Minggu, 30 Desember 2012

DI ANTARA DUA CANGKIR TEH




Dua cangkir teh ini
Mungkin tak akan pernah
Mampu dan cukup
Menggantikan hangatnya jingga
Dan aroma sore yang manis
Saat kita berdua
Berbicara tentang cinta.

Angin akhir Desember
Yang dingin ini
Kau tepis dengan cerita
Tentang pangeran berkuda putih
Yang menjemput kekasihnya
Di padang penuh poppy
Dan seketika
Hangat menjalar.

Tak usah kau risau
Pada suara klakson
Dan pekik terompet
Di seberang pagar.

Mari kita teguk
Cangkir masing-masing
Dan melanjutkan cerita
Tentang pangeran berkuda putih
Yang menjemput kekasihnya
Di padang penuh poppy
Sebelum dingin
Sebelum jingga pudar. 

Sabtu, 29 Desember 2012

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 3



Saya akui bahwa saya sungguh terlambat membaca buku ini karena buku ini terbit tahun 2009 dan kira-kira-kira 3 tahun sebelumnya, saya pernah sepintas melihat iklan tentang buku ini saat membaca majalah Tempo. Saat itu saya tertarik karena buku ini ditulis oleh Rosihan Anwar, wartawan senior yang namanya sering muncul di buku-buku maupun review-review sejarah yang saya baca.
Petite Histoire tidak hanya terdiri dari 1 jilid namun ada 4 jilid yang masing-masing sepertinya menceritakan tentang bidang tertentu yang berpengaruh pada sejarah Indonesia. Sayangnya saya memang sedang sial. Bukannya menemukan jilid 1, malah jilid 3 yang saya temukan terlebih dahulu. Namun saya sedikit bersyukur karena sepertinya buku ini tidak seperti cerita bersambung di mana kita harus tahu info di buku sebelumnya.
Setelah membaca buku ini, ada tiga topik yang disoroti oleh penulis. Bagian pertama adalah kebangkitan nasional. Bagian kedua adalah peranan tokoh-tokoh penting yang namanya kurang dikenal dalam perjuangan merebut maupun mempertahankan kemerdekaan, dan yang terakhir adalah dunia kewartawanan. Bagian favorit saya adalah yang pertama karena menyajikan fakta-fakta sejarah yang berhubungan dengan politik. Sebagai contoh adalah fakta bahwa dahulu salah satu tokoh perjuangan, yaitu dr. Abdul Halim, pernah menjual candu ke Singapura karena RI membutuhkan valuta asing untuk membeli senjata,obat-obatan, dan perlengkapan tentara. RI juga ternyata pernah memiliki pabrik candu yang ada di bawah kepengurusan Djawatan Tjandoe dan Garam. Pabrik tersebut merupakan warisan dari zaman Belanda.
Bagian I dimulai dengan peran wartawan dalam pergerakan nasional. Rosihan Anwar menyebutkan beberapa nama wartawan pribumi awal seperti R.M. Tirtoadisoerjo yang mendirikan “Medan Prijaji” serta dr. Abdul Rivai yang mendirikan majalah “Bintang Hindia” yang terbit di Belanda. Dari wartawan, bahasan beralih pada peran para dokter yang bersekolah di STOVIA, sekolah dokter jawa pertama di Hindia Belanda. Tokoh-tokohnya antara lain: Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangunkusumo. Rosihan Anwar kerap kali juga menyajikan fakta-fakta sejarah jauh sebelum zaman pergerakan nasional yang membantu penjelasannya tentang zaman pergerakan nasional. Contohnya, runtuhnya Hindia Belanda disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah faktor dari dalam yaitu korupsi yang sudah merajalela di tiap tingkatan pemerintahan mulai dari tingkat pribumi yang mendapat mandat dari atas sampai tingkat pemerintahan pusat di Batavia. Sebenarnya Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) pernah berusaha keras untuk melawan praktek korupsi ini namun nampaknya efek perlawanan tersebut tidak bertahan sampai zaman pergerakan nasional.
Bagian II menyoroti tokoh-tokoh yang berperan dalam aktivitas merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Sebagian besar tokoh-tokoh tersebut tidak pernah kita dengar namanya dalam buku-buku pelajaran sejarah. Mungkin karena mereka datang dari berbagai bidang dan jumlahnya cukup banyak. Ada beberapa tokoh wanita yang turut disebutkan, seperti Miriam Budiardjo dan Soerastri Karma Trimurti. Hal ini membuktikan bahwa peran serta wanita baik di zaman pergerakan maupun kemerdekaan tidak bisa dinafikkan karena ternyata mereka telah menorehkan prestasi yang tidak bisa dipandang remeh. Tokoh-tokoh lain yang disebutkan sebagian besar adalah kenalan baik Rosihan Anwar yang berafiliasi dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Rosihan Anwar adalah pengikut PSI. Memang ada tokoh-tokoh lain yang tidak berhubungan sama sekali dengan PSI tapi jumlahnya tidak sebanyak yang punya. Oleh karena itu, saat menceritakan tokoh-tokoh yang terlibat G 30 S/PKI, tulisan Rosihan Anwar sedikit bernada sinis. Perbandingan sangat terlihat saat dia menceritakan kesan tentang Sarbini, tokoh ekonomi, serta Soedarpo Sastrosatomo yang penuh dengan puja puji dan pandangannya tentang Pramoedya Ananta Toer dan Sobron Aidit yang PKI. Sangat kentara di beberapa tulisannya Rosihan Anwar menunjukkan ketidaksukaannya dengan PKI. Mungkin karena dulu PKI berkonfrontasi dengan PSI. Hal ini membuat saya menilai tulisannya bias.
Bagian terakhir kebanyakan menyoroti tentang penyelenggaraan FFI dan pandangan Rosihan Anwar tentang bagaimana seharusnya pers Indonesia menyikapi berbagai kejadian di Indonesia, mulai dari politik, sosial, budaya. Dalam FFI, Rosihan Anwar menyebutkan peranannya dalam ajang tersebut dan proses penentuan pemenang dalam FFI. Hal kedua merupakan favorit saya karena saya bisa mengetahui pertimbangan-pertimbangan apa saja yang diambil dalam memilih film terbaik. Di bagian kewartawanan, ia menyoroti mental wartawan Indonesia yang tidak mau bekerja keras dan cenderung money-oriented. Hal ini dia bandingkan dengan kinerja wartawan zaman perjuangan yang selalu mengedepankan prinsip komunal dan nasional dibandingkan individual.
Akhirnya, terlepas dari berbagai bias yang menurut saya banyak terdapat di buku ini, saya tetap merekomendasikan buku ini dibaca oleh mereka yang tertarik pada sejarah Indonesia, terutama sejarah pergerakan dan tokoh-tokoh perjuangan yang namanya tidak banyak diketahui. Selamat membaca!

Minggu, 23 Desember 2012

KKN Cibuk Lor II 2010





Ada beberapa orang yang tidak nyaman melakukan KKN karena satu dan lain hal. Beberapa hal yang membuat mereka tidak nyaman di antaranya adalah tempat yang terpencil sehingga akses ke mana-mana sangat terbatas, ketidaktersediaan air, tidak cocok dengan teman sekelompok, sampai masyarakat desa yang tidak kooperatif. Bagi saya, semua itu hanya mimpi buruk yang untungnya tidak menjadi kenyataan. Di awal KKN, saya sempat pesimis tidak akan bisa melampauinya dengan baik berhubung saya orang yang skeptis dan tidak bisa percaya dengan orang lain. Ternyata kenyataan berkata lain. KKN adalah salah satu momen terbaik dalam hidup saya. Tahun-tahun ke depan saya akan sarat dengan kenangan di tiap menit KKN dua tahun yang lalu.
Kelompok KKN saya tidak bernama. Kami memang sengaja tidak memberinya nama karena tidak terlintas sama sekali ide itu. Kalau pun harus diberi nama, mungkin adalah KKN UNY Cibuk Lor II 2010. Nama yang sangat resmi. Cibuk Lor adalah nama sebuah pedukuhan di daerah Seyegan, Sleman. Sedangkan II adalah hasil pembagian wilayah Cibuk Lor menjadi tiga bagian. Tiap bagian memiliki dukuh sebagai kepalanya dan anggota KKN biasanya tinggal di rumah dukuh selama masa KKN, kira-kira dua bulan.
Itu pula yang terjadi dengan kelompok kami yang anggotanya terdiri dari 10 orang. Masing-masing punya jabatan tersendiri yang saya lupa apa saja dan diisi oleh siapa saja. Mungkin karena dalam keseharian, kami tidak terlalu mempermasalahkan siapa menjadi siapa kecuali kalau memang orang itu memegang peranan yang mau tidak mau sering dimunculkan. Berdasarkan fakta tersebut, kami punya seorang ketua bernama Riska dan bendahara bernama Rina. Delapan anggota lain jabatannya tak jelas sama sekali. Kami tak pernah memanggil Riska dan Rina dengan nama asli mereka. Mereka lebih terkenal dengan panggilan Nyonya untuk Riska dan Tante untuk Rina. Begitulah. Mereka adalah dua orang yang jabatannya paling saya ingat karena Nyonya adalah ketua dan dia memiliki tanggung jawab untuk melapor saat DPL datang memeriksa matriks kegiatan dan Tante adalah anggota yang bertugas untuk mengumpulkan iuran bulanan demi membayar listrik, air, makan, dan program kerja KKN.
Kehidupan selama dua bulan bersama tentu tidak bisa dibilang dilalui dengan mulus-mulus saja. Ada kalanya kami cekcok karena hal yang sepele. Contohnya adalah saat menentukan siapa yang akan ikut upacara di lapangan pedukuhan atau mewakili kelompok rapat di balai desa. Hal-hal seperti itu justru malah membuat kami dekat karena secara tidak langsung kami menjadi tahu sifat dan karakter masing-masing sehingga tahu bagaimana harus bersikap saat salah satu di antara kami marah sekaligus bagaimana cara agar tidak membuat marah. Toleransi macam itu tidak bisa dicapai dalam waktu yang singkat. Pelajaran toleransi itu pastinya melatih kami banyak hal tentang bagaimana bersikap dengan orang lain di kemudian hari.
Dua bulan tinggal bersama bukan waktu yang singkat. Tanggal 1 Juli kami tiba di rumah Bu Dukuh kami yang bernama Bu Sugini untuk bersih-bersih dan mengangkut barang-barang kebutuhan selama kami tinggal di sana setelah mengikuti upacara penyerahan dari UNY ke desa yang diadakan di balai desa. Kami menghabiskan sebagian besar siang hari itu untuk bersih-besih dan mengangkut barang. Sore hari kami baru pulang ke rumah masing-masing. Kami resmi menginap tanggal 2 Juli 2010. Yang kami lakukan di hari pertama menetap adalah tidur-tiduran di kamar anggota putra sambil ngomong ngalor ngidul dan mendengarkan musik dari laptop. Kemudian kami merasa ada yang kurang. Kamar tersebut minus televisi yang kemudian membuat Dika setuju untuk membawa televisinya ke rumah Bu Dukuh setelah kami patungan membeli antena baru. Sejak saat itu, kamar anggota putra resmi menjadi base camp kami. Yang dimaksud base camp adalah mulai dari tempat makan, nonton TV, rapat, sampai glesotan tak jelas.
        Tidak selamanya selama dua bulan itu kami tinggal di sana. Sering kami pergi ke kampus atau hanya sekedar pulang ke rumah menengok keluarga atau kost di akhir pekan. Jadwal pulang tentu saja diatur dan tidak bisa seenaknya meninggalkan pos tanpa izin maupun mengabari anggota yang lain. Awalnya terasa sangat berat karena kehidupan kami hanya masalah bangun pagi, sarapan, mengerjakan program, nonton televisi sambil tidur-tiduran, makan siang, tidur-tiduran, jalan-jalan, makan malam, dan nonton televisi sambil menunggu ngantuk. Monoton sekali. Tapi kami belajar untuk menyesuaikan diri karena pada akhirnya kami harus bertahan hidup seperti itu selama 2 bulan ke depan. Dan ternyata kami berhasil. Setelah dijalani, ternyata kegiatannya tidak semonoton itu. Selalu ada hal baru. Sejujurnya, saya bangga dengan teman-teman KKN saya karena mereka bisa melampaui dua bulan kebersamaan dengan sangat baik.
       Untuk mengenang masa-masa kebersamaan kami yang sangat menyenangkan, saya akan menggali kenangan tentang mereka dalam profil berikut ini. Saya berhutang kepada sembilan orang ini karena telah memberi warna yang sangat beragam pada salah satu fase kehidupan saya.
  1. Riska Frihantining Hidayati
Kalau ditanya siapa anggota yang paling galak, mungkin Nyonya, begitu kami memanggilnya, akan dapat kehormatan untuk menyandang predikat ini. Hobinya tentu saja misuh-misuh pada sesuatu yang menurutnya tidak pada tempatnya. Tapi dia juga adalah koordinator terbaik di kelompok kami. Dia selalu hadir setiap kami menemukan kesulitan dan tentu saja rapat tak akan berjalan lancar tanpa pisuhannya. Nyonya menyukai anime, manga, dan segala hal berbau Jepang. Saya pertama kali tahu film Chibi Maruko Chan versi non manga dari dia. Dalam tiap pertemuan, Nyonya selalu datang tepat waktu dan dia juga bertanggung jawab terhadap tiap tugas yang diembankan padanya. Saya percaya bahwa matriks kami tak akan pernah jadi tanpa komandonya. Dia adalah umpan terbaik yang bisa kami berikan saat Pak Margono, DPL kami, meninjau lokasi.  Kala pulang menengok rumah, Nyonya tak pernah lupa membawa kripik balado yang jadi favorit kami semua saat kembali. Nyonya saat ini mengambil akta 4 jadi dia masih kuliah untuk mendapat sertifikasi guru di bidang kimia.


  1. Setiyo Utami Ningrum
Yang paling saya ingat dari Temi, panggilan kami untuknya, adalah saya sering berhutang pulsa padanya. Dia penjual pulsa yang tak pernah sering menagih hutang tapi tahu-tahu hutang sudah menumpuk. Temi berpacaran dengan salah satu anggota KKN Cibuk Lor I yang saya lupa namanya (maaf Temi!). Sampai sekarang mereka masih langgeng dan semoga kami mendapatkan undangan pernikahannya segera. Saat hari pertama bersih-bersih di rumah Bu Dukuh sebelum kami tinggali, Temi mengajak saya mampir ke rumahnya di daerah Kaliurang untuk mengambil barang-barang. Dia punya kebun salak dan saya sempat makan di kebunnya. Seingat saya, Temi adalah orang yang sangat moody jadi kalau mengajak bercanda harus melihat situasi dan kondisi karena bisa-bisa nantinya gagal berhutang pulsa. Selebihnya, dia sangat rajin dan sangat perasa jadi mudah terharu. Saat sesi curhat, dia sering menangis.



  1. Rina Nur Ayu Ningrum
Tante Rina mungkin adalah salah satu chef terbaik yang pernah saya kenal dalam hidup. Dia bisa masak roti, kue, dan western food dengan sempurna. Bahkan saat ini dia punya sebuah kedai di Food Court UNY yang paling laris dibandingkan kedai yang lain. Waktu KKN, Tante sering pergi kalau malam Minggu berhubung dia punya pacar. Dan tiap malam, sebelum tidur, dia selalu telepon-teleponan dengan Mas Ndaru, pacarnya. Berhubung saya tidur sebelahan dengan Tante, saya pura-pura sudah tidur padahal saya susah tidur gara-gara pembicaraan mereka. Jadi tiap malam, obrolan Tante dan Mas Ndaru adalah lullaby saya. Tante adalah anggota paling girly di kelompok kami. Dia suka semua hal yang bernuansa pink dan hampir semua barang-barangnya berwarna pink. Kami berhutang budi banyak pada Tante karena dia rela meminjamkan mobil papanya untuk membawa barang-barang kami ke pos KKN juga LCD kantor mamanya yang sangat berguna di banyak kegiatan kami. Tante tak pernah marah dan sering sekali menanggapi obrolan dengan frasa, “Ho’o tah?’. Hal itu jadi bahan ejekan kami sampai sekarang.


  1. Respati Nurul Hidayati
Selain Temi, Nurul juga bandar pulsa yang sering kami hutangi. Dia adalah anggota yang paling rajin karena selalu mengerjakan segalanya dengan serius. Kerja terhebatnya adalah ketika mendata semua penduduk Cibuk Lor II yang membuatnya harus berkeliling seluruh desa dan menempelkan stiker tanda sudah didata di rumah-rumah penduduk tersebut. Tanpa kerja kerasnya untuk mengunjungi rumah-rumah penduduk, kami tak akan pernah tahu warga A rumahnya di mana, atau Bapak B ikut RT berapa. Pekerjaannya memudahkan kami untuk kemudian mengirim undangan setiap ada proker. Nurul rajin bangun pagi dan selalu membantu menyapu dan mengepel rumah Bu Dukuh dan Mas Agus (anak Bu Dukuh). Saat ini Nurul sudah bekerja entah di Jakarta atau Bekasi. Tapi komunikasi antara kami masih terjalin dengan sangat baik.


  1. Edwin Wahyuni
Mungkin Edwin adalah anggota kelompok kami yang sering mendapat ejekan justru karena dia terlalu tahu banyak hal. Pengetahuannya pada hal-hal remeh temeh kami anggap di luar kewajaran. Pernah suatu saat kami sedang membuat rencana belanja kebutuhan perbaikan meja pingpong. Saat kami bingung mengira-ngira harga amplas, paku, dan tetek bengek yang lain, Wiwin dengan entengnya menyebutkan harga barang-barang tersebut satu per satu dan setelah kami ke toko material, bedanya sangat tipis. Ia juga tahu nama kodim di daerah Sleman. Saat Wiwin pulang ke rumah di akhir pekan, ia sering membawakan kami sambel goreng ati pedas buatan ibunya yang langsung ludes dimakan kami kalau tidak diamankan. Saat ini Wiwin sudah menikah dan jadi ibu rumah tangga yang sangat baik. Saat kami datang ke rumah Wiwin di hari pernikahannya, kami tak pernah menyangka kalau kami datang ke acara resepsi pernikahan karena Wiwin hanya mengundang kami untuk mampir ke rumahnya karena dia ulang tahun tanpa mengatakan kalau dia menikah di hari itu. Saat itu, untung tidak ada dari kami yang memakai celana pendek. 


  1. Windra
Kokoh mungkin adalah anggota yang paling bijaksana di kelompok kami karena memang dia paling tua di antara kami semua. Kami menganggap dia sebagai kakak seperguruan yang paling santun. Kokoh tak pernah marah dan kalau tertawa tak pernah ngakak. Dia juga rajin ke gereja dan merupakan jemaat gereja yang sangat aktif. Kami yang tingkat relijiusitasnya masih pas-pasan kadang minder melihat betapa seriusnya dia melayani gereja dan umatnya. Dua sifat aneh yang ditemukan pada Kokoh adalah walaupun dia sangat santun, narsisnya tetap nomor wahid dan dia tak akan pernah membiarkan dirinya menghadiri acara tanpa menata rambutnya terlebih dahulu. Dia selalu keluar dengan rambut yang rapi jali. Walaupun rambut itu akan rusak saat dia mengenakan helm, dia tak peduli. Dalam setiap rapat, kalau kami sedang ada adu pendapat, Kokoh akan pelan-pelan menggiring ke area diskusi yang aman. Dia juga tidak segan membantu anggota-anggota putri untuk mencuci gelas dan piring setelah acara selesai. Sekarang Kokoh sudah kembali ke Palangkaraya. Dia sudah menjadi guru yang mengajar di salah satu sekolah di daerah pelosok di Kalimantan Tengah. Semoga Kokoh selalu sukses dan kita bisa bertemu lagi.



  1. Yandika Fefrian Rosmi
Sebagai anak FIK, kesan kami pertama kali pada Dika tentu saja sangat berwibawa dan bisa dijadikan pemimpin. Makin hari, kami makin menyadari kalau dia lebih baik dijadikan anggota saja. Dika merupakan sosok yang lucu karena sifat sok-sokannya. Kalau kami berkumpul, dia pasti tidak pernah absen menyumbang satu lawakan. Stok lawakannya lumayan banyak. Dari semua anggota kelompok kami, dialah satu-satunya yang dipercaya mengajar di SD Cibuk. Jadi setiap pagi, dia sudah mandi dan pasang tampang di depan spion motor untuk kemudian melenggang ke SD dan mengajar mapel olahraga. Dalam hubungan dengan remaja desa, Dika adalah wakil kami yang selalu bisa diandalkan manakala kami merasa ada masalah dengan karang taruna desa. Jadi jangan heran kalau dia selalu menjadi jubir di setiap program kerja kami. Saat ini Dika sedang menempuh S2 di UNY. Cita-citanya menjadi dosen yang kemudian diangkat jadi menteri pendidikan.


  1. Bibid Bagasworo
Tidak berbeda dengan Kokoh, Bibid juga sangat relijius. Saat adzan subuh di bulan Ramadhan, ketika yang lain masih bersantai nonton TV atau kembali tidur, Bibid sudah bersiap berangkat ke masjid dengan sarung dan baju koko. Salah satu proker kami adalah TPA di masjid dan Bibid merupakan anggota putra yang paling rajin berangkat. Setiap ada rapat di kecamatan, kami selalu menjadikan Bibid sebagai umpan untuk datang karena kami sangat malas berangkat ke kecamatan dan ia menerimanya dengan lapang dada. Bibid adalah anggota yang paling akrab dengan cucu Bu Dukuh yang bernama Rafa. Kesabarannya dengan anak kecil lagi-lagi membuat dia selalu jadi umpan tiap kali Rafa merajuk minta main dengan kami. Di kelompok kami, Bibid juga dikenal sering membuat lelucon dan sangat kompak kalau diajak menggoda anggota kelompok yang lain. Saat ini dia sudah berkantor di salah satu perusahaan kendaraan besar di Jogja.


  1. Aan Diang Frastika Aji
Walaupun sangat malas mandi, tanpa Aan, saya yakin sebagian besar program kami tidak berjalan dengan mulus. Aan adalah satu-satunya lelaki di kelompok kami yang tahu dengan baik dan benar bagaimana caranya mengecat, mengamplas, memaku, mencangkul, dan beribu macam pekerjaan lainnya. Dulu, saat awal-awal kami berkumpul untuk membahas proker sebelum menjalani KKN, ia tak pernah datang. Kami sempat putus asa karena memiliki calon anggota yang tidak bertanggung jawab. Ternyata anggapan itu tidak terbukti. Kami berhutang budi sangat besar padanya untuk kesuksesan program kami. Aan juga dikenal sangat mellow padahal penampilan fisiknya sungguh gahar. Jangan kaget kalau sebagian besar koleksi lagunya adalah Westlife dan lagu-lagu setipe.  Di kelompok kami, ia adalah anggota yang makan paling banyak. Saat ini ia masih berjuang menyelesaikan skripsinya. Kami selalu memberi semangat padanya 100%.


Kami berpisah sebelum merayakan Lebaran. Saat itu semua proker sudah kami laksanakan dan ujian sudah dilampaui. Perpisahan dengan warga sudah kami selenggarakan di malam harinya. Yang saya ingat hari itu adalah kami seperti sengaja menyibukkan diri berkemas-kemas dan mengingkari kenyataan bahwa KKN selama dua bulan sudah berakhir. Sebenarnya sebelum berkemas-kemas itu sebagian besar dari kami sudah sering pulang karena proker sudah selesai, namun tetap saja perasaan sedih yang disembunyikan itu ada dia antara kegiatan menggulung kasur, mengepak kertas-kertas di kardus untuk diloakkan, dan memilah-milah pecah belah di dapur saat hari terakhir kami menetap di rumah Bu Dukuh. Ketika tiba saatnya kami duduk di teras dan menunggu mobil Tante Rina menjemput dan mengantar kami mengantar barang-barang, percakapan bergulir. Saat itu, sebagian besar dialog kami adalah pertanyaan tentang bagaimana keadaan desa setelah kami tinggalkan. Kami menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan bekas kamar kami nantinya. Waktu itu tidak ada dari kami yang menangis tapi saya percaya ketika mereka terbangun keesokan harinya, ada suasana berbeda yang membuat mereka rindu akan aroma pagi di Cibuk.



Wates, December 24th 2012
00:20 am

Jumat, 07 Desember 2012

OZYMANDIAS


Those who have read “Frankenstein” or at least known about the character, must be familiar with Marry Shelley, the creator. Her last name takes the family name of her husband, Percy Bysshe Shelley, a distinguished poet from Sussex. Besides poems, he also wrote essays, lyrical dramas of epic scope and translations which were not well recognized as his achievement as a poet. This time, I would like to talk a bit about his work, a poem entitled “Ozymandias”. This poem is pretty short and it is categorized as a sonnet. Although it is short, but it is considered as Shelley’s most notable short poem. How can it be more famous than his other poems? I will try to analyze it after you read the poem.

I met a traveller from an antique land
Who said: “Two vast and and trunkless legs of stone
Stand in the desert. Near them, on the sand,
Half sunk, a shattered visage lies, whose frown,
And wrinkled lip, and sneer of cold command,
Tell that its sculptor well those passions read
Which yet survive, stamped on these lifeless things,
The hand that mocked them and the heart that fed;
And on the pedestal these words appear:
“My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and despair!”
Nothing beside remains. Round the decay
Of that colossal wreck, boundless and bare
The lone and level sands stretch far away.

And below is the translated version of the poem based on my interpretation:

Aku bertemu seorang musafir dari negeri kuno
Yang berkata: “Ada arca kaki besar tanpa badan
Yang berdiri di padang pasir. Di sampingnya, di atas pasir,
Setengah terkubur, ada wajah yang telah hancur tergeletak, yang lipatan,
Dan kerut bibirnya, serta ejekannya yang bernada perintah,
Seolah bercerita bahwa sang pemahat menciptakan dengan baik ekspresi tersebut
Yang masih ada, dan diabadikan pada benda tak bernyawa,
Tangan yang menciptakan dan hati yang penuh tekad;
Dan di dasar arca tertulis:
“Namaku Ozymandias, raja diraja,
Lihatlah kekuasaanku, para kawula yang hebat, karena kau akan tunduk!”
Tak ada lagi apapun. Di sekitar reruntuhan patung
Yang mulai dimakan usia, lapang dan kosong
Hanya ada padang pasir terbentang.

The translated version cannot fulfill the rhyme ABABACDCEDEFEF because I cannot find the similar dictions in Indonesian which can form the rhyme. Therefore, I hope that those who read the poem at least can understand the surface content of the poem. To understand the true meaning of a poem, we cannot simply just read it once or twice. It need couple times of reading and often has to be accompanied by the historical or social background of the poems’ setting.
The poem does not follow either the Petrarchan (Italian) sonnet or Shakespearian (English) sonnet. However, it adopts the concept of octave (the first eight lines) and sestet (the remaining six lines) of the Petrarchan. The alteration of the 8th line to the 9th line is called “turn” and it marks the development of the poem up to the ending.
Ozymandias is the Greek for a statue of King Ramses II from the 13th century BC. The first persona of the poem met a traveler who had visited an antique land. The traveler told him that there was a huge shattered statue which started to decay in the desert. Although gradually being wrecked by age and weather, the face of the statue was still capable of resembling the subject of the statue. The subject was a powerful person. The words “whose frown and wrinkled lip, and sneer of cold command” explain the greatness of the subject who used to give orders and commands. The greatness was shown through the inscription on the pedestal of the statue that he was “Ozymandias, king of kings”. “Mighty” people should watch the statue to know how great he was because they would “despair” seeing his power.
The qualities were captured well by the sculptor and “stamped on these lifeless things”. The hand of him “mocked” the greatness and the heart was “fed” with passions. The word “mocked” was considered as to “imitate” with a certain irony (Webb, 1998; 99).
However, the grandeur of the statue which delivers the message from the past about how great the king was is continually degraded. The greatness of the king was lost to weather and age. In the beginning of the poem, dictions “trunkless”, “half sunk”, and “shattered” proves the decay of an old civilization and kingdom which had ever been triumphant before. What remains in the surroundings are merely “level sands stretch far away” which accompanies the lone statue in its struggle upon the age.
The poem has a message that all great civilizations and dominating power will decay no matter what. They will be eroded by either age or new civilization. Moreover, Shelley communicates that only words can endure the age. The inscription on the pedestal is still able to tell the onlookers that the subject of the statue was a powerful person back in the time while the statue itself was eroded by time.

Source:
Webb, Timothy. 1998. Percy Bysshey Shelley. London: J.M. Dent.
http://www.uni.edu/~gotera/CraftOfPoetry/sonnet.html
http://www.gradesaver.com/percy-shelley-poems/study-guide/section4/
http://nothing-yeteverything.blogspot.co.id/2013/04/ozymandias-notes-and-       analysis.html

SO I HEARD IT FROM MY FRIEND…


My friend Ethel told me that there’s no such thing as flat happiness. When you’re happy, the feeling should be dynamic, having energy and full of enthusiasm. Flat happiness is when you think you’re happy, but there’s nothing interesting about feeling it. You’re in a state of changelessness. If you’re happy, there should be an altering feeling of what you felt previously to what you feel at the very moment. Of course it should be a change from a certain condition to a better one. To make sure that you’re happy, there should be an increase of quality.
Back to the flat happiness. Actually Ethel gave me such respond because it was me who said that I was happy but it was just the flat one. Does it mean that I wasn’t happy, although it was a flat happiness? Based on the certain explanation in the above passage, I wasn’t. So, what made me feel unhappy? Well, I couldn’t find the answer since I feel that I’m OK. My life runs well. I have people who show affections and care in my surroundings. Although I just have a small number whom I can trust, I feel blessed. I can rely on them and trust them. I’m not that kind of person who trust many people and have many friends. It’s important to note that I don’t consider all friends as “friends”. There is such thing called as “acquaintances” in my life. So, yeah, I have my friends and family. I have great jobs and enjoy doing them. I can eat my favorite food whenever I want. Then, what’s wrong with me? Why I wasn’t happy?
When I asked such question to Ethel, I was pumping her with answer that could satisfy me. She replied me by saying if I ever once in my life just listened to what my heart really wanted. Well, I couldn’t hold my laughter. When I was in love, I listened to it. You just couldn’t ignore what you felt when you’re in love, right? That’s merely one of the examples I could give about “listening to the heart”. Ethel said no and she gave me that sympathetic smile and with that I couldn’t hold my extreme bewilderment. If what she meant was having a talent like a clairvoyant or shaman, no no I didn’t have it for sure.  I even notice myself incapable of predicting what’s about to happen, either the good or bad one. Some people say that women have that kind of feeling. The hell with it. I’ve never felt it for 23 years of my life.
Well, Ethel said that women had it. Not the feeling to predict what’s about to happen, but the feeling to actually listen to what your heart mostly wanted. That’s the source of happiness. Of course we couldn’t just felt happy in a sudden if we already knew what we wanted. We need to begin a struggle to gain that happiness. A quest for things that our heart really wanted. And we’re on the right path.
What did I mostly want? Only my heart could provide the answer. And Ethel said that most of the time, our ability to listen to what the heart really wanted was blocked by our mid with its bustling activities and occupied most our attention. We have too many thoughts about what was my ideal life should be according to the society, what should I do to make it happen, do I make my family and friends happy, what do they think about me, and bla bla bla which wouldn’t end because the newest question would always emerge once the previous one was answered. Thus, the earliest and most prominent thing to do if you want to know what you really want is get rid of those bla bla bla questions. It’s burdening to live with such bucketloads of question marks. You’re not getting closer to what you really want if your mind occupies most of your dreaming room.
Thus, I should learn to ignore questions from surroundings, expectations from society upon what I should give to them and satisfy them. Ethel thought that my minds were mostly filled with plans to pursue the answers of society’s questions rather than my own question.  I think it doesn’t happen to me solely. It happens to most women who haven’t found the way to express themselves since they are bound with rules of some creeds that they are somehow pushed to believe. It can be the traditional, religious, or modern one. Women have weaker position than men in any kinds of society they live in because they’re not free to do what they want. Therefore, any kind of decision they make is based on the creed where the society they live in mostly uphold. Ethel and I both agree with this thought. I don’t say that women shouldn’t follow the credo of a particular belief. I say that they should choose what belief they want most to accompany them find their decisions or get rid of all creeds at all.
Unfortunately, women in my society are still dictated with creeds from their surroundings and when they want to alter it later or get rid of it, it’s almost impossible. Once somebody is planted with a particular belief, it should remain until the end of the day. If I really want to find what I really want, I should get rid of all beliefs that hamper me from reaching out my dream. Then I just need to have a time to meditate. It’s not literally a meditation like we’ve seen practiced by monks or religious people in India. But back to the meaning of meditation itself, meditation is an act of giving your attention to a specific thing. And the specific thing that that we give the attention upon is our quest for happiness. Ethel said that it’s not that hard as it seemed. She has proved it. So when I asked her if she found something she had looked for in life, she said not yet but she knew that she was in the right path because she already knew what she wanted.
I said I envied her. But I would find it if I struggled to find it. Well, I always believe that if somebody could, why wouldn’t I? At the end of our conversation, she recommended me a book by Clarissa Pinkola Estes entitled “Women Who Run with the Wolves”. Ethel said it would help me a lot to find what I really want in life. And sure when I get my dream, I hope I can find the true happiness.
Wates, December 7th 2012
23:12 pm


KUCING


Bagi sebagian besar orang, kucing adalah hewan yang lucu. Penyuka kucing bilang bahwa hewan ini berbulu lembut dan memiliki muka yang menggemaskan. Cara kucing menggoyangkan ekor bisa membuat sebagian besar penggemarnya merasa geli. Belum lagi ketika mereka bergulung-gulung, bermain-main dengan cahaya senter yang kita mainkan, atau mengikuti setiap gerak benda tertentu yang sengaja kita gerakkan. Begitu kata orang-orang di sekitarku yang menggemari kucing. Ada teman kuliah, tetangga, sepupu, dan kenalan di Facebook yang belum pernah kutemui namun kulihat dia sering mengunggah gambar-gambar kucing gemuk yang diberi komentar lucu.
Aku bingung kenapa orang bisa menyukai kucing, karena aku sama sekali tidak menyukainya. Bulunya gampang rontok sehingga membuatku takut bulu-bulu itu akan terhisap dan menetap di paru-paruku sampai aku tua. Gerak-gerik kucing juga menyebalkan. Penuh kecurigaan seakan-akan aku akan menyerangnya. Bangsa mereka selalu memperhatikan manusia lekat-lekat dan aku tidak suka pandangan mata itu. Pandangan mata yang bisa menyala di malam hari. Seperti setan. Menurut informasi yang kubaca, mata mereka menganding fosfor. Hewan macam apa itu? Masa mata mengandung fosfor!
Belum lagi kotoran mereka yang baunya amit-amit. Menurutku, kucing memiliki bau kotoran paling ganas. Lebih ganas dari kotoran manusia. Dan kotorannya mengandung kuman tokso yang berbahaya bagi janin ibu yang mengandung. Karena aku wanita, semakin lengkaplah alasanku untuk tidak menyukai kucing.
Tapi aku tahu bahwa alasanku membenci kucing tidak datang tiba-tiba. Seingatku, dulu waktu kecil aku tidak pernah merasa ngeri berdekatan dengan bangsa mereka. Walaupun aku juga tidak merasa senang dengan adanya mereka. Sederhananya, dulu aku tidak merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Berbeda dengan sekarang. Kalau aku ingat-ingat lagi, kebencian pada kucing ini hadir karena adanya beberapa peristiwa yang terjadi ketika aku masih kecil.
Dulu, kira-kira saat usiaku masih lima tahun, aku memiliki tetangga yang berjualan bakmi jawa. Mereka pasangan suami istri paruh baya yang tinggal di samping kanan rumah. Rumahku dekat dengan pemakaman dan rumah mereka lebih dekat lagi. Tembok rumah mereka bersanding berdekatan dengan tembok belakang makam. Sang suami bernama Pakdhe Cokro, begitu aku memanggilnya. Dan sang istri bernama Budhe Is. Pakdhe Cokro selalu memakai topi pet coklat berbahan kain yang belum pernah aku lihat sekali pun terlepas dari kepalanya. Sedangkan Budhe Is selalu memakai kebaya dan kain jarik. Rambutnya digelung dan dipasangi konde. Mereka tidak punya anak dan selalu senang kalau aku datang bermain ke sana tiap sore. Biasanya aku mampir setelah pulang mengaji. Masih memakai seragam TPA, aku memungut kertas-kertas bergambar kodok yang merupakan kertas merk bakmi yang mereka gunakan. Biasanya aku bisa mengumpulkan 5-6 kertas tiap sore.
Terkadang saat memungut kertas-kertas bergambar kodok berwarna hijau itu, aku ditawari makan. Makan apa saja. Nasi, bakmi, roti, lemper. Apa saja. Dan aku tidak pernah menolak. Pakdhe Cokro dan Budhe Is adalah tipikal orang dewasa favoritku saat itu, tidak pernah marah dan selalu memberi makanan gratis.
Suatu sore, saat aku mau bersiap bermain ke tempat Pakdhe Cokro dan Budhe Is, Ibu melarangku.
‘Jangan main ke sana!’
Saat aku bertanya kenapa, Ibu bilang bahwa Budhe Is sedang sakit dan praktis hari ini Pakdhe Cokro tidak berjualan. Kedatanganku sore ini hanya akan merepotkan mereka.
‘Aku nggak akan ganggu kok.’
‘Memangnya di sana kamu mau apa?’
Ya, sebenarnya di sana aku mau apa? Kalau Pakdhe Cokro tidak jualan, berarti tidak ada gambar-gambar kodok yang menunggu untuk dikumpulkan. Tidak ada tawaran untuk makan bakmi atau makanan lain karena Budhe Is sedang sakit.
Tapi sakitnya Budhe Is lama sembuhnya. Ketika aku berpamitan untuk main ke sana di hari berikutnya, ibuku masih melarang. Juga hari setelahnya. Dan kemudian tak terasa seminggu berlalu, sebulan, dan aku lupa untuk berpamitan, karena aku tak pernah mengunjungi Pak Cokro dan Budhe Is lagi. Kegiatanku memungut lembar-lembar kertas bergambar kodok tiba-tiba berhenti.
Suatu malam, kakekku mengajakku jalan-jalan ke pasar senggol dekat stasiun. Pasar senggol adalah nama yang diberikan masyarakat kotaku untuk pasar berisi para pedagang kaki lima yang hanya buka di malam hari. Beragam barang dagangan mereka. Kebanyakan makanan. Ada bakso, gudeg, gebleg-tempe, sate, bami jawa, dan ronde. Malam itu kami membeli bakmi jawa di kedai Pakdhe Cokro. Kedai yang kumaksud hanyalah berupa terpal warna oranye yang didirikan untuk sekedar melindungi gerobak, empunya, dan para pelanggan dari hujan. Warung Pakdhe Cokro tak pernah ramai, tak pernah juga sepi. Selalu ada pengunjung di sana tapi tak terlalu banyak.
Malam itu Pakdhe Cokro berjualan sendirian. Tidak ada Budhe Is seperti biasanya. Kakek membeli bakmi, berbasa-basi sebentar dengan Pakdhe Cokro, dan menggandengku pulang. Setelah itu, aku masih sering pergi ke kedai Pakdhe Cokro bersama kakek atau bapak atau oom atau saudara-saudara yang lain namun aku tidak pernah menemukan Budhe Is ikut membantu berjualan lagi. Yang aku tahu, Pakdhe Cokro kemudian mempunyai rewang bernama Badu yang sering terlihat membantunya berjualan. Tak banyak yang kuingat tentang Badu. Hanya saja ia memanggilku “Ninik”, bukan “Nonik”. Dan aku sering kesal.
Aku sudah mulai melupakan kertas-kertas bergambar kodok dan bermain di dekat gerobak jualan Pakdhe Cokro ketika sore itu aku tidak sengaja menemukan Budhe Is di dalam kuburan sedang berjongkok dan memandang lekat seekor kucing di depannya. Aku sering bermain ke kuburan karena rumahku sangat dekat dengan tempat tersebut. Selain itu, aku sering mengikuti Mbah Mul, juru kunci makam, mengitari area pamakaman untuk membersihkan beberapa tempat. Budhe Is memakai kain dan kebaya yang sering aku lihat. Bedanya hanya saat itu ia tak memakai alas kaki dan wajahnya…wajahnya penuh dengan bedak. Tak biasanya ia merias wajahnya dengan bedak begitu tebal. Saat aku memanggilnya, Budhe Is tidak merespon sedikit pun. Karena kesal, aku mulai mendekat. Ternyata ia tidak hanya memandang kucing di depannya. Budhe Is… berbicara dengan kucing itu. Awalnya aku ingin tertawa tapi kemudian aku merasa takut karena menyadari ada sesuatu yang aneh. Budhe Is aneh. Ia tidak seperti biasanya. Biasanya ia tak pernah mengabaikan kedatanganku. Dan kucing itu. Kucing itu seolah tahu bahasa apa yang digunakan Budhe Is. Karena ia tidak bergerak dari tempatnya dan balas lekat menatap Budhe Is. Kucing berwarna kembang asem dengan mata bening berwarna hijau. Ada lingkaran hitam di sekitar irisnya. Dua makhluk itu tidak merasa terganggu dengan kehadiranku. Pun tidak sekedar repot untuk menolehkan kepalanya ke arahku.
Oleh karena itu aku mulai merasa takut. Aku tidak tahu takut akan apa. Tapi aku takut. Aku ingin segera bertemu ibu. Jadi aku berbalik dan lari secepatnya ke arah rumah. Saat aku melihat ibu, aku menghambur ke arahnya dan mulai menangis. Ibuku bingung dan mulai memeriksa badanku. Dikiranya aku habis jatuh. Setelah yakin aku tidak apa-apa, Ibuku diam dan menungguku berbicara.
‘Budhe Is kenapa? Kok dia ngomong sama kucing di kuburan?’
‘Memang kamu yakin itu benar Budhe Is?’
Jawaban Ibu malah semakin memperbesar volume tangisku. Dengan hati-hati ibuku bilang bahwa mulai saat ini aku tidak boleh lagi main ke tempat Pakdhe Cokro dan Budhe Is lagi. Saat aku tanya kenapa, ibu bilang bahwa Budhe Is sakit lupa. Dia tidak ingat lagi dengan orang-orang, juga denganku. Ia kadang salah mengenali orang dan menyangka benda di dekatnya adalah orang yang ia kenal. Itulah kenapa ia berbicara dengan kucing.
‘Jadi tadi benar Budhe Is?’, tanyaku.
‘Menurutmu? Memang siapa lagi?’
Tapi kata Vinda dan Tejo, teman-teman bermainku yang berusia tiga tahun di atasku, Budhe Is gila karena menjual jiwanya kepada setan agar mendapat uang. Setelah mendapat uang, ia harus mnyerahkan pikirannya sehingga menjadi gila. Itu harga yang harus ditebusnya untuk sejumlah kekayaan yang telah diberikan setan.
‘Tapi di mana uangnya? Aku nggak pernah lihat.’
‘Tentu saja disembunyikan di kolong tempat tidurnya, Bodoh! Masa dipajang di ruang tamu’, jawab Vinda.
Dan aku memang bodoh karena mempercayainya begitu saja.
Aku sering menemukan Budhe Is jalan-jalan di sekitar perkampungan kami. Kadang ia berbaju lengkap, lebih sering hanya memakai kutang dan kain dengan bedak tebal yang membuat wajahnya menyeramkan. Aku masih sering melihatnya berbicara dengan kucing di kuburan, yang semakin meyakinkan kata-kata Vinda dan Tejo kalau kucing adalah agen setan.
Saat aku SD kelas 2, Budhe Is meninggal. Kata Vinda, itu karena raja setan berpikir bahwa Budhe Is sudah lunas membayar hutang. Saat aku tanya ke mana uang itu sekarang, kenapa Pakdhe Cokro tidak kaya-kaya, Vinda menyebutku bodoh lagi. Katanya uang itu sudah habis untuk biaya mengobati Budhe Is.
‘Sia-sia dong!’ kataku.
‘Memang iya. Itu balasannya kalau bekerjasama dengan setan!’
Dan aku memang bodoh karena percaya begitu saja.
Butuh beberapa tahun untuk tahu bahwa Budhe Is memang terkena gangguan kejiwaan. Orang bilang hal itu sudah turun temurun terjadi di keluarganya. Saat usiaku 11 tahun, Pakdhe Cokro meninggal. Saat itu aku kemah tiga hari di luar kota. Aku tak tahu Pakdhe Cokro meninggal. Dan saat pulang, jazadnya sudah dikebumikan. Dan saat itu, rasa benciku pada kucing sudah ada. Entah dimulai sejak kapan tepatnya.
Wates, 30 Oktober 2012
09:52 pm


5 FILM DI BULAN JANUARI 2012

Bulan Januari sudah berlalu. Cukup banyak waktu yang saya habiskan untuk menonton film. Ada beberapa film yang kemudian jadi favorit saya. Tiga di antaranya adalah film karya sineas-sineas dari Iran. Pengetahuan saya tentang film jadi bertambah. Untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada Suhu Yandri yang telah berkenan memberikan film-film ini kepada saya dan memberikan sedikit background yang berguna sebelum saya mulai menontonnya. Karena sungguh, film berikut ini benar-benar keren menurut saya. Berikut saya daftar lima film favorit saya selama bulan Januari, dan mungkin juga selama 2012 ini, dengan urutan acak:

1. A Separation (2011)
Sutradara: Asghar Farhadi
Film ini mengangkat tema yang biasa menjadi sesuatu yang luar biasa. Temanya adalah perceraian sepasang suami istri asal Iran. Yang menjadi permasalahan adalah hak asuh anak karena sang istri diceritakan berencana ke luar negeri. Namun, masalah perceraian ternyata membawa dampak yang beruntun untuk keluarga ini. Untuk keseluruhan cerita tidak perlu disampaikan. Yang saya mau ceritakan adalah perasaan selama menonton film ini. Saya tak sempat untuk menghentikan film sebentar dan membuat susu panas atau mengambil camilan karena film ini bersifat mengikat penonton di tempat duduknya sampai scene terakhir. Emosi saya berganti-ganti. Keberpihakan terhadap tokoh berpindah-pindah. Cerita ini benar-benar kompleks karena membawa isu agama dan kelas sosial. Di akhir scene, saya malah ikut depresi.

2. Carnage (2011)
Sutradara: Roman Polanski
Tokohnya hanya empat orang. Settingnya hanya satu rumah dengan beberapa ruangan. Kalau menonton film ini harus fokus karena banyak dialognya. Film ini diadaptasi dari sebuah drama. Menceritakan tentang 2 buah keluarga yang masing-masing anak lelakinya terlibat perkelahian sampai kemudian salah satu anak terluka cukup parah. Dua keluarga ini bertemu untuk meluruskan  permasalahan tersebut. Kesan pertama saat menonton film ini adalah tegang karena kita ikut merasa tidak enak saat melihat dua keluarga berpura-pura bersikap baik satu sama lain. Namun akhirnya di tengah-tengah film, karakter asli tiap tokoh mulai keluar. Sampai kemudian tidak ada tedeng aling-aling sama sekali untuk mengungkapkan opini masing-masing. Di tengah-tengah film, tawa saya masih biasa tapi semakin mendekati akhir, saya tidak bisa berhenti memegangi perut dan menutup mulut. Bukan karena film ini adalah film komedi tapi karena kejujuran tiap tokoh di film ini membuat siapapun pasti teringat pernah melakukan hal yang sama dalam hidup sehingga ikut tertawa.

3. Where is the Friend’s Home? (1987)
Sutradara: Abbas Kiarostami
Cerita inti dari film ini adalah seorang anak yang ingin mengembalikan buku teman sekelasnya yang secara tidak sengaja terbawa olehnya. Sangat sederhana. Ketulusan si anak harus dihadapkan pada berbagai kesulitan. Yang menyenangkan dari menonton film ini adalah mengikuti perjalanan si anak yang bernama Ahmadpoor sambil harap-harap cemas kesulitan apa lagi yang akan dia hadapi kemudian. Si Ahmadpoor ini imut sekali. Dia memiliki tipikal mata berwarna hitam dan besar khas orang Iran-Irak. Sekedar informasi, film ini merupakan seri pertama dari Koker Trilogynya Kiarostami.

4. Through the Olive Trees (1994)
Sutradara: Abbas Kiarostami
Ini seri terakhir dari Koker Trilogy. Kisah cinta dari sepasang gadis dan pemuda yang ikut andil menjadi figuran dalam sebuah film. Ceritanya si pemuda naksir si gadis tetapi si gadis takut menerima cintanya karena dilarang oleh keluarganya sebab si pemuda buta huruf dan tidak punya tempat tinggal. Si pemuda ini tidak menyerah untuk mendapatkan hati si gadis. Yang paling menarik dari film ini adalah mendengarkan gombalan si pemuda terhadap si gadis. Ada juga bagian di mana keduanya menarik ulur perasaan mereka dan pura-pura tidak peduli. Di beberapa scene saya tertawa ngakak namun salut dengan perjuangan si pemuda.

5. Memories of Murder (2003)
Sutradara: Joon-ho Bong
Oooooo…film ini benar-benar keren. Ini bukan drama percintaan Korea yang penuh dengan bintang-bintang dengan wajah sempurna karena setiap sudutnya telah dipermak. Tema film ini adalah pembunuhan berantai di suatu desa di Korea Selatan. Film ini berfokus pada perjuangan 2 detektif lokal dan 1 detektif asal Seoul yang mencoba mencari pembunuhnya. Jadi jangan berharap ada wajah-wajah kinclong dengan gaya rambut terbaru tiba-tiba muncul. Karena settingnya pun di akhir tahun 80an, tidak akan ada hal seperti itu. Saya tidak tahu apa yang membuat film ini bagus menurut saya. Mungkin karena film ini berjalan mulus. Dalam artian, tidak ada scene yang mengganggu saya dan memaksa saya untuk bertanya, “Kok gitu?”. Apalagi ini film tentang penyelidikan sebuah pembunuhan. Biasanya ada hal-hal kecil yang mengganggu. Entah itu sikap polisi yang awalnya bodoh tiba-tiba jadi pintar atau aksi penyelidikan yang berlebihan, yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan di kehidupan nyata. Semuanya terlihat natural sehingga film ini membuat opini saya yang seragam tentang film Korea berubah.

ANAK-ANAK ZAMAN SEKARANG



Pernah tidak memperhatikan anak-anak SD yang baru saja keluar dari gerbang sekolah? Beberapa pasti ada yang langsung membeli jajanan di depan sekolah. Beberapa menunggu jemputan, dan sisanya terlibat diskusi kecil dengan teman sepermainannya. Pernahkah muncul pertanyaan, setelah pulang sekolah apa yang mereka lakukan? Pertanyaan sederhana tersebut agak mengusik saya selama beberapa hari ini. Saya menyadari ada yang berbeda dengan anak-anak SD zaman sekarang. Kemarin saya iseng bertanya kepada salah satu murid bimbingan yang baru kelas 2 SD jam berapa ia pulang sekolah. Di menjawab pukul setengah 2 siang. Saya agak kaget karena dulu zaman saya masih kelas 2 SD, pulang sekolah jam 10 pagi. Ternyata jawaban yang sama tidak hanya diberikan oleh satu orang. Rata-rata siswa bimbingan kelas dua menjawab sama.
Pertanyaan saya lanjutkan dengan kegiatan yang biasanya mereka lakukan setelah pulang sekolah. Serempak mereka menjawab les. Oh, OK. Seminggu berapa kali biasanya, saya melanjutkan pertanyaan saya. Jawaban berkisar dari 4-5 kali. Dan rata-rata les tersebut berakhir pada jam 4 atau jam 5 sore. Tergantung keterampilan apa yang ditekuni. Jenis les juga beragam. Ada les musik (gitar, piano, biola), jarimatika, bahasa Inggris, tari, pengembangan otak kanan, ngaji, olahraga (tenis, badminton, renang), dan modelling. Menyenangkan karena orang tua sudah mengarahkan keterampilan anak sejak dini dengan harapan ketika dewasa anak-anak tersebut memiliki keahlian dan bisa mengukir prestasi dengan keterampilan tersebut. Padahal orang tua mereka tergolong biasa-biasa saja, tapi mereka sangat mengusahakan keterampilan-keterampilan tersebut bagi anak-anaknya. Sedangkan biaya les-les itu tergolong tidak murah.
Waktu kecil saya kebanyakan saya habiskan dengan bermain sepulang sekolah. Saya masih ingat betapa menyenangkannya jika bisa mandi di kali tanpa ketahuan Bapak atau Ibu. Atau sepedaan sampai Triharjo yang sebenarnya jaraknya hanya 5 km dari rumah tapi saat itu terasa sangat jauh. Saya masih ingat bagaimana tetangganya Intan, teman saya waktu SD, mengajarkan jenis-jenis ikan kali dan cara menangkapnya, membuat ketupat dan prakarya dari daun kelapa, atau mengikuti tetangga saya yang penjaga sekolah. Dengan mengikuti itu, saya sering dapat permen merk Trebor gratis.
Pengalaman saya tentu tidak berarti dibandingkan dengan pengalaman murid-murid kelas 2 tadi. Mereka sudah bisa memainkan piano di usia yang masih dini sedangkan saya membedakan nada saja masih belum fasih. Saya benar-benar iri dengan mereka yang mempunyai keterampilan yang bisa mereka banggakan.
Tapi cerita belum selesai. Ada hal yang masih mengusik saya sampai saat ini. Murid-murid tadi sering mengeluh saat sesi belajar bahasa Inggris. Karena saya mengajar privat, hanya ada 1-2 anak dalam satu sesi belajar. Mereka cukup dekat dan sering menceritakan pengalaman mereka termasuk minimnya jam bermain. Awalnya saya kira itu hanya berupa keluhan hiperbolis khas anak-anak untuk minta perhatian. Tapi kemudian saya menyadari bahwa keluhan tidak hanya datang dari satu-dua anak tapi beberapa anak. Hal ini membuat saya bertanya pada mereka, sesering apa mereka bermain. Mereka menjawab bahwa mereka sebenarnya memiliki waktu bermain antara  3-6 jam dalam seminggu di luar rumah.  3 jam untuk anak-anak yang les 5x seminggu. 6 jam untuk yang les 4x seminggu. Dan permainan hanya berkisar antara sepedaan di sekitar kompleks jika itu anak laki-laki, dan masak-masakan atau permainan a la rumah tangga jika itu anak perempuan.
Mungkin karena keinginan terbesar anak-anak di usia mereka adalah bermain, saya sering menemukan mereka tidak konsentrasi dalam mengikuti les. Pikiran mereka cenderung tidak fokus. Adakah yang salah dengan sistem les 4-5x seminggu seperti itu? Bukankah itu sebenarnya akan membatasi ruang gerak mereka yang seharusnya dibebaskan untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar mereka. Saya rasa penting juga untuk mengizinkan anak-anak main sampai ke desa sebelah, bertemu orang-orang baru, dan mengenal berbagai pekerjaan yang digeluti berbagai kalangan masyarakat. Karena saya yakin, buku pelajaran tidak bisa merangkum hal-hal seperti itu.
Bukan berarti kemudian les ditinggalkan. Memupuk keterampilan sejak dini tentu penting. Jangan sampai saat dewasa jadi sedih seperti saya karena tidak bisa main gitar. Ada baiknya mengurangi jam les yang terlalu padat bagi anak-anak. Pulang pukul setengah dua dan masih harus les selama kira-kira 2 jam ke depan, di zaman saya itu terdengar sangat mengerikan.
Walaupun mereka biasanya memiliki waktu untuk berlibur bersama keluarga di hari Minggu, saya merasa bahwa interaksi sosial dengan orang yang lebih tua atau lebih muda dari berbagai kalangan juga perlu untuk dibina. Dan untuk anak-anak, interaksi dengan dunia luar yang jujur dan murni hanya bisa didapatkan ketika mereka bermain. Saat bermain, mereka diizinkan untuk jadi diri mereka sendiri. Mereka bebas mau pergi ke mana. Mereka boleh berkelahi dan satu jam kemudian bermain lagi bersama teman yang sama. Interaksi sosial seperti itu yang mengajari mereka mengenali karakter orang lain dan nantinya membentuk karakter mereka sendiri. Sebenarnya, hidup adalah soal pilihan. Mengapa tidak berlatih untuk memilih sedari kecil? Entahlah. Semoga anak-anak di manapun punya masa kecil yang menyenangkan sehingga mereka bisa membawanya sampai dewasa sebagai kenangan juga pelajaran. =)