Rabu, 23 Oktober 2013

KACUKAN KEMELAYUAN

Diambil dari koleksi Dwi Lisa Susanti

Bagi yang baru pertama kali mendengar frasa ini, sama. Saya juga. Kebetulan saya mendapat kesempatan untuk mengetahui arti frasa ini saat megikuti sebuah kuliah umum yang digelar oleh Program Pascasarjana Prodi Ilmu Sastra UGM pada hari Selasa, 22 Oktober 2013. Kuliah umum tersebut menghadirkan Prof. Dr. H.M. J. Maier sebagai pembicara. Beliau adalah ahli Sastra Melayu dari University of California Riverside. Beliau adalah murid langsung Prof. Teeuw, ahli sastra Indonesia dari Universitas Leiden.  Prof. Maier adalah juga penerjemah beberapa karya sastra Indonesia terkenal ke bahasa Belanda. Beberapa di antaranya: “Ken Arok”, “Bukan Pasar Malam”, “Sri Sumarah”, dan “Jejak Langkah”. Saat ini Beliau sedang dalam sebuah proyek bersama seorang dosen Universitas Sanata Dharma untuk menerjemahkan sebuah karya Roland Barthes yang berjudul The Pleasure of the Text.
Pembahasan tentang kacukan kemelayuan berangkat dari buku tersebut. Buku ini menempatkan pembaca dalam posisi yang lebih penting daripada penulis. Yang perlu dipahami adalah, dalam proses membaca, yang paling penting bukanlah proses untuk mencari ide namun mencari kenikmatan. Ide atau gagasan terdapat di setiap buku dan bisa ditemukan oleh pembaca sedangkan kenikmatan adalah milik pribadi pembaca yang proses pencariannya lebih personal.
Dalam memperhatikan pembaca, Barthes meminta untuk mulai melihat pada jenis teks dan membedakannya menjadi dua. Barthes memiliki istilah khusus untuk menyebut teks sebagai teks yang readerly dan writerly. Yang pertama digunakan untuk teks yang memiliki kenikmatan yang dicari oleh pembaca. Novel dapat digolongkan dalam kategori ini. Writerly digunakan untuk teks yang memiliki kualitas untuk menantang pembacanya sehingga sebagai hasil akhir, pembaca akan menuliskan hasil pembacaannya terhadap buku tersebut.
Klasifikasi ini menurut Prof. Maier menarik jika dihubungkan dengan sastra Melayu. Kebanyakan sastra Melayu memiliki banyak versi dan setiap ditulis ulang, selalu ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh penulis barunya. Sebagai contoh adalah teks Hang Tuah. Saat ini ada 10 versi teks Hang Tuah. Hal ini disebabkan karena tiap kali membaca, pembaca menganggapnya sebagai teks writely sehingga saat ia menuliskannya kembali, ia memberi pemaknaan yang baru atas teks tersebut sebagai hasil dari proses membacanya. Jadi, teks-teks baru mengandung pengulangan dari teks sebelumnya namun masih terdapat perbedaan, kalau tidak bisa disebut sebagai penyimpangan.
Tidak hanya terjadi di masa sebelum dikenal mesin cetak untuk menggandakan teks, di abad 20 pun ditemukan teks-teks yang dicetak dengan isi yang berbeda dengan naskah aslinya. Contohnya adalah novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli. Di halaman pertama, teks awal yang menyebut bendera dengan warna merah-putih-biru, pada teks berikutnya menyebutnya dengan merah putih saja. Alasannya tentu saja terkait dengan politik.
Dari sini, mulai menarik untuk menyelidiki bagaimana cara orang Melayu berpikir dan jawaban tersebut dapat diperoleh dengan menyimak karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa tersebut. Prof. Maier memilih menggunakan bahasa Melayu untuk menyebut bahasa Indonesia karena ia masih termasuk rumpun bahasa Melayu dan merupakan hasil dari perkembangan bahasa tersebut.
Prof. Maier memiliki argumen awal bahwa bahasa Melayu sangat cair karena gampang berubah. Sebagai akibatnya, teks berisi banyak hal yang berbeda dari teks pertamanya sehingga sastra Melayu dapat disebut sastra yang hybrid atau campur aduk. Istilah kacukan memiliki arti yang sama dengan campur aduk. Istilah ini juga disebut dalam naskah Hang Tuah. Naskah Hang Tuah menceritakan seorang hamba yang mengabdi di isatana kerajaan Melaka namun akhirnya keluar dan berpetualang di Indrapura. Berhubung ia pintar menari, ia dipanggil menari di salah satu kerajaan. Pihak kerajaan terkesan dengan tariannya dan menganggap bahwa ia adalah seorang Melayu asli. Hang Tuah menyangkal dengan mengatakan bahwa dirinya adalah Melayu kacukan. Ia punya identitas campur aduk. 
Jawaban tentang keaslian Melayu kemudian dipertanyakan. Melayu itu sebenarnya apa? Menurut KBBI, Melayu merupakan kata benda, tapi kenapa bisa dipakai untuk kata sifat? Apakah Melayu itu nama daerah, nama bangsa, atau nama bahasa? Tidak ada jawaban pasti dan pertanyaan tersebut menurut Prof. Maier merupakan pertanyaan yang tak perlu ditanyakan. Namun bangsa Melayu memang selalu tergerak untuk mencari keaslian mereka. Orang Melayu selalu menyimpan impian untuk menjadi sempurna. Dalam teks Hang Tuah, pertanyaan pihak kerajaan tentang keaslian dirinya menunjukkan bahwa keaslian sebagai orang Melayu mendapat tempat dalam masyarakat. Padahal apabila kita lihat lebih jauh, istilah Melayu merupakan konstruksi dari masyarakat penjajah. Sebelum dijajah, para nelayan yang tinggal di semenanjung Malaka atau petani yang bercocok tanam di pedalaman Riau misalnya, tidak menyadari bahwa mereka orang Melayu. Saat pertama kali diberi pertanyaan tentang siapa sebenarnya mereka, kemungkinan besar mereka akan menjawabnya dengan jawaban semacam petani dari Riau atau nelayan dari Bagansiapiapi.
Konstruksi Melayu, oleh karena itu, memiliki hubungan dengan kekuasaan kolonial yang dulu pernah bercokol di wilayah Asia Tenggara, baik Indonesia maupun Malaysia. Untuk mengaitkan isu ini dengan bahasa, fakta bahwa bahasa Melayu merupakan hasil standardisasi kolonial merupakan bukti otentik. Kolonial membagi bahasa Melayu menjadi Melayu sungguh dan Melayu pasar. Melayu sungguh adalah bahasa yang pada akhirnya berkembang menjadi bahasa Indonesia sedangkan Melayu pasar merupakan bahasa yang digunakan oleh kebanyakan rakyat, mayoritas rakyat kecil, di wilayah semenanjung Malaka dan Sumatra. Melihat dari fakta ini, bukankah bahasa Indonesia sebenarnya adalah hasil konstruksi pemerintah kolonial? Selama ini kita selalu bangga dengan menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun persatuan itu sendiri pun adalah sumbangsih dari pemerintah kolonial.
Bahasa Melayu yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia dan Malaysia, oleh karena itu bisa disebut sebagai Melayu kacukan, Melayu yang tidak murni, Melayu yang bukan sungguh karena yang sungguh itu tidak pernah ada. Jalan ke sana selalu mendapat pertentangan karena kacukan ada di mana-mana. Apabila ini diterapkan dalam teks, tidak ada teks Melayu yang asli. Semuanya kacukan sehinggan mengklasifikasi teks sebagai yang adiluhung dan rendahan sungguh adalah perbuatan yang salah menurut Prof. Maier.
Pertanyaan dan jawaban dalam diskusi:
  1. Pertanyaan   : Ada sebuah buku yang menyatakan bahwa cerita pelipur lara adalah contoh Melayu Sungguh. Lalu bagaimana kaitannya dengan kacukan?           Jawaban        : Kalau kita memahami Melayu hanya dari ceritanya saja, tentu saja tidak akan pernah menemukan jawaban karena Melayu itu luas. Seperti yang telah dibahas tadi, semua teks adalah teks kacukan. Oleh karena itu, konsep Melayu Sungguh tak pernah ada.
  1. Pertanyaan   : Bagaimana tanggapan Bapak tentang fenomena bahasa Alay dalam bahasa Indonesia? Apakah termasuk kacukan?                                                 Jawaban        : Dulu Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1981, sekembalinya ia dari Amerika Serikat dan menyadari perkembangan bahasa Indonesia di negaranya, berkseimpulan bahwa eksperimen bahasa Indonesia gagal. Bahasa Indonesia tidak bisa menyatukan Indonesia karena ada banyak dialek yang blang blonteng. Jadi, bahasa alay atau slang selalu ada namun masih tetap ada semacam kesadaran untuk menjadikan bahasa tertentu, dalam hal ini bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan.
  1. Pertanyaan   : Kalau Melayu yang sebenarnya tidak ada? Bagaimana memahami Melayu sebagai constructed identity?                                                                               Jawaban        : Secara politik, pada dasarnya setiap negara memiliki bahasa persatuan. Tapi kalau kita mengambil Malaysia sebagai contoh, hanya sedikit orang yang mengerti bahasa Melayu. Kebanyakan yang mengerti adalah orang yang menganggap diri mereka orang Melayu. Sedangkan orang Cina atau India yang tinggal di sana tidak merasa berkewajiban untuk mempelajarinya. Tapi toh masyarakat itu tetap bersama terlepas dari apakah masyarakat tersebut menggunakan bahasa yang sama atau tidak. Selalu ada yang meracuni dan menuntut adanya ideologi dalam kaitannya dengan identitas. Walaupun mereka nantinya memiliki identitas, mereka masih dalam lingkaran identitas yang ditentukan oleh kekuasaan.
  1. Pertanyaan   : Bagaimana kaitan antara kacukan Kemelayuan dengan estetika?Jawaban        : Setiap orang memiliki konsepnya sendiri tentang identitas walaupun  ia kadang harus ikut identitas lain yang telah ditentukan. Tapi yang paling menarik dari semuanya adalah kita selalu mencari identitas salah satunya melalui bahasa walaupun usaha untuk menstandardisasinya akan selalu gagal. Bahasa ini adalah salah satu bentuk dari estetika.
  1. Pertanyaan   : Kalau saya ingin meneliti tentang sastra Melayu klasik, bagaimana cara membedakan antara sastra yang kacukan dengan yang sungguh?                     Jawaban        : Bagaimana cara mendefinisikan sastra klasik dan kacukan, menurut saya itu tidak mungkin bisa. Dalam sastra klasik Melayu, tulisan Nasrani dinafikkan karena selama ini mereka mau membangun ideologi bahwa Melayu adalah Islam. Mereka menganggap teks-teks Nasrani bukan asli Melayu, kacukan. Padahal sastra Melayu Islam sendiri adalah kacukan karena teks baru selalu dibangun berdasarkan teks sebelumnya. Tidak ada perbedaan antara sastra Melayu klasik dan sastra Melayu kacukan, pun antara sastra Melayu Islam dan sastra Melayu Nasrani.
  1. Pertanyaan   : Apabila semua teks adalah kacukan, apakah ini berarti ilmu pengetahuan, terutama bahasa dan sastra, tidak butuh adanya pengklasifikasian teks?       Jawaban        : Saya dan orang-orang seangkatan saya tumbuh bersama paham strukturalisme yang diajarkan di kelas. Dalam strukturalisme, ada pengklasifikasian. Tapi paham pascastrukturalisme membuat kita mengerti bahwa tidak ada pengklasifikasian karena nyatanya dunia ini penuh dengan kekacauan. Oleh karena itu, tidak ada pengklasifikasian dalam sastra. Semua jenis teks itu setara. Mereka semua kacukan.
Pandangan Pak Maier menawarkan salah satu perspektif dalam melihat teks di ranah sastra Melayu secara khusus dan semua jenis teks secara umum. Tentang tidak adanya penggolongan teks, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan teman sekelas saya. Jika teks memang tidak diklasifikasikan, bagaimana kemudian cara kita untuk meneliti teks sastra populer misalnya? Karena selama ini kami diajarkan bahwa metode meneliti sastra populer berbeda dengan metode meneliti sastra adiluhung. Tapi pertanyaan saya memang tidak harus dijawab. Ilmu menawarkan begitu banyak interpretasi, apalagi ilmu bahasa. Tinggal memilih mana yang menurut kita cocok.


Minggu, 08 September 2013

YUKIGUNI (DAERAH SALJU)


Yasunari Kawabata adalah penerima Nobel Sastra pertama dari Jepang. Penghargaan tersebut diterima tahun 1968. Kawabata terkenal dengan prosa lirisnya. Prosa liris adalah bentuk tulisan seperti prosa yang memiliki irama tertentu. Prosa liris Kawabata di Jepang dikategorikan sebagai haiku. Salah satu karyanya yang dianggap monumental dan mengandung bait-bait haiku adalah sebuah novel berjudul Yukiguni yang dialihbahasakan dalam bahasa Inggris menjadi Snow Country. Penerbit Gagas Media menerbitkan versi bahasa Indonesianya dengan judul Daerah Salju dengan penerjemah A.S. Laksana.
Daerah Salju adalah sebuah kisah cinta antara seorang pria Tokyo bernama Shimamura dengan seorang geisha di daerah pemandian air panas (onsen) bernama Komako. Shimamura rutin mengunjungi pemandian air panas di setiap musim dingin saat salju mulai menyelimuti desa tempat tinggal Komako dan selalu menggunakan jasa geisha tersebut. Komako adalah geisha onsen yang kehidupannya sangat sederhana dibandingkan dengan rekan-rekan seprofesinya di Tokyo dan Kyoto. Ia belajar samisen dengan otodidak. Shimamura yang seorang pengamat amatir tarian Barat seolah menemukan pelengkap dalam kesederhanaan tradisional Komako. Komako memainkannya samisen dan menemaninya tiap malam walaupun ia akan langsung pergi sebelum matahari pagi bersinar. Dalam budaya Jepang tradisional, seks dipercaya menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Seorang pria beristri tidak dilarang untuk menyewa jasa wanita panggilan.  
Komako memiliki perasaan yang sama terhadap Shimamura. Namun keduanya telah mafhum sedari awal bahwa hubungan mereka tidak akan bisa berhasil. Kehidupan Komako yang keras dan sulit seolah tidak bisa mengimbangi jalan pikiran Shimamura yang penuh dengan fantasi. Ketdakmampuan Shimamura dalam mengerti dan melengkapi Komako digambarkan dalam sebuah insiden kebakaran yang juga menjadi penutup dari novel ini. Saat Komako berlari memberikan bantuan pada Yoko, wanita yang kecantikannya juga dikagumi oleh Shimamura, Shimamura mematung dan hanya mampu memandang Komako yang berlari panik dan menjerit mendekati jasad Yoko.
Naskah ceritanya diterjemahkan dengan baik oleh pengalihbahasa jadi tidak ada kesulitan dalam memahami cerita dan alurnya. Walaupun bukan merupakan haiku lagi ketika sudah diterjemahkan, namun pembaca masih dapat mengagumi keindahan karya sastra ini melalui penggambaran hal secara sangat detail oleh Kawabata. Detail tidak membuat ceritanya menjadi membosankan. Malah justru menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari petualangan Shimamura dan Komako. Paragraf berikut bisa menjadi contoh:

Pada saai itulah, cahaya muncul di tengah wajah si gadis. Bayangan di cermin tidak cukup kuat untuk menahan cahaya di luar sana, sementara cahaya di luar pun tidak terlalu kuat untuk meredupkan bayangan. Cahaya bergerak melintasi wajah, tetapi tidak sampai membuat wajah itu berkilau. Cahaya itu adalah bintik yang jauh dan samar. Saat ia mengirimkan pancarannya ke bola mata si gadis, saat mata dan cahaya itu saling bertindihan, mata itu menjadi kilau cahaya indah sekaligus ganjil, yang mengapung di lautan malam. (Kawabata, 2010: 8)
Paragraf tersebut menggambarkan Shimamura yang sedang mengagumi kecantikan seorang wanita bernama Yoko yang ia lihat dalam perjalanan naik kereta menuju onsen. Di sepanjang halaman buku, tidak sulit untuk menemukan kalimat-kalimat indah lainnya.
Menurut beberapa analisis sastra yang saya baca, Komako sebenarnya adalah representasi budaya tradisional Jepang yang mulai luluh karena modernisasi, dalam hal ini diwakili Shimamura. Tragisnya akhir cerita ini mungkin merupakan kekecewaan Kawabata akan makin terkikisnya nilai-nilai tradisional Jepang. Bagi yang tertarik untuk menikmati karya sastra Jepang yang sangat berkualitas karena merangkum aspek budaya, sastra, dan kehidupan itu sendiri, buku setebal 188 halaman ini bisa menjadi salah satu pilihan. Selamat membaca! 

Sabtu, 31 Agustus 2013

CHICKEN SOUP FOR THE SOUL: LOVE STORIES


     Paling tidak sekali seumur hidup, orang pasti pernah melakukan sesuatu dengan tidak berpikir panjang. Hal tersebut biasanya berimbas pada hasil yang buruk. Untungnya kali ini saya tidak mendapatkan hasil yang buruk. Bahkan bisa dibilang bagus. Jadi saya mendapatkan buku Chicken Soup for the Soul: Love Stories tanpa punya alasan kenapa. Asal ambil saja. Biasanya saya punya alasan yang kuat untuk meminjam sebuah buku. Paling tidak diawali dengan membaca sinopsis yang ada di belakang buku. Kali ini tidak. Tiba-tiba saja saya sudah berada di dekat meja peminjaman dengan membawa buku ini.
Sejak SD saya sudah gemar dengan seri-seri Chicken Soup dan sudah lama saya tidak membaca seri-seri tersebut. Mungkin alam bawah sadar sayalah yang membuat saya mengambil keputusan untuk meminjam buku ini tanpa pikir panjang. Ada memori yang sudah akrab akan seri-seri ini.
Dari dulu, konsep seri-seri Chicken Soup tidak berubah. Beberapa orang mengirimkan tulisan sesuai tema yang ditentukan oleh tim editor. Karena seri yang saya baca adalah seri Love Stories atau Kisah Cinta, maka isinya adalah tentang pengalaman mencintai dan dicintai seseorang serta bagaimana dengan mencintai dan dicintai, mereka menemukan kebahagiaan dan semangat dalam hidup. Kedengarannya simpel. Namun saat mulai membaca, biasanya sulit melepaskan buku ini. Untuk saya, ada dua alasan kenapa biasanya saya sulit berhenti membaca buku ini sekali sudah di tangan: 1. ceritanya singkat dan padat 2. mayoritas kisah nyata (walaupun ada bumbu-bumbu tambahan).
Jadi secara isi, buku ini jauh dari kata-kata motivasi tapi buku ini bisa memotivasi. Motivasinya disalurkan lewat pengalaman orang-orang yang pernah mengalami masalah dalam mencintai dan dicintai. Untuk orang seperti saya yang masih jomblo dan belum punya pengalaman dengan lawan jenis, buku ini cukup inspiratif karena menjelaskan dengan cara sederhana tentang apa yang dimaksud dengan dedikasi dan kesabaran. Walaupun dalam konteks buku ini, yang dimaksud dedikasi adalah dedikasi dengan pasangan atau kesetiaan, namun kata ini juga bisa diterapkan dalam konteks yang sangat umum. Sedangkan kesabaran biasanya terdapat dalam kisah-kisah pasangan yang telah menempuh kebersamaan sampai merayakan pernikahan emas atau perak. Kisah-kisah mereka biasanya fokus pada dalamnya kesabaran yang melahirkan saling pengertian dalam menghadapai satu sama lain. Dalam merajut kebersamaan, entah dengan pasangan, rekan kerja, maupun teman, sering terdapat ketidakcocokan. Dengan kesabaran, banyak pernikahan dan pertemanan yang bisa langgeng sampai maut memisahkan.
Buku ini terdiri dari delapan bab: Bagaimana Kami Bertemu, Kekuatan Cinta, Syukur, Mengatasi Rintangan, Di Mata Seorang Anak, Pemahaman dan Pelajaran, Kekuatan dari Memberi, serta Saat-saat Istimewa. Beberapa kontributor menyumbangkan lebih dari satu tulisan untuk edisi ini. Untuk saya, tidak ada bab favorit dan cerita favorit. Namun, cerita yang menurut saya inspiratif dan bisa dijadikan pelajaran biasanya bersumber dari pasangan yang telah bersama selama puluhan tahun dan telah mengalami masa bahagia dan duka bersama namun tetap bertahan saling mencintai. Salah satunya tulisan Betty King dalam bab 6 “Pemahaman dan Pelajaran” yang berjudul “Pernikahan dengan Landasan yang Kuat”.
Buku ini ringan dan inspiratif karena menceritakan pengalaman cinta menarik dari beberapa orang. Untuk yang sedang jatuh cinta dan berusaha menemukan cinta, buku 344 halaman ini pasti bisa memberikan sesuatu yang berguna untuk menjalani hari-hari dengan pasangan dan melihat cinta dengan sudut pandang yang lebih lebar. Selamat membaca!

Jumat, 30 Agustus 2013

PASAR


Setiap daerah, apalagi kalau itu ibukota kabupaten, pasti memiliki sebuah pasar tradisional yang biasanya terletak di tengah-tengah kota. Posisinya di tengah kota bertujuan untuk menunjukkan kepada masyarakat kota lain tentang betapa makmurnya masyarakat pemilik pasar tersebut. Sudah sejak lama pasar secara tidak langsung dipakai sebagai parameter maju dan sejahteranya suatu daerah.
Fakta tentang pasar tradisional ini tidak hanya bisa dijumpai di Indonesia namun juga di negara-negara lain. BBC sering meliput tentang kondisi pasar-pasar di daerah Afrika dan Asia. Kenyataannya, di Afrika bahkan orang harus rela berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk bisa menjual hasil bumi atau hasil karya kemudian membarternya dengan barang-barang kebutuhan di pasar tradisional. Pasar tradisional adalah satu-satunya tempat yang bisa menyediakan transaksi unik  ini. Orang dari berbagai macam latar belakang berkumpul untuk bertransaksi. Jelas pasar tradisional adalah satu-satunya tempat di mana mereka bisa mendapatkan barang-barang kebutuhan yang tidak tersedia di kampung mereka.
Selain kegiatan ekonomi, ada juga interaksi sosial yang diwakili dengan kegiatan tawar-menawar. Lewat tawar-menawar, interaksi sosial yang lebih intim dapat dibangun. Dalam tawar menawar, manusia dituntut untuk berkomunikasi lewat berbicara. Pengetahuan manusia salah satunya dibangun dan disalurkan dengan berbicara. Dalam berbicara, timbullah rasa akrab. Tidak jarang kita mengenal penjual beras langganan keluarga di pasar yang juga turut diundang di pernikahan kakak perempuan kita. Atau pembeli langganan toko buah yang selalu menyempatkan barang tujuh menit untuk mengobrol dengan si penjual tentang kabar anaknya yang kuliah di kota lain atau kesehatan tetangganya yang makin memburuk.
Namun, keberadaan pasar tradisional saat ini tergeser dengan makin maraknya pasar modern atau yang lebih sering disebut dengan supermarket. Keberadaan supermarket sebenarnya adalah cara untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini. Manusia zaman sekarang butuh praktis dan cepat. Tidak perlu ada percakapan bertele-tele lewat tawar menawar jika yang dibutuhkan hanya sebotol air mineral, bukan? Di dalam masyarakat modern, orang-orang bergerak. Mereka mencoba efisien dengan waktu karena waktu adalah uang.  Dalam bertransaksi pun, pasar modern lebih tertarik dengan alat pembayaran yang nilainya bisa ditakar. Nominal menjadi yang paling utama. Dengan kata lain, ekonomi adalah tujuan utama diadakannya kegiatan jual beli di pasar modern.
Sebenarnya, jika ditilik dari fungsi-fungsi, baik itu sosial maupun ekonomi, pasar tradisional dan supermarket sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Biasanya jika terdapat masalah seperti ini, solusinya adalah menyatukannya. Dengan kata lain, mendirikan beberapa supermarket di kota yang memiliki pasar tradisional adalah solusi yang bijak. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah jumlah supermarket yang dikhawatirkan bisa menggeser dan bahkan menenggelamkan fungsi pasar tradisional sebagai sumber pendapatan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari berdagang di pasar tradisional dan memenuhi kebutuhan sosial masyarakat untuk berinteraksi. Solusi yang diambil beberapa kepala daerah untuk membatasi pertumbuhan supermarket cukup bijak. Pasar tradisional pun juga perlu pemeliharaan agar menarik minat orang-orang yang lebih tertarik pergi ke supermarket. Hal ini biasanya terjadi di kota-kota besar.
Di daerah-daerah yang masyarakatnya masih menganggap bahwa acara berkumpul, membantu, dan mengetahui kabar satu sama lain sebagai hal utama, pasar tradisional masih memiliki tempat di kehidupan. Mereka masih membutuhkan ruang untuk mengekspresikan jati diri mereka sebagai masyarakat komunal. Pasar tradisional adalah salah satu konsep yang tersisa untuk dapat memenuhi fungsi-fungsi tersebut. Sayangnya, daerah-daerah ini biasanya adalah daerah yang belum tersentuh modernisasi. Tapi di kota-kota besar pun, masih banyak orang yang membutuhkan keberadaan pasar tradisional. Bangsa yang sudah tumbuh dengan warisan komunal secara turun-temurun memang tidak mudah melepas esensi kebersamaan yang telah diwariskan nenek moyangnya.
Di tengah modernisasi yang makin merambah ke kota-kota pelosok Indonesia, mempertahankan keberadaan pasar tradisional menjadi suatu kebutuhan sebagai bentuk apresiasi pemerintah serta masyarakat daerah tersebut terhadap masyarakat pedagang di sekitar kawasan tersebut dan tradisi sosial yang telah menjadi kebutuhan masyarakat komunal.
Ketika menghabiskan hari Minggu mengunjungi pasar tradisional, saya tahu bahwa para penjual ini mungkin merasakan bahwa makin hari makin sedikit pembeli yang mau bersusah-payah naik turun mencari barang kebutuhan sambil melakukan penawaran. Namun sampai sejauh ini mereka masih bertahan. Bukti bahwa masih ada yang membutuhkan mereka. Mereka sudah bertahan selama ini dan akan terus bertahan sampai nanti. Semoga saya tidak salah. 

Rabu, 21 Agustus 2013

SINDROM


Ada sindrom baru yang menyerang saya. Lebih tepatnya cara berpikir saya. Sindrom ini merangsang saya untuk membuat kesimpulan bahwa hari yang lalu terlihat lebih baik. Ini bukan berarti saya tidak bersyukur dengan apa yang saya alami dalam hidup selama 24 tahun ini. Hanya saja, akhir-akhir ini saya cenderung merasa sering membandingkan segala sesuatu di sekitar. Tiba-tiba saya menjadi seseorang yang  memperhatikan orang-orang di lingkup hidup saya. Kemudian semuanya selalu berujung pada kesimpulan bahwa orang-orang ini lebih menyenangkan beberapa tahun yang lalu dan keadaan di tempat-tempat itu lebih menyenangkan dua tahun yang lalu. Seolah masa lalu punya kapasitas yang lebih besar untuk membawa kebahagiaan bagi hidup dibandingkan masa kini.
Ada kecenderungan dalam diri saya masa lalu terlihat lebih jujur dan penuh optimisme. Ada seorang teman yang pernah bilang bahwa masa muda selalu penuh dengan mimpi-mimpi dan hal tersebut membuatmu merasa hidup. Your life seems complete katanya. Namun semakin menua, perlahan akan timbul kesadaran bahwa tidak semua mimpi di masa lalu bisa dicapai dengan mudah. Kemudian orang mulai lupa dengan idealisme di masa muda dan berganti prinsip untuk lebih fokus mengikuti ke mana arus hidup membawa mereka. Lebih realistis katanya.
Entah sudah berapa kali kalimat macam “Semakin tua, kamu akan semakin lupa dengan idealisme di masa muda” diucapkan beberapa orang dari beragam profesi kepada saya. Frekuensi diucapkannya kalimat macam itu semakin meningkat seiring bertambah dewasanya saya. Dulu saya tak merasa perlu untuk memikirkannya, tapi semakin ke sini, semakin ada semacam desakan untuk mempertanyakan kebenaran pertanyaan tersebut. Saya lihat sekitar. Saya amati orang-orang di sekitar saya. Lalu saya mulai sadar bahwa ada perbedaan besar dalam diri mereka. Sebelumnya tak pernah saya berpikir tentang perubahan tersebut. Namun sekali memutuskan untuk mencoba mengamatinya, segalanya tampak jelas. Si A semakin serius dan lebih jarang melempar joke seperti saat masih sekolah. Si B sering bercerita tentang macam-macam pekerjaan yang menurutnya menghasilkan pundi-pundi materi yang tidak sedikit. Si C bercerita banyak hal tentang anaknya yang mulai tumbuh besar dan suami yang sangat perhatian. Saya pikir ia dulu akan jadi seorang akademisi karena kepintarannya yang di atas rata-rata. Si D menjadi sangat suka membuat kalimat-kalimat bijak tentang hidup di media sosial. Semuanya terlihat sangat relistis, aktif, dan berkejaran dengan waktu. Dan mereka terlihat berbeda.
Di mana masa lalu? Seolah tiap orang sudah siap di garis start untuk memulai sebuah perlombaan kehidupan. Entah apa yang dikejar. Dalam perlombaan ini, tiba-tiba semua orang menjadi lebih berpengalaman dari yang lain. Lebih pintar dari kebanyakan, dan lebih percaya diri untuk mengeluarkan statement yang berisi petuah dan kebijakan hidup. Saya juga mengejar banyak hal dalam hidup. Saya manusia normal yang punya banyak cita-cita. Dan saya merasa sendiri karena merasa seolah sayalah yang tak pernah berubah. Inilah alasan kenapa saya sangat merindukan masa-masa sebelum hari ini.
Ada rasa takut saat ini. Tak pernah saya merasa nyaman dengan orang-orang yang tidak saya kenal. Tapi akan lebih takut saya jika mengetahui orang-orang yang dulunya saya pikir saya kenal ternyata telah jauh berubah.
Mungkin saya yang salah. Mungkin saya harus mulai merobek dinding kebijaksanaan versi saya dan menghadapi hari ini dengan penuh semangat seperti mereka. Passionate, proud, grasping. Mencoba untuk lebih realistis tentang hidup, kata beberapa di antara mereka pada saya. Juga menyadari bahwa idealisme tidak bisa dipertahankan sampai mati. Ia bukan hal yang rigid, namun fleksibel. Dan bahwa cita-cita kadang tak selamanya bisa diraih. Cita-cita yang mungkin diwujudkan adalah yang paling dekat dari jangkauan. Lain daripada itu hanyalah angan-angan belaka. Tataplah masa depan lewat hari ini dan mulailah bersikap realistis.
Inikah saya? Mirip Gil dalam Midnight in Paris yang terjebak dalam era favoritnya di 1920an dan menganggap bahwa masa lalu ternyata lebih menyenangkan. Padahal orang-orang dari masa tersebut memiliki sindrom yang sama, mengagungkan era Belle Epoque di 1890an. Siklus ini tak akan pernah habis dikejar. Jadi akan lebih realistis ketika memutuskan berani untuk bersikap di hari ini walaupun konsekuensinya kamu harus berubah.
Benarkah? 

Rabu, 10 Juli 2013

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 4

Yang mula-mula menarik perhatian dari buku ini adalah sampul yang bergambar foto jam gadang. Ini berbeda dari tiga buku sebelumnya yang biasanya bergambar lukisan-lukisan yang merepresentasikan bagian-bagian dari sejarah maupun budaya kepulauan Nusantara kita tercinta. Jam gadang mengingatkan saya pada banyak hal tentang sebuah propinsi nun jauh di hampir ujung Sumatra. Bangunan ini merupakan representasi Sumatra Barat yang paling terkenal. Sedangkan Sumatra Barat adalah rumah dari beberapa tokoh nasional seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, serta beberapa pengarang terkenal seperti Mochtar Lubis dan A.A. Navis. Mungkinkah ini pertanda bahwa buku ini mayoritas akan membahas segala yang berhubungan dengan bumi Pagarruyung?
Dari 19 bab yang ada dalam Petite Histoire jilid 4 ini, memang ada beberapa bab yang khusus bercerita tentang sejarah perang Pidari/Padri dan juga beberapa anggota keluarga Rosihan Anwar yang memang asli Minang, namun mayoritas bab adalah tulisan dari berbagai isu dan genre.
Bab pertama adalah sejarah dan cerita penyelenggaraan Musyawarah Media Massa Islam Sedunia yang pertama di Jakarta bulan September 1980. Bab kedua berisi tentang kisah Soedjatmoko, intelektual Indonesia yang pernah menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo dan anggota delegasi RI pada Dewan Keamanan PBB. Yang paling menarik dari tulisan tersebut bagi saya adalah fakta bahwa kapasitas intelektualitas Koko (panggilan Soedjatmoko) yang tinggi mengenai politik dan filsafat Barat diimbangi dengan pengetahuannya tentang mistis Jawa sehingga ia dianggap oleh George McTurnan Kahin sebagai jembatan antara Barat dan Jawa. Bab ketiga berisi tulisan mengenai Soe Hok Gie, terutama keterlibatan penulis dan Soe dalam Studi Club yang juga diikuti oleh P.K. Ojong dan Onghokham di awal tahun 60an. Ada hal menarik yang disinggung Rosihan, yaitu anggapan Soe bahwa dirinya angkuh dan tertulis dalam buku hariannya yang diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Rosihan nampak tidak terima dengan perlakuan tersebut. Hal lain yang disinggung dalam bab ini adalah definisi revolusi dan pembangunan nasional.
Bab keempat berisi tulisan Rosihan sebagai komunis yang menyoroti status Soekarno dan Hatta yang sebenarnya antikapitalis. Bab kelima sebagai ahli resensi dari otobiografi Ajip Rosidi berjudul Hidup Tanpa Ijazah. Bab keenam adalah laporannya sebagai reporter di Sri Lanka, Australia, dan Kamboja. Bab 7 sebagai pengarang editorial yang menulis peristiwa 17 Oktober 1952 tentang rasionalisasi tentara dengan mengurangi jumlahnya dari 200.000 menjaadi 100.000 yang kemudian memancing pimpinan tentara untuk melakukan show force dengan mengorganisir demonstrasi orang-orang sipil yang didukung tank serta artileri.
Bab kedelapan tentang pengalaman menjadi penulis di Pos Kota dan C&R. Bab kesembilan berisi tulisan Rosihan Anwar tentang Prof. Koestedjo sebagai pengalaman lain penulis yang juga seorang sejarawan informal. Bab kesepuluh berisi tulisan tentang Angkatan 1945. Rosihan sendiri termasuk golongan angkatan ini. Ia menceritakan pengalamannya menulis sebagai sastrawan dan usahanya mendirikan Siasat dan Gelanggang. Awalnya Gelanggang adalah ruang kebudayaan di majalah Siasat namun lama-lama berkembang dan dapat berdikari. Penamaan Angkatan 45 yang sekarang telah diterima dalam dunia sastra Indonesia muncul pertama kali di ruang kebudayaan tersebut.
Bab kesebelas tentang pra kedatangan presiden Barack Obama ke Indonesia. Bab keduabelas menulis tentang masalah keindonesiaan. Buku yang dijadikan acuan dalam menulis artikel tersebut adalah The Idea of Indonesia: A History (2008) karya R.E. Elson, Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Queensland. Bab ketigabelas tentang tentang fungsi pahlawan nasional di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan dan sangat kontras dengan negara-negara lain yang kebanyakan hanya memiliki satu atau dua tokoh yang dijadikan sebagai pahlawan nasional.
Bab keempatbelas merupakan bab terpanjang dari buku ini. Isinya menceritakan tentang beberapa anggota keluarga Rosihan Anwar yang merupakan putra asli Minangkabau dan memiliki peran cukup penting di zaman kolonial maupun kemerdekaan. Sebagai contoh, ayah Rosihan yang adalah seorang ambtenaar di Binnenlands Bestuur dan kakak laki-lakinya, Johnny Anwar yang seorang kepala polisi di Padang. Karena kedudukan ayahnya yang cukup tinggi, masa kecil Rosihan cukup terjamin dan menyenangkan. Kisah-kisah tentang kota-kota yang pernah dikunjunginya di masa kecil menuntun kepada perjalanan sejarah dari kota-kota tersebut dan orang-orang di dalamnya. Salah satu yang paling saya suka adalah sejarah gerakan Pidari atau Padri di tanah Minang.
Awal gerakan Pidari dimulai dari kembalinya tiga orang dari menunaikan haji di Mekkah tahun 1803. Ketiganya terkesan oleh ajaran Wahhabi dan mencoba menyebarkan ajaran tersebut. Gerakan ini menentang perjudian, persabungan, candu, minuman keras, pemakaian tembakau dan sirih, dan beberapa aspek dari sistem matriarkal. Namun gerakan ini masih mengizinkan ziarah dan menghormati orang-orang keramat. Saat Thomas S. Raffles mengunjungi ranah Minangkabau tahun 1818, ia menuliskan bahawa daerah tersebut penuh dengan laki-laki dan perempuan yang berpakaian seperti kaum Wahhabi di padang pasir. Ajaran Wahhabi memang  menimbulkan ketegangan antara pemimpin agama dan pemimpin adat. Pemimpin adat biasanya terdiri dari keluarga Istana Pagarruyung. Pada akhirnya, para pemimpin adat atau penghulu ini memutuskan untuk memberikan dukungan pada Belanda.
Perang Padri berlangsung selama 17 tahun (1821-1838) antara Belanda dan kaum Padri. Kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Belanda pernah kalah dalam pertempuran di Lintau tahun 1823 karena saat itu bersamaan dengan Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro (1825-1830). Tahun 1837, benteng kota Bonjol menyerah. Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan ke Priangan, Ambon, lalu ke Manado. Ia meninggal di Manado tahun 1864.
Dalam pengasingannya di Manado, Tuanku Imam Bonjol sempat menulis sebuah memoar yang dibukukan dengan judul Naskah Tuanku Imam Bonjol. Jeffrey Hadler, seorang pakar masyarakat dan sejarah Minangkabau, pernah menulis esei panjang berjudul A Historiography of Violence dan the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bonjol and the Uses of History (2008) serta sebuah buku berjudul Muslims and Matriarchs-Cultural (2008). Salah satu sumber Hadler adalah memoar Tuanku. Selain menceritakan awal perjuangannya, termasuk kematian orang kepercayaannya, Datuk Bandaharo, hasil penelitian Hadler yang bersumber dari memoar Tuanku juga menceritakan tentang Tuanku yang limbung saat mengetahui bahwa ajaran Wahhabi yang dianut bersama pengikut-pengikutnya selama ini telah kehilangan kepercayaan di negara asalnya. Kabar ini sampai tatkala kedua sepupunya pulang dari berhaji tahun 1823. Dalam sebuah pertemuan besar, Tuanku menyatakan diri meninggalkan ideologinya selama ini, meminta maaf atas akibat yang ditimbulkan selama perang, dan memberikan ganti rugi.
Tuanku memulihkan kembali keadaan seperti masa sebelum perang. Ia merumuskan sebuah adagium yang terkenal: “adat basandi syarak” dan “syarak basandi adat” yang berarti menjamin bahwa baik hukum Islam maupun adat setempat terkait satu sama lain dan saling bergantung.
Bab kelimabelas menceritakan tentang saudara-saudara Rosihan yang memiliki keterkaitan erat dengan pemerintah kolonial Belanda seperti kakeknya Raden Mohamad Joesoef yang bekerja sebagai stations chef atau kepala stasiun kereta api Staats Spoorwegen (SS) di Padang  dan pamannya Mohamad Joenoes yang mendapat gelijkgesteld atau persamaan hak dengan orang Eropa. Rosihan Anwar juga masih bersaudara dengan Marah Rusli, sastrawan penulis roman Sitti Nurbaya, dan Roestam Effendi, pengarang dan juga orang Indonesia pertama yang dipilih sebagai anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer) dari Partai Komunis Belanda.
Bab keenambelas adalah liputan tentang pertempuran besar di Surabaya akhir 1945. Pertempuran legendaris tersebut ternyata tidak hanya berisi perjuangan heroik para pemuda, namun juga banyak terdapat sisi kelam yang mungkin tidak banyak diketahui oleh publik. Dalam masa yang disebut sebagai periode bersiap, atau masa mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), orang-orang Belanda ditangkap dan dimasukkan dalam penjara Babutan dan Kalisosok. Sebagian di antaranya dikirim ke rumah bola (societeit). Terjadi banyak penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Banyak gadis-gadis Indo yang diperkosa oleh pemuda Indonesia.
Bab ketujuhbelas tentang catatan harian penulis selama enam bulan sejak proklamasi kemerdekaan RI. Ternyata perumusan konstitusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah salah satu masa tersulit yang pernah dihadapi republik ini. Bab kedelapanbelas adalah cerita obrolan penulis dengan H. Junus Jahja (Lauw Chuan Tho), keturunan Tionghoa yang berkiprah dalam dunia politik dan agama Islam di Indonesia. Bab terakhir adalah cerita singkat pengalaman Rosihan Anwar bergabung dalam sebuah kelompok sandiwara di zaman Jepang. Lewat bab ini juga saya jadi tahu bahwa selain “sri panggung”, julukan yang biasanya diberikan kepada bintang panggung sandiwara perempuan, ada juga julukan yang diberikan kepada bintang panggung laki-laki, yaitu “raja jin”.
Dari dua puluh bab dalam buku ini, saya memiliki dua bab favorit, yaitu bab keempatbelas dan tujuhbelas. Bab keempatbelas memberikan suatu sisi lain dari perang Padri, sejarah, dan budaya Minangkabau yang selama ini belum saya tahu. Sedangkan bab ketujuhbelas memberikan gambaran kepada saya betapa bersemangat dan optimisnya orang-orang di zaman tersebut. Saya sampai merinding saat membacanya. Para pemimpin kita saat itu beritikad baik dan sungguh-sungguh membangun negeri. Mereka belum ditunggangi oleh individualisme untuk memperoleh keuntungan pribadi. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, sangat berbeda jauh. Semoga masih banyak pemimpin yang mau bersulit-sulit memikirkan nasib rakyatnya seperti para pendahulu kita di masa enam bulan pasca proklamasi kemerdekaan. Selamat membaca!

Senin, 01 Juli 2013

SEJARAH KECIL PETITE HISTOIRE INDONESIA JILID 2


Pramoedya Ananta Toer pernah menulis di salah satu bukunya bahwa satu hal yang membuat seseorang abadi walaupun ia telah meninggalkan dunia yang fana ini adalah tulisan. Lewat tulisan, pemikiran dan karya sesorang masih dapat dinikmati dan diambil manfaatnya sampai jauh di kemudian hari, dan bahkan juga menginspirasi. Agaknya hal tersebut berlaku bagi Rosihan Anwar. Karirnya yang panjang sebagai wartawan beberapa zaman beruntung tidak menghilang begitu saja. Selain dikenal sebagai pengingat ulung, Rosihan Anwar juga dikenang sebagai pengarsip yang cukup rajin. Beberapa yang ia arsipkan adalah karya tulis pribadinya yang terdiri dari reportase, resensi, naskah pidato, maupun karya sastra.
Sejarah Kecil Petite Histoire yang sampai saat ini sudah sampai jilid keenam merupakan salah satu peninggalannya yang didapatkan dari mengumpulkan arsip-arsip karya pribadinya. Jilid kedua agak berbeda dari jilid 1 dan 3 yang pernah saya baca karena di jilid kedua, sumber-sumber yang digunakan Rosihan Anwar berasal dari pengalaman pribadinya. Tiap judul dalam buku ini adalah hasil pengamatan, perenungan, atau reportasenya terhadap suatu hal yang menurut saya tidak banyak orang yang tahu atau sudah tahu namun mulai melupakannya. Tentu saja bukan melupakan yang disengaja. Oleh karena itu, kumpulan tulisan dalam buku ini memiliki fungsi menyegarkan ingatan kita tentang sejarah yang mungkin pernah kita baca dulu pada suatu ketika  dan karena keterbatasan ingatan kita sebagai manusia, mulai terlupakan.
Buku ini terdiri dari dua bab: “Sejarah Pers, Budaya, beserta Pelakunya” dan “Reportase, Resensi, dan Promosi”. Bab pertama membahas tentang sejarah kemerdekaan pers di Indonesia yang meliputi napak tilas surat kabar di masa tersebut dan seluk beluk kehidupan wartawan, perjalanan hidup Usmar Ismail yang sedikit banyak merepresentasikan perkembangan dunia layar lebar Indonesia pasca kemerdekaan, dan sedikit ulasan mengenai sejarah dan kebudayaan singkat Indonesia mulai dari masa prasejarah sampai ke era pasca reformasi. Bab kedua berisi reportase Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, perjalanan Nikita Krushchev di beberapa kota di Indonesia tahun 1960, kesan tentang Lee Kuan Yew dan Presiden Habibie, serta liputan perjalanan ke Afrika Selatan.
Yang paling menarik dari bab pertama dan juga merupakan favorit saya dari kedua bab adalah sejarah persuratkabaran Indonesia yang sudah dimulai bahkan sebelum negeri ini merdeka. Tercatat ada beberapa surat kabar yang telah terbit reguler seperti Slompret Melajoe (1860-1911) dan Bianglala (1868-1872) walaupun kebanyakan bersifat nonpolitik dan sebagian besar isinya berupa berita dagang dan iklan jual beli. Pemiliknya juga mayoritas orang Belanda, Indo, dan Tionghoa. Saat itu belum ada surat kabar yang didirikan oleh pribumi. Surat kabar pertama yang diprakarsai oleh pribumi dan telah berani membawa isu-isu politik adalah Medan Prijaji yang terbit tahun 1901. Pengagas sekaligus editornya adalah RM. Tirtoadisoerjo. Koran ini memiliki motto Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. (Hindia Olanda) tempat akan memboeka swaranja anak-Hindia.
Sebelum memproklamirkan kemerdekaannya, lewat tangan golongan pribumi yang teredukasi, berdirilah beberapa kantor berita, di antaranya: Indonesia Persbureau yang didirikan Ki Hadjar Dewantara saat ia dibuang di negeri Belanda bersama 2 anggota Tiga Serangkai yang lain dan Antara yang didirikan di Batavia tahun 1937 oleh Adam Malik, Albert Manoempak Sipahoetar, Pandu Kartawiguna, dan Mr. Soemanang.
Koran-koran pada masa itu cenderung mengikuti aliran ideologi tertentu dalam menyajikan reportase. Jadi ada tujuan untuk ikut mengembangkan semangat ideologi tersebut pada masyarakat. Di antaranya adalah Oetoesan Hindia yang diasuh oleh Haji Samanhudi dan merupakan representasi dari ideology Islam, Soeloeh Indonesia Moeda yang berafiliasi dengan PNI/Partindo, dan Api yang dikelola PKI.
Bahasa yang digunakan oleh koran-koran tersebut bervariasi namun saat zaman Jepang, semua surat kabar harus menggunakan bahasa Indonesia sehingga masa keputusan Jepang untuk melarang penggunaan bahasa Belanda dalam pemberitaan surat kabar memiliki andil dalam pengembangan bahasa Indonesia. Di zaman Jepang, tiap kota besar hanya memiliki satu surat kabar yang isinya sangat dikontrol oleh pihak pemerintah Jepang, kecuali Jakarta yang saat itu memiliki 2 koran, yaitu Asia Raja yang berbahasa Indonesia dan Kung Yung Pao yang berbahasa Tionghoa.
Selain informasi mengenai koran-koran di masa kolonial, Jepang, dan pasca kemerdekaan, Rosihan Anwar juga tidak lupa membubuhkan keterangan singkat para rekan seprofesinya, wartawan-wartawan Indonesia legendaris, yang terkenal karena dedikasinya, seperti S.K Trimurti dan Drs. Sosrokartono (adik R.A. Kartini) yang dikenal sebagai koresponden perang pertama dan seorang polyglot.
Bicara masalah persuratkabaran Indonesia, satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah undang-undang pers yang membatasi ruang gerak pemberitaan di beberapa era. Beberapa yang terkenal di antaranya adalah Pers Ordonantie tahun 1931 di zaman kolonial Belanda dengan sistem pembredelan dan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers dengan Surat Izin Terbit (SIT) di zaman Orde Baru. Oleh karenanya, menurut Rosihan Anwar, Indonesia dan dunia pers Indonesia harus berterima kasih kepada Presiden Habibie yang telah menghapuskan surat izin penerbitan pers atau SIUPP, ketentuan yang sebelumnya harus dijalankan oleh tiap-tiap surat kabar. Setelah penghapusan SIUPP, dunia pers Indonesia berkembang pesat dengan segala variasinya.
Untuk bab kedua, liputan seputar Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung tahun 1955 merupakan favorit saya. Karena menjadi salah satu wartawan yang diundang meliput KAA, Rosihan Anwar memiliki beberapa cerita menarik yang mungkin sebelumnya belum pernah diketahui oleh masyarakat umum karena selama ini hanya menjadi koleksi pribadinya. Di antaranya kisah PM Jawarhalal Nehru yang berusaha meraih kepemimpinan pribadi di konferensi dan membuat delegasi lain marah, atau PM RRT Chou En Lai yang terkenal bijaksana menengahi perbedaan pendapat yang muncul dalam menetapkan prinsip perdamaian di antara negara-negara Asia Afrika.
Liputan tentang KAA sifatnya formal karena menyangkut hal-hal yang terjadi dalam persiapan penyelenggaraan, selama sidang, dan perumusan kesepakatan. Sedangkan liputan tentang kunjungan PM Uni Soviet Nikita Krushchev bersifat lebih santai, sering sekali diselingi dengan cerita-cerita yang bisa mengundang senyum. Pada dasarnya, liputan tentang kunjungan Krushchev menceritakan pengalaman Rosihan Anwar berjumpa para pemburu berita dari negara-negara adikuasa saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan secara tidak langsung menggambarkan posisi dunia pers Indonesia yang memang saat itu jauh tertinggal di antaranya dari segi kegesitan dan sifat kritis.
Sedikit ulasan di atas berasal dari topik-topik favorit saya dalam buku ini. Masih banyak topik lain yang mungkin menarik untuk para pembaca, seperti perjalanan karya Usmar Ismail yang juga adalah saudara ipar Rosihan Anwar dan dianggap sebagai Bapak Perfilman Nasional, atau perjalanan Rosihan Anwar ke Cape Town yang sarat dengan jejak penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Sheikh Yusuf Al-Magasari dari Gowa. Pembaca bisa menelusuri cerita-cerita sejarah yang mulai lekang dimakan keterbatasan ingatan manusia karena tidak dituturkan dan ditulis secara turun temurun ini. Harapannya, sejarah kecil Indonesia yang pernah dituturkan oleh Rosihan Anwar bisa menjadi semacam pengingat bahwa kita pernah menjadi sebuah bangsa yang besar dan pantang menyerah dan dengan pengetahuan tersebut, semoga paling tidak bisa mengukuhkan dan mengembalikan rasa percaya diri kita sebagai bangsa besar yang beridentitas. Selamat membaca!

Jumat, 21 Juni 2013

ORDINARY PEOPLE (ASUNARO HAKUSHO)

Kalau ditanya kapan pertama kali nonton dorama atau drama dari salah satu negara di Timur Jauh, yaitu Jepang, saya harus kembali ke masa di mana saat itu saya masih kelas 1 SD. Saya ingat sekali dulu kalau tiap pulang sekolah jam 10 dan langsung nonton TV, pasti ada sebuah drama berjudul Ordinary People, bahasa Jepangnya Asunaro Hakusho. Memang saya tidak mengikutinya secara penuh. Biasa anak SD, pulang sekolah sering sekali hasrat untuk main mendominasi keinginan untuk tinggal di rumah dan menonton TV. Tapi saya ingat sekali dengan dorama ini karena saya tidak sengaja menyaksikan episode pertamanya yang sampai sekarang sangat berkesan. Drama ini diputar lagi di salah satu stasiun swasta kalau tidak salah saat saya kelas 5 SD.
Ordinary People awalnya adalah sebuah judul manga yang ditulis oleh Fumi Saimon dan memenangkan penghargaan manga sekitar tahun 1992. Fumi Saimon adalah juga penulis manga terkenal lain berjudul Tokyo Love Story yang dibuat menjadi serial TV dan sukses di pasaran. Tahun 1993, Asunaro Hakusho juga dibuat serial TVnya dengan menggunakan judul yang sama. Pemainnya antara lain: Hikari Ishida sebagai Narumi Sonoda, Michitaka Tsutsui sebagai Tamotsu Kakei, Takuya Kimura sebagai Osamu Toride, Anju Suzuki sebagai Seika Higashiyama, dan Hidetoshi Nishijima sebagai Junichiro Matsuoka. Ada nama Takuya Kimura yang saat itu belum cukup terkenal seperti sekarang dan masih di awal karirnya sebagai pemain drama. Nama Anju Suzuki mungkin juga sedikit familiar bagi beberapa penggemar dorama Jepang karena ia adalah saudara perempuan Honami Suzuki. Honami Suzuki berperan di beberapa dorama terkenal seperti Tokyo Love Story dan Channel 2. Belum lagi wajah keduanya memang mirip.
Berikut adalah perbandingan wajah mereka saat di Asunaro Hakusho dan sekitar tahun 2000an:

Hikari Ishida
 





Michitaka Tsutsui
    




Takuya Kimura
   




Anju Suzuki
   




Hidetoshi Nishijima
     





Bagaimana? Tidak banyak perubahan ya? Apalagi Takuya Kimura. 
Walaupun hanya terdiri dari 11 episode, dorama ini memiliki cerita yang mampu meninggalkan kesan yang dalam bagi para penontonnya, termasuk saya. Beberapa orang yang punya masa remaja di pertengahan tahun 90an yang saya kenal pasti berteriak-teriak girang tiap kali saya bilang bahwa saya punya episode lengkap dorama ini. Rata-rata umur mereka saat ini awal 30an, termasuk tante saya. Ternyata mereka penggemar berat dan sudah mencari serial ini sejak lama. Saya sendiri mendapatkan episode lengkap dorama ini dari seorang teman kuliah.
Alasan lain adalah mungkin karena tiap orang pasti punya kenangan di masa-masa kuliah. Entah itu dengan teman atau pacar. Begitu juga dengan serial ini yang menceritakan tentang persahabatan dan kisah cinta 5 orang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jepang. Sejak awal, Narumi menyukai Tamotsu dan cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Mereka pacaran. Tapi ternyata ada dua orang yang diam-diam memendam perasaan yang sama pada Tamotsu, yaitu Seika dan Junichiro. Keduanya saling mengetahui bahwa mereka mencintai orang yang sama. Sedangkan cinta Osamu pada Narumi bertepuk sebelah tangan karena ia mencintai Tamotsu. Ketiga orang ini, Seika, Junichiro, dan Osamu, bersikap seolah-olah mereka baik-baik saja.
Kisah cinta Narumi dan Tamotsu juga bukan sebuah kisah yang mulus. Hubungan yang renggang di antara keduanya pada akhirnya memberi kesempatan pada Osamu untuk masuk di antara mereka. Tamotsu yang kecewa akhirnya memilih untuk mundur dan Narumi yang selalu ingin terlihat tangguh memutuskan untuk melupakan Tamotsu. Pada akhirnya, keduanya yang tak pernah bisa melupakan satu sama lain memutuskan untuk berpisah.
Perpisahan Narumi dan Tamotsu diikuti dengan tragedi yang secara beruntun terjadi dalam kelompok kecil mereka. Diawali dengan kematian Junichiro, kemudian disusul kepergian Seika karena mengandung anak Junichiro dan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Setelah itu Osamu pun pergi ke Kenya untuk menjadi sukarelawan. Tamotsu pun memutuskan pergi dan mendaftar di universitas yang lebih prestisius. Hanya tinggal Narumi yang masih bertahan di kampus.
Mereka bertemu kembali setelah empat tahun. Banyak hal telah berubah. Namun ternyata perasaan Narumi pada Tamotsu tidak pernah lekang. Sayangnya Tamotsu telah mempunyai kekasih. Sang kekasih yang mengetahui Tamotsu ternyata masih menyimpan perasaan pada Narumi berbohong bahwa ia hamil yang kemudian membuat Tamotsu tidak bisa meninggalkannya. Saat Narumi dan Tamotsu merasa tidak ada harapan lagi untuk mereka, di saat itulah kekasih Tamotsu menyatakan bahwa ia berbohong. Narumi dan Tamotsu pada akhirnya memutuskan untuk kembali bersama.
Asunaro Hakusho sangat popular di Jepang pada zamannya. Dorama ini bahkan diputar di beberapa negara tetangga dan menuai kesuksesan yang hampir sama. Isu seperti seks bebas dan homoseksualitas memang menjadi salah satu isu sentral di dorama ini. Sebagai negara modern, anak muda Jepang mulai terbuka dengan isu-isu tersebut. Dorama ini dapat merepresentasikan pergaulan anak muda di Jepang pada saat itu.
Yang tidak kalah menarik adalah original soundtrack dari Asunaro Hakusho yang berjudul True Love dan dinyanyikan oleh Fuji Fumiya. Sampai sekitar awal tahun 2000an, saya masih sering mendengar lagu ini direquest di radio-radio anak muda yang mempunyai program khusus untuk memutar lagu-lagu bahasa Jepang. Lagu ini juga adalah satu-satunya lagu berbahasa Jepang yang lirik lengkapnya saya hapal di luar kepala.
Akhirnya, untuk yang penasaran dan tertarik, silakan menonton!

Senin, 29 April 2013

RARA MENDUT: SEBUAH TRILOGI



Pencarian saya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Menemukan buku karangan Y.B. Mangunwijaya ini nyempil di antara buku-buku di rak kesusastraan Perpustakaan Kota membuat saya tanpa pikir panjang mengambil dan meminjamnya. Saya baru menyadari betapa tebalnya novel ini saat bersiap memasukkannya dalam ransel. 802 halaman yang berisi tiga cerita: Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Ketiganya digabung dalam sebuah novel berjudul Rara Mendut: Sebuah Trilogi. Konsepnya seperti Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang juga terdiri dari tiga cerita.
Sebelum disusun sebagai sebuah novel, Rara Mendut terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas tahun 1982 kemudian dibuat menjadi sebuah film tahun 1983. Inti cerita novel ini adalah perjuangan tiga orang wanita Jawa di zaman Sultan Agung dan Amangkurat untuk mencari kebahagiaan. Maklum ketiganya tinggal di wilayah kraton dan semua wanita yang tinggal di wilayah kraton dianggap sebagai milik sang raja. Belum lagi fakta bahwa wanita di zaman tersebut dianggap lancang apabila memiliki cita-cita untuk menentukan nasibnya.
Tahun 1600an atau abad 17 adalah masa di mana raja Jawa Sultan Agung memiliki kekuasaan penuh atas hampir seluruh pulau Jawa kecuali Betawi yang dikuasai Belanda dan Banten, sebuah kesultanan Islam di ujung barat pulau Jawa yang menolak tunduk pada kekuasaan Mataram namun Sultan Agung sendiri pun segan untuk menyerang karena persamaan agama di antara keduanya. Sultan Agung dikenal sebagai raja yang bijaksana namun gemar melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang belum mengakui kedaulatannya. Banyak pembesar setempat yang kurang setuju dengan tindakannya dan memutuskan untuk melakukan makar. Di tengah panasnya situasi inilah karakter Rara Mendut muncul.
Posisinya sebagai calon selir Adipati Pragola di Pati berubah menjadi wanita rampasan perang yang kemudian harus menetap di harem seorang tumenggung Mataram yang terkenal digdaya di medan pertempuran, Wiraguna. Rara Mendut secara pribadi memang dipilih oleh sang tumenggung dengan persetujuan Sultan Agung untuk tinggal di dalem Wiragunan, puri sang tumenggung, untuk dijadikan selir. Wiraguna yang tergila-gila dengan sang putri pantai berkulit sawo matang ini harus menunggu sementara waktu sampai sang Rara bersedia untuk digauli.
Dalam masa penantiannya, Wiraguna yang kesabarannya hampir hilang meminta Mendut untuk menyetor segepok uang atau ia harus mulai bersedia melayaninya. Dengan aturan ini, Wiraguna berharap Mendut luluh dan bersedia melakukan permintaannya. Sayangnya Mendut memutuskan untuk berjuang mencari keping-keping persembahan dengan jalan menjadi penjual puntung rokok di pasar. Gaya berjualannya yang tak biasa mengundang banyak orang yang penasaran dan legendaris. Rara Mendut hanya menjual puntung rokok yang telah dihisapnya dan ia tak pernah membiarkan orang luar melihat paras wajahnya karena itu ia berjualan dengan ditutup sebuah kerai warna merah muda. Rasa penasaran ini juga perlahan merambati seorang pemuda bernama Pranacitra, putra seorang Nyai saudagar di daerah pantai utara Jawa bernama Singabarong. Ia berhasil menyusup di balik kerai merah muda dan menyaksikan kecantikan Rara Mendut. Sang Rara juga jatuh hati dengan ketampanan sang pemuda. Asmara keduanya mencoreng muka sang Tumenggung yang kemudian memutuskan untuk memburu dan membunuh keduanya di tepi pantai Selatan.
Nama Genduk Duku di buku kedua mengacu pada seorang gadis remaja yang menjadi emban Rara Mendut sejak di istana Pati dan ikut diboyong ke puri Wiragunan di Mataram. Setelah menyaksikan kematian sang Rara yang sudah dianggapnya sebagai kakak dengan mata kepala sendiri, ia memutuskan untuk melarikan diri dan berlabuh di desa Telukcikal, desa asal Rara Mendut. Di sana ia menikah dengan pemuda setempat bernama Slamet yang berhati mulia.
Saat dalam perjalanan untuk merantau ke Cirebon, nasib membawa mereka untuk terlibat lagi dalam drama a la Mataram. Keduanya dipaksa menjadi rakyat jelata yang turut menjaga dan mengurusi rombongan yang mengantar beberapa tawanan Belanda dari Jepara ke ibukota Mataram. Setelah sampai di Mataram, keduanya mengunjungi Bendara Pahitmadu, kakak perempuan Tumenggung Wiraguna yang dahulu pernah menolong Genduk Duku setelah kematian Rara Mendut.
Perjalanan dilanjutkan untuk mengunjungi Putri Arumardi, selir Wiraguna, yang bersimpati pada Rara Mendut dan mendukung bersatunya ia dan Pranacitra. Bekerja sebagai abdi dalem, Genduk Duku kembali menyaksikan pengulangan kisah Mendut yang kini diperankan oleh seorang wanita muda bernama Tejarukmi. Tejarukmi harus menunggu dalam puri Wiragunan sebelum dianggap siap untuk melayani sang Tumenggung. Sayangnya ia keburu jatuh cinta dengan Putra Mahkota, Raden Mas Jibus, yang sekian lama juga telah menaruh hati padanya. Gayung bersambut. Wiraguna yang tak terima atas penghinaan tersebut tidak dapat berbuat banyak mengingat kali ini Putra Mahkota yang mencoreng namanya. Tejarukmi mati oleh keris Wiraguna saat ia membabi buta melampiaskan rasa malu dan murkanya yang juga direstui oleh Sang Susuhunan Mataram. Sayangnya Slamet turut menemui ajal lewat keris yang sama saat berusaha menyelamatkan Putri Arumardi dari Wiraguna yang saat itu sudah gelap mata.
Genduk Duku yang hampir gila menyaksikan kematian sang suami memutuskan untuk menjauh dari hingar bingar istana dan memilih tinggal di Bukit Tidar. Saat itu ia sudah melahirkan putri pertama dan satu-satunya yang bernama Lusi Lindri. Buku ketiga kemudian menceritakan kehidupan wanita muda yang atas persetujuan Genduk Duku dibesarkan di lingkungan istana di puri Tumenggung Singaranu, mantan dewan patih kerajaan di masa Sultan Agung.
Kehidupan Lusi Lindri yang menjadi inti buku ketiga diawali dengan penunjukannya menjadi salah satu Trinisat Kenya, pasukan pengawal Susuhunan yang terdiri dari 30 gadis. Posisinya sebagai anggota punggawa kerjaan yang paling dekat dengan raja Mataram memberinya akses yang cukup dekat pada sang Susuhunan sehingga ia diperintahkan menjadi telik sandi atau mata-mata bagi Tumenggung Singaranu yang mulai khawatir atas melemahnya Mataram karena dipimpin oleh seorang raja yang lemah dan hanya suka bersenang-senang.
Cinta masa remaja Lusi Lindri dilabuhkan pada seorang remaja tampan keturunan Belanda bernama Hans yang sayangnya harus kembali bersama keluarganya ke negeri Belanda setelah bertahun-tahun menjadi tawanan Mataram. Pada akhirnya pelabuhan cinta terakhir Lusi adalah seorang duda beranak satu bernama Peparing yang bertugas menjaga danau buatan Segarayasa namun masih keturunan Wanawangsa, sebuah klan pemberontak yang berdomisili di sekitar Gunung Kidul. Di masa awal pernikahan mereka, Peparing dan Lusi Lindri diutus untuk menjadi mata-mata di Batavia demi mengamati pergerakan pemerintah Belanda dalam hubungannya dengan pengaruhnya di istana Mataram. Mantan Putra Mahkota Raden Mas Jibus yang telah menjadi raja dan bergelar Amangkurat terkenal lunak dengan Belanda dan gampang takluk dikarenakan segunung hadiah yang diberikan oleh Gubernur Jenderal.
Keadaan ibukota Mataram yang semakin tidak menentu karena ruwetnya pemerintahan membuat Lusi dan Peparing memutuskan tinggal di wilayah Hutan Walada yang menjadi tempat tinggal Tumenggung Singaranu dan Pangeran Selarong setelah diasingkan oleh raja. Masa keemasan Mataram perlahan pudar di bawah pemerintahan Susuhunan Amangkurat. Calon penggantinya, yaitu Putra Mahkota Adipati Anom, menunjukkan gelagat memiliki hubungan baik dengan Belanda di Batavia. Sedang di daerah-daerah, pemberontak seperti Trunajaya dan Kajoran mulai mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Mataram.  
Pada akhirnya, Susuhunan Amangkurat melarikan diri sambil membawa pusaka kerajaan ke Imogiri saat para pemberontak mulai menyerang. Lusi Lindri dan Peparing yang tinggal di dekat puncak Bukit Kelir menyaksikan iring-iringan keluarga kerajaan bersama maharajanya yang telah kehilangan taring sejak lama. Cerita ditutup dengan kematian Genduk Duku di pangkuan Lusi Lindri saat keduanya bersama Peparing pulang sehabis menengok porak-porandanya istana Mataram.
Lewat novel sejarah ini, pembaca dapat mengambil pelajaran tentang keteguhan wanita yang memilih dan berjuang untuk merengkuh impiannya pada masa di mana peranan perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking. Ada banyak karakter perempuan kuat ditampilkan oleh Romo Mangun selain ketiga wanita yang namanya menjadi inti novel trilogi ini. Di antaranya Nyai Singobarong yang menjadi puan armada dagang di Pantai Utara Jawa yang kekuasaan dan pengaruhnya disegani oleh para saudagar dan pembesar. Ada juga karakter Putri Arumardi dan Bendara Pahitmadu yang menggunakan pengaruhnya untuk menolong. Sampai Ni Semangka, emban Rara Mendut, pun mendapat tempat tersendiri di novel ini karena dedikasi dan sifat penyayangnya. Secara umum, tokoh-tokoh wanita di novel ini adalah penggerak utama cerita yang tanpa mereka, cerita yang bersumber dari babad-babad kuno ini hanyalah milik para pria. Wanita mengayomi dan menghidupkan, dari mereka lahir kelembutan, kecantikan, namun juga keteguhan hati yang gaungnya dapat menimbulkan kedamaian namun juga peperangan.
Mata pembaca menjadi terbuka oleh banyak hal yang berkaitan dengan sejarah kerajaan Mataram di sekitar abad ke 17. Romo Mangun kembali meneguhkan bahwa sejarah kerajaan Jawa bukan tentang romantisme kejayaan sebuah dinasti yang gemah ripah loh jinawi, namun sebuah kekuasaan yang bertangan besi dan cenderung sewenang-wenang terhadap rakyat. Tidak sedikit bagian yang mengupas pembunuhan seorang demang atau tumenggung beserta seluruh kerabatnya sampai ke anak cicit hanya karena sang pejabat ditengarai lalai menjalankan tugas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nyawa manusia harganya lebih murah dibandingkan ayam. Kesalahan kecil yang tidak berkenan di hati Susuhunan bisa berakibat tumpasnya seluruh anggota sebuah keluarga tanpa menyisakan apapun selain nama.
Sultan Agung memang digambarkan sebagai raja yang bijaksana dan mengayomi rakyatnya namun keputusannya untuk menaklukkan daerah yang membangkang dan menolak tunduk sampai membumihanguskan keluarga pembesar setempat sampai ke akar-akarnya membuktikan bahwa sejarah kerajaan Jawa bukanlah sebuah peradaban yang agung namun penuh kebengisan. Raja Jawa adalah tipikal raja yang menggunakan rakyatnya untuk membantu memenuhi keinginan sang raja. Sabda raja adalah titah yang mutlak dijalankan tanpa mengenal kata gagal.
Dalam menggambarkan rakyat papa, Romo Mangun yang seorang humanis menyoroti sisi penderitaan mereka yang tak henti-henti dirasakan namun masih bersedia untuk mengabdi pada rajanya apabila diperintah. Mungkin memang tak ada pilihan lain. Namun peran rakyat jelatalah yang sesungguhnya teramat besar dirasakan dalam sebuah kerajaan besar yang dikelilingi oleh beribu pembantu. Rakyatlah sebenarnya tulang punggung utama dari mengalirnya kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan raja dan para pembesar. Menindas rakyat merupakan pengingkaran terbesar seorang pemimpin karena seperti kata Tumenggung Singaranu yang bijak, “Yang pantas kita abdi adalah rakyat. Kawula semua. Teristimewa yang masih menderita dan dibuat menderita.” Selamat membaca!