yang saya dapatkan saat membaca buku ini. Membaca karya non-fiksi Mochtar Lubis seperti mengenalnya dari sisi yang lain. Tapi ada satu hal yang saya pastikan tetap sama, yaitu adanya kritik terhadap karakter bangsa Indonesia yang mengalami penurunan kualitas secara moral, baik itu pemerintah maupun manusia Indonesia secara umum. Kritik semacam itu juga bisa ditemukan di novel-novelnya seperti Jalan Tak Ada Ujung dan Senja di Jakarta.
Karena kritiknya tersebut, banyak pihak-pihak yang merasa tidak sepenuhnya menyetujui pendapat Mochtar Lubis sehingga teks pidato ini menuai banyak tanggapan dari tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai latar belakang. Ramainya tanggapan tersebut mengingatkan saya pada Polemik Kebudayaan yang dipicu oleh tulisan Sutan Takdir Alisjahbana. Menariknya, beberapa tanggapan terhadap pidato tersebut juga turut dicantumkan di buku ini.
Sebelum membaca pidatonya, ada baiknya membaca Pengantar yang dituliskan oleh Jacob Oetama agar tidak salah paham ketika membaca buku ini mengingat pidato tersebut berisi uraian yang mungkin dapat membuat kita pesimis menjadi bangsa Indonesia. Terlepas dari kenyataan bahwa pidato ini memang bernada pesimistis, sebenarnya pidato ini mengajak pembacanya untuk bersikap kritis dengan memaksa mereka untutk bertanya pada diri mereka sendiri apakah karakter mereka benar seperti manusia Indonesia yang ciri-cirinya dijabarkan oleh Mochtar Lubis.
Pidato Mochtar Lubis bisa dibagi menjadi 10 bab. Bab I Manusia Indonesia berisi gambaran populer tentang manusia Indonesia yang selama ini dipersepsikan oleh orang asing atau bangsa Indonesia sendiri, baik itu persepsi yang buruk maupun yang baik. Persepsi ini muncul melalui keberadaan data-data sejarah dan terpelihara lewat sastra-sastra daerah dan tradisi yang dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah mistisisme, sifat yang artistik, kurang mampu berpikir hal yang sulit-sulit, serta dorongan seks yang besar.
Bab II sampai dengan bab VII berjudul Ciri Kesatu sampai Ciri Keenam yang apabila diringkas dapatlah kira-kira dirangkum keenam sifat manusia Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhyul, artistik, dan kurang kuat mempertahankan keyakinan. Dari keenam sifat tersebut, hanya dapat ditemukan satu sifat yang baik, yaitu artistik. Kesannya memang kelima bab yang lain dituliskan untuk mengkritik habis-habisan bangsa Indonesia yang saat Mochtar Lubis menyampaikan pidato ini sedang hidup dalam kebohongan karena korupsi dan perilaku ABS (Asal Bapak Senang) bisa ditemukan di hampir semua bidang dan lapisan masyarakat. Tidak ada lagi karakter-karakter mulia yang dahulu bisa ditemukan di zaman perjuangan di mana bangsa Indonesia mampu bersatu padu dan rela berkorban mengusir penjajah.
Bab VIII Ciri Lainnya pada dasarnya hanya berisi ciri-ciri manusia Indonesia yang belum disebutkan di bab sebelumnya. Sebagian besar isinya masih ciri-ciri yang negatif seperti tidak suka bekerja keras, gampang cemburu dan dengki, malas, dan tukang tiru. Di samping sifat-sifat yang jelek itu, bangsa Indonesia juga punya sifat baik seperti berhati lembut, suka damai, dan rasa humor yang membuatnya dapat tertawa saat sulit dan menderita. Di akhir bab, Mochtar Lubis menyebutkan perlunya penguasaan ilmu dan teknologi. Namun, karena keduanya membawa kekuasaan yang tak pernah netral, manusia Indonesia harus hati-hati dalam menggunakannya.
Di bab IX yang diberi judul Dunia Kini, Mochtar Lubis membahas hubungan antara ekonomi, sumber daya alam, dan teknologi terhadap kesejahteraan sebuah bangsa. Ada beberapa kasus yang disajikan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pengelolaan ketiganya bermuara terhadap kesejahteraan atau keterpurukan sebuah bangsa. Yang paling utama adalah bagaimana banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, sekarang masih sangat tergantung pada negara-negara besar dalam hal teknologi, pengelolaan SDA, dan sistem ekonomi sehingga sangat mudah diatur dan dimanfaatkan. Ia menekankan betapa pentingnya untuk menjadi mandiri dengan cara memaksimalkan kemampuan bangsa Indonesia karena senyatanya kita tidak bisa benar-benar lepas dari sistem dan jaringan ekonomi internasional. Bagian terakhir, yaitu kesimpulan, berisi berbagai saran Pak Mochtar untuk berbagai bidang penghidupan mulai dari kesenian sampai sikap keseharian.
Beberapa tanggapan yang disajikan dalam buku ini dirangkum dalam sebuah bab berjudul “Tanggapan-tanggapan Tanggapan atas Tanggapan” (HAHAHA). Tanggapan tersebut datang antara lain dari Sarlito Wirawan Sarwono (psikolog UI), Margono Djojohadikusumo (ayah Prof. Soemitro Djohohadikusumo, kakek Prabowo), Wildan Yatim, dan Dr. Abu Hanifah. Sarlito mengkritisi ciri-ciri manusia Indonesia yang disebukan Mochtar Lubis melalui pendekatan psikologis. Margono mengkritisi sifat feodal manusia Indonesia yang dikritik habis-habisan oleh Mochtar seolah tidak ada sisi positifnya. Wildan Yatim mengatakan bahwa ciri-ciri manusia Indonesia yang terkesan buruk itu penyebabnya adalah politik praktis sehingga lembaga perwakilan rakyat harus benar-benar membawa suara rakyat. Sedangkan Dr. Abu Hanifah dalam tanggapannya atas tulisan Mochtar Lubis menyinggung banyak aspek yang harus ditelaah, seperti bapakisme sampai kurangnya teknorat di Indonesia.
Mochtar Lubis menjawab tanggapan-tanggapan yang dilayangkan dalam tulisannya tersebut. Umumnya Mochtar menyayangkan tidak cermatnya keempat penulis tanggapan tersebut dalam membaca teks pidatonya sehingga tidak bisa menangkap esensinya. Terlepas dari benar tidaknya pidato Mochtar Lubis telah mendiskreditkan manusia Indonesia karena mencantumkan sifat-sifat negatif yang teramat banyaknya, pidato ini sebenarnya menggugah pembacanya untuk bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka benar seperti yang dicantumkan dalam teks pidato tersebut. Selamat membaca!

Kamis, 27 Februari 2014

ACAK


      Belum lama ini saya membongkar kertas-kertas dan buku-buku bekas dari zaman SMA dan kuliah. Di antara tumpukan tersebut, saya tidak sengaja menemukan beberapa sobekan kertas berisi puisi yang berasal dari buku catatan saya. Dua yang pertama saya buat saat saya sedang jatuh cinta saat SMA. Zaman itu masih ingat kalau saya sering saling berkirim puisi dengan orang yang saya suka.
      Puisi ketiga saya buat gara-gara melihat seorang anak yang masih bekerja di lampu merah saat hari sudah jauh malam. Itu zaman saat saya masih kuliah semester 5 an dan sering pulang malam gara-gara kegiatan kampus. Sayangnya saya tidak menuliskan tanggal pembuatannya tapi saya masih ingat momennya.

Milik kita adalah mimpi yang lepas
Menempa wajah para dewa
Lalu mengenang syair-syair berlumut
Separau suara hujan
Langit pun turut menyapa
Dahan-dahan bergelayutan
Dan berang-berang subuh menyiangi lumpur
Dengan nyanyian.. 
                                                                                                11 Maret 2007



Kita menorehkan relief hati
Sewarna matahari mencelupkan diri
Di sawah-sawah menua
Bagaimanapun kau tak kehilangan
Sepatah pun jawaban
Tentang suatu masa yang turut susut
Dalam kelengangan ini…
                                                                                                2 April 2007



Dalam temaram lampu-lampu kota
Malam ini
Siluetmu kekal bersemayam
Alami dan melebur dalam rengkuhannya
Kau, sang putra cahaya

Dalam matamu wahai Adam kecil
Hidup dipertanyakan
Lewat cuping hidungmu
Meruak aroma kelelahan
Melalui sudut bibirmu
Keluh tersenandungkan

Nasib menempatkanmu
Dalam sekat silinder tak berujung
Ambillah satu putaran
Dan mungkin kau akan
Sebijak Sokrates, atau secerdas Camus

Sosokmu perlahan tertelan cahaya
Pudar
Namun tak hilang

Karena tiap lampu kota berbenihkan kau




Minggu, 09 Februari 2014

GENERASI 90AN


Ada dari kalian yang tumbuh dan berkembang di era 90an? Yang tiap Minggu pagi duduk anteng di depan TV untuk menunggu kartun marathon? Yang ingat sensasinya muter pita kaset pakai pulpen atau pensil? Yang tiap jam istirahat sekolah selalu beli Anak Mas rasa keju dan ayam? Kalau kamu pernah mengalami masa-masa tersebut, kamu bisa digolongkan sebagai Generasi 90an. Penulis Marchella FP berbaik hati meluangkan waktunya untuk menyusun buku full color ini demi membawa kita dengan mesin waktu ke era 90an. Awalnya buku ini berasal dari skripsinya untuk mendapatkan gelar sarjana desain komunikasi visual dari Universitas Bina Nusantara. Dia mengumpulkan data lewat berbagai media, terutama Twitter. Kebetulan saya adalah salah satu follower di @Generasi90an jadi sudah sangat akrab dengan hal-hal berbau 90an yang rutin diposkan walaupun belum memiliki kesempatan membaca bukunya sampai awal Februari kemarin.
Untuk saya yang masa kecilnya dilewati dalam tahun 90an, membaca buku ini membuat emosi serasa diaduk-aduk. Pada dasarnya lebih banyak tertawa, tapi ada kalanya bikin sedih. Apalagi kalau lihat gambar Ksatria Baja Hitam. Bawaannya patah hati. Saya yakin bahwa Kotaro Minami adalah cinta pertama mayoritas anak-anak gadis di era 90an. Si Doel Anak Sekolahan dan Keluarga Cemara juga membuat miris karena selalu mengingatkan pada tontonan televisi zaman sekarang yang jauh dari kata berkualitas. Tiap kali membuka halaman baru di buku Generasi 90an ini, tiap kali pula saya merasa bersyukur pernah melewati masa-masa keren di tahun 90an dan juga kangen dengan periode tersebut. Motto buku ini di halaman 130 yang saya rasa harus dianut oleh tiap Generasi 90an adalah “Ada Hari Di Mana Kita Harus Berhenti Sebentar, Nengok ke Belakang, Lalu Bersyukur”.
Sebelum masuk ke isi buku yang penuh dengan gambar-gambar penuh nostalgia, penulisnya sudah terlebih dahulu menggambar beberapa item khas 90an di halaman awal dan juga identifikasi tentang siapa saja yang pantas disebut generasi 90an. Buku ini terdiri dari 6 bab: What We Watch, What We Hear, What We Wear, Gadget, What We Read dan What We Play. Halaman terakhir adalah hal-hal menarik di era 90an yang belum disebutkan di enam bab tadi. Kalau disuruh memilih bab mana yang paling saya favortikan, rasanya susah sekali. Tiap bab menyimpan gambar-gambar sekaligus keterangan yang mampu membuat saya kembali ke 90an sambil ngakak atau mbrambangi.
Bab What We Watch mengingatkan generasi 90an akan kartun-kartun di Minggu pagi, aneka kuis di RCTI, sinetron-sinetron yang judulnya diawali dengan Ter-, serial keluarga yang tak lekang sepanjang masa (Si Doel dan Keluarga Cemara), Dunia Dalam Berita, dan aktor serta aktris papan atas di era tersebut. What We Hear membawa kita kembali ke perangkat teknologi yang dulu kita gunakan untuk mendengarkan lagu (walkman dan kaset pita), MTv, band-band dan musisi yang terkenal di era tersebut (Oasis, Blur, Nirvana, Tipe X, Gigi,Nike Ardilla, Denada, dll), dan tentu saja para penyanyi cilik. Fashion 90an diwakili oleh bab What We Wear yang pada dasarnya menguak kembali trend fashion era 90an bagi anak-anak muda. Beberapa di antaranya dompet berantai, jepit kupu-kupu, tas selempang yang dipanjangin sampai lutut, sepatu yang ada lampunya, kalung tato, dll.
Bab Gadget diwakili oleh lima gadget paling hits di tahun 90an: telepon koin, pager (beserta cara menggunakannya), ponsel jadul, disket, dan laser disc player. Buat yang dulu pulang sekolah langsung pergi ke telepon umum dan iseng menghubungi nomor telepon hantu (lupa berapa nomornya) atau patungan nonton Casper di persewaan kaset laser disc player, bab ini benar-benar sukses menghadirkan kembali masa lalu. Sedangkan buku-buku atau bacaan yang ngetrend di era 90an bisa dilihat daftarnya di bab What We Read. Generasi 90an pasti tidak mungkin tidak kenal dengan Lupus, Goosebumps, Bobo, Hai, komik-komik Tatang S., dan masih banyak lagi. Bab terakhir mengajak kita untuk mengenang kembali permainan di era 90an yang saat itu sudah banyak didominasi oleh permainan modern seperti Tamiya, Ding Dong, Sega, Nintendo, dan gimbot.  Tapi jangan salah, ada juga kegiatan mengumpulkan Tazos dan kartu basket.
Sebelum halaman terakhir, penulis masih menambahkan beberapa hal yang hits dan patut dikenang dari era 90an, seperti jajanan terkenal dari era tersebut (Anak Mas, Choyo-Choyo, mie lidi, Ajibon, Calipo, dsb.), mitos-mitos (yang ternyata beberapa juga sampai di kota saya yang kecil, Wates), bahasa gaul, berbagai macam hal-hal random, serta perbandingan antara era 90an dan 2010an.  
Jadi setelah membaca buku ini, yang tertinggal adalah perasaan super bahagia dan kangen. Bagi saya, era 90an adalah sebuah periode yang simple dan sederhana. Generasi 90an harus bangga tumbuh di periode ini karena dua hal: 1. era 90an adalah era peralihan dari era 80an yang konvensional ke era 2000an yang serba teknologi sehingga kita pernah berada di masa antara yang mengasyikkan, kenal teknologi tapi juga masih bisa menikmati kesederhanaan dan hal-hal serba manual, 2. kita adalah satu-satunya generasi yang punya buku khusus untuk mengenang masa-masa menyenangkan di era 90an. Generasi lainnya belum punya buku seperti kita.  Jadi, semua yang saya ingat mengenai era 90an didominasi oleh hal-hal yang menyenangkan. Bagaimana dengan kenangan kamu di era 90an? Selamat membaca!

JAKARTA DI BULAN JANUARI 2014


Liburan semester yang panjang asyiknya diisi dengan kegiatan yang menyenangkan atau bermanfaat. Well, bisa juga kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat sekaligus. Liburan semester saya dimulai per tanggal 14 Januari setelah ujian terakhir dan berakhir di awal Maret. Saya sudah merasa takut kalau liburan ini akan berakhir sia-sia jadi saya merencanakan beberapa kegiatan untuk mengisi kekosongan waktu hampir dua bulan ini. Salah satu yang saya lakukan adalah pergi ke Jakarta dan mencoba keliling Jakarta dengan busway.
Saya beruntung karena punya saudara di sana sehingga tidak perlu untuk mencari penginapan dan bisa menghemat ongkos. Untuk beberapa alasan, saya sering jalan-jalan sendiri dan menikmati pemandangan. Tapi jalan-jalan ke Jakarta sendirian kok rasanya tidak menyenangkan ya? Karena sepanjang jalan saya pasti membutuhkan teman diskusi atau paling tidak teman yang sama-sama tidak tahunya sehingga kalau tersesat ya tersesat bersama lah. Kebetulan adik laki-laki saya, Plab, juga sedang dalam masa liburan semester. Tidak sampai dua hari dari kepulangannya dari liburan dari Bandung bersama teman-teman kampusnya, dia sudah anteng bersama saya dalam kereta api ekonomi Bengawan Tambahan yang berangkat dari stasiun Wates pukul 19.00 malam.
Tiket kereta api ini harganya hanya 95 ribu rupiah. Saya dan Plab sepakat kalau tempat duduknya jauh lebih nyaman daripada kereta ekonomi Gajah Wong seharga 150an ribu. Tempat duduknya berhadap-hadapan dan memang space untuk kaki penumpang yang saling berhadapan lebih sempit daripada Gajah Wong. Namun, kalau naik kereta api, kunci kenyamanan menurut saya ada di kursinya. 10-11 jam duduk di kursi yang keras akan sangat menyiksa pantat dan panggul.
Kami sampai di stasiun Senen pukul 5 lewat 10 menit. Sebenarnya untuk sampai ke Tebet, tempat oom saya tinggal, akan lebih dekat jika turun di stasiun Jatinegara. Tapi saat itu beberapa jalan ke Jatinegara ditutup karena banjir. Oom dan sepupu saya sudah menjemput di parkiran saat kami tiba di sana. Jakarta pukul 6 kurang masih lengang sehingga mobil bisa melaju dengan lancar dan tidak menemui kemacetan sama sekali.
Setelah nonton TV dan melepas kangen dengan keponakan saya Dastan, kami mandi dan bersiap untuk berangkat. Oom kami sangat baik karena begitu tahu saya dan Plab berencana jalan-jalan dengan Trans Jakarta, oom segera mencari rute TJ di internet dan mencetaknya dengan tinta warna. Suksesnya perjalanan kami sangat terbantu dengan adanya rute tersebut.
Sebelum bercerita tentang tempat-tempat wisata yang saya kunjungi, saya ingin mengatakan bahwa kemarin adalah pertama kali saya naik Trans Jakarta atau busway. Trans Jakarta adalah transportasi umum yang sangat keren. Dengan ongkos 3500 rupiah saja, kita bisa keliling Jakarta. Armadanya banyak sehingga tidak perlu menunggu terlalu lama, haltenya nyaman dan didesain dengan sangat mempertimbangkan pejalan kaki, serta ada ruang khusus wanita dalam bus. Trans Jogja masih kalah jauh dan sayangnya pemerintah Jogja terlihat tidak ada inisiatif untuk mengembangkan transportasi umum ini seperti Trans Jakarta. Menunggu Jogja macet parah dulu mungkin ya?
Kamis, 23 Januari 2014. Kami berangkat dari Tebet pukul 10 pagi dan menunggu di depan Seven Eleven Tebet untuk menunggu bus Kopaja no 62 yang melewati halte TJ Manggarai. Sebenarnya kurang dari 10 menit saja, kami sudah bisa sampai ke Manggarai tapi kemacetan di pertigaan Manggarai benar-benar parah (dan tidak pernah tidak parah) sehingga paling tidak kami menghabiskan 20 menit di dalam bus 62. Ongkos bus kota di Jakarta sama dengan di Jogja, hanya 3000 rupiah. Setelah sampai di halte, kami naik TJ arah Kota. Salah satu halte yang kami lewati dalam perjalanan ke arah Kota adalah halte Monas. Di situlah kami turun dan berjalan kaki ke arah Monas.

  1. Monumen Nasional
Bulan Januari bukanlah waktu yang tepat untuk melancong di Jakarta, apalagi dengan jalan kaki. Hujan bisa saja turun sepanjang hari. Waktu terang tidak lebih dari satu jam. Selebihnya diisi hujan deras dan gerimis. Kira-kira itulah kondisi yang ada ketika saya dan Plab berusaha untuk mencapai Monas. Perjalanan dari pintu gerbang ke monumennya bukanlah jarak yang dekat dan setengah perjalanan kami diisi dengan usaha menghindari hujan, baik dengan berteduh di bawah pohon, memakai satu payung untuk berdua, maupun berteduh di pos satpam. Untungnya di tengah perjalanan kami menjumpai kereta yang memang disiapkan oleh pihak Monas untuk mengantar dan mengembalikan pengunjung ke dekat pintu gerbang. Pengunjung tidak perlu membayar untuk naik ke kereta ini.
Untuk masuk Monas pengunjung harus membeli tiket di loket yang terletak di bawah tanah. Harganya 5000 rupiah per orang. Mahasiswa/pelajar mendapat potongan 2000 rupiah apabila menunjukkan kartu pelajar/mahasiswa. Saat itu saya dan Plab berniat menunjukkan KTM kami untuk mendapatkan potongan tapi penjaga loket mengatakan tidak perlu dan langsung memberi kami tiket berharga 3000 rupiah per orang.
Untuk sampai ke ruangan di dalam Monas, pengunjung harus melewati lorong yang cukup panjang, naik tangga untuk keluar dari pintu bawah tanah, dan berjalan sebentar untuk mencapai pintu samping Monas. Kami disambut dengan lagu daerah “Butet” saat keluar dari tangga bawah tanah.
Lantai dasar Monas penuh dengan diorama yang dimulai dari masa manusia purba sampai ke zaman pembangunan di masa Orde Baru. Kalau berjalan searah dengan jarum jam, pengunjung akan mengetahui periode-periode sebelum dan sesudah bangsa Indonesia meredeka. Pada dasarnya, diorama ini memberi tahu sejarah singkat tentang kehidupan bangsa Indonesia sebelum bisa dikatakan sebagai sebuah bangsa. Ada diorama tentang kedatangan bangsa Barat, periode cultuurstelsel, perjuangan merebut kemerdekaan di basis lokal dan nasional, proklamasi kemerdekaan, dan pertarungan di Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan. Tidak semua kejadian dibuat dioramanya, namun diorama-diorama yang terdapat di Monas bisa cukup memberikan gambaran perjalanan bangsa Indonesia sampai menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Sayangnya belum ada diorama tentang Reformasi 1998 yang menandai akhir Orde Baru.
Pengunjung bisa naik ke lantai paling atas dan melihat ke bawah dari puncak Monas, tidak jauh dari ujung Monas yang berlapis emas. Sayangnya saat kami ke sana, lift menuju puncak Monas sedang dalam masa renovasi sehingga eksplorasi kami hanya terbatas di ruang diorama. Di lantai yang sama juga terdapat dua kamar mandi dan mushola yang cukup besar. Sayangnya kebersihannya tidak terawat. Genangan air di dekat KM menyebabkan bau yang tidak sedap.
Kami pulang melewati pintu yang sama dan kali ini disambut dengan lagu daerah Papua “Yamko Rambe Yamko”. Setelah melewati tangga dan lorong yang sama, kami naik tangga lagi untuk keluar dari ruang bawah tanah dan mencari kereta yang akan membawa kami ke dekat pintu gerbang.

  1. Museum Nasional
Sebenarnya saya dan Plab tidak memiliki rencana untuk pergi ke Museum Nasional. Kami bahkan tidak tahu bahwa museum ini sangat dekat dengan halte Monas tempat kami turun. Keluar dari Monas, sebenarnya mood saya dan Plab sudah sangat buruk karena harus main kucing-kucingan dengan hujan. Alangkah indahnya jika perjalanan kemarin didukung dengan cuaca yang cerah apalagi trotoar di sekitar Monas luas dan nyaman untuk pejalan kaki. Di tengah mood yang jelek tanpa tahu ke mana lagi harus pergi, saya tidak sengaja melihat ke  arah Museum Nasional yang berada tepat di sebelah kiri trotoar tempat saya berjalan. Pertama kali yang menarik dari tempat ini adalah sebuah patung logam yang berjudul “Ku Yakin Sampai Di Sana” karya perupa Nyoman Nuarta. Patung ini bentuknya absurd. Plab menganggapnya mirip seperti lubang hitam. Saya sendiri lebih condong ke sarang burung yang belum selesai.

Di samping patung black hole yang menghiasi halaman depan museum ini, terdapat patung gajah berwarna hijau yang juga terbuat dari logam. Inilah yang menyebabkan museum ini lebih sering disebut sebagai Museum Gajah. Patung gajah ini adalah hadiah dari raja Thailand saat berkunjung ke Indonesia.  Kalau dipikir-pikir, aneh juga sebenarnya karena satu-satunya hal yang berkaitan dengan gajah yang bisa didapatkan di museum ini adalah fosil gading dan arca Ganesa.
Harga tiket museum ini hanya 5000 rupiah dan bisa membawa kamera tanpa dikenakan biaya. Tas atau bawaan yang berat bisa dititipkan di dekat loket pendaftaran. Saya bisa mengatakan bahwa dari semua tempat wisata yang saya kunjungi di Jakarta selama empat hari, Museum Nasional adalah tempat favorit saya dan salah satu tempat paling keren yang pernah saya kunjungi.
Museum ini terdiri dari empat lantai dan memiliki gedung dengan dua sayap. Basement digunakan untuk toilet dan ruang pertemuan. Lantai satu museum ini dipenuhi dengan beraneka ragam arca yang berasal dari banyak daerah, koleksi kain dan keramik, fosil manusia, binatang, dan tumbuhan purba, serta berbagai benda tradisional dari semua provinsi di Indonesia. Ada ruang khusus yang digunakan untuk menyimpan koleksi keramik dari berbagai negara di Asia, seperti Jepang, China, dan Vietnam. Arca terbesar di lantai I adalah Arca Bhairawa yang berdiri di atas tumpukan tengkorak. Tingginya mungkin sekitar 4 meter dan berasal dai abad ke-14. Arca ini berasal dari Sumatra Barat yang membuatnya berbeda secara ukuran dan bentuk dengan kebanyakan arca di Jawa.
Lantai dua, tiga, dan empat berisi benda-benda tradisional dari berbagai daerah. Perbedaannya dengan lantai pertama, benda-benda di sini sangat khusus dan lebih mahal. Misalnya, ada beberapa perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Beberapa buah perhiasan ini belum lama ini sempat dicuri dan menjadi berita besar karena perhiasan emas yang hilang berusia cukup tua dan memiliki nilai yang tidak sedikit. Selain perhiasan, ada banyak sekali prasasti dan benda-benda kuno, seperti sepeda, jam, dan peti. Beberapa benda yang menarik perhatian saya adalah kjokkendmoddinger  atau tumpukan kerang yang merupakan sisa-sisa dapur manusia purba dan peti besi yang digunakan untuk membawa barang-barang dan berasal dari beberapa abad yang lalu. Kjokkenmoddinger selalu mengingatkan saya dengan guru sejarah kelas 1 SMP saya yang bernama Bu Supartini. Beliau yang mengajarkan tentang kehidupan manusia purba termasuk memperkenalkan istilah kjokkenmoddinger yang selama ini hanya bisa saya bayangkan bentuknya seperti apa.
Sebelum sempat menjelajah semua bagian dari museum ini, jam tutup museum sudah diumumkan sehingga kami mau tidak mau harus mengakhiri perjalanan sore itu. Museum ini buka sampai jam 4 sore. Kami kembali lagi di hari berikutnya setelah waktu shalat Jumat dan kami gunakan untuk mengelilingi museum sepuasnya. Saya dan Plab mengunjungi ruang arca yang benar-benar keren. Ada banyak sekali arca dari berbagai daerah dan periode. Walaupun berbeda daerah, cara orang-orang zaman dahulu menggambarkan beberapa karakter memiliki persamaan. Kesamaan ini bisa dilihat pada patung Ganesa. Selain arca, ada juga koleksi arca-arca yang belum jadi dan ditempatkan di halaman belakang.
Hal lain yang menarik dari museum ini adalah pengunjungnya mayoritas adalah ekspatriat atau pelancong asing. Ada orang Indonesia yang berkunjung ke sini namun jumlahnya jarang. 


                      

  1. Kwitang
Pertama kali tahu Kwitang saat kelas 2 SMP lewat film AADC. Semua orang yang pernah lihat film ini pasti ingat adegan saat Cinta yang memakai T-Shirt warna pink menengok kembali ke arah Rangga saat ia pergi meninggalkan Rangga karena merasa disalahkan. Peristiwa itu berlatar di Kwitang saat keduanya jalan-jalan memilih buku. Kwitang yang saya jumpai tidak seperti itu lagi. Kata Oom saya dan pegawai halte busway Kwitang, penjual buku di situ sudah tak seramai dulu lagi karena beberapa gulung tikar dan pindah tempat jualan. Hanya tinggal beberapa toko dan lapak-lapak kecil yang tersebar di sepanjang jalan dan gang-gang masuk. Itu pun jumlahnya tak seberapa.
Tentu saja kebanyakan buku-buku di sini adalah buku-buku bajakan berharga miring yang masih bisa ditawar. Tujuan awal saya ke sini adalah mencari buku-buku dan koran-koran dari puluhan tahun lalu tapi melihat kondisi dan koleksi toko-toko dan lapak-lapak di sana, kemungkinan besar tidak mungkin menemukannya. Mayoritas buku yang dijual adalah buku-buku baru. Buku paling lama yang bisa ditemukan mungkin berasal dari tahun 70an dan 80an. Akhirnya saya membeli dua buku, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Bukan Pasar Malam yang ditulis Pram. Dua-duanya pernah saya baca, bahkan buku kedua sampai tiga kali, tapi saya belum memilikinya sebagai koleksi pribadi. Dua buku tersebut saya beli dengan harga 55.000 rupiah. Maklum bajakan. Dan sebenarnya masih bisa ditawar lebih jauh lagi tapi saya bukan orang yang pintar menawar dan tidak betah berlama-lama melakukan proses tersebut.

  1. Stasiun Senen
Saya dan Plab ke stasiun Senen bukan dalam rangka mengagumi arsitektur bangunannya atau sekedar jalan-jalan. Kami ke sana untuk membeli tiket pulang. Kami memutuskan untuk naik kereta Progo seharga 85.000 untuk membawa kami pulang ke Wates pada hari Minggu. Usaha membeli tiket tersebut benar-benar gila. Kami antri selama 2 jam. Belum pernah sebelumnya saya antri selama itu hanya untuk dua biji tiket kereta. Antrian orang yang membeli atau menukar tiket bisa mengular sampai ke luar. Mungkin hal ini disebabkan karena hari Raya Imlek jatuh pada hari Jumat sehingga  banyak orang yang pulang kampung. Sebenarnya jumlah loketnya ada 10 lebih. Masalahnya ada pada sistem pelayanan yang menurut saya masih sangat payah. Seorang petugas loket melayani pembeli tiket bisa sampai 15 menit lebih. Apalagi kalau itu adalah loket penukaran tiket. Seorang mas-mas yang berdiri di antrian sebelah saya harus menunggu lebih dari dua jam. Ia berdiri di antrian  dari sebelum saya datang dan masih berdiri di tengah antrian saat saya telah mendapatkan tiket dan bersiap pulang. Benar-benar gila! Saya tidak mau membayangkan apa yang terjadi di sana menjelang Lebaran. Saran saya, kalau sudah tahu kapan mau pulang dari liburan di Jakarta, lebih baik tiketnya dibeli bersamaan dengan saat membeli tiket berangkat.
Stasiun Senen tidak sebesar Gambir. Kereta-kereta ekonomi biasanya berangkat dari sini. Jadi kalau kami pulang ke Wates naik kereta ekonomi, kami tidak bisa naik dari Jatinegara walaupun stasiun tersebut lebih dekat dengan Tebet. Sedangkan kereta eksekutif dan bisnis berangkat dari Gambir. Di stasiun Senen, ada beberapa calo yang terang-terangan menawarkan tiket dan tidak ditindak oleh aparat padahal jumlah petugas keamanan di sini bisa dibilang tidak sedikit. Tapi sekali lagi, jumlahnya memang tidak bisa mengimbangi jumlah penumpang dan pembeli tiket yang sangat besar. Daerah Senen akan macet kala jam-jam sibuk dan banyak dijumpai penjual makanan kaki lima dan berbagai barang lainnya. Stasiun ini dekat dengan Pasar Senen. Saya buta arah saat di Jakarta, tapi pada dasarnya dua tempat ini bersebelahan.
Di sekitar tempat ini tidak ada Trans Jakarta sehingga dengan saran seorang bapak tukang ojek yang baik, kami memutuskan naik Kopaja nomor 17 dan berhenti di Manggarai. Kami memutuskan berjalan sampai ke Tebet namun di tengah jalan bertemu dengan Kopaja nomor 62. Setelah berdiskusi dengan Plab, kami memutuskan untuk naik Kopaja tersebut untuk mencapai Tebet mengingat walaupun masih kuat, kaki memang terasa agak pegal karena berjalan seharian.
Jumat, 24 Januari 2014, hampir semua museum tutup mulai jam 11 dan buka kembali pukul 1 siang. Sayangnya saya dan Plab tidak bisa berangkat kurang dari pukul 10 karena kami tidak bisa begitu saja melewatkan waktu untuk bermain bersama keponakan kami yang super lucu. Oom dan keponakan kami yang masih dua tahun mengantarkan kami ke halte Tebet. Kali ini kami diminta mencoba jalur Trans Jakarta yang baru oleh Oom sehingga paling tidak bisa tahu jalan-jalan penting di Jakarta. Kami mulai dari halte Tebet dan berhenti di halte Semanggi. Di sini kami harus melewati jalur pejalan kaki khusus bagi penumpang Trans Jakarta yang super panjang dan keren. Kata Tante saya, jalur ini adalah jalur pejalan kaki TJ terpanjang di Jakarta. Dari jalur ini kami bisa melihat jalan raya yang sibuk dan gedung-gedung mewah, termasuk Balai Sarbini. Dari halte Semanggi kami harus menunggu bus arah Kota dan berhenti di halte Monas. Sama seperti jalur yang kemarin kami tempuh.
Kami sampai di halte Monas jam 11 kurang yang bertepatan dengan jam tutup museum sehingga harus menunggu sampai buka. Plab shalat Jumat di mushola Keminfo. Daerah Monas adalah wilayah yang kanan kirinya penuh dengan kantor-kantor pemerintah. Setelah waktu shalat Jumat, tujuan pertama kami adalah Museum Taman Prasasti dan dilanjutkan ke Museum Nasional lagi karena di hari sebelumnya kami belum sempat melihat semua koleksi.

  1. Museum Taman Prasasti
Museum ini bisa dicapai dari halte Monas hanya dengan berjalan kaki. Terletak di daerah Tanah Abang, museum ini dulunya adalah sebuah pemakaman yang dikenal dengan nama Kober. Dahulu pemakaman Kober digunakan untuk menguburkan jasad-jasad orang terkanal, seperti gubernur jenderal Hindia Belanda, seniman, dan arsitek. Setelah dibongkar dan jasad-jasadnya dipindahkan (beberapa diambil oleh pihak keluarga), lokasi ini kemudian dijadikan sebagai museum. Seperti namanya, museum ini memiliki banyak prasasti yang biasanya diukir di nisan seseorang. Jadi secara umum, tempat ini adalah kuburan karena terdiri dari banyak sekali nisan, namun minus jenazah. Beberapa area dibatasi dengan tali rafia yang mengindikasikan pengunjung dilarang berdiri melewati batas tersebut. Mungkin karena kondisi nisan yang sudah sangat tua atau sedang dalam perbaikan.
Dengan hanya membayar tiket 5000 rupiah dan boleh membawa kamera tanpa harus membayar, kami bisa sepuasnya mengelilingi dan mengambil foto nisan-nisan kuno di sana. Ada banyak sekali nisan yang berasal dari zaman kolonial. Bahkan saya menemukan sebuah nisan berbahasa Belanda berangka tahun 1705 di bagian depan museum. Saya tidak tahu apakah itu adalah nisan atau prasasti peringatan, karena memakai bahasa Belanda. Selain nisan, memang di museum ini juga bisa ditemukan prasasti pendirian bangunan. Di tempat ini ada banyak sekali patung malaikat tapi sepertinya patung-patung tersebut dibuat untuk mempercantik tampilan museum.
Prasasti makam gubernur jenderal Hindia Belanda terletak di bagian belakang museum. Beberapa di antaranya disemen di dinding. Selain gubernur jenderal, lokasi ini juga menyimpan koleksi makam para sastrawan, arsitek, seniman, dan rohaniwan. Profesi-profesi ini bisa terbaca di beberapa prasasti. Oleh penjaga museum, saya ditunjukkan makam Miss Riboet, aktris papan atas kolonial di awal abad 20. Suaminya adalah seorang Tionghoa yang bernama Tio Tik Djien. Informasi ini bisa didapatkan di prasastinya. Ada juga nisan Soe Hok Gie. Dulu dia memang dimakamkan di sini. Saat pekuburan ini akan dirombak, keluarga dan teman-temannya memindahkan jenazahnya dan sepakat untuk membakar tulang belulangnya. Abunya ditaburkan di segala penjuru di kawasan lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango.
Secara umum, kondisi museum ini bisa dikatakan cukup terawat. Terlihat ada tukang kebun yang rajin membersihkan lingkungan museum. Namun sayangnya ada beberapa prasasti yang hurufnya tidak bisa dibaca lagi karena dimakan usia dan pengaruh cuaca. Saya tidak tahu bagaimana seharusnya memperlakukan nisan-nisan dan batu-batu peringatan yang umurnya sangat tua ini. Tidak mungkin memang untuk membangun atap yang menyelimuti seluruh kompleks museum ini. Semoga keberadaan museum ini tetap diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat dapat turut serta menjaganya.
Suasana museum ini sangat sepi. 30 menit pertama, hanya saya dan Plab yang menjadi pengunjung di museum ini. Baru kemudian datang dua orang pengunjung, laki-laki dan perempuan, yang ternyata melakukan pemotretan dengan nisan-nisan sebagai latarnya. Museum ini memang banyak sekali dijadikan tempat untuk shooting video klip dan pemotretan. Kami keluar dari museum ini pukul 2 siang dan langsung menuju Museum Nasional. Kalau ingin mengunjungi Museum Taman Prasasti, usahakan tidak sampai pukul 3 karena jam tersebut adalah jam tutup museum.
Sabtu, 25 Januari 2014 adalah hari terakhir saya dan Plab bisa jalan-jalan keliling Jakarta dengan Trans Jakarta. Kami berencana untuk mengunjungi beberapa museum di daerah Kota Tua. Kebetulan keluarga Oom saya juga berencana untuk liburan ke sana jadi kami berangkat bersama. Sayangnya kami baru bisa berangkat pada pukul 11 siang dari Tebet karena harus menunggu keluarga yang dari Depok. Lalu lintas Jakarta arah Kota Tua hari Sabtu macet. Mobil kami berhenti cukup lama saat sampai di daerah Glodok. Mendekati Kota Tua, nuansanya agak berbeda karena banyak bangunan-bangunan kuno berarsitektur Eropa yang masih berdiri. Kami parkir di belakang kantor Imigrasi yang sangat dekat dengan museum Fatahillah di Kota Tua. 


   
  1. Museum Fatahillah
Nama resmi Museum Fatahillah adalah Museum Sejarah Jakarta karena berisi banyak barang-barang sejarah dari Eropa, Cina, dan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang memiliki andil dalam mendefinisikan Jakarta. Jakarta beberapa abad yang lalu adalah sebuah kota Bandar besar dengan populasi multietnis. Sebenarnya kalau mau jujur, inilah tujuan wisata yang paling saya idam-idamkan untuk dikunjungi saat berada di Jakarta. Sayangnya saat saya sampai di sana, museum sedang mengalami renovasi sehingga tidak terbuka untuk umum. Konon salah satu isi museum ini adalah barang-barang peninggalan para gubernur jenderal, termasuk lukisan-lukisan potret mereka. Renovasi museum ini diprediksi selesai pada tahun 2015. Kecewa? Pasti. Renovasi ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah DKI untuk melakukan pembenahan di wilayah Kota Tua. Paling tidak hal ini membuat saya belajar bahwa sebelum liburan, kita harus tahu kondisi terkini dari objek wisata yang ingin dikunjungi.
Hal pertama yang menarik bagi saya saat masuk ke kompleks museum adalah keberadaan peluru-peluru meriam yang jumlahnya puluhan dan tersebar di beberapa tempat. Peluru-peluru ini berukuran besar, sudah berkarat dan bisa dipastikan berasal dari zaman VOC. Ada juga meriam-meriam yang keadaannya tidak jauh berbeda dengan peluru-pelurunya. Walaupun tidak bisa masuk ke museumnya, saya cukup puas memandangi megahnya gedung ini dan luasnya lapangan yang ada di depannya. Merinding rasanya membayangkan salah satu bagian dari kompleks ini pernah dijadikan sebagai penjara di zaman kolonial yang kondisinya tidak manusiawi. Ada kira-kira lima menit saya berdiri di tengah-tengah lapangan dan mengarahkan pandangan saya secara menyeluruh mulai dari sayap kiri bangunan, pintu masuk yang sangat kokoh, atap yang unik, dan sayap kanan bangunan. Di tengah-tengah lapangan tempat saya berdiri terdapat sebuah sumber air yang telah dibangun menjadi kolam. Ada sebuah penanda yang menyatakan bahwa sumber air tersebut merupakan sumber air minum bagi masyarakat sekitar di zaman kolonial.
Lapangan kompleks Museum Fatahillah dikelilingi dengan para penyedia jasa foto yang berkostum unik serta penyewaan sepeda onthel. Bahkan saat saya meninggalkan museum, ada sebuah grup reog yang sedang tampil di tengah-tengah lapangan.
Tepat di depan Museum Fatahillah, terdapat kantor pos dengan bangunan kuno khas zaman kolonial. Saat keluar dari mobil sampai berjalan ke lapangan, saya ingat tidak bisa melepaskan pandangan dari beberapa jendela tua yang berada di samping kiri gedung kantor pos ini. Lingkungan ini memang pantas disebut sebagai Kota Tua.




  1. Museum Wayang
Museum ini terletak persis di sebelah kanan Museum Fatahillah (maaf saya buta arah di Jakarta). Bangunannya sangat unik. Mirip bangunan-bangunan di Eropa yang digunakan sebagai toko dan terletak di pinggir jalan. Ini membuktikan bahwa bentuk asli bangunan yang berasal dari zaman kolonial masih dipertahankan. Bagian dalam bangunan ini juga sangat unik karena terdiri dari banyak lorong-lorong yang bagian kanan kirinya penuh dengan koleksi wayang yang dibingkai atau disimpan dalam wadah kaca. Tiket masuk museum hanya sebesar 2000 rupiah dan tidak perlu membayar untuk membawa kamera. Museum ini terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama berisi koleksi wayang dari beberapa daerah di Nusantara.
Lantai pertama didominasi oleh koleksi wayang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Betawi. Bentuk wayang dari Jakarta unik sekali. Tokoh-tokohnya adalah para pendekar berbaju hitam dan pihak kolonial Belanda. Ada juga formasi lengkap keluarga si Unyil. Lantai pertama terdiri dari 2 ruangan dan dipisahkan oleh sebuah lorong yang di bagian kirinya penuh dengan prasasti yang biasanya berada di makam orang-orang penting di zaman dahulu. Salah satunya adalah milik Gubernur Jenderal Van Imhoff. Ruangan di lantai 2 tidak terlalu luas dan hanya terdiri dari koleksi alat-alat yang digunakan dalam memainkan wayang.
Lantai ketiga memiliki banyak sekali koleksi wayang yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari negara yang bersangkutan. Prancis ternyata memiliki tradisi wayang yang jumlah karakternya cukup banyak. Begitu juga dengan Inggris dan Polandia. Namun wayang di sana berbentuk seperti boneka. Wayang dari China ukurannya besar dan mirip dengan tokoh-tokoh yang biasanya dipentaskan di drama panggung klasik mereka. Wayang-wayang dari Kamboja dan Thailand cukup mirip dengan wayang di Indonesia. Ini baru ruangan pertama di lantai ketiga. Kalau berada di  ruangan ini, jangan lupa untuk melihat ke lantai. Di lantai ada beberapa gambar tentang perbedaan bagian-bagian tubuh wayang di Indonesia. Contohnya, perbedaan antara hidung mancung dan pesek dalam karakter wayang di Indonesia.
Ruangan lain berisi berbagai jenis wayang yang sebelumnya belum pernah saya kenal. Dan semua wayang ini berasal dari Indonesia! Contohnya adalah wayang yang seluruh tubuhnya terdiri dari ayat-ayat suci Al Quran. Ada juga wayang rumput dan wayang yang dulu biasa digunakan oleh para misionaris dalam memberi khotbah. Ruangan ini juga menyimpan koleksi lengkap gamelan yang biasanya mengiringi pertunjukan wayang.
Untuk menuju pintu keluar, kami harus melewati sebuah jalan menurun yang sebelah kanan kirinya masih dihiasi dengan kotak kaca berisi koleksi wayang dan topeng. Kebanyakan adalah wayang dari Bali yang bentuknya lebih detail dan megah. Jalan menurun ini akan membawa pengunjung ke sepasang ondel-ondel besar yang menunggu di kaki tangga. Ini menandakan akhir perjalanan mengelilingi Museum Wayang.

  1. Museum Seni Rupa dan Keramik
Terletak persis di sebelah kiri Museum Fatahillah, gaya bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik mengingatkan pada bangunan di zaman Yunani kuno yang dulu sering saya lihat di ensiklopedi Yunani Kuno saat masih SD. Warna bangunannya putih dengan beberapa pilar besar yang menopang atap berbentuk segitiga. Terasnya sangat luas dan ada dua buah patung pelukis ternama Indonesia, Raden Saleh dan S. Sudjojono. Tiket masuknya 5000 rupiah per orang, tapi tidak diperbolehkan menggunakan kamera yang memiliki flash. Penggunaan kamera HP masih diizinkan. Hal ini dilakukan untuk melindungi koleksi lukisan yang rentan terhadap sinar.
Museum ini terdiri dari beberapa ruangan yang menyimpan koleksi lukisan dan keramik. Lukisan-lukisan sudah dikelompokkan secara periodik. Kalau melihat susunan lukisan berdasarkan periodisasinya, kita bisa menyimpulkan bahwa pelukis pelopor di Indonesia adalah Raden Saleh. Bukan berarti bahwa sebelum Raden Saleh tidak ada pelukis di Indonesia, namun karyanya yang sangat berpengaruh bisa dijadikan titik awal perkembangan seni lukis Indonesia.
Periode Raden Saleh ini diikuti dengan periode-periode berikutnya. Salah satunya adalah lukisan yang dikelompokkan di bawah tema Mooi Indie. Dosen saya, Prof Faruk, pernah membahas sekilas tentang lukisan ini di kelas pascakolonialisme. Pada dasarnya, lukisan Mooi Indie adalah lukisan yang bertema pemandangan alam Indonesia yang saat itu dianggap memiliki keindahan tersembunyi yang layak untuk ditampilkan. Tokoh-tokohnya antara lain Lee Man Fong dan Walter Spies. Periode mooi indie ini diteruskan kembali ke lantai pertama dengan beberapa periode lainnya. Antara lain adalah periode zaman Jepang, Lekra, sampai yang terakhir adalah periode Seni Rupa Baru. Dari beberapa lukisan tersebut, ada lukisan Henk Ngantung yang pernah menjadi Gubernur DKI dan lukisan Affandi yang sangat mudah dikenali. Sayangnya ada banyak sekali lukisan asli di museum ini. Dengan kondisi museum yang tidak sebaik museum-museum di Eropa, mungkin akan lebih baik jika pihak museum hanya memajang lukisan reproduksinya saja.
Bagian lain dari museum menyimpan koleksi keramik yang amat banyak dan berasal dari zaman yang bervariasi. Kebanyakan keramik yang dipajang berasal dari luar negeri. Hebatnya lagi, museum ini memiliki koleksi keramik China dari beberapa dinasti. Ada juga sebuah kotak kaca khusus yang digunakan untuk menyimpan pecahan keramik-keramik yang ditemukan di lambung kapal karam dan disebut dengan BMKT (Barang Muatan Kapal Karam).




  1. Car Free Day Bunderan HI
Hari Minggu adalah hari terakhir saya di Jakarta karena saya pulang di malam harinya. Pagi hari setelah sarapan, sepupu saya dan suaminya mengajak saya untuk pergi ke Car Free Day yang ada di Bunderan HI. Akhirnya kami bertiga ditambah Tante dan keponakan saya berangkat pada pukul 9 pagi. Sangat sulit untuk mencari parkiran mobil di sekitaran HI saat hari Minggu. Banyak jalan ditutup untuk CFD, termasuk jalur busway. Akhirnya kami parkir di lantai 3 sebuah hotel yang berada di sekitaran Bunderan HI. Dari situ kami bisa berjalan ke CFD.
Car Free Day adalah sebuah kegiatan yang diselenggarakan untuk memberi ruang pada penduduk Jakarta untuk berolahraga di sekitaran HI dengan meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor. Jadi, di CFD ini banyak sekali orang-orang yang bersepeda dan melakukan jogging. Saat saya datang ke CFD, kebetulan Presiden SBY sedang hadir untuk mengkampanyekan gerakan tertib lalu lintas untuk keselamatan. Ada panggung besar yang dilengkapi dengan monitor untuk melakukan telekonferensi dengan Kapolda Jawa Timur dan gubernurnya. Acara ini diramaikan dengan beberapa drum band yang salah satunya memainkan lagu ciptaan SBY. Selain acara kampanye tertib lalu lintas, ada banyak sekali komunitas yang berada di CFD. Mereka rata-rata membawa spanduk besar yang memberi informasi tentang komunitas mereka. Saya sempat melihat komunitas Fathinistic yang melakukan long march. Komunitas ini membawa banyak spanduk karena mereka ternyata adalah Fathinistic dari berbagai daerah yang khusus berkumpul di CFD.
Tidak banyak yang bisa kami lakukan di sana selain duduk dan mengamati sekitar. Jalan sangat penuh dengan orang. Tidak ada ruang untuk berolahraga. Lagipula kami memang datang ke sana bukan untuk berolahraga. Kegiatan pagi di CFD kami akhiri dengan membeli sate padang dan bubur ayam dari pedagang yang banyak berjualan di sekitar lokasi.

  1. Thamrin City
Thamrin City adalah pusat perbelanjaan di daerah Tanah Abang dan terkenal menjadi tempat grosir. Jadi pembeli membeli banyak barang dengan harga miring untuk kemudian dijual kembali. Lokasinya dekat dengan Pasar Tanah Abang yang belum lama sering diberitakan di televisi terkait penggusuran pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir-pinggir jalan sehingga menghambat lalu lintas dan relokasi mereka ke tempatnya yang baru. Bisa dilihat sekarang kalau wilayah tersebut sudah lumayan tertata walaupun masih macet. Ada banyak barang yang dijual di sini, mulai dari baju, sepatu, perabotan, sampai oleh2. Yang paling laris tentu saja bagian baju. Tante dan sepupu saya membeli baju-baju muslim untuk dijual kembali kepada teman-teman mereka di kantor. Di mana-mana terdapat tulisan “Thamrin City Pusat Grosir Batik”, namun jumlah penjual batik tidak sebanyak yang saya bayangkan. Lebih banyak didominasi oleh penjual baju muslim.
Bangunannya terdiri lebih dari 5 lantai (tidak sempat menghitung) dan apabila datang ke sana menggunakan mobil, mobil harus naik ke lantai dua atau tiga untuk parkir. Di Jakarta sudah terlalu banyak kendaraan pribadi, jadi sistem parkir seperti ini sangat membantu menghindari kemacetan. Kalau di Jogja kebanyakan parkir mobil masih di basement.
Yang menarik untuk saya adalah pusat buku bekas yang lokasinya terletak dengan pintu masuk parkiran. Walaupun tidak sebesar shopping centre di Jogja atau Kwitang, penjualnya memiliki beberapa koleksi novel bahasa Inggris, majalah bekas, dan cerita-cerita silat Indonesia zaman dulu.
Beberapa saran yang bisa saya sampaikan bagi teman-teman yang ada niat yang berkunjung ke ibukota untuk melancong antara lain:
  1. Pastikan tidak datang saat musim hujan.
  2. Walaupun Jakarta terkenal dengan banyak mall, jangan lupa untuk berkunjung ke museum-museumnya. Beberapa museum tertua di Indonesia ada di kota ini.
  3. Lebih baik menggunakan Trans Jakarta atau motor sebagai transportasi. Selain asyik, dua transportasi tadi jarang terkena macet jika dibandingkan mobil atau angkutan lain.
  4. Jangan lupa untuk mencari informasi tentang tempat yang akan dikunjungi, seperti jam buka dan tutup serta kondisi tempat wisatanya (misal: sedang direnovasi atau tidak).
  5. Kalau bisa menginap di tempat keluarga, teman, atau kenalan untuk menghemat biaya.
  6. Akan lebih baik apabila membawa bekal (makan dan minum) dari rumah berhubung kita tidak pernah tahu kebersihan makanan di tempat-tempat wisata.
  7. Pakailah pakaian dan alas kaki yang nyaman agar betah berjalan-jalan.
  8. Hati-hatilah dengan barang bawaan. Jakarta terkenal dengan kriminalitas. Kalau naik bus, sebisa mungkin tas atau ransel ditaruh di depan.
  9. Jangan sungkan untuk bertanya apabila tersesat. Tapi pastikan bahwa kalian bertanya pada orang yang tepat (petugas busway atau polisi). Bukan bermaksud suudzon dengan orang-orang lain, tapi ada baiknya berhati-hati dengan orang yang tidak dikenal.
Begitulah hasil jalan-jalan saya bersama Plab selama empat hari di Jakarta. Masih banyak tempat lain yang belum sempat kami kunjungi. Semoga tulisan ini bisa memberi sedikit gambaran bagi siapa saja yang berniat untuk melancong ke ibukota.