Senin, 21 November 2016

TIBALAH SAATNYA GEORGE CLOONEY DIDEPAK COLIN FIRTH

Dunia masih sibuk nggak sih membahas betapa stylish dan menawannya George Clooney? Atau jangan-jangan sudah ada kandidat lain? Bagi saya yang pernah mengagumi si Mr.Ocean, nampaknya saya harus bilang bahwa posisinya sebagai pria paling seksi di atas usia 50 harus rela diberikan pada Colin Firth. Sudah saatnya tapuk kepemimpinan diestafetkan. Dan menurut saya, Colin Firth adalah kandidat yang tepat.
Usia di atas kepala 5? Iya? Seksi? Iya. Stylish? Iya. Punya istri cantik dan juga fashionable seperti Amal Alamuddin? Iya. Aktor terkenal dan berbakat? Iya. Bahkan untuk kategori yang terakhir ini, Colin Firth menang telak karena dia pernah memenangkan piala Oscar untuk kategori aktor terbaik lewat film “The King’s Speech” sedangkan Clooney, walaupun sudah masuk nominasi beberapa kali, sayangnya belum mampu merebut penghargaan tersebut.
Sejak kapan tepatnya Colin Firth bisa dinobatkan sebagai salah satu anggota geng pria seksi di atas kepala lima? Jawaban pertanyaan tersebut jelas tidak hanya satu. Untuk saya, keseksiannya nampak menjadi sangat jelas saat menjadi agen rahasia Kingsman dengan nama sandi Galahad. Hati saya luluh lantak karena keseksiannya saat ia mengunci pintu di sebuah bar sambil bilang “Manners maketh man”. Imej Firth yang selama ini tergambar di kepala saya sebagai pria bersahaja yang kehidupannya lurus-lurus saja berubah drastis lewat Kingsman. Dia menjadi tangguh, macho, dan cerdik. Jangan lupakan juga efek formal attire yang tidak pernah alpa dipakai Firth di film tersebut. Hilanglah sudah Mark Darcy di Bridget Jones trilogi atau George VI di “The King’s Speech”. Mulai saat itu, hanya ada Colin Firsth bersetelan jas lengkap yang rapi jali dan menawan seperti di Kingsman
Sebelum Kingsman, saya sebenarnya tidak pernah sadar kalau ia bisa sangat seksi. Di dua film awal Bridget Jones, pilihan lebih saya sematkan pada Hugh Grant, rival Firth. Namun coba bandingkan Hugh Grant dan Colin Firth sekarang. Yang terakhir nampak jauh lebih seksi. Mungkin memang ada beberapa pria yang keseksiannya justru timbul saat mereka semakin berumur.
Saya sudah mencoba untuk mendata alasan-alasan apa saja yang mungkin membuat Colin Firth nampak semakin seksi di usia kepala limanya. Dan saya menemukan empat alasan utama yang sifatnya sangat subjektif jadi kalian dilarang protes.

1. Efek Setelan Formal 
Sekarang ya, siapa sih wanita yang nggak gremet-gremet kalau ada pria pakai setelan formal dengan ukuran yang pas di tubuh? Nggak harus berotot mrengkel-mrengkel kok untuk bisa terlihat menarik dalam balutan setelan formal. Colin Firth memang tidak punya tubuh kekar mirip The Rock, namun, di manapun ia tampil, ia jarang lepas dari setelan formal dengan potongan yang sempurna (bahkan berkelahi aja pakai setelan necis lho di Kingsman). Di Bridget Jones’s Baby, Firth tidak pernah kelihatan lepas dari setelannya kecuali saat sex scene bersama Bridget. Hal itu semakin menegaskan Colin Firth + setelan formal = seksi. Nggak bisa diganti pakai baju yang lain. Ingatlah kalimat yang saya tulis di awal bagian ini kalau cowok dalam balutan setelan formal selalu bisa memikat wanita.

2. Aksen British 
Well, memangnya George Clooney seksi karena beraksen British? Ya jelas tidak. George Clooney kan dari Amerika Serikat. Itulah mengapa Colin Firth jauh lebih seksi dari George Clooney. Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak pria Inggris yang rupawan dengan aksennya yang kental sukses membuat sebagian besar wanita di dunia ini klepek-klepek. Mulai dari Gary Oldman, Jeremy Irons, Daniel Day-Lewis, sampai generasi Benedict Cumberbatch harus bertanggung jawab pada semakin banyaknya jumlah wanita yang tak bisa tidur nyenyak pasca nonton film-film mereka. Aksen British bagi wanita macam saya ini adalah lambang dari komunikasi yang elegan dan penuh dengan tata krama. Kalau kualitas tersebut dimiliki oleh pria, wanita mana yang tidak akan tertarik?  

3. Macho
Kualitas ketiga ini mau tidak mau harus ditunjukkan dengan ketrampilan berkelahi. Otot saja tidak akan berpengaruh. Lebih baik tubuh berproporsi biasa saja namun jago berkelahi daripada berotot tapi kalah melulu dalam perkelahian. Di Kingsman, karakter Galahad, terutama saat adegan di dalam gereja di mana ia harus membunuh semua orang yang berada di dalamnya, terlihat sangat macho.

4. Family Man 
Saya sering sekali menilai kualitas seorang aktor dari keharmonisan keluarganya. Aktor yang saya idolakan biasanya adalah seorang family man: sayang keluarga, tidak pernah selingkuh, dan mantannya tidak tersebar di seluruh penjuru bumi. Itu sebabnya saya tidak akan pernah mengidolakan Jude Law karena ia tidak bisa memenuhi ketiga kriteria tersebut. Firth punya keluarga yang jauh dari gosip dan rumor jelek. Dia hidup harmonis bersama istrinya yang super cantik dan stylish serta 3 anaknya.

Gabungan keempat hal tersebut saya rasa cukup untuk mendepak George Clooney dari posisi teratas kategori aktor di atas 50 tahun paling seksi dan digantikan dengan Colin Firth. Ada yang protes? Coba ajukan kandidat lain dan beri saya alasan.

Sumber: https://lookastic.com/men/celebrities/colin-firth

Kamis, 17 November 2016

VERSUS: PILIH YANG MANA

1.       Sandal jepit / Sneakers
Sandal jepit

2.      Coklat / Vanilla
Coklat

3.      Mie ayam / Bakso
Bakso

4.      High heels / Flat shoes
Flat shoes

5.      Tukang bohong / Tukang pamer
   Tukang pamer

6.      Cowok pinter ngomong / Cowok pendiam
Pendiam

7.     1990s / 2000s
1990s 

8.     Lays / Chitato
Chitato

9.      Nonton film / Baca buku
Baca buku

10.  John Lennon / Paul McCartney
Paul McCartney

11.   Lipstik / Lipgloss
Lipstik

12.  Pagi / Malam
Pagi

13.  KFC / McD
KFC

14.  London / New York
London

15.   Cerpen / Puisi
Cerpen

16.  Facebook / Twitter
Twitter

17.   Kucing / Anjing
Kucing

18.  BSB / Westlife
BSB

19.  Cowok klimis / Cowok brewokan
Brewokan

20. Kaos / Tank top
Kaos

21.  Naruto / Sasuke
Naruto

22. Coca cola / Pepsi
Coca cola

23. Kylie Jenner / Kendall Jenner
Kendall

24. Beyonce / Rihanna
Rihanna

25.  Britney Spears / Christina Aguilera
Christina Aguilera

26. Burger / Pizza
Pizza

27.  Teh / Kopi
Teh

28. Star Trek / Star Wars
Star Wars!

29. Pantai / Gunung
Gunung

30. Nonton TV / Denger radio
Denger radio

31.  Cerita ke teman / Dengerin cerita teman
Dengerin

32. Nasi goreng dengan kecap / Nasi goreng tanpa kecap
Tanpa kecap

33. Hitam / Putih
Hitam

34. Komedi / Horor
Komedi

35.  Apel / Jeruk
Jeruk

36. Cowok kaya / Cowok pintar
Pintar

37.  Daging ayam / daging sapi
Ayam

38. Blog / Vlog
Blog

39. Skittles / Snickers
Snickers

40. Popcorn asin / Popcorn manis
Asin

41.  Spaghetti / Pasta
Spaghetti

42. Telur mata sapi / Telur dadar
Dadar


Sabtu, 12 November 2016

ARE YOU FEELING LIKE IN A SERENDIPITOUS MOMENT?

Malam Sabtu hujan rintik-rintik mengguyur Wates, kota kecil tempat saya berasal. Cuaca yang tepat untuk tidur sambil memeluk guling dan dihangatkan oleh selimut tebal. Sayangnya mata belum ngantuk. Akhirnya saya membongkar file-file film simpanan di hardisk. Mencari satu film yang saya harap bisa ditonton sampai merasa ngantuk. Saat scrolling ke bawah, pandangan saya berhenti di Serendipity (2001), sebuah film romantis yang ceritanya berisi rangkaian kebetulan manis yang akhirnya menyatukan dua pemain utamanya. Tipikal film romantis Hollywood pokoknya. 

Akhirnya film tersebut menjadi pilihan untuk ditonton. Mengapa? Jangan tanya. Saya juga tidak tahu. Mungkin saya merasa pilihan saya malam ini akan menjadi serendipity, sebuah kebetulan yang menyenangkan juga. Entahlah. Pada akhirnya saya kembali menonton film yang berdurasi kurang lebih satu setengah jam ini dan pandangan saya terhadap film ini jadi berubah.

Sebelum membahas perubahan pandangan, saya perlu mengatakan bahwa alasan saya masih manyimpan film ini di hardisk adalah bukan karena ceritanya yang bagus, namun karena efek John Cusack. Yup! Saya pernah nonton film-film John yang jauh lebih bagus dari Serendipity, seperti Being John Malkovich dan Say Anything. Di antara ketiga film tersebut, sayangnya John nampak paling ganteng saat berada di Serendipity. Ia sedang berada di rentang usia paling matang seorang laki-laki. Itu sebabnya dia kelihatan sangat menarik. Saya bersyukur karena setelah nonton ulang film ini untuk mungkin yang ke-3 kali malam ini, John Cusak ternyata masih ganteng. Sayangnya, ceritanya kok masih tetap lame. Saya anti dengan film romantis yang ceritanya menye-menye. Saat biasanya teman saya merasa baper melihat film romantis, respon saya biasanya sangat sarkastik. Anehnya, malam ini saya malah jadi memikirkan konsep serendipity yang menjadi inti film ini.


                                
Konon katanya, setiap kita membaca kembali buku atau menonton ulang film, kita akan mendapatkan sesuatu yang baru yang belum pernah ditemukan di proses-proses sebelumnya. Saya memang merasa ada yang berubah tentang cara saya melihat film ini, terutama dalam proses memahami kembali judulnya.  

Serendipity, yang artinya saya singgung sedikit di awal tulisan, mengacu pada kebetulan-kebetulan yang berujung pada kebahagiaan atau keberuntungan. Singkatnya, kebetulan yang manis. Poin yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa mungkin selama ini kita terlalu terbagi menjadi dua golongan, yang percaya bahwa semua yang terjadi pada hidup ini sudah diatur dan yang percaya bahwa hidup merupakan serangkaian kebetulan-kebetulan. Determinism vs free will. Oposisi biner ini tidak meninggalkan ruang lain selain hitam dan putih. Saya juga awalnya berpikir begitu. Lebih sering saya condong ke determinisme walaupun dalam merespon beberapa kasus, saya pernah juga menjadi penganut free will, namun tak pernah di tengah-tengah.

Malam ini saya jadi berpikir bahwa mungkin saja kehidupan manusia itu berada di antara determinism dan free will. Hidup ini berisi segala sesuatu yang sudah digariskan, sekaligus juga bertemunya kebetulan-kebetulan yang tidak bermakna. Ambillah contoh ekstrim dari Sara Thomas dan Jonathan Trager di film Serendipity. Apa sih makna penting dari dua orang yang tidak sengaja mengambil sarung tangan secara bersamaan di sebuah toko dan kemudian ngobrol lalu jatuh cinta? Tidak ada. Di suatu tempat mungkin ada orang yang bertabrakan di belokan yang juga merupakan sudut sebuah gedung dan ternyata keduanya kembar yang terpisah. Atau seseorang yang meludah dari lantai dua sebuah apartemen dan terkena orang yang sedang melintas di bawahnya yang kebetulan kepala sekolahnya. Apa arti dari kejadian-kejadian abstrak macam ini yang mungkin juga terjadi di peradaban lain yang berada di planet dan galaksi yang lain dari kita? Ada milyaran, mungkin triliunan kejadian abstrak yang remeh temeh terjadi di seluruh dunia per menitnya. Apa artinya? Tidak ada. Karena hampir semua individu mengalaminya dalam bentuk yang berbeda-beda. Tidak ada yang spesial. Semuanya terjadi saja. 

Namun, perlu untuk diketahui bahwa satu kejadian abstrak tadi pasti akan diikuti dengan konsekuensi, yaitu kejadian yang terjadi selanjutnya. Apabila Anda melakukan A, konsekuensinya adalah B, dan seterusnya. Rangkaian kejadian-kejadian tersebut lalu membuat kita melihat bahwa terdapat pola di dalamnya. Sesuatu yang berpola, yang terangkai, tentu saja terlihat seperti direncanakan. Kita akan mulai berpikir bahwa tidak mungkin sesuatu yang berpola seperti kehidupan tidak ada yang mengatur. Terlalu banyak isi dunia. Kalau semua itu dibiarkan dan tidak diatur, tentu semuanya akan saling bertubrukan.

Perlahan, kalian mulai memikirkan konsep determinism dan free will tadi. Tidak mungkin segalanya sepenuhnya berdasarkan free will karena pasti dunia akan kacau. Di sisi yang lain, sulit rasanya mengatakan bahwa kehidupan ini segalanya sudah ditentukan dan kita hanyalah robot.  

Kemudian muncullah kata “serendipity” yang sebenarnya bisa menjadi abu-abu di antara hitam dan putih. Serendipity menjadi serangkaian kebetulan abstrak namun memiliki arti seolah ada yang telah mengaturnya. Arti tersebut bisa didefinisikan sebagai kebahagiaan maupun kesedihan. Saya ulangi. Mungkin hidup ini hanyalah sejumlah kejadian yang tak bermakna, namun ketika dirangkai bisa menjadi sesuatu yang memiliki arti. Bisa jadi arti yang mengandung kebahagiaan atau kesedihan. Tidak masalah. Itu hanya perspektif. Ambil contoh Sara dan John yang bahagia karena berbagai kejadian abstrak tak berarti yang terjadi pada kehidupan mereka menuntun keduanya untuk bersatu. Tapi jangan lupakan bekas calon istri John dan mantan pacar Sara. Mereka pasti sedih dan kecewa. Sekali lagi, perspektif.

Jadi, sulit rasanya mengatakan bahwa hidup ini adalah melulu soal sudah ada yang mengatur atau rangkaian kejadian abstrak. Lebih mudah saat mulai memahaminya dengan mengambil jalan tengah. 

Sumber gambar: https://www.rottentomatoes.com/m/serendipity/

Selasa, 08 November 2016

REVIEW AMATIR DOCTOR STRANGE

Tepat seminggu yang lalu, 1 November 2016, akhirnya saya bisa nonton Doctor Strange di bioskop setelah sebelumnya dipameri beberapa teman yang bernasib baik menontonnya terlebih dahulu. Mengapa mereka harus pamer? Karena saya adalah salah satu Cumberbitches (sebutan untuk fans Benedict Cumberbatch) dan entah kenapa teman-teman saya merasa perlu untuk membuat saya menderita selama beberapa hari sebelum akhirnya saya bisa meluapkan kebahagiaan karena bisa nonton wajah Ben yang terpampang besar di layar bioskop. Terakhir saya nonton Ben di bioskop adalah saat The Imitation Game masih booming, yaitu tahun 2014. Sudah cukup lama.

Kebetulan radio tempat saya bekerja dekat lokasinya dengan Bioskop Empire XXI di Jalan Solo sehingga saya hanya perlu berjalan kaki ke sana dan membeli tiket seharga Rp 35.000,00. Saya tidak tahu sama sekali kalau di bioskop tersebut tidak terdapat 3D. Di Jogja, XXI Empire 3D tersedia di Jogja City Mall yang terletak di Jalan Magelang. Maklum saya jarang nonton bioskop jadi tidak hapal. Hahaha. Saya memilih duduk di baris A yang berarti adalah baris paling belakang atau paling jauh dari layar bioskop. Sengaja saya tidak membeli makanan di kantin bioskop atau menyelundupkan makanan yang dibeli dari luar saat menonton Doctor Strange. Untuk film-film tertentu, saya adalah tipe penonton serius yang tidak menolerir sedikit pun gangguan, termasuk suara rahang sendiri saat mengunyah snack.

Film dibuka dengan cukup keren. Sepuluh menit pertama, saya melihat adu kekuatan The Ancient One (Tilda Swinton) dan Mads Mikkelsen (Kaecilius) yang mampu membuat gedung-gedung bergerak dan berubah dimensinya dengan sangat epik dan apik. Memang ternyata mirip Inception seperti yang dikatakan review-review tapi kali ini dalam level yang berbeda. Frekuensi perubahannya lebih intens dan penonton diajak berasumsi bahwa hal tersebut terjadi di kehidupan nyata, bukan dalam pikiran seperti Inception. Hal itulah yang membuat perubahan dimensi pada gedung-gedung pencakar langit di Doctor Strange tampak lebih keren daripada di Inception.

Scene selanjutnya menurut saya berfungsi untuk memperkenalkan siapa Stephen Strange sebelum berubah menjadi superhero bernama Dr. Strange. Intinya dia adalah dokter neurosurgeon, dokter ahli bedah otak dan syaraf, yang selain jenius dan memiliki photographic memory alias bisa mengingat dengan detil hal-hal yang dilihatnya, juga memiliki keterampilan tangan yang mengagumkan saat melakukan tindakan operasi. Keterampilan ini adalah keahlian kunci bagi seorang neurosurgeon mengingat rumitnya materi yang mereka tangani dalam operasi, syaraf dan otak. Sayangnya, semua kelebihan tersebut membuatnya arogan. Sampai kemudian ia mengalami kecelakaan yang meremukkan tangganya. Ia harus hidup dengan platina yang tertanam di tangannya yang membuatnya tidak mungkin lagi melakukan operasi a.k.a. hancurlah karir yang ia banggakan selama ini.

Scene pengenalan tersebut sedikit mengingatkan saya pada Sherlock Holmes, karakter yang juga diperankan Ben. Bedanya, Stephen Strange sedikit ceroboh sedangkan Sherlock tak akan pernah membiarkan dirinya mengalami kecelakaan fatal seperti Strange.
Ben memainkan perannya dengan bagus sekali di bagian tersebut. Film-film superhero biasanya akan membuat kita terbelalak pada kecanggihan teknologi yang dipakai dan rumitnya setting tempat sehingga kualitas akting pemainnya dinomorsekiankan. Doctor Strange berbeda. Saya mengamini kualitas akting Ben terutama saat scene di mana Strange ditemui oleh Christine Palmer (Rachel McAdams), rekan sekaligus mantan kekasihnya, di dalam apartemennya yang nyaris kosong. Dalam scene tersebut, Strange meluapkan amarah dan keputusasaan atas nasibnya.

Strange mencari dan menempuh segala cara untuk bisa mengembalikan tangannya ke kondisi semula. Usaha itu pada akhirnya membawa Strange ke Kathmandu, Nepal dan bertemu dengan The Ancient One (Tilda Swinton). Strange belajar soal mysticism dengan bimbingan langsung dari The Ancient One sekaligus otodidak lewat buku-buku yang dibacanya. Karena dari pabrikannya Strange memang sudah jenius, cepatlah dia menyerap segala ilmu yang dipelajarinya. Strange kemudian diangkat menjadi salah satu master, sebutan bagi penjaga dunia dari dimensi gelap yang dikendalikan Dormammu. Dormammu ini tidak berbentuk. Dalam film, ia digambarkan sebagai bola raksasa berwarna campuran biru, ungu, dan perak. Strange kemudian membuktikan kualitas kemampuannya saat melawan Kaecilius, sekutu Dormammu, yang mencoba mengobrak-abrik ruang dan waktu di dunia.

Dari segi cerita, Dr.Strange ini plotnya biasa saja: ada seseorang yang memiliki masalah pelik mencoba mencari jalan keluar, namun akhirnya ia malah menemukan akses pada kekuatan tertentu dan tokoh lain yang membuatnya menjadi superhero dan menolong banyak orang. Biasanya cerita superhero yang saya tonton seperti itu. Yang berbeda kali ini tentu saja visual effects keren yang sudah saya singgung di awal. Kalau visual effects di awal hanya berlangsung selama beberapa menit, dalam duel antara The Ancient One vs Kaecilius dan Kaecilius vs Dr. Strange, kalian akan menemukan lebih banyak scene yang sukses membuat awestruck alias melongo. Jadi, kesimpulan awalnya, walaupun plotnya mirip, Doctor Strange tidak seperti film-film superhero yang lain berkat adanya konsep visual effects yang berbeda, baru, dan keren!

Walaupun banyak istilah baru untuk saya (saya bukan pembaca komik superhero Marvel) yang digunakan untuk menyebut konsep kekuatan Doctor Strange dan kekuatan mistis lainnya, film ini tidak terjebak terlalu lama untuk menjelaskan bagaimana cara kerja kekuatan tersebut. Saya belajar sambil jalan karena beberapa penjelasan kadang-kadang sudah tersampaikan lewat aksi tokoh-tokohnya. Contohnya adalah konsep kekuatan Strange dan kekuatan Dormammu. Kekuatan mereka bisa saya mengerti saat Strange menjebak Dormammu dalam periode waktu tertentu yang ia setting agar terjadi berulang kali. Dari situ saya tahu bahwa di dunia Dormammu, konsep waktu tidak terbatas, endless. Cara bercerita yang efektif.

Seperti halnya film superhero, Docor Strange juga tidak selamanya serius. Kalian akan menemukan beberapa scene yang sukses mengocok perut. Saya punya beberapa favorit. Pertama, saat Master Mordo (Chiwetel Ejifor) menyerahkan lembaran bertuliskan “Shamballa” pada Strange. Melihat wajah Strange yang serius, Mordo menjelaskan bahwa tulisan tersebut bukanlah mantra seperti yang dipikirkan oleh Strange, namun hanyalah password wifi. Kedua, saat Strange bingung dengan nama Master Wong yang hanya terdiri dari satu bagian, “Wong”, saat mereka berkenalan. Ia mencoba membandingkannya dengan nama-nama selebritis seperti Beyonce, Adele, dan Bono yang juga hanya terdiri dari satu bagian. Wong bingung karena tidak mengerti nama-nama tersebut. Dulu saya pernah melihat meme yang mengatakan bahwa humor-humor Marvel seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Marvel lebih unggul dari DC. Untuk bisa mengamininya, saya sepertinya perlu lebih sering menonton film-film Marvel dan DC.

Selain Benedict Cumberbatch yang berakting keren, akting Tilda Swinton sebagai The Ancient One juga layak dipuji. Selain karena kontur muka Tilda yang unik cenderung aristokrat, ketenangannya sebagai The Ancient One membuatnya menjadi sosok yang paling saya ingat ketika meninggalkan bioskop. Ia adalah karakter yang karismanya sangat terlihat di Doctor Strange, bahkan melebihi Ben menurut saya. Padahal, pemilihan Swinton sebagai karakter The Ancient One sempat menuai kontroversi. The Ancient One seharusnya adalah biksu dari Kathmandu yang memiliki wajah Asia seperti yang digambarkan di komik Doctor  Strange karya Steve Ditko. Namun, The Ancient One dalam film Doctor Strange digambarkan sebagai seorang Celtic. Akan tetapi, walaupun ada isu tentang whitewash, kalian yang melihat film tersebut pasti setuju dengan saya kalau Swinton memerankan karakternya dengan baik kalau tidak dibilang sempurna.

Chiwetel Ejiofor, Benedict Wong, serta Mads Mikkelsen yang memerankan supervillain Kaecilius memerankan bagiannya dengan baik walaupun tidak bisa dibilang berkharisma seperti The Ancient One. Soal Kaecilius, saya merasa peran dia sebagai lawan Doctor Strange kurang ditonjolkan. Tidak seperti Batman vs Joker atau Thor vs Loki, ketegangan dan rasa saling benci di antara Strange dan Kaecilius tidak terlalu nampak, kalaupun memang ada. Padahal, sewaktu jadi musuh James Bond di Casino Royale, karakter Le Chiffre yang diperankan Mikkelsen bisa sangat apik menjadi musuh utama Bond yang energi dan kecerdikannya hampir sepadan.

Hal lain yang menarik dalam Doctor Strange adalah adanya Stan Lee di salah satu scenenya. Stan Lee memang terkenal sering muncul menjadi cameo di film-film superhero Marvel. Walaupun pencipta Doctor Strange adalah Steve Ditko, Stan Lee tetap nongol di film tersebut. Ia menjadi seorang kakek yang sedang membaca koran di dalam bus yang busnya hampir ditabrak oleh Strange dan Kaecilius saat mereka bertarung. Sepanjang film, saya cenderung tenang, namun saat scene tersebut, saya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan itu sehingga berteriak, “Stan Lee!”.

Jadi, bagi yang belum menonton Doctor Strange, saya sarankan segera kunjungi bioskop-bioskop terdekat di kota Anda sebelum filmnya turun. Saya sarankan, tontonlah yang versi 3D. Nggak nyesel. Walaupun secara plot biasa saja, kalian tidak akan kecewa dengan visual effectsnya, akting Tilda Swinton, dan tentu saja Benedict Cumberbatch yang keberadaannya tidak hanya sekelebat seperti Stan Lee namun hampir sepanjang film!

Sumber foto: http://marvel.com/doctorstrangepremiere

Rabu, 02 November 2016

PRIA-PRIA IDOLAKU

Tiap perempuan sepertinya punya tipe pria idaman nan ideal yang biasanya mereka temukan pada sosok selebritis. Sebenarnya bisa juga ditemukan di profesi-profesi lain, namun sepertinya selebritis merupakan profesi yang paling banyak dijadikan rujukan. Kemungkinan besar karena selebritis selalu menjaga penampilan dan imej mereka di masyarakat. Mereka kemudian menjadi sosok nyaris tanpa cela yang diidolakan banyak orang sekaligus sulit dijangkau. Alasan terakhir itulah juga mungkin yang membuat kita seringnya hanya menerima hal-hal positif saja dari para selebritis. 
Ngomong-ngomong soal pria ideal, sejak SD sampai sekarang, saya punya sejumlah sosok pria idaman yang beberapa di antaranya masih saya idolakan sampai saat ini. Berikut ini adalah daftar pria-pria ideal versi saya yang pernah dan beberapa di antaranya masih mampu membuat histeris tiap kali saya melihat atau membaca sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Daftar ini urutannya saya susun secara diakronik. 

1. Billy Gilman 


Mas “One Voice” ini pernah mengisi hari-hari saya saat SD. Waktu itu saya berlangganan majalah Bobo dan Bobo beberapa kali mengulas profil Billy lengkap dengan lirik dari satu atau dua lagu yang dinyanyikannya. Yang paling saya ingat tentu saja “One Voice”. MTv sering memutar lagunya. Saat itu adalah periode awal di mana saya sedang getol belajar bahasa Inggris. Lagu Billy memberikan semangat untuk belajar walaupun liriknya sulit dipahami kala itu. 
Selain Billy, masa itu adalah masa di mana saya mengenal nama-nama seperti Devon Sawa dan Macaulay Culkin gara-gara menonton Casper dan Home Alone. Kala itu saya dan teman-teman main di sekitar rumah, semua perempuan, pernah patungan untuk nonton Casper di salah satu rental VCD yang ada di samping palang perlintasan kereta api di Wates. Kami nonton berlima dan terpana saat Devon Sawa muncul. Padahal adegan di mana Devon muncul hanya berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Namun ternyata sensasinya bisa bertahan cukup lama. Tidak terlalu lama saya mengidolakan dua orang tadi dibandingkan Billy. Saya juga tidak tahu kenapa bisa suka Billy cukup lama. Padahal selain “One Voice”, hanya 1 atau 2 lagu yang saya tahu darinya. Mungkin karena ia terlihat sangat imut dalam foto-foto yang ada di Bobo. Ada versi saat sebelum, sedang, dan sesudah ia memakai kawat gigi. Entah ke mana  sekarang Bobo edisi-edisi Billy Gilman yang dahulu sangat saya sayang dan sering buka hanya untuk melihat wajahnya. Tapi hal utama yang sangat penting dari Billy tentu saja suaranya yang ajaib. Tipikal suara merdu anak-anak yang pastinya juga disukai oleh anak-anak semacam saya kala itu. 
Teman-teman SD saya tidak terlalu banyak tahu tentang Billy Gilman, apalagi mengidolakannya. Mereka lebih fasih berbicara penyanyi anak-anak yang sering mereka lihat di Tralala Trilili, Cilukba, serta Bando Ya Ampuuuunnn (eh kalian masih pada inget nggak sih?). Tentu saja saya juga sering nonton acara-acara tersebut tetapi entah kenapa saat itu saya sangat suka sekali pada Billy. Satu-satunya teman seumuran yang bisa diajak ngobrol soal Billy adalah teman saya yang bernama Ellen. Dia sekolah di SD yang berbeda namun kami bertemu saat lomba bahasa Indonesia. Saat itu kami kenalan dan ngobrol-ngobrol soal Billy. Sumber utamanya apa lagi kalau bukan Bobo. 

2. Mark Feehily 


Setelah periode Billy Gilman berakhir dalam hidup saya, saya beralih menyukai boybands. Sebuah hal yang wajar mengingat saya saat itu mulai beranjak remaja dan tidak lagi cocok ketika membaca Bobo apalagi mendengar lagu anak-anak. Saya mulai rutin membeli majalah remaja seperti Kawanku dan Aneka Yes, kadang-kadang Gadis. Dari situlah kemudian saya tahu boybands semacam N’SYNC, Backstreet Boys, dan Westlife. Kebetulan tetangga saya yang sudah SMA sering meminjam majalah milik saya dan ia memberi tahu banyak hal soal boybands tersebut, juga informasi tentang selebritis dari luar negeri. Saat mulai meninggalkan tontonan acara musik anak-anak, saya pun punya gantinya, MTv. Saat itu MTv benar-benar surga dunia karena banyak acara-acara keren yang mengulas musik dan selebritis internasional. Dulu saya sangat suka MTv Asia Hitlist dan Triple Play. VJ Greg Utt dari Thailand adalah VJ favorit saya kala itu karena ganteng dan kocak. Dari situlah saya semakin tahu Westlife yang lagu-lagunya merajai tangga lagu di Asia. Kemudian saya jatuh cinta dengan para personilnya yang saat itu menurut saya sangat sempurna: tubuh tinggi, kulit putih, mata biru atau hijau, serta suara merdu). Di antara kelima personil tersebut, saya paling suka Mark Feehily. Saat itu ia terlihat sangat imut dengan rambut hitam, pipi merah, alis panjang aduhai, mata biru, dan gigi kelinci. Ia juga punya suara yang bagus dan paling sering mengisi vokal setelah Shane Filan. Mark juga merupakan satu-satunya personil Westlife yang tidak suka menari dan tidak luwes ketika melakukannya. Entah kenapa fakta tersebut malah membuat saya makin menyukainya. Saya juga masih ingat urutan personil dari yang paling saya sukai di Westlife: Mark Feehily, Bryan McFadden, Shane Filan, Nicky Byrne, dan Kian Egan. 
Sejak itu saya sering mengumpulkan memorabilia yang berkaitan dengan Westlife mulai dari kaset, CD, poster sampai kaos dan gantungan kunci. Saya hapal dengan semua lirik lagu mereka karena tiap pulang sekolah selalu saya dengarkan. Dinding kamar saya penuh tertutup dengan poster Westlife. Semua anggota keluarga dan teman tahu kalau saya pengemar berat mereka. Budhe saya bahkan menghadiahi kaos Westlife saat ulang tahun saya yang ke-12 atau 13 . 
Mereka juga tahu kalau saya paling suka dengan Mark. Mark Mark Mark. Pikiran saya kala itu penuh dengan bayangan tentang personil Westlife tersebut. Saya bahkan berencana pergi ke Sligo, kota tempat ia berasal di Irlandia, kalau sudah bekerja nanti. Mungkin saya bisa berkenalan dengan keluarganya dan akhirnya menikah dengannya. Benar-benar pikiran liar khas anak remaja yang kalau diingat-ingat sekarang membuat malu, begidik, dan membatin “kok bisa ya?”. Pada akhirnya keinginan gila tersebut memang tidak akan terjadi mengingat Mark adalah seorang gay. Kegilaan tersebut untungnya hanya bertahan sampai saya kelas 2 SMP. 

3. Nicholas Saputra 
Nicholas Saputra punya tempat yang spesial dalam kehidupan saya. Ia adalah satu-satunya cowok Indonesia yang bisa saya idolakan selama 13 tahun tanpa jeda. Karakternya sudah bersinonim dengan cowok keren impian. Perempuan mana coba yang bisa tidak jatuh cinta dengan sisi dingin dan misterius dari si pemilik sepasang mata elang? Itu yang pertama kali saya lihat dari Nico saat menonton AADC pertama kali saat kelas 3 SMP. Adakah yang bisa melupakan lirikan Rangga saat duduk di perpustakaan sambil memegang Akunya Sjumandjaja? Sejak saat itu sampai sekarang, informasi apapun yang berhubungan dengan laki-laki ini, saya selalu bahagia untuk mengetahuinya. Ia memang selebriti yang sangat tertutup dan pelit soal kehidupan pribadinya (udah liat kan isi IGnya?). Ia juga hemat omong walaupun kata orang-orang di lingkaran terdalamnya, ia bisa sangat lucu dan cerewet. Hal ini membuat ia makin misterius dan membuat penasaran. 
Ia juga merupakan aktor yang serius. Film-filmnya selalu berbobot karena ia terkenal tidak sembarangan dalam mengambil peran. Selain itu, di saat banyak aktor sangat memikirkan penampilannya, ia seringkali cuek kedapatan berkaos oblong dan sandal jepit, serta bertualang ke tempat-tempat terpencil yang jauh dari mainstream. Keseluruhan pribadinya dan kemisteriusannya membuat saya betah bertahan selama ini memujanya dan selalu membayangkan profilnya tiap kali ada yang bertanya bagaimana tipe laki-laki ideal menurutmu. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu merupakan pernyataan yang 100% saya amini. Namun, dalam ketidakmungkinan mencapai yang 100% itu, bagi saya Nico selalu ada di antara 60-80%nya. Paling tidak sampai saat ini. 

4. John Mayer 

Lagu-lagu John Mayer adalah makanan saya sehari-hari. Paling tidak, tiap minggu, lagu-lagunya pasti setia nangkring di playlist musik saya. Lagu-lagunya bertema universal, tidak melulu cinta pada lawan jenis yang liriknya cenderung menye-menye. Jadi, kalian bisa mendengarkan lagu-lagunya dalam berbagai kesempatan. Mulai dari saat patah hati, revisian skripsi dan tesis yang tak kelar-kelar, sampai bete karena uang kos naik. Sebagai musisi yang ahli bermain gitar dan jago dalam berbagai genre musik, John kemudian menjadi musisi idola saya. Itu sudah pasti. Namun, ia pernah terlalu saya idolakan sebagai musisi sehingga lama-lama akhirnya ia juga menjadi tipe cowok idola. Poin bahwa ia seorang maestro gitar tentulah bisa membuat banyak perempuan mabuk kepayang. Apalagi ia juga menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu ciptaannya tersebut. Paket komplit sebagai musisi. Sayangnya, ia juga ganteng. Siapa yang tahan coba? 
Dari segi fisik, John memang menarik. Ia punya bibir tebal dan dagu belah yang sangat seksi. Kalau ia tersenyum, hari-hari kalian yang muram niscaya jadi cerah kembali. Ia punya senyum imut mirip bayi. Ya paling tidak itu menurut saya yang kemudian memberi gelar John musisi serba bisa cum pemilik senyum indah. Alasan itu cukup membuat John sukses menjadi laki-laki idaman sepanjang periode S1 saya. 
Saya ini tipe fan yang sangat mendukung idolanya sehingga saat ia pacaran dengan Katy Perry, saya juga turut gembira dan heboh. Sayangnya mereka putus dan entah kenapa perasaan saya pada John juga ikut padam (tsaaahhh). Mungkin karena saat itu saya mulai menyadari bahwa John punya banyak sekali mantan. Ia dikenal sebagai womanizer yang kemudian saya harus akui mengubah sedikit pandangan saya padanya. Namun, untuk urusan kualitas bermusiknya, ia masih ada di daftar atas musisi favorit saya karena sampai saat ini saya masih setia mendengarkan lagu-lagunya. 

5. Benedict Cumberbatch 



Sekarang ini, siapa yang tidak tahu nama besar dan kualitas akting Ben di dunia seni peran internasional? Rentang waktu berkarya Ben sebenarnya sudah lama namun saya baru mengenal namanya di awal tahun 2011. Gara-gara apalagi kalau bukan Sherlock. Teman-teman saya paham kalau saya adalah penggemar berat Sherlock Holmesnya Sir Arthur Conan Doyle. Beberapa teman kuliah yang rutin nonton serial-serial dari luar negeri menyarankan saya untuk coba menonton Sherlock versi BBC yang dibuat modern. Awalnya saya ragu dan sangsi. Sherlock yang otentik dari periode Victoria selamanya selalu ada di bayangan dan tak tergantikan. Selain itu, soal nonton serial, saya memang pilih-pilih. Saya takut ketagihan dan tidak punya waktu untuk hal lain. 
Namun, akhirnya saya mengalah pada bujuk rayu teman-teman. Pada akhirnya saya harus bilang bahwa menonton Sherlock versi BBC adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil dalam hidup. 
Anyway, saat itulah saya langsung jatuh cinta pada Benedict Cumberbatch. Saya tidak akan pernah menyukainya kalau misalnya aktingnya buruk di Sherlock. Namun dia mampu membuat pembaca karya-karya Sir Arthur seperti saya ini yakin bahwa Sherlock BBC sebenarnya tetap membawa sifat-sifat yang dimiliki Sherlock Holmes dalam cerita Sir Arthur seperti dingin, arogan, dan ilmiah, namun dalam kadar yang jauh lebih besar. Ia mampu meyakinkan saya bahwa ia tetaplah Sherlock Holmes yang saya lihat di karya-karya Doyle dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Dan entahlah, semua itu berterima. Apalagi penulis skenario Sherlock, Steven Moffat dan Mark Gatiss, merupakan Sherlockian. Mereka selalu menggunakan kisah-kisah Holmes dari karya Doyle setelah terlebih dahulu menyesuaikannya dengan era modern secara brilian. Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan, bahkan dibayangkan oleh para Sherlockian yang lain saya pikir. Namun, nyatanya mereka berhasil dan salah satu keberhasilan itu disebabkan oleh usaha luar biasa dari Ben. 
Sejak saat itu, saya mulai mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan Ben. Karirnya memang semakin naik pasca menjadi Sherlock Holmes sehingga kemudian dunia bisa melihat aktingnya yang brilian di film-film semacam Tinker Tailor Soldier Spy, Star Trek Into Darkness, The Fifth Estate,  12 Years A Slave, The Imitation Game yang akhirnya membawanya ke nominasi Oscar, dan tentu saja perannya baru-baru ini sebagai salah satu superhero Marvel, Dr. Strange. Ia juga dipercaya menjadi Hamlet, oleh Barbican Theatre, sebuah pusat seni drama yang prestisius di Inggris dan salah satu yang terbesar di Eropa. Sebuah kepercayaan dan kesempatan yang mengukuhkan bahwa ia adalah aktor berkualitas. 
Di luar seni peran, ia juga dikenal sebagai pribadi yang menyenangkan, tidak membuat skandal, dan sering terlibat dalam kegiatan amal, salah satu alasan yang membuat Ratu Elizabeth II menganugerahinya gelar CBE. Ia juga merupakan sosok yang sayang keluarga. Dan di setiap acara di mana ia datang bersama istrinya, Sophie Hunter, ia selalu memastikan Sophie merasa nyaman. Kalian akan sering melihat dia berbisik atau berbicara pelan pada Sophie, “Are you OK?” berkali-kali. 
Saya tahu deskripsi ini lebih pada informasi yang bisa kalian dapat di internet. Namun, itulah keseluruhan dari Ben yang membuat saya tergila-gila. Kalau sekedar tampang, banyak lah yang lebih ganteng, namun kualitasnya sebagai aktor dan public figure, suara baritonnya yang bisa membuatmu betah mendengarkannya berjam-jam, serta tulang pipinya yang legendaris! Andai saja saya bisa memimpikannya tiap malam…. Soalnya bertemu langsung dengannya mungkin agak sulit, walaupun tidak bisa dibilang tidak mungkin. 
Baiklah. Itu tadi merupakan daftar laki-laki idaman yang pernah singgah atau masih menetap dalam pikiran saya. Mungkin beberapa tahun lagi, akan ada tambahan dalam daftar tersebut. Namun, sementara itu, yang ini dulu ya. 

Sumber gambar:
http://en.kidsmusic.info/artists/billy-gilman
https://www.pinterest.com/pin/497225615085884423/
http://putridiana87.blogspot.co.id/2011/12/nicholas-saputra.html
https://www.pinterest.com/pin/316589048778832436/
http://www.thisisyearone.com/benedict-cumberbatch-on-multitasking/