Sabtu, 31 Agustus 2013

CHICKEN SOUP FOR THE SOUL: LOVE STORIES


     Paling tidak sekali seumur hidup, orang pasti pernah melakukan sesuatu dengan tidak berpikir panjang. Hal tersebut biasanya berimbas pada hasil yang buruk. Untungnya kali ini saya tidak mendapatkan hasil yang buruk. Bahkan bisa dibilang bagus. Jadi saya mendapatkan buku Chicken Soup for the Soul: Love Stories tanpa punya alasan kenapa. Asal ambil saja. Biasanya saya punya alasan yang kuat untuk meminjam sebuah buku. Paling tidak diawali dengan membaca sinopsis yang ada di belakang buku. Kali ini tidak. Tiba-tiba saja saya sudah berada di dekat meja peminjaman dengan membawa buku ini.
Sejak SD saya sudah gemar dengan seri-seri Chicken Soup dan sudah lama saya tidak membaca seri-seri tersebut. Mungkin alam bawah sadar sayalah yang membuat saya mengambil keputusan untuk meminjam buku ini tanpa pikir panjang. Ada memori yang sudah akrab akan seri-seri ini.
Dari dulu, konsep seri-seri Chicken Soup tidak berubah. Beberapa orang mengirimkan tulisan sesuai tema yang ditentukan oleh tim editor. Karena seri yang saya baca adalah seri Love Stories atau Kisah Cinta, maka isinya adalah tentang pengalaman mencintai dan dicintai seseorang serta bagaimana dengan mencintai dan dicintai, mereka menemukan kebahagiaan dan semangat dalam hidup. Kedengarannya simpel. Namun saat mulai membaca, biasanya sulit melepaskan buku ini. Untuk saya, ada dua alasan kenapa biasanya saya sulit berhenti membaca buku ini sekali sudah di tangan: 1. ceritanya singkat dan padat 2. mayoritas kisah nyata (walaupun ada bumbu-bumbu tambahan).
Jadi secara isi, buku ini jauh dari kata-kata motivasi tapi buku ini bisa memotivasi. Motivasinya disalurkan lewat pengalaman orang-orang yang pernah mengalami masalah dalam mencintai dan dicintai. Untuk orang seperti saya yang masih jomblo dan belum punya pengalaman dengan lawan jenis, buku ini cukup inspiratif karena menjelaskan dengan cara sederhana tentang apa yang dimaksud dengan dedikasi dan kesabaran. Walaupun dalam konteks buku ini, yang dimaksud dedikasi adalah dedikasi dengan pasangan atau kesetiaan, namun kata ini juga bisa diterapkan dalam konteks yang sangat umum. Sedangkan kesabaran biasanya terdapat dalam kisah-kisah pasangan yang telah menempuh kebersamaan sampai merayakan pernikahan emas atau perak. Kisah-kisah mereka biasanya fokus pada dalamnya kesabaran yang melahirkan saling pengertian dalam menghadapai satu sama lain. Dalam merajut kebersamaan, entah dengan pasangan, rekan kerja, maupun teman, sering terdapat ketidakcocokan. Dengan kesabaran, banyak pernikahan dan pertemanan yang bisa langgeng sampai maut memisahkan.
Buku ini terdiri dari delapan bab: Bagaimana Kami Bertemu, Kekuatan Cinta, Syukur, Mengatasi Rintangan, Di Mata Seorang Anak, Pemahaman dan Pelajaran, Kekuatan dari Memberi, serta Saat-saat Istimewa. Beberapa kontributor menyumbangkan lebih dari satu tulisan untuk edisi ini. Untuk saya, tidak ada bab favorit dan cerita favorit. Namun, cerita yang menurut saya inspiratif dan bisa dijadikan pelajaran biasanya bersumber dari pasangan yang telah bersama selama puluhan tahun dan telah mengalami masa bahagia dan duka bersama namun tetap bertahan saling mencintai. Salah satunya tulisan Betty King dalam bab 6 “Pemahaman dan Pelajaran” yang berjudul “Pernikahan dengan Landasan yang Kuat”.
Buku ini ringan dan inspiratif karena menceritakan pengalaman cinta menarik dari beberapa orang. Untuk yang sedang jatuh cinta dan berusaha menemukan cinta, buku 344 halaman ini pasti bisa memberikan sesuatu yang berguna untuk menjalani hari-hari dengan pasangan dan melihat cinta dengan sudut pandang yang lebih lebar. Selamat membaca!

Jumat, 30 Agustus 2013

PASAR


Setiap daerah, apalagi kalau itu ibukota kabupaten, pasti memiliki sebuah pasar tradisional yang biasanya terletak di tengah-tengah kota. Posisinya di tengah kota bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat kota lain tentang betapa makmurnya masyarakat pemilik pasar tersebut. Sudah sejak lama pasar secara tidak langsung dipakai sebagai parameter maju dan sejahteranya suatu daerah.
Fakta tentang pasar tradisional ini tidak hanya bisa dijumpai di Indonesia namun juga di negara-negara lain. BBC sering meliput tentang kondisi pasar-pasar di daerah Afrika dan Asia. Kenyataannya, di Afrika bahkan orang harus rela berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk bisa menjual hasil bumi atau hasil karya kemudian membarternya dengan barang-barang kebutuhan di pasar tradisional. Pasar tradisional adalah satu-satunya tempat yang bisa menyediakan transaksi unik  ini. Orang dari berbagai macam latar belakang berkumpul untuk bertransaksi. Jelas pasar tradisional adalah satu-satunya tempat di mana mereka bisa mendapatkan barang-barang kebutuhan yang tidak tersedia di kampung mereka.
Selain kegiatan ekonomi, ada juga interaksi sosial yang diwakili dengan kegiatan tawar-menawar. Lewat tawar-menawar, interaksi sosial yang lebih intim dapat dibangun. Dalam tawar menawar, manusia dituntut untuk berkomunikasi lewat berbicara. Pengetahuan manusia salah satunya dibangun dan disalurkan dengan berbicara. Dalam berbicara, timbullah rasa akrab. Tidak jarang kita mengenal penjual beras langganan keluarga di pasar yang juga turut diundang di pernikahan kakak perempuan kita. Atau pembeli langganan toko buah yang selalu menyempatkan barang tujuh menit untuk mengobrol dengan si penjual tentang kabar anaknya yang kuliah di kota lain atau kesehatan tetangganya yang makin memburuk.
Namun, keberadaan pasar tradisional saat ini tergeser dengan makin maraknya pasar modern atau yang lebih sering disebut dengan supermarket. Keberadaan supermarket sebenarnya adalah cara untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini. Manusia zaman sekarang butuh praktis dan cepat. Tidak perlu ada percakapan bertele-tele lewat tawar menawar jika yang dibutuhkan hanya sebotol air mineral, bukan? Di dalam masyarakat modern, orang-orang bergerak. Mereka mencoba efisien dengan waktu karena waktu adalah uang.  Dalam bertransaksi pun, pasar modern lebih tertarik dengan alat pembayaran yang nilainya bisa ditakar. Nominal menjadi yang paling utama. Dengan kata lain, ekonomi adalah tujuan utama diadakannya kegiatan jual beli di pasar modern.
Sebenarnya, jika ditilik dari fungsi-fungsi, baik itu sosial maupun ekonomi, pasar tradisional dan supermarket sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Biasanya jika terdapat masalah seperti ini, solusinya adalah menyatukannya. Dengan kata lain, mendirikan beberapa supermarket di kota yang memiliki pasar tradisional adalah solusi yang bijak. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah jumlah supermarket yang dikhawatirkan bisa menggeser dan bahkan menenggelamkan fungsi pasar tradisional sebagai sumber pendapatan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari berdagang di pasar tradisional dan memenuhi kebutuhan sosial masyarakat untuk berinteraksi. Solusi yang diambil beberapa kepala daerah untuk membatasi pertumbuhan supermarket cukup bijak. Pasar tradisional pun juga perlu pemeliharaan agar menarik minat orang-orang yang lebih tertarik pergi ke supermarket. Hal ini biasanya terjadi di kota-kota besar.
Di daerah-daerah yang masyarakatnya masih menganggap bahwa acara berkumpul, membantu, dan mengetahui kabar satu sama lain sebagai hal utama, pasar tradisional masih memiliki tempat di kehidupan. Mereka masih membutuhkan ruang untuk mengekspresikan jati diri mereka sebagai masyarakat komunal. Pasar tradisional adalah salah satu konsep yang tersisa untuk dapat memenuhi fungsi-fungsi tersebut. Sayangnya, daerah-daerah ini biasanya adalah daerah yang belum tersentuh modernisasi. Tapi di kota-kota besar pun, masih banyak orang yang membutuhkan keberadaan pasar tradisional. Bangsa yang sudah tumbuh dengan warisan komunal secara turun-temurun memang tidak mudah melepas esensi kebersamaan yang telah diwariskan nenek moyangnya.
Di tengah modernisasi yang makin merambah ke kota-kota pelosok Indonesia, mempertahankan keberadaan pasar tradisional menjadi suatu kebutuhan sebagai bentuk apresiasi pemerintah serta masyarakat daerah tersebut terhadap masyarakat pedagang di sekitar kawasan tersebut dan tradisi sosial yang telah menjadi kebutuhan masyarakat komunal.
Ketika menghabiskan hari Minggu mengunjungi pasar tradisional, saya tahu bahwa para penjual ini mungkin merasakan bahwa makin hari makin sedikit pembeli yang mau bersusah-payah naik turun mencari barang kebutuhan sambil melakukan penawaran. Namun sampai sejauh ini mereka masih bertahan. Bukti bahwa masih ada yang membutuhkan mereka. Mereka sudah bertahan selama ini dan akan terus bertahan sampai nanti. Semoga saya tidak salah. 

Rabu, 21 Agustus 2013

SINDROM


Ada sindrom baru yang menyerang saya. Lebih tepatnya cara berpikir saya. Sindrom ini merangsang saya untuk membuat kesimpulan bahwa hari yang lalu terlihat lebih baik. Ini bukan berarti saya tidak bersyukur dengan apa yang saya alami dalam hidup selama 24 tahun ini. Hanya saja, akhir-akhir ini saya cenderung merasa sering membandingkan segala sesuatu di sekitar. Tiba-tiba saya menjadi seseorang yang  memperhatikan orang-orang di lingkup hidup saya. Kemudian semuanya selalu berujung pada kesimpulan bahwa orang-orang ini lebih menyenangkan beberapa tahun yang lalu dan keadaan di tempat-tempat itu lebih menyenangkan dua tahun yang lalu. Seolah masa lalu punya kapasitas yang lebih besar untuk membawa kebahagiaan bagi hidup dibandingkan masa kini.
Ada kecenderungan dalam diri saya masa lalu terlihat lebih jujur dan penuh optimisme. Ada seorang teman yang pernah bilang bahwa masa muda selalu penuh dengan mimpi-mimpi dan hal tersebut membuatmu merasa hidup. Your life seems complete katanya. Namun semakin menua, perlahan akan timbul kesadaran bahwa tidak semua mimpi di masa lalu bisa dicapai dengan mudah. Kemudian orang mulai lupa dengan idealisme di masa muda dan berganti prinsip untuk lebih fokus mengikuti ke mana arus hidup membawa mereka. Lebih realistis katanya.
Entah sudah berapa kali kalimat macam “Semakin tua, kamu akan semakin lupa dengan idealisme di masa muda” diucapkan beberapa orang dari beragam profesi kepada saya. Frekuensi diucapkannya kalimat macam itu semakin meningkat seiring bertambah dewasanya saya. Dulu saya tak merasa perlu untuk memikirkannya, tapi semakin ke sini, semakin ada semacam desakan untuk mempertanyakan kebenaran pertanyaan tersebut. Saya lihat sekitar. Saya amati orang-orang di sekitar saya. Lalu saya mulai sadar bahwa ada perbedaan besar dalam diri mereka. Sebelumnya tak pernah saya berpikir tentang perubahan tersebut. Namun sekali memutuskan untuk mencoba mengamatinya, segalanya tampak jelas. Si A semakin serius dan lebih jarang melempar joke seperti saat masih sekolah. Si B sering bercerita tentang macam-macam pekerjaan yang menurutnya menghasilkan pundi-pundi materi yang tidak sedikit. Si C bercerita banyak hal tentang anaknya yang mulai tumbuh besar dan suami yang sangat perhatian. Saya pikir ia dulu akan jadi seorang akademisi karena kepintarannya yang di atas rata-rata. Si D menjadi sangat suka membuat kalimat-kalimat bijak tentang hidup di media sosial. Semuanya terlihat sangat relistis, aktif, dan berkejaran dengan waktu. Dan mereka terlihat berbeda.
Di mana masa lalu? Seolah tiap orang sudah siap di garis start untuk memulai sebuah perlombaan kehidupan. Entah apa yang dikejar. Dalam perlombaan ini, tiba-tiba semua orang menjadi lebih berpengalaman dari yang lain. Lebih pintar dari kebanyakan, dan lebih percaya diri untuk mengeluarkan statement yang berisi petuah dan kebijakan hidup. Saya juga mengejar banyak hal dalam hidup. Saya manusia normal yang punya banyak cita-cita. Dan saya merasa sendiri karena merasa seolah sayalah yang tak pernah berubah. Inilah alasan kenapa saya sangat merindukan masa-masa sebelum hari ini.
Ada rasa takut saat ini. Tak pernah saya merasa nyaman dengan orang-orang yang tidak saya kenal. Tapi akan lebih takut saya jika mengetahui orang-orang yang dulunya saya pikir saya kenal ternyata telah jauh berubah.
Mungkin saya yang salah. Mungkin saya harus mulai merobek dinding kebijaksanaan versi saya dan menghadapi hari ini dengan penuh semangat seperti mereka. Passionate, proud, grasping. Mencoba untuk lebih realistis tentang hidup, kata beberapa di antara mereka pada saya. Juga menyadari bahwa idealisme tidak bisa dipertahankan sampai mati. Ia bukan hal yang rigid, namun fleksibel. Dan bahwa cita-cita kadang tak selamanya bisa diraih. Cita-cita yang mungkin diwujudkan adalah yang paling dekat dari jangkauan. Lain daripada itu hanyalah angan-angan belaka. Tataplah masa depan lewat hari ini dan mulailah bersikap realistis.
Inikah saya? Mirip Gil dalam Midnight in Paris yang terjebak dalam era favoritnya di 1920an dan menganggap bahwa masa lalu ternyata lebih menyenangkan. Padahal orang-orang dari masa tersebut memiliki sindrom yang sama, mengagungkan era Belle Epoque di 1890an. Siklus ini tak akan pernah habis dikejar. Jadi akan lebih realistis ketika memutuskan berani untuk bersikap di hari ini walaupun konsekuensinya kamu harus berubah.
Benarkah?